Selasa, 31 Mei 2011

JR Saragih, Antara Saulus Menjadi Paulus

Oleh : Ramlo R Hutabarat


Orang Kristen, siapa sih yang tak pernah dengar nama Paulus. Semula, namanya Saulus. Dia merupakan seorang petinggi dalam status atau kedudukan di lembaga keagamaan Jahudi. Dan dengan kedudukannya itu dalam sejarah dia dicatat sebagai seorang yang pernah memburu dan membunuh pengikut Kristus. Sampai suatu masa matanya pun buta, dan dia berubah justru menjadi seorang Rasul. Perkembangan agama Kristen pada zaman ini, banyak dipengaruhi oleh hasil pekerjaan Paulus. Sampai-sampai pun setelah membaca Alkitab, saya jadi ragu ajaran siapa sih yang paling banyak dianut orang Kristen. Ajaran Yesus atau Paulus.

Orang Simalungun pun, siapa sih yang tak pernah dengar nama JR Saragih. Dia merupakan Bupati Simalungun hasil pemilukada 2010. Begitu menjadi bupati, dia pun membuat ragam gebrakan dan terobosan. Pada 28 Oktober 2010 dilantik menjadi bupati, pada 29 Oktober besoknya langsung mencopot beberapa PNS di jajarannya dari jabatannya. Senin 1 Nopember 2010, belasan PNS lainnya pun kembali dicopotnya dari kedudukan dan jabatannya. Wajar kalau akhirnya banyak PNS di Pemkab Simalungun yang gedebak-gedebuk. Kapan dicopot atau bagaimana.

Selanjutnya dan selanjutnya, segala macam dilakukan JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. Gonta ganti jabatan bagi PNS terus dilakukannya terus menerus. Dia memang menjadi Bupati Simalungun bukan karena Gubernur Sumatera Utara, Menteri Dalam Negeri, termasuk bukan karena Presiden. Dia menjadi Bupati Simalungun karena dipilih oleh anak negeri Simalungun. Makanya, kekuasaannya di Simalungun boleh jadi melebihi kekuasan Presiden, Menteri Dalam Negeri, apalagi Gubenrnur Sumatera Utara. Logis itu, menurut saya.

Sikap, tindakan dan keputusan JR Saragih begitu dia menjadi Bupati Simalungun, saya nilai sebagai ibarat rusa masuk kampung. Lari kesana lari kesini tak jelas apa yang mau dikejar. Alhasil yang terjadi adalah tabrak sana tabrak sini tak jelas juntrungannya. Di atas jalan raya pun didirikan kantin, dan pengusaha kantin lama pun harus didepak. Semua gedung kantor SKPD dipagar dengan sejenis seng yang akhirnya mengurangi nilai estetikanya. Gedung kantor BKD (Badan Kepegawaian Daerah), dirubah menjadi rumah sakit meski jauh dari pemukiman anak negeri. Bahkan, kantor bupati yang ada dan dibangun dengan uang puluhan miliar ditinggalkan begitu saja. “Tak layak huni”, katanya, dan selesai.

Akibatnya gampang ditebak. JR Saragih pun di mata banyak orang dianggap dan dinilai sebagai Saulus. Terlalu banyak PNS yang sudah menjadi korban memang. Sebut misal Karshel Sitanggang, Martua Tamba, Hamdan Nasution, Frisdar Sitio dan entah siapa lagi. Nama-nama yang saya sebut tadi sekarang sudah tidak berarti di Pemkab Simalungun. Belum termasuk Mahrum Sipayung, Duarman Purba, Jumsadi Damanik, Thamrin Simanjuntak, Robert Pardede.

Tapi di mata saya, JR Saragih yang sekarang dinilai dan dianggap banyak orang sebagai Saulus, saya yakini pada masanya akan berubah bagai mirip Paulus. Simalungun khususnya Kecamatan Raya, pada suatu masa pada suatu ketika akan berubah menjadi suatu daerah yang sejahtera. Anak negerinya akan hidup dengan berkecukupan dan dengan pendapatan yang tinggi. Hingga suatu masa juga, Sondi Raya plus Pamatang Raya akan menjadi metropolitan.

Tanda-tanda kearah itu saya lihat sekarang, setelah JR Saragih membangun lapangan terbang, memperlebar jalan, membangun ruko sekaligus memekarkan Kecamatan Raya menjadi tiga kecamatan. Benar sekarang ruko yang dibangun JR Saragih masih beberapa belas, tapi saya yakini itu akan dilanjutkannya kelak dengan puluhan hingga ratusan. Di mata saya sekarang saja, Kecamatan Raya khususnya akan menjadi suatu daerah yang cemerlang.

Saya sendiri, sudah berada di Simalungun sejak masa pemerintahan almarhum JP Silitonga. Dalam dua periode masa pemerintahannya ( 10 tahun ), yang saya catat agaknya perlu dicatat yang dilakukannya adalah pembukaan ruas jalan Negeri Dolok – Kariahan yang menghubungkan Kecamatan Silou Kahean dengan Kecamatan Raya melalui Bukit Pening. Tak jelas bagi saya sudah berapa uang yang digelontorkan untuk membuka ruas jalan itu, dan mudah-mudahan sampai sekarang jalan antara Negeri Dolok – Kariahan tetap tidak bisa dilalui kenderaan roda empat. Saya pun pening juga kalau menerawangkan pikiran pada program almarhum JP Silitonga di Bukit Pening ini.

Ketika tampuk pemerintahan berpindah ke tangan almarhum Djabanten Damanik, saya mencatat segala macam pembangunan dilakukannya di kampung asalnya, Sipolha. Ada Gedung Pusat Informasi dan Dokumentasi Pariwisata dibangun di sisi ruas jalan Tiga Runggu- Parapat dibangunnya, tapi sejak dibangun hingga sekarang tak pernah dimanfaatkan. Banyak sekali yang waktu itu semuanya menelan biaya sekira Rp 30-an miliar, termasuk pembuatan “ikan mas” yang sekarang sudah menjadi sarang ular. Kalau dengan uang sekarang, nilai yang sekira Rp 30-an miliar itu sudah dikali lima. Dan almarhum Djabanten pun, berkuasa di Simalungun selama 10 tahun (dua periode)

Di masa John Hugo Silalahi, saya mencatat Gelanggang Olahraga Radjamin Purba di Batu VIII dan Pasar Tanahjawa yang dibangunnya. GOR Radjamin Purba, direncanakan dibangun dengan dana Rp 50 miliar, dan sampai Hugo tak lagi menjadi Bupati Simalungun sudah sekira Rp 30-an miliar yang dikucurkan. Pasar Tanahjawa, kalau saya tak salah ingat, dananya sekira Rp 12 miliar. Belum termasuk jaringan air bersih di Kecamatan Raya yang dananya sekira Rp 6 miliar. Tapi mudah-mudahan jugalah, sampai sekarang semua dana itu menjadi sia-sia karena semua bangunan tadi tidak bisa dimanfaatkan.

Ketika Zulkarnaen Damanik menjadi Bupati Simalungun, kondisinya hampir sama dengan ketika daerah ini dipimpin JP Silitonga, Djabanten Damanik, dan Hugo. Dibangun STA di Saribudolog, mudah-mudahan sampai sekarang tak pernah dimanfaatkan padahal biaya pemebangunannya miliar rupiah. Begitu juga Balai Benih Ikan yang ada di Rambung Merah dan Jawa Tongah juga dibangun dengan dana miliaran rupiah tapi sampai sekarang tak pernah menghasilkan benih ikan. Kecuali, menurut saya hanya dijadikan sebagai benih korupsi. Apalagi, menurut saya Sahat Hutauruk yang sekarang Kepala Dinas Perikanan dan Peternakan Simalungun tidak berkemampuan mengelolanya. Apalagi, manalah pedulinya itu.

Tapi lihat JR Saragih. Meski begitu dilantik menjadi Bupati Simalungun dia langsung grasa-grusu tak karu-karuan, apa pun katanya yang diperbuatnya sekarang secara khusus di Kecamatan Raya adalah sesuatu program monumental yang akan dicatat sejarah. Saya melihat, prospek Kecamatan Raya akan cemerlang dengan segala macam yang sudah dan akan dilakukan JR Saragih disini. Sehingga pada masanya saya yakin sekali JR Saragih yang semula dianggap dan dinilai bagai Saulus akan berubah dianggap dan dinilai sebagai Paulus.

Masalahnya, apabila pun JR Saragih tidak akan terpilih lagi menjadi Bupati Simalungun pada periode berikutnya (dan saya yakin itu), persoalannya sudah berbeda dengan JP Silitonga, Djabanten Damanik, Hugo, apalagi Zul. JR Saragih saya pikir akan dikenang orang Kecamatan Raya sebagai putra daerah yang telah berhasil merubah daerah itu menjadi suatu daerah yang kaya bahkan makmur. Dalam kepemimpinan JR Saragih sebagai Bupati Simalungun, saya berani taruhan Kecamatan Raya pasti berubah menjadi suatu negeri yang sejahtera, sentosa, bahkan makmur. Suatu negeri yang sekarang cuma ada dalam mimpi.

JR Saragih memang jago. Jago sekali. Bupati Simalungun itu saya yakini pasti bisa membangun Kecamatan Raya dengan cemerlang. Selamat bagi JR Saragih !
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993 Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
____________________________________________________________________

Mana Lebih Baik : Hulman atau JR ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat


Dalam suatu diskusi kecil di Siantar kemarin pagi, salah seorang peserta bertanya kepada saya “”Mana lebih baik. Hulman Sitorus atau JR Saragih ?” Saya pun merasa tidak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya :”Tidak ada. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang baik”, kata saya jelas dan tegas. Dan suasana diskusi kami pun pagi itu menjadi riuh rendah.

Jawaban saya, sebenarnyalah asal-asalan saja saya kemukakan. Ini didasarkan pertanyaan salah seorang peserta yang saya anggap juga asal-asalan. Karena pertanyaannya asal-asalan, maka jawabannya pun tentu asala-asalan. Kenapa asal-asalan, sebab saya yakin seperti saya, dia pun sesungguhnya tidak paham sekali mana yang baik dan mana pula yang buruk. Sebab memang, sekarang ini tak jelas lagi perbedaan mana yang baik dan mana pula yang buruk. Kalau dulu, waktu saya remaja, antara yang baik dan yang buruk masih ada bedanya. Meski pun cuma bayang-bayang. Dan bayang-bayang itu tipis sekali. Setipis kulit ari.

Di kampung kami misalnya, ada anggota DPRD. Seperti umumnya anggota DPRD lainnya, sudah jelas dia korup. Di lembaga terhormat itu, bersama kawan-kawannya sudah barang tentu mereka hanya memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang. Sejak dilantik menjadi anggota dewan terhormat, mereka sering sekali melakukan hal-hal yang tidak terhormat. Studi banding atau entah istilah apa pun kerap kali dilakukan yang menyita uang rakyat berjibun-jibun.

Tapi anggota DPRD tadi, sungguh teramat rajin beribadah ke rumah ibadahnya. Ya, beribadah ke rumah ibadah. Di rumahnya, dia tak pernah beribadah. Apalagi di tempat lain. Di rumah ibadahnya pun, dia rajin dan setia memberikan sumbangan. Boleh jadi uang kontan yang berjibun-jibun, boleh jadi pula dalam bentuk natura/ material. Semua temannya satu jemaat mengatakan anggota DPRD tadi baik. Dia dikenal sebagai orang yang baik. Ketika suatu masa dia ditangkap dan dipenjarakan karena divonnis bersalah setelah melakukan korupsi berjemaah, orang-orang kampung saya masih tetap mengatakan dia orang baik.

Masih di kampung saya, ada warga yang seharian kerjanya jual sate. Anaknya lima orang. Semua sekolah. Istrinya parengge-rengge di pasar pagi. Rengge-renggenya pun hanya daun singkong, genjer, kunyit, lengkuas dan kadang serai mau pun jagung muda. Dan sebagai tukang jual sate, kawan saya satu kampung itu memang seharian lebih banyak berkipas-kipas. Pulang ke rumahnya menjelang dini hari ketika orang lain sudah nyenyak dengan seribu mimpi di peraduan. Tiba di rumah pun, masih harus menghitung berapa belas ribu rupiah pendapatannya sejak sore hingga menjelang dini hari.

Dalam kondisi yang demikian, pasangan keluarga itu nyaris tidak pernah beribadah ke rumah ibadahnya. Konon pula memberi sumbangan meski dalam bentuk apapun. Waktu STM (Serikat Tolong Manolong) di kampung kami mengadakan perayaan (?) natal, hanya keluarga ini yang tidak memberikan sumbangan sepeser pun. Kenapa tak pernah beribadah ke rrumah ibadahnya, sebab tiap hari mereka harus melakukan aktivitasnya supaya bisa makan anak beranak. Hari ini bekerja untuk makan hari ini. Kalau hari ini tidak bekerja tentu tidak akan bisa makan hari ini. Dan orang kampung kami tak ada yang menyebut keleuarga ini sebagai orang baik.

“Roama pangalaho ni. Marminggu pe ndang hea. So hea muse manumbang manang aha pe na masa di hutanta on”, kata orang-orang kampung saya.

Dari kedua ilustrasi itulah memang, akhirnya saya menyimpulkan bahwa saya menjadi tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang buruk. Ada perampok, penipu, korup tapi rajin membantu orang lain dikatakan baik. Ada orang yang setia pada pekerjaannya tapi hidup ngos-ngosan Senin – Kemis, disebut buruk. Ke rumah ibadahnya pun paling-paling waktu anaknya tardidi atau pada saat natal.

Lantas, Hulman Sitorus dan JR Saragih itu pemimpin. Keduanya disebut pemimpin karena keduanya sekarang menjadi kepala daerah. Hulman Walikota Pamatangsiantar dan JR Bupati Simalungun. Keduanya, menjadi pemimpin setelah dipilih rakyat secara langsung dalam suatu pemilukada. Menurut orang-orang di kampung saya, memilih pemimpin secara langsung adalah suatu sistem yang sangat demokratis. Di zaman orde baru, memilih pemimpin secara langsung hanya ada dalam mimpi. Jadi kita harus tidur dulu baru bisa mendapatkan pemimpin yang dipilih secara langsung. Kalau tak tidur, bagaimana bisa mimpi.

Sepanjang yang saya cermati, karena Hulman dan JR dipilih rakyat secara langsung tadilah maka keduanya (menjadi) tidak ada yang baik. Bagaimana keduanya bisa baik, sebab rakyat yang memilihnya juga tidak baik. Dalam pikiran saya, dari rakyat yang tidak baik mana mungkin lahir pemimpin yang baik. Biji yang baik pasti tidak akan mendatangkan buah yang baik. Pasti itu. Tak perlu dipikirkan.

Dulu, sudah lama sekali, ketika manusia belum mengenal pemilu mereka memilih pemimpinnya sering sekali dilakukan dengan cara kekerasan bahkan pertumpahan darah. Bunuh membunuh. Siapa yang paling kuat, dialah yang menjadi pemimpin. Sering sekali pula, rejim yang berkuasa ditumbangkan dengan cara kekerasan pula, meski pun ketika berkuasa dia akan dilengserkan dengan cara yang sama. Menyusul peradaban manusia yang semakin maju, para pemikir besar politik pun mencari upaya agar memilih pemimpin jauh dari kekarasan. Sistem memilih pemimpin yang dipikirkan para pemikir besar politik itulah sekarang yang kita kenal dengan nama pemilu sebagai bagian dari demokrasi.

Tapi saya pikir, demokrasi yang kita terapkan dan maknai sekarang ini, sebenarnya belum masanya untuk kita terapkan. Demokrasi yang sesungguhnya tidak laku pada masyarakat marjinal seperti kondisi yang ada pada masyarakat kita sekarang pada umumnya. Artinya, demokrasi tidak laku pada orang-orang miskin dan bodoh. Hak demokrasi yang dimilikinya, sudah barang tentu akan dijadikan sebagai suatu barang dagangan. Hak demokrasi yang dimiliki orang per orang, diperjualbelikan dengan angka-angka teretentu.

Kita, sebenarnya harus jujur dan terbuka pada diri sendiri. Semua kita tahu bahkan mengalami. Dalam setiap pemilu apakah itu pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilukada bahkan pada pemilihan kepala desa apalagi, selalu kita manfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya material. Kita tidak pernah memikirkan apa dan bagaimana seorang calon pemimpin yang akan kita pilih. Tapi sesungguhnya, kita justru berpikir apa yang kita bisa dapatkan dari seorang yang akan kita pilih. Kita dapatkan saat itu juga. Tidak besok apalagi lusa. Makanya, ada istilah yang populer :”Cair do ?”

Di Siantar misalnya. Waktu pemilukada lalu ada dua orang yang saya pikir sangat pantas dan layak untuk dipilih menjadi pemimpin. Saya mau menyebut kedua nama itu : Mahrum Sipayung atau Herowin Sinaga. Alasan saya jelas. Yang pasti kedua nama itu merupakan sosok yang sudah sarat pengalaman di bidang pemerintahan dan segala macam. Tapi, orang Siantar lebih memilih Hulman yang memberikan voucher atau janji voucher. Peduli apa pada sosok yang dinilai wajar dan pantas kalau tokh tidak memberikan apa pun pada pemilukada ?

Fakta inilah yang saya sebutkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita sekarang sebenarnya sudah dalam kondisi sakit yang kronis. Ibaratnya sudah merupakan kanker yang menggurita di sekujur tubuh. Tak seorang pun lagi dokter yang bisa menyembuhkannya. Sudah layak untuk alfatiha.

Dari situasi yang seperti itulah akhirnya muncul pemimpin, yang lucu dan anehnya diharapkan oleh rakyat pula agar memimpin dengan baik dan benar. Manalah logis itu. Saya pun, kalau kelak menjadi Walikota Pamatangsianatar atau Bupati Simalungun tapi harus membayar suara, manalah mungkin saya akan menjadi pemimpin yang baik. Wajar dan pantas sajalah kalau saya tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat yang saya pimpin. Saya tentu, akan memikirkan kepentingan saya terlebih dahulu. Sementara, kepentingan saya sendiri pun tidak memiliki batas dan ukuran. Dan, seperti yang Anda tahu – Pembaca – manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya selama dia tidak membuat ukuran dan batas yang jelas.

Okelah. Sebenarnya saya tidak suka berandai-andai apalagi marangan-angan. Nanti bisa mirip seperti angan-angan ni parcendol. Namun, sekarang apalagi karena di luar hujan deras mengguyur, saya akan beranda-andai saja.

Andainya saya Walikota Pamatangsianatar atau Bupati Simalungun, tahun pertama saya akan menyelesaikan segala hutang piutang terhadap, para TS saya ketika proses pemilukada. Tahun kedua, selain sisa-sisa penyelesaian hutang-piutang, saya pun akan netralisir segala sesuatu untuk pemantapan upada saya di tahun berikutnya. Konsolidasi, istilah kerennya. Tahun ketiga dan keempat, saya baru berupaya mengembalikan uang yang sudah saya keluarkan sebelumnya. Artinya hanya dua tahun dan berapalah itu. Sementara, pada tahun kelima saya sudah harus mengupayakan (lagi) jembatan untuk bisa menduduki jabatan pada periode kedua.

Lantas, kapan saya peduli dan memikirkan rakyat ? Manalah saya sempat, dan saya akan yakinkan diri saya bahwa saya tak peduli pada rakyat. Saya harus mantapkan tekad, tak urusan saya dengan rakyat. Saya hanya akan mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan diri saya sendiri.

Upaya yang saya lakukan dalam rangka itu semua adalah antara lain dengan meminta semua SKPD agar menyetor sekian persen dari belanja tidak langsung unit kerjanya masing-masing ke nomor rekening saya. Selanjutnya, saya akan rajin mengganti-ganti PNS yang menduduki jabatan struktural sehingga mereka umumnya tetap jantungan dan wanti-wanti terhadap saya. Apakah akibat saya suka mengganti-ganti staf saya mereka akan tidak nyaman untuk bekerja, bukan urusan saya. Apakah karena hobby saya yang aneh itu kreasi dan inovasi staf saya akan jatuh dan lebay, juga bukan urusan saya.

Anda pun – Pembaca – harus bisa maklum. Kalau untuk menjadi Walikota Pamatangsiantar atau Bupati Simalungun saya sudah keluarkan uang sebesar Rp 60 miliar, berapa miliar tiap tahun selama lima tahun saya harus kembalikan uang saya itu ? Rp 12 miliarkan ? Lalu kalau dalam satu tahun saya harus kembalikan uang saya Rp 12 miliar, artinya kan saya harus dapatkan tiap bulan Rp 1 miliar ? Kalau tiap bulan saya harus kembalikan Rp 1 miliar, berapa rupiah pula saya harus mendapatkan uang tiap hari ? Wah, kalau sudah begini, Andalah – Pembaca – yang menghitungnya. Dulu waktu SD, saya tidak pernah belajar matematika. Waktu itu belum ada pelajaran matematika. Yang ada waktu itu, di kampung saya ada sepupu saya yang mate matungkap.

Makanyalah, memang, menjawab kawan saya peserta diskusi kemarin saya katakan dengan cepat tanpa pikir panjang, tak ada di antara JR dan Hulman yang baik. Penyebabnya jelas, rakyat pemilihnya pun tidak baik. Sementara dari rakyat yang tidak baik tak mungkin lahir pemimpin yang baik. Saya pun kalau menjadi Bupati Simalungun atau Walikota Pamatangsianatar, tidak akan bisa menjadi baik. Kecuali memang, kalau rakyat memilih saya tapi tidak harus saya bayar. Itu pun, masih tetap barangkali juga. Barangkali saya bisa menjadi baik.
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
____________________________________________________________________________________

Senin, 30 Mei 2011

Tender Jabatan di Pemko Pematangsiantar

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Ada berita menarik di surat kabar Metro Siantar hari ini. Seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Pemko Pematangsiantar, PS, meminta sejumlah uang kepada seorang PNS lainnya, VS. Uang itu, kata PS akan digunakan sebagai biaya mengurus VS untuk menduduki jabatan Eselon II di lingkungan Pemko Pematangsiantar. Dan VS pun memberikannya meski tidak sesuai dengan nominal yang diminta PS. Sisanya kata VS, akan diberikan setelah kelak dia dilantik.

Tunggu punya tunggu, sampai hari ini VS tak pernah dilantik menjadi pejabat Eselon II. Akibatnya memang, gampang ditebak. VS meminta PS agar mengembalikan uangnya. Tapi PS menjawab enteng, dia tidak pernah menerima sejumlah uang dari VS. Artinya, PS tidak mengakui bahwa dia pernah menerima sejumlah uang dari VS.

Lantas seorang yang mengaku Siantar Man yang sekarang bermukim di Jakarta, DR Capt Anton Sihombing memberi komentar. Dia bilang, Kepala Daerah di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun diharapkan tidak menempatkan seorang pejabat karena uang. Penempatan pejabat menurut Anton, harus sesuai dengan latar belakang, kemampuan, profesionalisme manajemen bawahan, dan mampu menjalankan visi dan misi bupati atau walikota.

Masih menurut Anton, dengan penempatan pejabat yang sesuai dengan latar belakang ilmu dan pengalamannya, niscaya jalannya program pembangunan akan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kepala daerah. Jika sebaliknya, kata dia, maka program pembangunan akan berjalan di tempat dan kurang bermanfaat kepada masyarakat.

Anton masih meneruskan, pimpinan daerah diharapkan tidak memilih bawahannya sebagai pejabat SKPD oleh karena uang. Tapi sesuai dengan kemampuannya dan profesionalismenya. “Saya saangat kecewa dengan adanya informasi terseebut. Kalau benar, sudah sangat keterlaluan. Saya malu mendengarnya, apalagi yang meminta uang adalah oejabat Eselon II. Hal ini jelas akan mengacaukan visi dan misi pimpinan daerah, katanya lagi.

Kemudian, Janter Sirait yang anggota DPRD Sumatera Utara pun ikut nimbrung. Dia juga katanya mendengar informasi bahwa ada seorang yang dekat dengan pimpinan daerah yang meminta uang kepada calon pejabat yang menginginkan jabatan di Pemko Pematangsiantar. Dia sangat menyayangkan kalau masih ada kewajiban dari seorang calon pejabat untuk memeberikan sejumlah uang untuk mendapatkan jabatan. Kalau demikian adanya, maka akan memepengaruhi pelayanan kepada masyarakat.

“Jika seorang pejabat ditempatkan karena kedekatan atau uang dan bukan profesionalisme, akan memperngaruhi kinerjanya. Setidaknya akan berupaya mengembalikan uangnya setelah duduk”, kata Janter.

Normal, Wajar dan Pantas

Dalam pandangan saya sebagai wartawan, sesungguhnya peristiwa itu bukanlah suatu berita. Setidaknya bukan berita yang menarik. Sama halnya nilai berita itu kalau anjing menggigit orang. Tapi kalau peristiwanya adalah anjing milik Hulman Sitorus yang sekarang Walikota Pamatangsianatar menggigit Marulitua Hutapea yang sekarang Ketua DPRD Kota Pamatangsiantar, barulah saya anggap berita yang menarik dan unik. Artinya, menurut saya, kalau ada PNS yang didudukkan menjadi pejabat tapi tidak dengan memberikan uang, barulah berita.

Masalahnya, sejak beberapa tahun terakhir sudah tidak menjadi rahasia lagi setiap PNS yang menduduki jabatan harus dengan memberikan sejumlah uang. Jabatan itu sekarang ini, memang merupakan barang dagangan. Jadi ada jual beli. Transaksi, kata orang-orang pintar. Persis seperti di Onan Porsea sana, ada yang menjual karenanya ada yang membeli. Ada yang membeli karena ada yang menjual. Untuk menjadi kepala sekolah saja seorang guru harus membayar. Atau, masih adakah yang Anda tahu sekarang ini – Pembaca – seorang PNS bisa menduduki jabatan kalau tidak karena membayar ? Inilah alasan saya mengapa saya menyebut bahwa berita itu sesungguhnya bukanlah berita yang menarik.

Pendapat seorang Siantar Man yang bernama DR Capt Anton Sihombing tadi pun, saya pikir bukanlah pendapat yang populer. Barangkali Anton memang tidak memahami apa yang terjadi sekarang ini di pemerintahan. Dan karena itu, dia berpendapat seperti itu. Saya bisa pahami pendapat Anton itu sebab agaknya memang dia awam dalam soal yang seperti ini. Jadi tak apalah. Saya bisa pahami.

Tapi pendapat Janter Sirait, saya tidak bisa pahami kenapa dia bilang begitu. Soalnya, Janter itu kan sekarang anggota DPRD Sumatera Utara. Sebelumnya malah, dia dua periode menjadi anggota DPRD Simalungun. Saya kenal bahkan kenal sekali dengan Janter. Dia itu merupakan salah seorang politisi kawakan, cerdas dan pintar. Dia punya pengalaman yang sarat soal pemerintahan, dan dia juga paham sekali apa dan bagaimana negeri ini sekarang. Jadi menurut saya, tak pantas Janter berpendapat seperti yang sudah dikatakannya di atas. Pendapat Janter itu tak bisa saya pahami.

Menurut saya, setiap kepala daerah wajar, pantas dan normal bila menjual jabatan atau kedudukan yang ada di lingkungan pemerintahannya. Itu disebabkan, sesungguhnya tidak ada seorang pun di republik ini yang bisa menjadi kepala daerah jika tidak membeli kedudukannya sebagai kepala daerah tadi . Lantas ketika untuk menjadi kepala daerah dia harus membeli, apakah tidak normal, wajar dan pantas jika setelah menjadi kepala daerah dia pun menjual jabatan yang ada di lingkungannya ?

Dengan sistem pemilihan kepala daerah yang kita anut sekarang sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, jual beli jabatan itu menjadi trend yang populer dilakukan orang. Hal ini disebabkan tidak seorang pun yang bisa menjadi kepala daearah jika tidak dengan cara membeli. Seorang ketua partai saja yang berambisi agar diajukan partainya untuk menjadi bakal calon kepala daerah, harus membayar partainya yang bersangkutan. Konon pula kalau bukan anggota partai politik tertentu. Rakyat kita saja pun, sungguh, mana ada yang mau memilih seseorang calon kepala daerah kalau tidak dibayar oleh seseorang calon. Artinya, dalam pemilukada saja sudah terjadi jual beli suara. Pemilih suara menjual suaranya, dan calon kepala daerah membeli suara pemilih..

Dalam situasi yang demikianlah akhirnya saya menilai, sesungguhnya begitu pemilukada usai justru hubungan yang dipilih dengan yang memilih sudah selesai. Artinya, setiap kepala daerah sudah tidak punya hubungan lagi dengan rakyat yang dipimpinnya. Dia boleh melakukan apa saja sekehendak hatinya, meski pun harus menyakiti rakyat atau siapa saja. Makanya, jual beli jabatan pun menjadi pantas, normal dan wajar meski pun sesungguhnya termasuk suatu perbuatan illegal.

Negara Hukum

Jual beli jabatan, sebenarnya merupakan sesuatu yang illegal meski pun saya katakan tadi wajar, pantas dan normal. Kenapa saya sebut illegal, sebab tidak sesuai dengan aturan. Padahal, setiap kepala daerah harus taat dan patut pada aturan yang berlaku, senang atau tidak senang, suka atau tidak suka.

Dalam mengangkat PNS untuk menduduki jabatan, saya pikir tak perlu dikatakan harus beginilah, begitulah. Semua sudah ada aturannya, dan untuk itulah kepala daerah harus mematuhi dan mentaatinya. Saya, sungguh tidak punya pengalaman dalam pemerintahan apalagi saya juga tidak memiliki latar belakang ilmu pemerintahan seperti Bupati Simalungun JR Saragih. Dengan dasar itulah sesungguhnya saya mau katakan, untuk mengangkat PNS agar menduduki jabatan idealnya kepala daerah menggunakan aturan yang ada.

Aturannya, jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural. Saya tidak tahu apakah sampai sekarang peraturan pemerintah tadi masih tetap diberlakukan atau tidak. Apalagi, zaman sekarang ini segala macam peraturan pemerintah gampang sekali untuk dirubah. Sekarang begini bulan depan sudah begitu.

Bukan untuk menggurui, saya ingin paparkan bahwa ada enam kriteria persyaratan bagi seseorang untuk diangkat dalam jabatan struktural. Masing-masing adalah, berstatus Pegawai Negeri Sipil, serendah-rendahnya menduduki peringkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan, memiliki kualitas dan tingkat pendidikan yang ditentukan, semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir, memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan, dan sehat jasmani dan rohani.

Saya pikir, itulah landasan yang harus digunakan oleh seorang Kepala Daerah dalam mengangkat PNS dalam jabatan struktural, meski pun tentu, masih ada lagi landasan-landasan lain yang bersifat teknis. Semuanya ada aturannya dan dalam semua aturan yang ada itu tak satu pun yang mencantumkan harus dibeli atau membayar atau menggunakan ayau memakai uang.

Masalahnya sekarang, seperti judul berita Metro Siantar “Jabatan Jangan Ditenderkan”, saya pikir sekarang ini sesungguhnya memang tidak bisa dihindarkan (lagi) Kita tidak bisa mengelak dari realitas yang terjadi. Dan karena itu, setiap PNS yang ingin mendapatkan jabatan saya pikir silahkan membelinya. Lantas kalau setelah menduduki jabatannya dia pun berupaya mengembalilkan uangnya, saya pikir itu pun sesuatu yang normal, wajar dan pantas pula.

Lha, kalau begitu bagaimana ? Bah, bagaimana rupanya ? Urusan apa rupanya kalau begini begitu dan segala macam kalau sudah duduk pada suatu jabatan ?

Makanyalah, saya pikir. Ke depan kita tak perlu harus dibayar jika memilih seseorang untuk menjadi kepala daerah. Karena suara kita tidak harus dibeli maka pembeli pun tidak akan pernah ada. Dan ketika pembeli suara tidak ada, saya pikir jual beli jabatan pun tidak akan terjadi lagi.

Amboi, tapi saya harus jujur juga. Dalam masyarakat marjinal seperti kondisi kita secara umum sekarang ini, manalah ada demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi masyarakat marjinal adalah demokrasi jual beli. Apalah yang mau kita katakan ya ?
_____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993 Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
______________________________________________________________________--

Minggu, 29 Mei 2011

Upaya Pembusukan Nama Baik JR Saragih Bupati Simalungun (Studi Kasus Surat Kabar SIANTAR 24 JAM)

Oleh : Ramlo R Hutabarat


Hati saya terenyuh dan nelangsa saat membaca sebuah judul berita di halaman pertama Surat Kabar Siantar 24 JAM, Jumat 27 Mei lalu. Disana ditulis :”Lahan Tapian Dolok Dikosongkan Warga Penggarap Kelimpungan” dengan sub judul : “Tanaman Dibabat Habis” Seketika saya memejamkan mata, dan pikiran saya menerawang pada sekira 200 hektar tanaman singkong masyarakat disana. Dikosongkan dan dibabat habis, dua kata yang amat memilukan hati dan perasaan saya. Saya terlalu romantis, dan saya pun menangis. Padahal saya laki-laki, sementara kata almarhum Bapak saya laki-laki tidak boleh menangis.

Saya tidak membaca isi berita itu lagi, sebab saya rasanya tidak mampu untuk membacanya. Yang datang ke pikiran saya, di Purbasari Kecamatan Tapiandolog ada 200 hektar tanah yang dikuasai Pemkab Simalungun. Tanah itu berasal dari bekas HGU perusahaan perkebunan asing (Good Year) yang sudah habis masa berlakunya. Oleh Pemkab Simalungun yang waktu itu dipimpin John Hugo Silalahi, 2004, tanah itu pun dimohonkan untuk dilepas dan diperuntukkan bagi Kawasan Industri Simalungun dan perluasan kota Purbasari sebagai Ibukota Kecamatan Tapiandolog.

Peruntukan tadi pun dibuatkan Perda (Peraturan Daerah)-nya sekaligus, tentu ,master plannya. Semuanya, mulai dari pembebasan tanah hingga pembuatan Perda lengkap dengan master plannya, menelan biaya Rp 4, 7 miliar. Sumber dananya, jelas ABPD Simalungun. Artinya, waktu itu anak negeri Simalungun sudah berkorban untuk mendapatkan tanah yang 200 hektar itu. Meski pun, sampai berakhirnya masa jabatan Hugo sebagai Bupati Simalungun, tanah itu tidak pernah dimanfaatkan sesuai dengan Perda yang sudah diterbitkan. Saya tidak tahu persis, apakah kesalahan namanya kalau Perda tidak dilaksanakan. Yang saya tahu, tanah yang dikuasai Pemkab Simalungun di Tapiandolog itu tidak manfaatkan sesuai Perda.

Di masa pemerintahan Zulkarnaen Damanik, Pemkab Simalungun mengambil kebijakan yang menurut saya cukup bijaksana. Karena tokh Pemkab Simalungun tidak atau belum memanfaatkannya, maka pengelolaannya diserahkan kepada satu kelompok masyarakat. Saya tidak tahu persis apakah kelompok masyarakat itu berbentuk yayasan atau segala macam. Yang pasti, kelompok itu mengusahakan tanaman singkong dan atau jagung disana sekira 125 hektar. Sisanya sekira 75 hektar, diusahakan oleh orang per orang warga sekitar. Kalau ada semacam permainan politik disana, bagi saya tak penting sekali. Yang penting menurut saya, 200 hektar tanah itu sudah dimanfaatkan anak negeri. Dan anak negeri bisa menambah pendapatan mereka dari mengusahakan tanah itu dengan menanaminya singkong dan atau jagung,

Saya ingin katakan, kebijakan Zul ini di mata saya cukup bijaksana. Tanah itu tokh masih tetap saja kosong melompong tak membawa hasil apa-apa. Maka ketika ada orang per orang atau kelompok yang berniat mengelolanya, well come saja. Dari pada menjadi lahan tidur, lebih baik tumagon. Dan setahu saya, sejak diizinkan Zul orang per orang dan atau kelompok masyarakat mengelolanya, sudah beberapa kali mereka melakukan panen. Saya tak tahu sudah berapa puluh miliar rupiah uang yang dihasilkan anak negeri dari peengelolaan lahan tadi. Sebagai perbandingan, kalau 1 hektar jagung hasilnya 6 ton dikali Rp 2500 per kilogram sama dengan Rp 15 juta. Lantas Rp 15 juta dikali 200 saya pun sudah sulit menghitungnya.

Di masa JR Saragih menjadi penguasa di Kabupaten Simalungun, lain pula kebijakannya. Lewat suratnya pada Desember 2010 dan Januari 2011, Bupati Simalungun meminta para pengelola lahan itu untuk mengosongkannya. Alasannya, Nopember mendatang lahan itu akan dikelola oleh investor yang tidak disebutkan JR Saragih siapa dan untuk apa. Tapi karena sekarang di atas lahan itu tengah ditanami singkong, orang per orang penggarapnya serta kelompok masyarakat tadi meminta agar pengsongoan ditunda sampai tiba masa panen 3 atau 4 bulan ke depan.

Sadis Tak Manusiawi

Ketika saya membaca judul dan sub judul berita surat kabar SIANTAR 24 JAM pada halaman pertama itu, seperti yang sudah saya katakan tadi hati saya pilu bagai disayat-sayat sembilu. Saya tahu persis kondisi tanaman singkong anak negeri yang sekarang masih remaja disana. Juga, saya tahu persis apa dan bagaimana mengelola atau mengusahakan tanaman singkong. Karenanya, hati saya miris bagai teriris. Bahkan pun, air maya saya menitis. Memangis.

Setahu saya dan sesuai dengan yang saya pahami, pemerintah itu wajib dan harus melindungi rakyatnya. Kalau Pemkab Simalungun yang sekarang dipimpin JR Saragih tega membabat habis tanaman singkong anak negeri itu seperti judul berita surat kabar SIANTAR 24 JAM itu, dengan terus terang dan garang saya akan mengatakan betapa sadis seorang JR Saragih. JR Saragih menurut saya sadis karena telah membabat habais tanaman singkong anak negeri. Bahkan, saya pun menilai dia sebagai seorang yang tidak berperikemanusiaan.. Mentang-mentang berkuasa.

Maka ketika Sabtu 28 Mei kemarin saya bertemu dengan Bernand Damanik anggota DPRD Simalungun, wajar dan pantas jika saya marah besar kepadanya. Saya katakan pada Bernand dengan suara keras, sebagai anggota DPRD mereka harus membela rakyat karena apa mereka ada. “Kalian anggota DPRD seharusnya memposisikan diri untuk membela kepentingan rakyat yang kalian wakili. Bukan malah memposisikan diri di pihak pemerintah yang berkuasa”, kata saya diluapi emosi tinggi. Dan saya pun semakin emosi ketika Bernand tetap berwajah tenang dan kalem seperti kebiasannya. Dia meneguk juss sirsak di depannya, dan saya pun juga meneguk minuman yang sama. Tapi di kerongkongan saya juss sirsak itu terasa kelat dan masam. Maklum saja, saya tengah marah.

Ketika tensi saya sudah menurun, Bernand yang politisi asal Partai PIB itu menjelaskan panjang lebar. Katanya, nyawanya pun dipertaruhkannya untuk membela kepentingan anak negeri yang mengusahakan lahan di Tapiandolog itu. Cerita Bernand, betul pada Kamis 26 Mei lalu Pemkab Simalungun berencana mengosongkan lahan tadi. Semua unsur pemerintah sudah ada di lokasi, lengkap dengan membawa buldozer untuk meratakan lahan dari tanaman singkong yang ada disana. Termasuk dari pihak DPRD Simalungun hadir disana Julius Silalahi, Mangapul Purba, dan beberapa orang lagi selain Bernand.

Dengan jelas dan tegas dikatakan Bernand Damanik, sebagai anggota DPRD dia tidak akan membiarkan tanaman singkong anak negeri itu dimusnahkan oleh siapa pun. Siapa pun, termasuk oleh Bupati Simalungun JR Saragih, katanya..” Kalau sempat dimusnahkan pada Kamis 26 Mei lalu, manalah bisa kita ketemu disini sekarang. Pasti saya sudah mati, sebab saya rela mati kalau tanaman singkong warga itu dimusnahkan sebelum dipanen”, kata Bernand masih saja tenang dan kalem.

Lho ? Saya bingung dan seperti linglung. Akhir cerita, dari Bernand saya mendapat tahu. Tanaman singkong di atas lahan 200 hektar yang dikuasai Pemkab Simalungun di Tapiandolog itu tidak pernah dibabat habis Pemkab Simalungun yang sekarang dipimpin JR Saragih. Tidak pernah, apalagi setelah saya crooschek ke beberapa teman saya termasuk Imran Nasution dari Batak Pos, Jansen Siahaan dari Eksposnews, dan beberapa kawan lainnya.

Artinya, berita surat kabar SIANTAR 24 JAM terbitan 27 Mei 2011 yang saya baca itu tidak benar. Tidak benar “Lahan Tapiandolog Dikosongkan Warga Kelimpungan Tanaman Dibabat Habis” Dengan begitu kesimpulan saya yang menyebut Bupati JR Simalungun sadis serta tak punya rasa perikemanusiaan juga menjadi tidak benar. Artinya lagi, karena saya mendapat informasi yang tidak benar, maka saya pun membuat kesimpulan yang tidak benar pula. Sungguh, saya tidak bermaksud membela diri. Sungguh, saya mohon maaf pada Bupati Simalungun JR Saragih yang sempat saya stempel sebagai seorang sadis dan tak memiliki rasa perikemanusiaan. Mohon maaf, Pak. Mohon maaf.

Lantas Bagaimana

Dalam pandangan saya, seperti surat kabar lainnya surat kabar SIANTAR 24 JAM merupakan sebuah perusahaan pers yang mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.. Sekaligus, surat kabar SIANTAR 24 JAM juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Dia berperan memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Azasi Manusia serta menghormati kebhinekaan.

Seperti perusahaan pers lainnya, idealnya menurut saya sesuai pula dengan yang diisyaratkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, surat kabar SIANTAR 24 JAM berperan untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Juga melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran-saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, juga memperjuanagkan keadilan dan kebenaran. Dan untuk itulah sebenarnya dibutuhkan profesionalisme jurnalistik setiap insan pers.

Saya sendiri sebenarnya, tidak ingin menggurui surat kabar SIANTAR 24 JAM apalagi saya saat ini tidak berposisi sebagai seorang guru. Cuma sekadar ingin mengingatkan, agaknya peluang yang diberikan pemerintah melalui Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, harus dijawab oleh perusahaan pers dengan cerdas, baik dan benar. Jadi jangan mentang-mentang semua orang bisa jadi wartawan dan semua orang pun bisa mendirikan perusahaan pers, lantas insan pers pun mengabaikan segala sesuatu yang sebenarnya mutlak dipahaminya. Kacau sekali memang kalau seseorang tidak memahami apa yang dikerjakannya serta tidak mengerjakan apa yang dipahaminya.

Dalam kasus pemberitaan surat kabar SIANTAR 24 JAM mengenai lahan Pemkab Simalungun di Tapiandolog itu, saya melihatnya sudah terjadi upaya pembusukan nama baik Bupati Simalungun JR Saragih. Meski pun menurut perasaan saya, sesungguhnya upaya pembusukan itu tidak dilakukan surat kabar SIANTAR 24 JAM dengan sengaja. Bukan mau membela kawan sesama pers, tapi saya yakin sekali tak ada maksud mereka (SIANTAR 24 JAM) Semua itu terjadi hanya karena kebodohan, ketololan, kegoblokan dan kedunguan oknum insan pers belaka. Makanya memang, wartawan dilarang bodoh, goblok, tolol dan dungu. Dan wartawan memang, dilarang berperasaan jago, tapi harus benar-benar jago. Kalau membaca saja enggan, jangan jadi wartawan. Pilih saja profesi lain. Tukang solder misalnya.

Di sisi lain pun saya kira, Pemkab Simalungun harus merasa ikut bertanggung jawab atas kelemahan pers di daerahnya ketika menjalankan fungsi dan perannya, Jadi tidak hanya sekadar mengucurkan sekian ratus juta uang dari APBD untuk pembinaan pers atau istilah lain. Meski pun saya pikir, soal pembinaan pers bukan urusan Pemkab Simalungun.

Supaya tidak terulang lagi serta demi dan atas nama pembinaan pers, Pemkab Simalungun harus menjawab dan menyikapi pemberitaan surat kabar SIANTAR 24 JAM itu dengan membawanya menjadi persoalan hukum. Apalagi menurut saya, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang KIP bisa dipakai untuk kasus ini. Ahai, sebenarnya saya akhirnya seperti bidan yang menyuruh orang beranak saja jadinya. Apalagi kalau sekiranya Kepala Bagian Hukum tak paham, kan ada Staf Khusus Bidang Hukum Bupati Simalungun yang kapabel dan punya kapasitas serta kapabilitas, Albert Pane, Binaris Situmorang dan Riduan Manik. Ketiganya mereka ini cukup saya kenal dengan baik bahkan kawan saya. Karena itu, saya tahu kemampuan mereka.

Setidaknya, supaya ada kerjaan. Dari pada hanya nama dan kedudukan ?
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993 Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
____________________________________________________________________.

Sabtu, 28 Mei 2011

Kontroversi Robohnya Dua Tower PLN di Langkat

Oleh : Ramlo R Hutabarat


GERPHAN (Gerakan Rakyat Peenyelamat Harta Negara) melalui Direkturnya Janto Dearmando awal pekan lalu merelis berita. Isinya tentang robohnya dua tower milik PLN (Perusahaan Listrik Negara) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Sekaligus, GERPHAN juga melaporkan kondisi itu kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan. Masalahnya, GERPHAN mensinyalir robohnya kedua tower tadi disebabkan oleh dugaan manipulasi kualitas dan kuantitas material besi yang digunakan.

Dalam relisnya, GERPHAN menyebut ada dua tower milik PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jaringan Sumatera I masing-masing Tower 8 rentangan 400 meter di Pasar 4 Tandem Hilir Binjai Utara dan Tower 50 di Desa Lama Kecamatan Wampu Gohor Lama. Kedua tower itu baru saja selesai dibangun dengan biaya Rp 18.019.693.000. Pelaksanaan pembangunannya dipercayakan kepada PT Maju Jaya Abadi Utama sebagai perusahaan penegakan tower, PT BBS sebagai perusahaan pembuatan pondasinya, dan PT Tehate sebagai perusahaan yang menyediakan pembesiannya. Jadi, ada tiga perusahaan yang melaksanakan pembangunan tower tadi secara utuh.

Namun ketika masa kontraknya sudah berakhir dan uangnya pun sudah dibayarkan oleh pihak PLN, kedua tower itu menurut GERPHAN roboh sekira Maret 2011 lalu. Peristiwa ini menurut mereka diduga terjadi karena penggunaan material besi yang bermutu rendah. Seyoginya besi yang digunakan merupakan produksi PT Krakatau Stell atau produksi PT Karunia Berkah Indonesia, tetapi menurut GERPHAN yang digunakan justru produksi Cina yang diragukan kualitasnya dan keabsahan sertifikat SNI (Standart Nasional Indonesia) –nya. Apalagi, masih menurut GERPHAN, harga besi produksi Cindi pasaran lebih murah antara 30 sampai 35 persen dibanding dengan besi produksi Indonesia..

Ketika relis GERPHAN tadi sudah dipublikasi beberapa surat kabar pada Rabu pekan lalu, General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jaringan Sumatera I Bintatar Hutabarat kontan membantahnya. Menurut Bintatar, robohnya kedua tower di Langkat itu murni disebabkan oleh bencana alam. Waktu itu terjadi angin puting beliung dan tower pun roboh diterjang, katanya. Pada kejadian itu ada juga empat ekor lembu milik warga disana yang mati diterjang angin, kata Bintatar lagi. Dan, musibah ini sudah disiarkan di media massa hingga tingkat nasional, masih kata Bintatar.

Sama halnya dengan Bintatar, Hadi Wirawan Muslim Direktur PT Maju Jaya Abadi Utama dan Ir Junjungan Pasaribu Direktur PT BSS segera pula membantah isi relis yang dibuat GERPHAN. Keduanya menyebut peristiwa robohnya kedua tower itu murni akibat bencana alam, yakni angin putting beliung. “Sebagai sebuah fakta, saya tidak bisa membantahnya. Memang tower itu roboh karena bencana alam. Namun kalau kemudian GERPHAN menuding robohnya tower itu karena pelaksanaan proyek yang buruk, no way, saya menolak dan membantah dengan keras tudingan tersebut”, kata Junjungan Pasaribu (Medan Bisnis, Kamis 26 Mei 2011)

Lantas Junjungan pun mengancam GERPHAN. Lembaga Swadaya Masyarakat yang berkantor pusat di Jakarta ini disebutnya telah melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), khususnya pada Pasal 55. Menurut Junjungan, GERPHAN telah menyampaikan sebuah informasi yang jauh dari fakta. Masih menurut Junjungan, karena GERPHAN telah memberikan informasi yang sesat, dia sedang mempertimbangkan opsi berupa langkah hukum.

Junjungan pun berharap, ke depan semua elemen menghormati Undang-undang KIP dengan tidak melakukan penyebaran informasi publik yang menyesatkan. “Kami benar-benar akan mempertimbangkan opsi hukum ini karena GERPHAN telah memberikan informasi yang jauh dari fakta”, katanya lagi.

Analisa

Kontroversi soal robohnya dua tower milik PLN di Kabupaten Langkat ini, sebenarnya saya lihat sebagai sesuatu yang wajar dan pantas saja. Untuk memenuhi tugas dan fungsinya sebagai sebuah LSM yang namanya saja penyelamat harta negara, GERPHAN sudah melakukan sesuatu yang sesuai dengan perannya. Jelas dan pasti, niat GERPHAN merelis berita tadi sekaligus melaporkannya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara merupakan sesuatu yang pantas untuk diacungi jempol. Yang mereka lakukan dalam hal ini adalah upaya untuk menyelamatkan harta negara.

Tanggapan dan reaksi Ir Bintatar Hutabarat pun sebagai General Maneger PT PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jaringan Sumatera I (dulu namanya PT Pikitring Suar), saya melihatnya sebagai sesuatu yang wajar dan pantas pula. Harap dicatat, GERPHAN menduga robohnya kedua tower itu akibat material besi yang digunakan tidak bermutu bagus, tapi Bintatar mengatakan robohnya kedua tower itu akibat bencana alam (diterjang) putting beliung. Sampai disini masih sangat wajar dan pantas. M Nazaruddin saja mantan Bendahara Umum DPP Partai Demokrat mengaku tidak mengenal Mindo Rosa Manullang meski pun ada data otentik bahwa mereka berdua duduk dalam satu perusahaan yang sama. Apalagi, Daniel Sinambela saja mengungkap bahwa Nazar dan Rosa kerap datang bersama dalam beberapa kali pertemuan atau rapat.

Yang tidak wajar saya cermati adalah penjelasan Bintatar yang menyebut bahwa pada peristiwa itu ada empat ekor lembu penduduk disana yang mati diterjang angin. Termasuk penjelasan Bintatar yang menyebut peristiwa itu sudah disiarkan media massa hingga tingkat nasional. Kenapa saya katakan tidak wajar, sebab lembu-lembu tadi bukan mati diterjang angin tapi mati setelah tertimpa tower yang roboh. Karena itulah mengapa pihak PLN memberikan ganti rugi kepada warga pemilik lembu tadi. Kalau benar lembu tadi mati akibat diterjang angin seperti yang dikatakan Bintatar, apa hubungannya maka pihak PLN memberikan ganti rugi kepada pemilik lembu. Bukankah yang wajar dan pantas memberikan ganti rugi kepada pemilik lembu tadi adalah justru angin putting beliung ?

Untuk soal sudah diberitakan media massa sampai ke tingkat nasional, bukan berarti sama dengan tower itu roboh pasti karena bencana alam. Saya mau berikan ilustrasi begini. Semua media massa nasional sudah memeberitakan dugaan keterlibatan Muhammad Nazaruddin pada kasus penyuapan Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga. Lantas dengan fakta itu apakah sekarang kita boleh menyimpulkan bahwa Nazaruddin memang terlibat ? Sekali lagi, kalau ada media massa nasional menyiarkan bahwa putusnya jembatan di sebuah kampung akibat banjir, apakah hal itu bisa dijadikan sebagai suatu kesimpulan ?

Ketika Junjungan Pasaribu dan Hadi Wirawan Muslim menyampaikan bantahan sekaligus ancaman terhadap GERPHAN, saya melihatnya justru sangat-sangat tidak wajar dan tidak pantas. Saya menyebutnya dengan kata sangat-sangat (sampai dua kali sangatnya) karena memang bantahan serta ancaman tadi tidak wajar dan juga tidak pantas dilakukan keduanya. Kenapa ?

Pembangunan kedua tower itu dilakukan secara bersama-sama oleh tiga perusahaan. Masing-masing perusahaan memiliki bidang pekerjaan masing-masing yang semuanya diatur dalam kontraknya. Artinya, PT Maju Abadi Jaya Utama bertanggung jawab soal penegakan tower, PT BSS bertanggung jawab soal pembangunan pondasi tower, sementara PT Tehate bertanggung jawab soal material besi yang digunakan.

Sekadar mengingatkan, robohnya kedua tower itu diduga GERPHAN akibat material besinya yang bermutu rendah. Ini harus diingat dan sekaligus dipahami. Jadi bukan karena salah pasang (salah tegak) oleh PT Maju Abadi Jaya Utama dan juga bukan salah pembangunan pondasinya yang dilakukan oleh PT BSS. Supaya jelas sekali : GERPHAN menduga robohnya kedua tower itu karena material besinya yang tidak berkualitas. Lantas mengapa pula Junjungan Pasaribu dan Hadi Wirawan Muslim yang membantah sekaligus mengancam GERPHAN ? Bukankah yang wajar
dan pantas untuk melakukan itu adalah Heru Juwono yang menjadi Direktur PT Tehate ?

Lantas Bagaimana

Informasi itu penting. Dan, informasi juga mahal. Karena informasi yang keliru bisa melahirkan kekacauan bahkan khaos. Juga sebaliknya, karena informasi yang benar bisa menciptakan kesejukan dan suasana kondusif. Bayangkan, waktu 1987 dulu terjadi gempa di Tarutung, beredar informasi yang menyebut kota Tarutung akan ambruk 40 kilometer ke bawah laut. Kontan anak negeri Tarutung hengkang berhamburan dari kota itu menuju daerah yang dianggap aman pada saat yang bersamaa. Begitu juga ketika tiba-tiba beredar informasi di Porsea beberapa tahun lalu yang menyebut tabung cholorine milik PT Inti Indo Rayon meledak dan bisa mematikan, banyak warga setempat yang mengungsi dalam waktu bersamaan menjauh dari Kecamatan Porsea. Sekarang saya membayangkan kedua peristiwa itu bagaikan “pralaya” yang terjadi menyusul tewasnya Raja Dharmawangsa.

Saya pikir, untuk mencegah hal-hal yang seperti diataslah antara lain mengapa diterbitkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Khususnya dalam Pasal 55 disebutkan :”Setiap orang yang dengan sengaja membuat Informasi Publik yang tidak benar atau menyesatkan dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dipidana dengan penjara paling lama satu (1) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 5.000.000.00 (Li,a juta rupiah)

Maka dalam soal kontraversi robohnya tower PT PLN di Kabupaten Langkat ini, saya pikir masalahnya dihadapi saja dengan wajar dan pantas. Tidak malah saling bantah membantah yang akhirnya menjadi polemik berkepanjangan tak ada ujung-ujungnya. Di negeri kita ini memang, banyak persoalan yang jelas awalnya tapi ujung-ujungnya justru STJ (sangat tidak jelas) Contohnya, kasus Bank Sianturi (maaf, Bank Century)

Usul saya, Junjungan Pasaribu dan Hadi Wirawan Muslim jangan cuma mengancam GERPHAN yang sesungguhnya saya nilai hanya gertak sambal belaka. Relis GERPHAN sebaiknya dibawa saja dan dijadikan masalah hukum terutama dengan menggunakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008. Sehingga di pengadilan kelak akan terungkap kondisi yang sebenarnya. Dan, tentunya tangan mencincang bahu memikul sementara jangan pula bisa menjadi bagai menepuk air di dulang atau meludah ke langit.

Lebih dari itu saya rasa, Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara pun seyogianya melakukan proses hukum atas Laporan GERPHAN. Tentu saja saya tidak akan mengajari ayam bertelur karena itu merupakan pekerjaan yang sia-sia. Sebagai jaksa, mereka tahu sekali apa yang harus mereka lakukan sesuai dengan fungsi, tugas dan kewajibannya. Saya hanya ingat apa yang dikatakan para pendekar hukum, biar langit runtuh hukum harus ditegakkan. Dan, lebih baik melepaskan seribu orang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak bersalah.

Tower di Langkat. Oalah. Tumbang karena besinya bermutu rendah atau karena bencana alam diterjang angin putting beliung ?
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993 Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
________________________________________________________________________

Jumat, 27 Mei 2011

Ruhut Sitompul, Aku dan Kita

Ramlo R Hutabarat


Sabang – Marauke. Siapa lagi sih yang tidak mengenal Ruhut Sitompul. Sosok laki-laki kelahiran Medan 24 Maret 1954 ini kerap muncul di layar kaca dengan segala macam tingkah dan polah. Sudah lama memang. Baik sebagai bintang sinetron, advokat/ pengacara atau sebagai politisi. Ada cirinya yang khas dan unik bila muncul di televisi. Kincir di rambutnya dan kepongahannya. Nama seorang Ruhut Sutompul melejit berkat perannya sebagai tokoh pongah Poltak yang mengaku Raja Minyak dari Tarutung.

Ruhut orang Batak. Bapaknya Humala Sitompul, dan Mamaknya Surtani Panggabean. Dia anak kedua dari empat bersaudara. Dan sebagai kebanyakan orang Batak, Ruhut tergolong pintar dan cerdas. Fakultas Hukum di Universitas Padjadjaran Bandung saja dijalaninya hanya 4 tahun. Pada zamannya, 1979, jarang sekali orang bisa menyelesaikan pendidikan di FH selama 4 tahun. Waktu itu hanya dua orang yang mampu menyelesaikan pendidikan di FH selama 4 tahun. Salah seorangnyalah Ruhut.

Karirnya sebagai pengacara pun melejit cepat bagai mateor. Ini disebabkan karena dia umumnya menangani perkara-perkara yang kontroversial. Dia pernah menjadi pengacara Akbar Tanjung mantan Ketua Umum DPP Partai Golkar dan pengacara sejumlah yayasan milik mantan Presiden RI Soeharto di saat semua orang menghujat dan benci pada Orde Baru.

Tapi sebenarnya, nama Ruhut populer sejak dia membintangi sinetron Gerhana produksi Starvision dimana dia menjadi kuasa hukum perusahaan pembuatan sinetron itu. Dalam sinetron ini dia berperan sebagai si Poltak Raja Minyak dari Tarutung yang pongah dan sombong. Kemudian dia ikut membintangi sinetron Anak Ibuku, Taman Mertua Indah dan James Bono. Di beberapa program hiburan televisi yang bersifat humor, Ruhut juga sering muncul.

Awal 2008, Ruhut pernah dilanda issu selingkuh. Beberapa surat kabar memberitakan dia hidup serumah di sebuah apartemen di kawasan Mega Kuningan bersama Diana Lupita alias Diana Leovita. Perempuan ini disebut-sebut sudah punya anak bahkan istri orang pula. Istri Ruhut, Anna Rudhiantiana Legawati sempat mencak-mencak dan prang pun ribut-ribut. Tapi seperti biasa, semuanya berlalu seperti angin yang berlalu.

Waktu pemilu 2009, Ruhut menjadi salah seorang TS (Tim Sukses) SBY – Budiono. Dalam suatu debat yang disiarkan sebeuah televisi swasta waktu itu, Ruhut melontarkan pernyataan kpntreversial. Hadir waktu itu Permadi dari Tsnya Yusuf Kalla – Wiranto dan Fuad Bewazir dari TS-nya Megawati – Prabowo. Arab tidak pernah membantu Indonesia, katanya tiba-tiba yang membuat orang-orang keturunan Arab mengecam Ruhut secara keras termasuk kelompok Islam. Juni 2009, FPI (Front Pembela Islam) pun menyatakan akan menangkap Ruhut karena pernyataannya yang menyinggung perasaan orang-orang Arab di tanah air.

Issu rasistis kerap dimunculkan Ruhut. Dalam suatu diskusi bertopik Angket Century SBY Jatuh di Wisma Dramala Sakti Jakarta dia bilang : “ …. Si Cina Kwik …” Seorang peserta meminta Ruhut mencabut kalimatnya yang menyinggung nama etnis itu. Ruhut enggan dan memilih keluar dari diskusi.

Ngomongan Ruhut kerap kali verboden. Pernah dia bilang : “Tidak ada kaitannya SBY dan Demokrat dengan aliran dana Bank Century. Kalau ada, potong kuping saya”, katanya. Berdekatan dengan perrnyataan itu, Ruhut juga menyatakan lehernya siap ditebas pedang jika putra kesayangan SBY Edhie Baskoro juga menikmati uang haram Bank Century. Mantan politisi Partai Golkar ini kembali merelakan lehernya dditebas jika Ketua Pansus Hak Angket Century tidak diduduki oleh Idrus Marham.

Pada Desember 2009, Ruhut kembali mengeluarkan pernyataan yang kontreversial. Katanaya dia rela dirajam jika Wakil Presiden Budiono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani hadir bila dipanggil oleh Pansus Bank Century. Lantas pada suatu sidang Pansus Bank Century di DPR RI, Ruhut pun terlibat pertikaian sengit dengan Gayus Lumbuun. Saat itu dari mulut Ruhut keluar kata “bangsat” yang ditujukannya kepada sejawatnya di DPR RI itu.

Masih pada sidan Pansus Bank Century di DPR RI, pernah orang Makasaar marah besar kepadsa Ruhut. Waktu itu, Ruhut menyebut Yusuf Kalla dengan sebutan “daeng” dan itu meneurut orang Makassar tidak baik. Sementara, ketika diwawancarai Metro TV dalam ssoal Nazaruddin mantan Bandahara Umum Partai Demokrat, Ruhut menyebut Ketua Makkamah Konstitusi Mahfud MD sebagai es lilin. Bahkan, waktu itu Ruhut mengkau-kaukan Mahfud.

Terlalu banyak halaman yang tersita jika harus memaparkan tingkah polah dan ulah Ruhut Sitompul, orang Batak yang satu ini. Sebenarnya, tidak pun saya paparkan di sini, Anda pun – Pembaca – tahu banyak koq. Semuanya koq kita menyaksiskannya lewat layar kaca atau apa saja. Dan seperti saya, Anda pun pasti meneyesalkan sikap, gaya, cara, serta tingkah polah orang Batak yang satu ini

Saya mengenal sosok Ruhut secara langsung, ketika musim kampanye pemilu 2009 lalu. Seperti yang Anda tahu, dia dicalonkan Partai Demokrat untuk menjadi anggota DPR RI dari daerah pemilihan Langkat, Binjai, Tanah Karo, Dairi, Pakpak Bharat, Siantar, Simalungun, Batubara, Asahan dan Tanjung Balai. Di kampung kami Siantar Estate Kecamatan Siantar, tak satu pun suara yang memilih Ruhut. Di beberapa TPS lainnya yang saya pantau, juga hampir sama dengan. Tapi yang namanya politik ya begitulah. Saya percaya memang pada sebuah teori, yang tidak terpilih bisa saja duduk. Dan yang duduk di lembaga legislatif itu belum tentu terpilih. Namanya saja pemilu. Mana ada pemilu jujur dan adil..

Saya pernah hampir muntah dibuat Ruhut. Oleh pimpinan Radio CAS (Citra Anak Siantar) Tigor Muthe waktu itu, saya diperintahkan untuk menjadi moderator pada acara kampanye Ruhut yang disiarkan secara langsung. Sebelum memasuki studio, saya menyalami Ruhut sebagaimana lazimnya kebiasaan kami. Saya sebut nama saya, tapi dia tidak menyimak. Wajahnya malah dipalingkannya entah ke arah mana. Kontan perasaan saya jengkel dan kesal. Tapi yang namanya tugas, saya arahkan juga dia menuju studio seraya memasang segala peralatan yang dibutuhkan.

Sepanjang acara kampanye berlangsung, dialog antara saya dengan Ruhut sepertinya tidak nyambung sama sekali. Lain yang saya tanya, lain pula yang dia jawab dan jelaskan. Apalagi ketika ada orang lain yang melakukan interaktif lewat telepon, Ruhut segera menyerang pendengar dengan kalimat-kalimat tajam, keras dan kasar. Sebagai seorang pengacara, dia memang pintar dan lihai berbicara. Kalimat demi kalimat mampu dibelit-belitkannya membuat orang lain menjadi tersudut. Dan wajah Ruhut terlihat bersinar.

Sebagai seorang moderator, saya harus menggiring acara itu agar sedap didengar dan dinikmati pendengar. Tapi apa boleh buat, suasana siaran langsung itu pun menjadi humar-hebur nyaris tak ada etika. Keringat bercucuran di tubuh saya, apalagi saya tahu Ruhut akan pulang juga ke Jakarta sedang saya akan terus menjadi moderator di Radio CAS Pematangsiantar. Begitu acara usai, spontan saya menuju kamar mandi. Kencing dan waktu kencing itu saya ingat wajah Ruhut Sitompul. Untunglah mengencingi wajah orang lain bisa berbahaya.

Karena Ruhut Sitompul itu orang Batak, banyak orang Batak yang selalu mencermati sepak terjang politisi Partai Demokrat yang hengkang dari Partai Golkar ini. Wajar dan pantas, boleh jadi oleh karena unsur kedekatan atau boleh jadi juga akibat hubungan emosional. Ciri orang Batak memang antara lain, selalu merasa dekat sesama prang Batak lainnya.

Lantas bagaimana kesan orang Batak terhadap Ruhut Sitompul ?

Dari berbagai situs yang dibuat banyak orang Batak dengan topik Ruhut Sitompul, kita bisa simpulkan terlalu banyak yang tidak sependapat dengan segala macam tingkah polah, ulah, gaya, cara dan segala macam tentang Ruhut Sitompul. Saya tidak tahu apakah Ruhut pernah membacanya, dan saya berharap Ruhut memang tidak membacanya. Kalau sempat dia baca, barangkali Ruhut akan segera minta berhenti atau mundur saja dari DPR dan segala macam jabatan atau kedudukan yang sekarang diembannya.

Anda pun, Pembaca, bisa mengakses secara langsung apa dan bagaimana komentar atau pendapat banyak orang Batak terhadap Ruhut yang satu ini. Kalau untuk menuliskannya disini, agak capek juga saya karena Anda pun bisa melakukannya sendiri. Ketik saja pada kolom pencarian orang Ruhut Sitompul, dan Anda bisa membaca banyak sekali tanggapan minor terhadap dia. Termasuk, banyak sekali kalimat yang amat kotor bahkan menjijikkan yang dialamatkan kepada Ruhut Sitompul. Semua meencerminkan kekecewaan.

Saya hanya berpikir, kalau Partai Demokrat masih mau berjaya ke depan ini, pikir ulang lagilah untuk menegajukan Ruhut sebagai calon anggota DPR RI. Bahkan, sekiranya Partai Demokrat cerdas, sekarang juga pun Ruhut layak untuk ditarik dari DPR karena agaknya sudah terlalu banyak rakyat yang tidak menyukainya. Bahkan terlalu banyak rakyat yang membencinya dan itu nampak sekali dari segala macam komentar yang ditujukan kepada Ruhut.

Saya tidak akan berteori bagaimana sebaiknya Ruhut tampil, sebab sudah jelas Ruhut tahu semua itu. Saya pun tak ingin memberi tahu Ruhut mana yang baik mana pula yang buruk apalagi dalam kancah perpolitikan. Saya tahu Ruhut itu pintar dan cerdas, dan karena itu dia bisa bagai bajing loncat dari Partai Golkar ke Partai Demokrat. Kalau tidak pintar dan cerdas, manalah mungkin Ruhut dipakai Anas Urbaningrum sebagai salah seorang Ketua DPP Partai Demokrat.

Cuma, Ruhut agaknya berkaca dirilah. Walau pun kita tahu Ruhut adalah Ruhut dan akan tetap menjadi Ruhut. Ruhut Sitompul, akh !________________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat 0813 6170 6993 _______________________________________________________________

Kamis, 26 Mei 2011

Wartawan yang Bagaimanakah Aku (Cukilan Buku : Orang Pinggiran yang Berada di Tengah)

Ramlo R Hutabarat

Aku wartawan. Mukhtar Lubis juga wartawan. Rosihan Anwar, Karni Ilyas yang anak Bukittinggi itu, Mahmud Djunaedi, Ayip Rosyidi, bahkan GM Panggabean, Nazar Effendy Erde, M Zaki Abdullah, Azrin Marydha yang anak Melayu itu juga wartawan. Imran Nasution, Antoni Pardosi, Bersihar Lubis, Jansen Simanjuntak dan Riduan Napitupulu juga. Elman Saragih Andy F Noya, Effendy Damanik, As Atmadi, Syamin Pardede dan Rifyan Gani juga. Semua wartawan.

Tapi meski semua nama yang kusebutkan itu sama-sama wartawan, sudah barang tentu berbeda masing-masing kewartawanannya. Ada wartawan yang kaya raya, ada yang hidup tak cuma miskin tapi juga melarat dan kadang sekarat. Ada yang cerdas brilian, ada pula yang biasa-biasa. Yang goblok, bodoh dan tolol bahkan dungu, pasti tak ada. Kupikir, kalau wartawan sudah pasti pintar dan cerdas. Kalau brilian seperti Mahmud Djunaedi, Rosihan Anwar, Mukhtar Lubis ada satu dua.

Lantas aku wartawan yang bagaimana ? Bagaimana kewartawananku ? Pentingkah pertanyaan itu ? Aku tak tahu. Penting tak penting yang penting aku akan ceritakan saja beberapa hal yang aku sungguh tak tahu penting atau tak penting.

Pertama seperti yang sudah kukatakan tadi, aku wartawan. Aku suka menjadi wartawan, dan aku bangga pada profesiku itu. Biar ada yang bilang wartawan dalam pengertian negatif dan banyak orang tua yang tidak suka putrinya menikah dengan wartawan, tak peduliku itu. Urusan dialah itu. Urusanku, aku wartawan dan kalau sekarang aku kembali muda dan bisa memilih profesi (lagi) aku akan pilih menjadi wartawan.

Boleh jadi aneh kalau aku pun tak peduli dengan pengertian apa wartawan itu. Ada sih pengertian wartawan menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dan pengertian-pengertian lain, tak soal itu sama aku. Yang soal sama aku, aku wartawan dan sebutan itu diberikan orang lain kepadaku. Artinya, pada awalnya pihak lain yang mengatakan aku wartawan, lalu wartawanlah aku. Maka kalau ada yang bertanya wartawan yang bagaimana aku, pihak lain itu yang lebih pantas menjawabnya.

Yang terang, waktu kelas II SMP di Lampahan dulu, aku menulis cerpen, puisi, cerita bersambung dan reportase di surat kabar Mimbar Swadaya, Seulawah dan Pos Utara. Lantas aku mendapatkan honor yang bisa kumanfaatkan untuk antara lain mentraktir kawan-kawanku di kantin sekolah. Aku jadi populer waktu itu, bahkan pernah diminta untuk menyampaikan kata sambutan pada resepsi perayaan HUT Proklamasi di tingkat emplasmen di kebun. Apalagi, karena aku populer lewat tulisan-tulisanku, seorang dara Gayo adik kelasku suka sama aku. Ya begitulah waktu itu. Aku semakin bersemangat menulis pertama karena mendapatkan honorarium, dan kedua Helmiati dara Gayo itu suka sama aku.

Waktu di STM – HKI Tarutung, kebiasaanku menulis juga kuteruskan. Namaku pun populer di tengah pelajar Tarutung di era pertengahan 1970-an. Harian SIB tempatku menulis waktu itu, luas sekali peredarannya. Lalu ada cewek anak SMEA Negeri bernama Martianna Tambunan suka sama aku. Aku juga, tentu, suka sama dia. Artinya, dia suka aku aku suka dia. Lalu wajar saja kami jadi suka-sukaan. Dan kesukaanku pada Martianna acap sekali menjadi sumber inspirasiku untuk menulis. Semakin aku suka Martianna, semakin rajin aku menulis.

Usai STM, aku bekerja di Depot Buku dan Percetakan Gereja Methodist Indonesia di Tebingtinggi – Deli.Disana pun, kebiasaanku menulis masih saja kuteruskan. Apalagi kawan-kawanku di tempatku bekerja itu suka pula membaca tulisan-tulisanku yang ditterbitkan harian SIB waktu itu. Juga kawan-kawanku di P3MI GMI Tebingtinggi. Aku senang jika kawan-kawanku di tempatku bekerja seperti Mansen Purba, Japantas Purba, Minar Sirait, Rempina Manurung, membaca apa saja yang kutulis. Juga dua Boru Simanjuntak yang kupanggil Namboru, Mamak Linda dan Mamak Made, termasuk Boru Gultom seorang balu Itonya mantan Bishop GMI J Gultom Mamak Ucok yang belakangan setahuku sekolah di ITA..

Dari kebiasaanku menulis itu aku juga mendapat banyak sahabat pena dari berbagai kota. Ada Rohani Hutauruk anak Perdagangan yang belakangan bercinta-cintaan denganku, ada Yuri Gagarin Napitupulu anak Gang Jalan Perjuangan Medan. Lalu ada Corry Aritonang yang waktu itu masih SMA dan sekarang menjadi penyiar Radio Pemkab Deli Serdang di Lubukpakam, ada Intan Panggabean putri sulung DR GM Panggabean. Ada juga seorang Boru Simanjuntak anak Rantauprapat bernama Tiurmaida, dan banyak lagi yang sekarang wajar aku sudah lupa. Aku senang dan bahagia punya banayak sahabat pena waktu itu. Barangkali, sahabat pena waktu itu sama dengan teman face book sekarang.

Ketika aku dipindahtugaskan dari Toko Buku dan Percetakan GMI Tebingtinggi ke Kantor Pusat GMI di Jalan Hang Tuah Medan, kebiasaanku menulis itu masih saja kuteruskan. Lingkungan pergaulanku waktu itu semakin luas karena namanya saja kerja di sebuah kantor pusat sinode Gereja. Wajar aku kenal banyak pekerja Gereja, seperti Pdt Abdon Sihombing, Pdt Allemar Hutabarat, Pdt Herman Hutabarat, Pdt Kosasih, Pdt W Siahaan, Pdt B Sinaga, Pdt Motto Situmorang, Pdt Robert Tobing, Pdt RPM Tambunan, Pdt Simon Doloksaribu, Pdt Napiun dan terlalu banyak nama lainnya belum termasuk para Guru Injil. Kalau tulisanku disiarkan di Harian SIB, mereka membacanya dan memuja muji aku. Dan seperti manusia lainnya, aku memang suka puja puji. Meski pun, kata orang puji Tuhan, Haleluya, puji diri hamamago. Sukka-sukka oranglah.

Kapan saja ada waktu luangku, kumanfaatkan untuk menulis. Menulis entah apa saja. Boleh jadi hari ini aku baca sesuatu di surat kabar, lalu aku bahas dan analisa dalam bentuk opini. Pernah di Medan menurut berita surat kabar berkemebang arisan berantai yang menghebohkan, lalu aku dalami dalam bentuk opini dan dimuat besar-besar di Harian SIB. Pernah pula waktu Gunung Galunggung meletus lalu aku buat tulisan tentang gunung meletus juga ditempatkan Redaktur Harian SIB dengan judul yang besar. Aku bangga.

Supaya aku bisa menulis tentang apa saja, aku pun membeli ragam buku apa saja dan dimana saja. Buku-buku bekas di Titi Gantung, sudah tentu menjadi pilihan pertama. Selain harganya murah, segala macam jenis buku ada disana. Ke toko buku aku jarang membeli buku karena harganya mahal. Paling-paling aku ke Gramedia saja atau BPK Gunung Mulia di Jalan Sutomo. Sementara, di Kantor Pusat GMI juga terbilang banyak buku yang bebas kubaca. Dan Bishop Hermanus Sitorus yang waktu itu pimpinan pusat GMI mendorongku untuk membaca dan menulis. Beberapa artikelku yang sudah terbit waktu itu di Harian SIB kukumpulkan dalam bentuk satu buku berjudul Menuju Keluarga Bahagia. Buku itu kujual kepada banyak orang dan karena itu uangku pun terbilang banyak juga waktu itu. Ketika itulah orang-orang menyebutku sebagai seorang wartawan. Padahal menurutku waktu itu, aku bukan wartawan. Aku cuma seorang penulis di surat kabar. Tidak lebih. Tapi kalau orang-orang menyebutku wartawan, mana bisa aku larang. Apalagi kata kawanku almarhum Pdt Jhon Wely Napitupulu kita tidak bisa larang burung terbang di atas kepala kita. Yang bisa kita larang adalah bila burung bersarang di telinga kita.

Aku merasa menjadi wartawan sebenarnya ketika aku telah menjadi wartawan SIB di Pekanbaru, 1980. Waktu itu aku menulis berita entah dari mana saja sumbernya. Bisa dari Pengadilan Negeri, bisa dari Kantor Walikota Pekanbaru, bisa dari Kantor gubernur Riau, bisa dari Polda Riau atau Kejaksaan Tinggi Riau. Aku beruntung ketika di Pekanbaru, ada Sariaman Panjaitan yang menjadi petinggi di Polda. Kepala Kejaksaan Tinggi Pekanbari waktu itu pun BAS Tobing yang kupanggil sebagai abang. Mereka kerap memberiku berita yang kukirim melalui pos kilat khusus atau telepon. Waktu itu, cara pengiriman berita tidak seperti sekarang gampangnya lewat email misalnya.

Tapi karena latar belakangku yang suka menulis, aku tidak cuma menulis berita saja. Sebenarnya aku harus akui, aku tidak terlalu suka menulis berita. Aku lebih suka menulis reportase atau laporan pandangan mata. Waktu pers Indonesia belum mengenal sekali investigasi reporting, aku sebenarnya sudah melakukannya dengan cara dan gayaku sendiri. Cuma karena aku wartawan, bagaimana pun memang aku harus (juga) menulis berita (bukan membuat berita) Makanya agar aku bisa menulis reportase, aku acap sekali bepergian atau lebih tepat kukatakan berpetualang kemana saja. Pernah juga agar aku bisa menulis tentang gelandangan di Pekanbaru, aku bermalam di emperan Pasar Pusat bersama kaum yang terpinggirkan. Untuk menulis kenapa perempuan bisa dan mau jadi lonte, aku pernah bermalam di kompleks pelacuran di arah Rintis yang sekarang aku lupa namanya. Aku juga pernah masuk hutan di pedalaman Riau untuk menulis tentang pemuda-pemuda Batak yang bekerja sebagai pembalak kayu-kayuan. Di hutan Riau , aku pernah lihat kotoran gajah. Teronggok di sekitar lokasi pondokan pekerja.

Sebagai pekerja pers, waktu di Pekanbaru aku juga menjual koran SIB. Pekerjaan yang bukan saja kuanggap kewajiban tapi juga sekaligus sebagai ibadah. Aku suka dan senang menjual koran bukan supaya aku mendapatkan uang. Waktu itu aku berpikir koran dicetak banyak-banyak supaya dibeli orang. Orang membeli dan membaca koran supaya pintar dan cerdas, tidak bodoh, goblok dan tolol. Dengan membeli koran, perusahaan tempatku bekerja bisa mendapatkan uang untuk mencetak koran dan sekaligus dapat membayar gaji banyak karyawannya. Surat kabar menurutku, tidak hanya harus membuat berita atau tulisan yang bagus-bagus, tapi harus mampu menjualnya ke pasaran. Bagaimana pun bagusnya isi koran tapi kalau tak dibeli orang ya tak ada gunanya. Sederhana sekali pemikiranku soal ini. Dalam bidang pers rasanya pemikiranku sangat sederhana apalagi aku hanya praktisi dan bukan akademisi. Jauh sekali pemikiran ilmiahku dalam bidang pers.

Sampai sekarang, menjual koran pun masih tetap kulakukan dengan gembira dan senang serta bahagia. Ada juga, tentu, rasa bangga. Makanya jangan heran kalau misalnya sekira pukul 10.00 WIB aku berbincang dengan Bupati Simalungun Zulkarnaen Damanik tentang kebijakan-kebijakan Pemkab Simalungun atau dengan Syahmidun Saragih Ketua DPRD Simalungun, tapi satu jam berselang aku sudah dibentak-bentak Satpam penjaga rumah mereka karena aku terlambat mengantarkan koran untuk Zulkarnaen atau Syahmidun.

Sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan Penanggungjawab Surat Kabar Simalungun Pos, aku bertugas mempersiapkan segala materi surat kabar itu sepenuhnya. Namanya saja penanggungjawab. Sebenarnya pun memang, namanya sajanya aku Wakil Pemimpin Redaksi. Segala policy dan kebijakan surat kabar kami ada di tanganku. Mulai dari ABC-nya hingga Z, aku yang mengambil keputusan akhir sesuai dengan wewenang yang diberikan Boss ku Baringin Purba. Pak Baringin itu kan orang pemerintahan di Pempropsu yang menduduki eselon. Dialah pemilik perusahaan Simalungun Pos, dan Nyonyanya Ibu Hotnauli Turnip dipajang sebagai Pemimpin Redaksi.

Tapi meski pun begitu, aku tak pernah merasa sungkan untuk sekaligus menjadi loper. Mengantar koran secara langsung ke rumah-rumah atau ke kantor-kantor pelanggan. Karena itulah memang, pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidurku yang lelap untuk mengantar koran. Hal itu kulakukan demi pelayanan yang prima kepada pelanggan. Sebab, umunya loper yang sekarang licik bahkan aku mau katakan penipu. Koran tidak diantar secara rutin dan teratur kepada pelanggan tapi uang langganannya ditagih penuh. Aku sangat tidak suka pada sikap dan perbuatan yang seperti itu. Aku langsung saja mengambil alih. Meski pun penuh resiko. Bayangkan, ada kalanya koran terlamabat dicetak dan karenanya terlambat pula disampaikan kepada pelanggan. Dalam kondisi seperti inilah aku acap kali dibentak-bentak keroco-keroconya pejabat, dan aku terima saja fakta itu. Pada suatu masa memang aku bisa menjadi bossnya boss dia, tapi pada suatu masa lain aku justru menjadi keroconya. Sama seperti dalam pelaksanaan adart Batak. Suatu masa aku pernah menjadi hula-hula tapi di masa lain aku justru jadi boru. Bukankah hal yang seperti ini merupakan sesuatu kekayaan hidup ?

Sebagai wartawan, aku tentu bergaul dengan banyak kalangan dan lapisan. Entah namanya itu komponen atau elemen atau juga stoke holder. Boleh jadi pagi-pagi aku berbincang ria dengan pengusaha atau penguasa atau politisi di Kedai Kopi Si Mosrum di Jalan Cipto atau di Kedai Kopi Sedap di Jalan Sutomo, tengah hari bertemu dengan supir angkot atau calo penumpang di terminal. Sorenya aku berbincang dengan pimpinan Sinode Gereja, tapi menjelang dini hari aku bertemu dengan lonte di depan SMA Negeri 4 di Jalan Pattimura.

Untuk hal yang satu ini aku memang pantas bersyukur. Istriku paham sekali apa dan bagaimana aku suaminya yang wartawan ini. Dia tak pernah protes apa dan bagaimana aku di luaran sana yang penting aku bisa utuh pulang ke rumah. Makanya aku bebas bergaul dan dekat dengan siapa saja. Bisa pereman, pengangguran, politisi, pejabat, pengusaha, juga dengan sintua dan orang yang “pasintua-tuahon” Dengan perempuan, aku dibebaskannya berkawan biar dengan gadis, janda, istri orang sampai pada perempuan yang tak jelas statusnya kawin, gadis atau janda. Bahkan, dengan bencong, waria, wadam, lesbian, homo, biseksual, gay juga dengan orang yang hiperseks. Meski pun sebenarnya, aku tak paham apa semua istilah itu.

Berkali-kali aku memang harus katakan, istriku seorang yang hebat, jago dan perkasa. Karena itulah makanya sungguh, aku bisa bertahan menjadi wartawan sampai sekarang. Yang penting bagi istriku, aku pulang dan harus pulang ke rumahku setiap hari tidak lewat tengah malam. Kalau sampai dini hari aku belum pulang juga, istriku biasanya menjemputku. Pernah aku pulang pagi, wajahnya masam dan asam menyambutku. Tapi begitu pun disodorkannya juga gelas berisi dua telor seteengah masak untukku.

“Masalahnya Pak, kesehatan Bapak kan bisa terganggu kalau tidak tidur semalaman”, katanya dengan wajah yang masih masam dan asam. Aku diam saja sambil meneguk kopi buatannya. Mallongok-longok kopi itu melewati tenggorokanku, dan aku segera masuk kamar. Bobok.

Di perusahaan surat kabar, sudah hampir semua bidang yang ketekuni.Aku pernah menjadi pembersih ruangan kerja redaktur, penyunting berita, korektor, opmaker, montase, lay out, percetakan, sampai pada distribusi, pemasaran, dan penagihan. Juga, seperti yang sudah kukatakan tadi, jadi loper pun aku pernah dan biasa. Makanya memang, nyaris semua bidang kupahami dan di nyaris semua bidang itu aku tak bisa bisa lagi dipermainkan orang lain. Aku bisa tahu apa yang diperbuat oleh orang lain di perusahaan tempatku bekerja. Dan aku ingin mengatakan, semua itu kukerjakan karena aku suka. Tidak supaya aku mendapatkan uang.

Menyusul era reformasi perusahaan surat kabar bebas didirikan orang. Banyak orang yang jadi wartawan entah tukang cendol kian pun dia, entah kernek bus atau entah penjual sate. Banyak pula yang tiba-tiba menjadi redaktur bahkan koordinator liputan atau kepala biro. Pemimpin Umum saja ada yang semula supir angkot, tukang beca atau tukang solder yang kerap keliling pemukiman. Mereka muncul dengan wajah perasaan jago dan jago sekali. Padahal, itu hanya perasaannya saja.

Menghadapi kondisi yang seperti ini, aku cuek saja. Urusan dia itu dan aku tidak punya urusan dengan dia selama aku tak diganggunya. Cuma menurutku, mendirikan sebuah perusahaan harus dengan berlandaskan suatu idealisme. Prinsipku dalam bersuratkabar ria ini adalah ingin mencerdaskan masyarakat kita yang sebenar-benarnya masih bodoh sekali. Jangankan mengatakan yang benar, menuntut haknya saja masih banayak di antara kita yang takut. Goblok nggak. Dan untuk itulah surat kabar ada meneurutku. Jadi aneh, sebab sesungguhnya sebeuah perusahaan didirikan sesungguhnya untuk mendapatkan uang. Namanya saja perusahaan.

Tapi begitulah menurut aku, dan yang menurut aku ini tentunya tidak akan kutanamkan pada pihak lain. Kalau orang lain menjadi wartawan supaya mendapatkan uang, urusan dia itu. Tapi aku jadi wartawan supaya orang lain tidak tolol. Aku tidak pernah berpikir supaya mendapatkan uang meski pun acap sekali aku mendapatkan uang sebagai wartawan. Dan aku harus katakan dengan terus terang, acap juga aku mendapatkan uang yang cukup besar karena tulisanku. Apa sih bedanya dengan pendeta yang mendapatkan uang karena menyampaikan khotbah ?

Makanya menurut aku, kalau jadi wartawan jangan mengharap mendapatkan uang dengan gampang. Begitu ada pikiran yang begitu kecewalah dia dan segera berhenti menjadi wartawan. Kalau mendirikan perusahaan pers juga begitu. Jangan pikirkan supaya kaya raya dan segala macam. Begitu berpikir seperti itu, kollapslah perusahaan itu, mati dan dikuburkan dan tidak akan bangkit pada hari ketiga.

Di Siantar aku lihat, Suara Simalungun yang dipimpin Hentung Toni Purbalah yang ideal. Sejak awal perusahaan itu didirikan Sarolim Sinaga, Januarison Saragih, Hendro Purba, Hentung Purba dan kawan-kawan hanya untuk dan ingin membela kepentingan orang Simalungun. Ketika sampai sekarang mereka masih tetap komit, konsisten dan konsekwen dengan idealisme itu, Suara Simalungun tetap jaya dan berkibar hingga saat ini. Dan dari belasan perusahaan pers yang didirikan di Siantar sejak era reformasi, faktanya hanya surat kabar ini yang eksis. Itu semua menurutku, karena mereka tidak pernah berpikir untuk bisa kaya.

Di Tarutung ada LIPUTAN BONA PASOGIT yang didirikan dan dipimpin Martua Situmorang yang menganut paham seperti pendapatku tadi. Ketika aku diminta Martua Situmorang untuk ikut membidani kelahiran koran itu, prinsip-prinsip dasar tadi kusampaikan dan Martua setuju. Surat kabar ini didirikan dimaksudkan untuk mencerdaskan anak negeri Tapanuli Utara dan sebagai media informasi bagi perantaunya, oke, maka dirikanlah kataku pada Martua waktu itu. Dan kalau sampai sekarang surat kabar itu masih tetap eksis, itu hal yang wajar. Meski aku tahu Jansen Simanjuntak yang menjadi motornya tak pernah risau soal uang atau materi.

Kita-kita ini, menurutku, silahkan mendirikan perusahaan surat kabar. Tapi syarat utamanya jangan berharap mendapat untung. Kalau bisa mengumpulkan uang untuk biaya cetak saja sudah lumayan baguslah . Tidak lebih. Kalau lebih dari itu, lebih baik jangan dirikan. Yang kumaksud kita adalah kita. Bukan orang lain yang punya modal satu gunung. Aneh ? Ya memang aneh.

Semua personal surat kabar yang kita-kita ini, harus sehati sepikir bahkan sejiwa dalam menjalankan usahanya. Harus saling memiliki ikatan batin yang diiringi kasih yang tulus serta kesederhanaan dan kebersamaan. Ada kesepemahaman, saling percaya dan saling pengertian. Kita harus diselimuti semangat, kesetiaan , keikhlasan seerta mau dan rela berkorban. Juga memiliki daya kerja yang tinggi, loyal, patuh serta taat. Dan yang tak kalah penting, kita pekerja pers harus memiliki disiplin yang kokoh dan tegar serta tentunya harus memiliki profesionalisme yang luas dan dalam pada soal managemen pers yang aneh ini.

Wartawan menurutku jangan pernah berpikir bisa mendapatkan uang dengan cara gampang. Kalau sempat begitu pikirannya, berhenti saja menjadi wartawan sekarang. Ya, sekarang. Bukan besok apalagi lusa.

Lantas wartawan yang bagaimanakah aku ? Ontahlah jang. Aku pun tak tahu wartawan yang massam mana aku ini Aku saja kadang tak tahu wartawan yang massam mana aku. Konon pula Anda, Pembaca !
__________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________________________

Rabu, 25 Mei 2011

Tak Kemana-mana, Tapi Ada Dimana-mana (Cuplikan Buku : Orang Pinggiran yang Selalu di Tengah)

Ramlo R Hutabarat

Jujur sajalah. Aku ini sungguh orang yang kaku. Sudah kaku, keras pula. Dan sebenarnya, aku lebih tepat jika disebut sebagai orang yang “tak kepakek” Dimana-mana, dan aku sadar sekali itu. Aku tahu diri, dan karena itu aku tak mau kemana-mana. Meski pun aku ada di mana-mana.

Makanya sebenarnya aku tak suka berorganisasi, organisasi apa pun itu. Apalagi berpartai politik. Orang-orang yang berpartai menurutku prakteknya harus tidak punya idealisme. Begitu dia teguh pada sikap atau pendirian, mauplah dia. Jadi harus mampu menjadi seperti bunglon, atau harus mau ikut arah angin. Mau bertahan di tengah badai yang menggelora, bisa tumbang dan terkapar. Pangsan. Mati dan dikuburkan supaya orang lain tidak terganggu.

Betul, waktu muda dulu aku pernah menjadi akitifis di P3MI (Persekutuan Pemuda-pemudi Methodist Indonesia) Cabang GMI (Gereja Methodist Indonesia) Tebingtinggi – Deli. Kawan seangkatanku waktu itu antara lain Roslina Hutabarat anak Jalan DI Panajaitan, Evi Samosir juga anak DI Panjaitan yang menikah dengan seorang marga Tambunan lulusan AKABRI. Juga Pangihutan Harianja salah seorang putra Guru Injil Harianja yang terakhir bertugas di Kampung Juhar, termasuk Maruhum Harianja abangnya Pangihutan yang sekarang guru SD di Sungai Parit Serdang Bedagai. Juga Godfried Hutabarat sekarang Jemaat GMI Tarutung.

Ada juga di P3MI Tebingtinggi waktu iu antara lain Rempina Manurung yang pakai kaca mata minus setebal pantat botol (sekarang bekerja di Toko Buku Geminta Medan), Roslina Tambunan adiknya pemain band The De Loyid, Yetty Pasaribu yang waktu itu Kepala SD PKMI Tebingtinggi, Boru Hutauruk anak pensiunan kebun Rambutan, dan masih banyak yang lain. Oh ya, ada Rosdiana Tobing seorang guru SD yang aku pernah dekat dengannya. Dan waktu di Tebing inilah aku pernah terpilih sebagai pengurus P3MI Distrik bersaama Poltak Purba anaknya Pdt Benyamin Purba.

Ketika aku bekerja di Kantor Pusat GMI di Jalan Hang Tuah Medan, aku juga aktif di P3MI Cabang Hang Tuah. Kawan seangkatanku waktu itu ada Maringan Sirait, Hamonangan Manurung, Ponty Panggabean, Fridolin Siahaan yang dosen FT Univeritas HKBP Nommensen dan menikah dengan Marlinang yang juga teman seangkatan kami. Juga almarhum Igor Hutagalung putranya Ferdinand Hutagalung yang pernah menjadi Gubernur Muda Sumut, Polin Siregar, Galumbang Sitinjak.

Juga ada Sonya Tobing adiknya Jelly Tobing penabuh drum terkenal secara nasional dan kakaknya almarhumah Martha Tobing. Ada juga Taty Siregar, Septiana Sagala, Otto Sagala, Adelina Sitompul, Lucynde Panggabean, Norma Hutabarat, Ratna Silalahi yang putrinya pengusaha Firma Apul. Sementara itu di P3MI Cabang Madong Lubis ada Juliana Tobing yang lama sekali menjadi Dekan FE Universitas HKBP Nommensen, Pangondian Simatupang, Sevenday Napitupulu, Chatrine Sitorus, dan beberapa nama lain. Oh ya, ada juga di P3MI Madong Lubis waktu itu Luhut F Siahaan yang acukup dekat denganku. Sudah lama sekali aku tak pernah bertemu (lagi) dengannya. Kabar terakhir yang aku dapat entah dari siapa-siapa, Luhut sekarang berada di Amrik.

Waktu menjadi aktifis P3MI Cabang Hang Tuahlah, aku terpilih menjadi Pengurus P3MI Wilayah Sumut – Aceh dalam suatu Konprensi Wilayah P3MI di Kompleks Institut Alkitab Jalan YOS Sudarso Medan. Kami dilantik almarhum Bishop Hermanus Sitorus waktu itu, dan aku menangis saat pelantikan. Aku menyadari benar tugas dan tanggung jawab yang kupikul sebagai salah seorang pengurus apalagi untuk suatu wilayah yang sangat luas. Sumut-Aceh.

Lantas, aku memang pernah juga menjadi salah seorang Pengurus Wira Karya Sumatera Utara, seangkatan dengan James Simanjuntak yang menjadi Sekretaris. Pernah pula menjadi Pengurus KNPI Sumatera Utara ketika dipimpin Drg Zainal Arifin yang kabar terakhir pernah kudengar menjadi Atase Pendidikan di Kedubes RI di Kualalumpur. Beberapa temanku waktu itu ada Willer Pasaribu yang pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Simalungun, Jumiran Abdi, Effendy Naibaho yang pernah jadi anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDIP, Jauti Sibarani, Syahrul Pasaribu yang sekarang Bupati Tapanuli Selatan. Juga Purnama Sitompul yang menikah dengan David Napitupulu waktu itu Dubes RI di Kanada. Juga seorang putri Nias Florencia Patricia Hulu yang sekarang tak pernah lagi kudengar kabarnya. Florencia waktu itu masih kuliah di Fisipol USU dan merupakan angkatan pertama.

Aku juga pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) waktu almarhum Anwar Effendy menjadi Ketua, pernah menjadi anggota Partai Golkar lengkap dengan NPAG-nya, Sekretaris P2MI (Persekutuan Pria Methodist Indonesia) Cabang GMI Pematangsiantar. Aku juga pernah menjadi Wakil Sekretaris Toga Manullang Kota Pematangsiantar, juga Ketua KPP (Komisi Penyantun Perguruan) pada PKMI (Perguruan Kristen Methodust Indonesia) Dolog Marlawan Kecamatan Siantar.

Tapi ketika usiaku semakin menanjak, aku semakin kenal dan sadar siapa aku. Aku semakin tahu diri bahwa aku benar-benar manusia yang tidak “kepakek” Apalagi ketika aku terpilih menjadi Utusan Konperensi Tahunan GMI dan setelah itu aku bentrok keras dengan Pdt MT Manurung. Juga ketika aku dipercaya menjadi Sekretaris Panitia Natal GMI Agave Pematangsiantar yang waktu itu ketuanya J Sinurat yang sesungguh kawan dekatku. Aku tak kepakek. Aku tak mampu ikut arus bagai pepatah Batak : Eme na masak digagat ursa, aha na masa ima taula.

Begitu orde baru tumbang, orang pun ramai-ramai mendirikan partai. Hampir tak ada waktu itu aktifis yang tidak masuk partai politik. Aku ikut dan terlibat mendeklarasikan PDKB(Partai Demokrasi Kasih Bangsa di Kota Pematangsiantar dan Simalungun bersama antara lain almarhum dr MH Silitonga, DR Sarmedi Purba, Hendro Purba, Pdt PTV Haloho, Pdt Sunggul Pasaribu dan banyak lagi. Tapi bagi orang lain aneh, aku justru enggan menjadi anggota partai itu apalagi menjadi pengurus.

Bahkan, aku pun enggan untuk ikut dilantik sebagai Pengurus PGM (Parsadaan Guru Mangaloksa) Pematangsiantar ketika aku juga dipilih menjadi salah seorang pengurusnya. Aku tak mau dipilih tapi tetap juga dipilih dalam suatu rapat, dan diterbitkan SK-nya oleh Sahat Panggabean Ketua Umum PGM se-dunia yang waktu itu menjadi Walikota Sibolga. Waktu acara pelantikan di GOR Pematangsiantar, aku tidak hadir. Kenapa rupanya ?

Aneh ya memang aneh, siapa saja boleh mengatakan begitu. Tapi akulah yang tahu kenapa dan bagaimana aku. Prinsipnya tadi seperti yang kukatakan sejak awal, aku sebenarnya merupakan seorang manusia yang “tak kepakek” Dari pada jadi duri bagi orang lain kan lebih baik tumagon. Bahkan untuk menjadi Maujana Nagori di kampungku di Siantar Estate aku enggan, juga jadi pengurus STM (Serikat Tolong Menolong), juga entah organisasi apa pun itu.

Aku juga tak pernah berminat menjadi anggota KPU atau Panwaslu. Waktu Nason Damanik menjadi anggota DPRD Simalungun dan menjadi salah seorang Panitia Seleksi anggota Panwas Pilkada, dia meminta agar aku ikut mendaftar yang segera kujawab enteng tanpa beban.

“Aku tak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Panitia Pengawas Pilkada”, kataku tenang dan kalem menjawab Nason sahabatku.

“Akh, kamu. Syarat yang mana ?”, Nason yang anggota DPRD dari Fraksi Golkar itu bertanya dengan mimik heran.

“Setiap calon anggota Panwas harus jujur dan adil. Aku bukan orang yang jujur dan juga bukan orang yang adil”, kataku masih tetap enteng. Tak ada beban apa pun dalam benakku ketika mengucapkan kalimat itu. Barangkali aku mau mendaftar menjadi calon anggota Panwas bila persyaratan itu dirubah. Berat sekali persyaratan itu menurutku dan kalau kosekwen tentu tidak ada yang memenuhi syarat.

Tapi sekarang aku katakan sajalah dengan jujur sekali. Keenggananku untuk memasuki organisasi entah apa pun itu apalagi partai politik justru karena aku seorang wartawan. Sebagai wartawan aku harus tidak kemana-mana meski pun ada dimana-mana. Wartawan, menurutku harus seorang non partisan. Independent.

Wartawan menurutku bekerja untuk publik. Dia tidak dibenarkan bekerja untuk parpol apalagi untuk penguasa, pengusaha.Kalau wartawan sekaligus menjadi anggota parpol mau tidak mau dia pun akan bekerja untuk kepentingan parpolnya. Wartawan menurutku mesti tidak berpihak, sebab dia bekerja untuk kepentingan semua pihak. Mau Islam, Kristen, Hindu, Buddha. Mau Golkar, PDIP, PAN, atau Demokrat, sama saja. Kalau aku menjadi anggota Partai Golkar misalnya, bagamana aku akan bisa membawa kepentingan partai lain ?

Indepedensi bagi seorang wartawan menurutku adalah sesuatu yang mutlak. Kata indepedensi kuartikan sebagai netralitas. Kalau dalam kondisi terpaksa wartawan harus berpihak, dia harus berpihak pada orang-orang miskin. Orang-orang yang dipinggirkan. Orang-orang yang dizolimi, ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Yang pantang sekali menurutku bahkan haram adalah bila wartawan berpihak pada penguasa dan pengusaha. Berpihak pada kekuasaan, jangan.

Celaka memang, ketika aku tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana. Dalam kondisi seperti ini aku tentu tidak punya “payung” aatau “mantel” Payung atau mantel yang bisa melindungi dari panas terik, hujan dan boleh jadi badai. Apalagi, belakangan ini wartawan acap sekali mendapat tekanan atau ancaman. Bahkan, dalam catatan AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia), semakin tahun semakin sering terjadi kekerasan terhadap wartawan terutama di dunia ketiga.

Menyikapi hal yang seperti ini, aku sangat percaya dan yakin sekali pada perlindungan Tuhan. Aku terlalu percaya Tuhan pasti melindungiku ketika aku menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai wartawan. Mantan Ephorus HKBP DR SAE Nababan pernah mengatakan padaku supaya aku tidak takut kepada siapa pun kecuali takut kepada Tuhan. Yang harus aku lakukan sebagai wartawan adalah aku wajib menulis dengan baik dan benar. Tidak boleh fitnah, sensasi, issu atau rumors.

“Kamu jangan takut kepada siapa pun Ramlo, kecuali takut pada Tuhan”, kata DR Nababan pada suatu hari 1989 lalu ketika aku beertemu dengannya di GOR Pematangsiantar, dan kalimat itu sangat kumaknai sampai sekarang.

Aku pun memang, sering sekali merasakan perlindungan dalam ketika aku menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai jurnalis. Aku merasakan dan mengalami kasih sayang Tuhan, dan kedekatan Tuhan. Dalam setiap doaku memang, pasti aku minta agar Tuhan melindungi aku, menjaga aku serta menjauhkan aku dari segala yang jahat. Dan itu semua sudah kuperoleh.

Pernah aku didatangi sekelompok preman setelah aku membuat berita tentang pekerjaan pengaspalan di Jalan Kesatria (sekarang namanya Jalan Pdt Justin Sihombing) Pematanagsiantar yang tidak bermutu dan dikerjakan kontraktornya tidak sesuai dengan perjanjian kerjanya. Tapi ketika sudah berhadap-hadapan, tiba-tiba mereka seolah tidak melihatku dan berlalu begitu saja. Aku bengong. Pernah pula beberapa preman mendatangiku ke Kantor SIB di Pematangsiantar sambil membawa golok, tapi menjadi aneh ketika mereka malah bertanya kepada Josmar Simanjuntak dan Ulamatuah Saragih rekanku wartawan SIB waktu itu dimana aku. Padahal, waktu iu aku bersama Josmar dan Ulamatuah tengah duduk berhadap-hadapan.

“Yang mana si Ramlo ?”, tanya salah seorang dianatara mereka, padahal semua mereka sebelumnya sudah mengenal aku. Ketika Josmar menegatakan aku barusan saja pergi dari kantor itu, kontan preman itu cicing dengan maksud mencari aku ke tempat yang aku pun tak tahu .

Lagi pula, ada pepatah yang mengatakan : Kalau takut dilamun ombak, jangan berumah di tepi pantai. Di tepi pantai ? Kalau menjadi wartawan menurutku, bikin rumah tidak saja di tepi pantai. Malah di tengah lautan. Ombak terus datang menghempang kapan saja dan dari arah mana saja. Kiri, kanan, muka dan belakang. Setiap detik setiap sekon. Makanya aku yakin sekali arwah Udin Yokya yang mati dibunuh oknum tertentu tempo hari tidak pernah meneyesal meskipun akhir hidupnya di tangan pembunuh.

Aku tak akan pernah meneyesal kalau suatu masa akan mengalami hal-hal yang tidak enak karena kewartawanannku. Aku juga tidak akan pernah takut untuk menulis apa saja sepanjang yang kutulis adalah sesuatu fakta, kebenaran. Bukan fitnah, sensasi atau berita burung. Aku juga yakin sekali, istriku beserta putra-putriku tidak pernah menyesal kalau aku diperlakukan tidak adil oleh orang lain hanaya karena aku menlaksanakan tugas dan kewajiban profesiku.

Seseorang (aku tak etis menyebut namanya disini karena dia sudah almarhum) beberapa tahun lalu pernah datang kerumahku. Dia bilang kepada istriku agar aku mengghentikan pemberitaan yang terus menerus mengkritisi pejabat tertinggi di Simalungun waktu itu (pejabat itu juga sudah meninggal dan karena itu aku tidak mau menyebut namanya) Bagai mengancam, dia bilang bahwa harga nyawa manusia sekarang ini hanya beberapa juta rupiah saja. Banyak penganggur yang mau dan bisa diminta untuk menghabisi nyawa orang lain, katanya sambil berlalu dari rumahku.

Menanggapinya, istriku tenang sekali dan kalem-kalem saja. Istriku hanya tersenyum dan senyumnya tetap ceria hingga istriku yang cantik semakin cantik pula karena senyum cerianya itu.

“Suamiku wartawan. Wartawan memang kerjanya begitu. Suamiku wartawan”, kata istriku sambil ketawa ketiwi.

Yah, begitulah. Apa mau dikata. Sampai sekarang aku masih begini-begini saja. Tidak begitu-begitu. Aku begini ya beginilah. Kalau kamu begitu, ya begitulah. Aku begini engkau begitu, sama saja kata almarhum Broery.

Yang pasti memang, aku cuma mau menjadi aku. Tidak menjadi orang lain. Aku akan tetap tidak kemana-mana, meski pun aku haruss berada dimana-mana. Kata kawanku, biarkan saja dia menjadi dia, tidak menjadi kita apalagi menjadi aku. Sebab jika aku menjadi orang lain, aku tidak lagi menjadi aku. (Bersambung)
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
_______________________________________________________________________

Senin, 23 Mei 2011

Tak Konsekwen Tak Konsisten, JR Hempang Karir PNS Simalungun

Ramlo R Hutabarat


Barangkali JR Saragihlah Kepala Daerah yang paling jago di Sumatera Utara. Dan boleh jadi malah, di tanah air. Betapa tidak. Lulus SD ketika (sudah) berumur 16 tahun, tapi mampu menyelesaikan pendidikan strata 2 cepat sekali setelah mendapatkan gelar akademis strata 1. Belum lagi satu tahun menjadi Bupati Simalungun, sudah memiliki dan mendirikan perusahaan penerbitan surat kabar, perusahaan penyiaran radio, juga perusahaan jaringan televisi. Termasuk, mendirikan kompleks perumahan di Sondi Raya (ruko), membiayai pembangunan landasan kapal terbang perintis, dan sebagainya-dan sebagainya. Hebat nggak ?

Tapi dalam menjalankan dan memimpin pemerintahan di Simalungun , dalam pandangan saya JR Saragih yang doktor ilmu pemerintahan itu tidak jago sekali. Setidaknya, dia terkesan loyo bagai kurang darah. Banyak PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang ditugaskannya dalam suatu jabatan dengan pola coba-coba, terkesan tanpa pertimbangan yang matang dan mantap. Nggak tahu saya, apakah dalam mengangkat PNS di lingkungan Pemkab Sinalungun untuk menduduki jabatan struktural dia memberdayakan Baperjakat (Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan)

Akibatnya gampang ditebak. Banyak PNS yang tiba-tiba diberhentikannya dari jabatannyam tapi tiba-tiba pula diangkat kembali untuk menduduki jabatan yang lain. Banyak PNS yang diangkat untuk menduduki jabatan tertentu secara tiba-tiba, tapi banyak pula yang tiba-tiba dimutasi lagi ke jabatan lain. Ada malah PNS yang diangkat untuk satu jabatan, tapi begitu sang PNS hendak masuk untuk bekerja tapi sudah ada PNS lain yang menduduki jabatan tadi. Lihat misal Simarmata yang diangkat menjadi salah seorang Kepala Bidang di Dinas Perhubungan, tapi begitu dia masuk ternyata seorang PNS lain marga Panjaitan sudah menduduki jabatan tadi. Kacau. Ngawur. Meski pun barangkali inilah yang dimaksud JR Saragih dengan perubahan yang acap didengung-dengungkannya itu.

DR Binsar Situmorang misalnya lagi, tiba-tiba terhitung pada 8 Nopember 2010 pindah dari Pemko Medan ke Pemkab Simalungun. Ekh, secara mendadak pada 15 Nopember tahun itu juga diangkat JR Saragih sebagai Asisten III di Setdakab Simalungun. Tapi siapa mau bilang apa kalau hanya dua tiga bulan menduduki jabatan itu Binsar sudah dimutasi pula menjadi Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Termasuk, beberapa PNS yang hengkang dari Pemkab Tanah Karo secara tiba-tiba diangkat JR Saragih untuk menduduku jabatan di Pemkab Simalungun. Entah pertimbangan apa yang dipakainya untuk mengangkat mereka.

Yang paling aneh dalam pandangan saya adalah soal Ubahman Sinaga dan Sudiahman Saragih, masing-masing mantan Camat Raya dan mantan Kepala Bagian Umum pada Setdakab Simalungun. Juga, sebenarnya, termasuk Boru Marbun yang pernah diangkat JR Saragih sebagai Camat Parapat.

Ubahman, masih hitungan hari setelah JR Saragih berkuasa di Simalungun, kontan dicopot dari jabatannya sebagai Camat Raya. Masih dalam hitungan hari pula Ubahman dinonjobkan, mendadak diangkat pula menjadi Kepala Bagian Umum di Setdakab Simalungun. Ekh, begitu lewat tahun baru 2011, kembali Ubahman dicopot sebagai Kepala Bagian Umum dan seterusnya hingga hanya dalam hitungan 5 bulan Ubahman sudah 6 kali dimutasi.

Mutasi Sudiahman juga menarik untuk dicermati. Begitu JR Saragih dilantik, Sudiaham dimutasinya dari Kepala Bagian Umum menjadi Kepala Kantor PIT (Pelayanan Izin Terpadu) Cuma beberapa pekan menjadi Kepala Kantor PIT, dia pun digeser (lagi) kembali menjadi Kepala Bagian Umum. Seolah jadi lelucon, beberapa pekan menjadi Kepala Bagian Umum, Sudiahman yang satu ini pun dimutasi pula (kembali) menjadi Kepala Kantor PIT. Lucu wakau tak geli. Dan saya pun tak tahu apakah dalam waktu dekat Sudiahman dikembalikan lagi ke Bagian Umum.

Tentang si Boru Marbun, Nopember 2010 diangkat JR Saragih sebagai Camat Girsang Sipangan Bolon di Parapat. Tapi begitu lewat Tahun Baru 2011, si Boru Marbun mendadak dicopot dari jabatannya dan tidak didudukkan pada jabatan yang sama eselonnya ,. Padahal, si Boru Marbun bukan mengundurkan diri, bukan meninggal, bukan memasuki batas usia pensiun, bukan berhalangan tetap, bukan pula tugas belajar lebih dari enam bulan.

Kalau mau dirunut dan dijajarkan semuanya, banyak sekali PNS di Simalungun yang dicopot JR Saragih dari jabatannya tapi tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Hamdan Nasution misalnya yang mantan Kepala Dinas Pertanian, Duarman Purba mantan Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Asset Daerah, Karshel Sitangang mantan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Untung saja memang, tak seorang pun yang mem-PTUN-kan JR Saragih karena mereka tahu menang pun di PTUN tapi tak akan ada eksekusinya. Dan keuntungan ini, berada di pihak JR Saragih.

Yang sangat menyebalkan saya, JR Saragih yang satu ini sungguh tidak konsekwen dan tidak pula konsisten. Meski pun saya tahu, kalau saya sebal atau bagaimana, tak ada urusan dengan JR Saragih. Saya sadar sekali, kalau pun saya sebal, kesal, kecewa dan entah apa lagi, JR Saragih boleh tak merasa apa-apa. Wajar memang sebab saya tidak siapa-siapa. Tak ada urusan JR Saragih kepada saya meski pun saya merupakan salah seorang dari sekeian ratus ribu warganya.

Saya ingat sekali. Waktu belum dilantik sebagai Bupati Simalungun tempo hari, JR Saragih cuap-cuap lewat media massa. Dia bilang waktu itu, kalau dia dilantik tidak akan melakukan mutasi pada semua PNS yang menduduki jabatan. Kecuali, katanya waktu itu, mereka yang sudah memasuki usia batas pensiun. Menurut dia, kalau dilantik kelak semua PNS yang sudah memasuki batas usia pensiun akan dipensiunkan Sebab, yang pensiun ya pensiunlah, katanya.

Dengan alasan itulah tentunya, kawan saya almarhum Revanus Sormin dicopot JR Saragih dari jabatannya sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sampai disini, saya masih mendukung kebijakan JR Saragih. Sebab saya pikir memang, kalau seorang PNS sudah pensiun, ya pensiunlah. Tak elok PNS yang sudah memasuki batas usia pensiun masih tetap dipakai. Kalau yang sudah pensiun masih juga diperpanajang masa dinasnya seolah tidak ada lagi PNS lainnya yang bisa menggantikannya. Apalagi, perpanjangan masa dinas PNS bisa menghambat karir PNS lainnya. Kapan lagi yang muda-muda mendapatkan peluang.

Tapi apa dinyana. JR Saragih malah ternyata mengangkat Anna Girsang yang juga sudah memasuki batas usia pensiun untuk menggantikan Revanus Sormin (yang beberapa bulan kemudian meninggal) Saya kaget, koq Revanus yang diberhentikan dari jabatannya dengan alasan sudah pensiun tapi diangkat pula penggantinya Anna Girsang yang (juga) sudah pensiun. Sekali lagi saya sebal dan kecewa sekali, tapi sekali lagi memang JR Saragih tak ada urusan dengan saya. Kenapa rupanya, apalagi kata teman saya Bresman Marpaung, di zaman otonomi ini semuanya bisa dilakukan oleh semua kepala daerah. Kenapa rupanya ?

Yang paling parah dan ini barangkali merupakan suatu pelanggaran dari aturan yang berlaku, adalah soal pengangkatan James Simamora sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja. James itu, ketika menjadi Staf Akhli Bupati Simalungun sudah diperpanjang masa batas usia pensiunnya. Itu boleh saja dan masih sesuai aturan yang berlaku. Bupati Simalungun memang punya wewenang untuk memperpanjang masa dinas seorang PNS dengan alasan tenaga yang bersangkutan masih dibutuhkan. Kawan saya Tony Sihombing mantan Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Pemkab Humbang Hasundutan yang sekarang menjadi Asisten Pemerintahan Setdakab Humbang Hasundutan, membenarkannya.

Yang menjadi soal saya pikir adalah pengangkatan James sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja sekarang, sesungguhnya sudah melanggar aturan. Aturan mana yang dilanggar, silahkan Sardion Purba Kepala BKD Simalungun sekarang yang menjelaskannya. Sebab sebagai Kepala BKD, Sardion tentu lebih tahu soal aturan-aturan kepegawauan dari saya sendiri. Saya ini apalah. Saya cuma jurnalis itu pun jurnalis yang kerap dipinggirkan apalagi saya memang bermukim di daerah pinggiran Simalungun di Tepian Bah Bolon yang airnya terus mengalir dan mengalir terus.

Karena saya awam dalam pengalaman pemerintahan apalagi dalam ilmu pemerintahan, saya cuma pakai logika doang. James Simamora itu tempo hari diperpanjang masa dinasnya karena tenaganya masih dibutuhkan sebagai Staf Akhli Bupati. Dengan kata lain ingin saya katakan, karena sebagai Staf Akhli Bupatilah tenaga James (masih ?) dibutuhkan. Dan, karena itulah masa dinasnya diperpanjang. Sesungguhnya, dengan pengulangan ini Anda – Pembaca – sudah paham apa yang saya maksud. Artinya, kalau bukan Staf Akhli Bupati, tenaga James tidak dibutuhkan. Tenaga James dibutuhkan karena (untuk) sebagai Staf Akhli Bupati.

Tapi menjadi rancu ketika JR Saragih justru mengangkat James sekarang menjadi Kepala Dinas Tenaga Kerja. Emangnya tak ada lagi PNS di Simalungun yang layak dan pantas diangkat untuk menduduki jabatan itu sehingga yang sudah pensiun pun masih tetap dipercaya ? Dimana-mana, PNS yang menduduki jabatan Eselon II diperpanjang masa dinasnya hanya untuk menduduki jabatannya yang semula. Tak pernah ada PNS yang menduduki Eselon II dan diperpanjang masa batas usia pensiunnya tapi dimutasi ke jabatan lain dengan eselon yang sama. Atau kalau ada, tolong diberi tahu (kepada) saya.

Hal-hal inilah yang membuat saya menyebut JR Saragih merupakan seorang yang tidak konsekwen sekaligus tidak seorang yang konsisten. Tapi apa boleh buat. Meski seorang Kepala Daerah wajib merupakan seorang yang konsekwen dan seorang yang konsisten, anak negeri Simalungun sekarang tidak memiliki pemimpin yang demikian. Saya, tentu, tidak akan meminta JR Saragih agar merubah sikap apalagi keputusannya. Sebab seperti saya, JR Saragih tentu akan menjadi JR Saragih apabila dia menjadi dia. Tidak menjadi orang lain .

Horas…. Horas ….Horas….!
________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat