Sabtu, 30 April 2011

Gambir di Pakpak Bharat

Oleh : Ramlo R Hutabarat


     Pemkab Pakpak Bharat yang sekarang dipimpin Remigo Yolando Berutu, wajar dan pantas untuk diacungi jempol. Programnya selama ini selalu mendarat, menarik memikat, dan melekat di hati rakyat. Anak negeri PakpakBharat  pun mendapat berkat dan rahmat. Mereka menjalani kesehariannya dengan sentoda dan selamat.

Tahun Anggaran 2011 ini misalnya, Pemkab Pakpak Bharat antara lain mengalokasikan  Rp 968 juta dari APBD untukpengadaan bibit gambir. Bibit gambir itu  akan dibagikan kepada anak negeri. Tujuannya, jelas, untuk meningkatkan perekonomian rakyat.

Sekarang, kegiatan itu sudah berangsur  dilakukan. Pembibitan tanaman gambir sudah dilaksanakan oleh 9 Kelompok Tani yang dibimbing dan diawasi oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pertanian.  Agustus mendatang, rencananya bibit tanaman gambir yang siap tanam akan dibagikan kepada anak negeri terutama di Kecamatan Tinada dan Sitellu Urang Jehe. Seluruhnya, diperkirakan seluas 500 hektar.

Tidak Cuma itu. Pemkab Pakpak Bharat juga merencanakan mendirikan BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) yang dikhususkan untuk menangani masalah gambir secara luas. Untuk pendirian sekaligus penyertaan modal bagi BUMD yang akan dibentuk itu, telah juga dialokasikan dana sebesar Rp 1, 5 miliar dari APBD 2011. BUMD ini akan menampung hasil penggiat tanaman gambir. Juga bertanggung jawab memberi pembekalan terkait industri hilir guna menyumbang nilai tambah bagi penggiat tanaman gambir, kata Remigodalam suatu pertemuan dengan sejumlah wartawan di Salak belum lama ini.

Dekat dan Akrab

Program Pemkab Pakpak Bharat ini pantas ditiru sekaligus diteledani Pemkab lainnyadi Sumatera Utara secara khusus.  Artinya, tak perlu membuat program muluk – muluk bagai mercusuar. Padahal hasilnya menjadi nol besar. Lihat misal progran pembuatan jamur tiram di Humbang Hasundutan yang menelan dana ratusan juta rupiah tapi belakangan gagal total. Penyebabnya, anak negeri sememang sebelumnya tidak mengenal jamur tiram. Artinya, programkan saja yang sudah dikenal rakyat meskipun terkesan sederhana tidak hura-hura. Yang penting, hasilnya bisa dinikmati dan mampu meningkatkan perekonomian.

Sebagai seorang Kepala Daerah, Remigo memang kenal sekali pada rakyat yang dipimpinnya. Dia tahu dan paham se kali apa dan bagaimana anak negeri Pakpak Bharat. Remigo memang memiliki ciri pemimpin masa kini. Dia selalu mengikuti apa yang diinginkan rakyatnya, tidak malah harus diikuti. Remigo mengikuti apa yang dimaui rakyatnya, seraya membimbing sekakaligus menegarahkan.

Tanaman gambir, dipahami Remigoi sudah dikenal rakyatnya sejak ratusan tahun lalu mulai dari kakek moyang mereka. Pasar dunia pun membutuhkan gambir. India saja membutuhkan 6000 ton gambir per tahun. Di pasaran ekspor  harganya berkisar antara USD 1, 46 sampai dengan USD 2, 91 per kilogram. Prospek luar negeri masih terbuka lebar. 

Cuma, selama ini ragam persoalan yang mengganjal kenapa anak negeri Pakpak Bharat tidak ramnai-ramai menanam gambir. Yang pertama, mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk mengusahakannya di lahan-lahan yang masih luas di daerahnya. Persoalan kedua, harga gambir di tingkat petani selalu fluktuatif. Biasalah. Ketika produksi menurun, harga menjadi melangit. Tapi manakala produksi meningkat harga getah gambir melorot anjlok hingga ke titik nadir. Maka petani pun Cuma bisa gigit jari. Kadang, sampai – sampai meratapi.

Maka program Pemkab Pakpak Bharat tahun ini pantas dan wajar untuk (sekali lagi) diacungi jempol. Remigo dinilai cerdas dan cermat membaca keadaan dan memanfaatkan peluang. Apalagi, dengan sekaligus mendirikan BUMD yang akan mengurusi segala macam tetek bengek menyangkut gambir.

Yang pasti, anak negeri Pakpak Bharat sudah sangat menegenal tanaman gambir. Bahkan, bisa disebut mereka dekat dan akrab bahkan sudah bersahabat dengan komoditas yang satu ini. Jadi tanaman gambir bukan lagi tanamann baru bagi anak negeri. Sejak kakek moyang mereka sudah paham sekali bagaimana membudidayakan tanaman gambir.

Aneka Guna

Tanaman gambir tumbuh subur di daerah pada ketinggian 200 – 800 meter di atas permukaan laut. Mulai dari tanah yang bertopografi agak datar sampai kelereng-lereng bukit. Tapi, tidak semeua daerah di tanah air yang kondisinya sama cocok untuk ditanami gambir. Berdasarkan penelitian, Cuma di Pakpak Bharat dan di Kabupaten 50 Kota dan di Desa Siguntur Muda Kecamatan Koto XI Pesisir Selatan (Sumatera Barat) saja yang diakui pasar dunia sebagai penghasil gambir paling bermutu.

Sama denegan jahe, Cuma jahe darin Simalungun sajayang dinilaiu pasar dunia sebagai jahe berkualitas nomor wahid. Sedangkan kopi, Cuma dari Lintongnihuta Kabupaten Humbang Hasundutan saja yang diuanggap bermutu tinggi. Meski pun, banyak pedagang dari Simalungun dan Dairi yang membawa kopinya terlebuh dahulu ke Lintongnihuta. Dari sanalah kemudianb diekspor dengan lebel Kopi Lintong.

Gambir adalah ekstrak air panas dari daun dan ranting tanaman gambir yang disedimentasikan kemujdian dicetak dan dikeringkan. Bentuk mcetakannya biasanya selinder, mirip dengan cetakan gula merahj yang dibuat banyak orang di kampung-kampung. Warnanya coklat kehitaman. Produk ini dinamakan betel bite atau plan masala. Ada juga yang meneyebutnya sebagai catechu, gutta gambir, catechu pallidum.

Entah apa pun namanya, yang pasti gambir memiliki banyak manfaat. Di tanah air misalnya, digunakan sebagai komponen menyirih. Dan orang kita, sejak dulu kala sudah mengenal menyirih, mulai Sabang sampai Marauke. Bahkan, menyirih dan sirih, di tanah air kita ini memiliki makna magis dan mistis. Bahkan,dalam kehidudpan sehari-hari menyirih digunakan sebagai lambang pergaulan. Dalam proses adat juga, ada beberapa suku di tanah air yang tidak bisa didlaksanakan kalau tak ada siurih.

Gambir ddiyakini merangsang keluarnya getah empedu, sehingga membantu proses diperut dan usus.  Fungsi gambir lainnya, digunakan sebagai campuran obat seperti obat luka bakar, obat sakit kepala, obat diare, obat kumur, disentri, sariawan serta obat sakit kulit.

Belakangan, gambir pun digunakan untuk menyamak kulit dan bahan pewarna tekstil. Juga perekat kayu lapis atau papan partikel. Bila gambir yang diekspor digunakan sebagai bahan baku utama perekat kayu lapis di dalam negeri, baru akan memenuhi kebutuhan tiga pabrik kayu lapis yang berkapasitas 5000 – 6000 m3/ bulan. Hal ini masih tetap terlalu sedikit dibannding kebutuhan  pabrik kayu lapis dan papan partikel yang ada di Sumatera.

Di Sumnatera Barat, sebagai daerah penghasil gambir terbesar di tanah air,sampai sekarang ada 13.423 hektar tanaman gambir yang produksinya 8067 ton per tahun. Ada 3571 unit usaha pengolahan gambir disana dengan tenaga kerja 6908 orang dan investasi Rp 1.029.614.000,00. Hampir 98 persen prodduksi gambir Sumatrera Barat diekspor, dan sisanya dikomsumsi di dalam negeri.

Maka , berbahagialah kiranya anak negeri Pakpak Bharat dengan bupatinya sekarang yang memahami apa yang diinginkan rakyatnya. Kalau program Pemkabnya ddilakukan secara berkesinambungan, bukan tidak mungkin daerah itu akan makmur sejahtera meski Cuma karena gambir. Kelihatannya sederhana. Tapi sesungguhnya amat bermakna.




Pematangsiantar, 29 April 2011




Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
as

SUSU TANTE

Akibat “Susu Tante”, Kalangan Pimpinan SKPD dan Pengusaha di Taput Resah
  • Sekira Rp 700 Juta Lebih Berhasil Dikumpulkan
  • Diperkirakan, Mutu dan Kualitas Proyek  Dikurangi
Tarutung,

Kalangan pimpinan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) di Tapanuli Utara,  belum lama ini dibuat resah. Penyebabnya mereka diminta untuk memberi sumbangan yang nilai dan jumlahnya sebenarnya tidak mampu mereka pikul. Tapi karena harus dilakukan, mereka memberikan juga. Pelakunya, siapa lagi kalau bukan Torang Lumbantobing yang sekarang Bupati Tapanuli Utara.

“Kondisi seperti itu harus dicermati, agar keterpurukan demi keterpurukan tidak melanda daerah ini”, kata seorang perantau asal Tapanuli Utara yang sekarang bermkukim di Jakarta.

Dituturkan perantau itu, pada Paskah lalu dia mudik ke tanah leluhurnya di Tarutung. Dari seorang sepupunya yang sekarang menjadi kepala dinas di lingkungan Pemkab Tapanuli Utara, dia mendapat tahu tentang penggalangan dana yang dilakukan Torang Lumbantobing Sang kepala dinas tak mau didepak dari jabatannya yang sekarang didudukinya. Karena itu, dengan terpaksa dia memenuhi permintaan Toluto.

Menurut cerita oknum kepala dinas saudara sepupu perantau asal Tapanuli Utara itu,  sekarang Toluto dipercaya untuk memimpin suatu kepanitiaan  perayaan jubeleum (ulang tahun) salah satu Gereja. Dalma rangka perayaan jubeleum itu, dilakukan ragam kegiatan, termasuk beberapa aksi sosial. Sebagai salah seorang petinggi di kepanitiaan, Toluto pun katanya berupaya mengumpulkan sejumlah dana. Dan karena itu, katanya, Toluto mengumpulkan sejumlah pimpinan SKPD Pemkab Tapanuli Utara yang dipimpinnya termasuk sejumnlah pengusaha di Vanana Garden milik Toluto di kawasan Siarangarang Kecamatan Tarutung.

Kepada mereka, katanya Toluto minta agar memberikan sumbangan dalam bentuk uang. Uang itu, katanya lagi, dimaksudkan untuk membiayai beberapa kegiatan perayaan jubeleum. Karena Toluto juga berkedudukan sebagai Bupati Tapanuli Utara,  senang atau tidak senang mereka pun memberikan. Meski pun mereka merasa ditekan dan terpaksa.

“Manalah kami berani menolak, sebab semua orang tahu sekarang ini Toluto merupakan orang terkuat di Tapanuli Utara. Dia bisa berbuat apa saja sekehendak hatinya, apalagi selama ini tidak ada pihak mana pun di daerah itu yang mau mengeritiknya”; katanya.

Seorang pengusaha yang dihubungi di Tarutung Sabtu pekan lalu membenarkan cerita kepala dinas saudara sepupu perantau tadi.  Tapi pengusaha besar  tingkat Tarutung yang dikabarkan akan maju sebagfai calon Bupati Tapanuli Utara itu mengatakan, sumbangan yang diberikannya tidak dengan tekanan apalagi paksaan. Siapa rupanya Toluto di mata saya, tidak apa-apa dia itu, katanya dengan mimik dan ekspresi garang.

“Sumbangan itu sifatnya suka rela tanpa tekanan. Atau, populer disebut sebagai susu tante”, katanya sambil tertawa ngakak. Suatu kebiasaan pengusaha yang cukup tenar di Tarutung itu, dan disebut-sebut akan berpasangan dengan Mariani Simorangkir ,mantan Kepala Dinas Pendidikan Tapanuli Utara yang sekarang sudah hengkang ke Pemkab Toba Samosir.

Seorang kepala dinas lainnya yang dihubungi wartawan surat kabar ini membenarkan juga sumbangan yang diberikannya atas permintaan Toluto. Permintaan Toluto itu menurut dia agak aneh, mengingat dia bukan merupakan anggota jemaat Gereja yang akan merayakan jubeleum itu. Tapi karena yang memintanya adalah seorang yang kebetulan bupati yang nota bene pimpinannya, dengan terpaksa dia pun katanya memberikannya juga.

“Saya setuju kalau disebut sebagai susu tante”, katanya sambil tertawa meski pun terkesan tawa yang sinis. Tawa yang pahit dan getir.

Seorang kepala dinas lainnya ketika ditanya membenarkan pengumpulan dana itu. Pada saat itu juga kata dia, terkumpul uang sekira Rp 700 juta lebih. Dirinci dia, sekira Rp 300 juta diperoleh dari pimpinan SKPD, dan sisanya sekira Rp 400 juta lagi diperoleh dari kalangan pengusaha. Saat itu ada yang membayar secara tunai kata dia, tapi ada pula yang belum dikontani.  Oknum kepala dinas itu pun merasakan, sumbangan itu diberikan karena yang memintanya adalah seorang bupati.

“Bagaimana tidak memberi, mengingat si peminta adalah seorang penguasa tertinggi di daerah ini”, katanya lagi sambil melirik ke kiri dan dan kanan. Ketika meneceritakan semua itu, sang kepala dinas terkesan ekstra hati-hati.

Dia membenarkan, dengan permintaan sekaligus pemberian sumbangan itu telah melahirkan keresahan beberapa kepala dinas di daerah ini. Dia pun yakin, beberapa pengusaha juga resah, tapi tak mau dan tak mampu untuk mengungkapkannya secara terbuka. Semua enggan bahkan takut, karena semua ingin menyelamatkan diri masing-masing, katanya masih juga dengan ekstra cermat.

“Tapi sebenarnya, muncul pula persoalan baru. Bagaimana untuk mengembalikan sumbangan yang diberikan secara susu tante tadi. Tak ada jalan lain, kami akan berupaya mendapatkan dengan berbagai dan dengan cara apa pun”, katanya.

Menurut perantau asal Tapanuli Utara tadi, sikap dan perbuatan Toluto ini telah otomatis menciptakan situasi yang tidak kondusif di daerah ini. Secara rasional dan obyektif menurut dia, pera penyumbang   sesungguhnya tidak berkemampuan untuk memberikan sumbangan seperti yang diminta Toluto. Akibatnya pun gampang ditebak apa yang bakalan terjadi. Mereka (para penyumbang), akan melakukan upaya apa saja agar sumbangan yang diberikannnya dapat kembali (lagi)

Boleh jadi katanya, (dan ini yang lebih riskan) bukan tak mungkin anggaran SKPD akan dikorupsi oleh para pimpinannya. Sementara, para kontraktor rekanan Pemkab Tapanuli Utara pun akan melakukan kecurangan ketika mengerjakan proyek pemerintah yang dipercayakan untuk mereka kerjakan. “Alhasil, rakyat jugalah yang dirugikan”, katanya.
Belakangan memang, Pemkab Tapanuli Utara di bawah kepemimpinan Toluto mendapat sorotan dari ragam kalangan.. Ini antara lain disebebakan, banyak kasus dugaan korupsi yang dilakukan oknum-oknum pejabat di daerah itu. Beberapa diantaranya sudah divonnis pengadilan dan sudah pun dipenjarakan.

Kasus pengadaan kendaraan roda dua untuk kepala-kepala desa di daerah ini, juga dalam tahap proses hukum di Poldasu. Juga kasus dugaan korupsi Paket Bantuan Natal dan Tahun Bari bagi PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang diduga dilakukan oleh orang kedua di daerah ini. Poldasu (Polisi Daerah Sumatera Utara) kabarnya tengah mengusut dugaan kasus korupsi itu. Bebarapa pejabat dan mantan pejabat di Tapanuli Utara sudah dipanggil polisi untuk dimintai keterangannya.     

Sementara itu, tidak ada pihak mana pun yang dapat dikonfirmasi di Tapanuli Utara. Sekda Tapanuli Utara Sanggam Hutagalung tak memberi tanggapan apa pun ketika semua ini dipertanyakan kepadanya. Begitu juga Kepala Bagian Humas Setdakab Tapanuli Utara Jahormat Lumbangaol, apalagi. (erha)

Pematangsiantar, 30 April 2011




Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com

Ketika Petinggi Mengulah

Ketika Petinggi Mengulah, Pejabat pun Resah

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Ada satu hal yang sesungguhnya sudah kerap saya protes. Itu soal Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya dalam soal Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Terus terang, saya sangat tidak sependapat. Meski pun saya sadar, kalau saya tak sependapat kenapa rupanya. Kan tak apa-apa. Karena saya kan tidak siapa-siapa. Juga tak apa-apa. Kenapa rupanya ?

Tapi apa boleh buat. Saya Cuma penulis, dan saya harus menulis. Meski pun tak akan ada yang mempedulikan tulisan saya. Itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah menulis, dan urusan orang lainlah apakah dia peduli atau tidak peduli pada tulisan saya. Saya akan terus menulis, sampai denyut terakhir nadi saya. Sampai akhir menutup mata. Sama sekiranya saya menjadi anggota parlemen. Saya akan terus berbicara dan berbicara terus. Perlemen kan berasal dari kata parle dan men. Orang yang berbicara. Jadi aya pikir, anggota parlemen sesungguhnya adalah “babi” (banyak bicara) Dia harus bicara, didengar atau tidak didengar. Yang penting dan harus adalah, anggota parlemen adalah mesti “babi”

Kembali ke soal Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tadi. Seperti jamak diketahui, disana diisyaratkan siapa saja boleh dan bisa menjadi Kepala Daerah.  Biar preman. Kenapa rupanya ? Biar mantan bandar togel atau mantan pelaku illegal loging. Yang penting, dia memenuhi syarat seperti yang dimaksudkan oleh Undang-undang. Mumpung bisa dan dibenarkan oleh Undang-undang, ribak. Sekali lagi, kenapa rupanya ?

Tapi, tentu ada syarat yang tak diisyaratkan Undang-undang, namun berlaku umum dan sifatnya paku mati. Artinya tidak boleh tidak. Harus. Apa ? Kalau disimak dan dicermati, ada semacam roh dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatakan : Tidak satu pun orang yang bisa menjadi Kepala Daerah kalau tidak memiliki uang yang  luar biasa banyaknya. Mimpi sajalah menjadi Kepala Daerah, kalau tidak memiliki uang yang luar biasa banyaknya. Lebih baik mimpi.

Bagaimana tidak. Agar ada partai yang mengajukan seseorang menjadi calon kepala daerah, seseorang itu harus membayar dengan jumlah dan nilai yang sangat banyak kepada partai yang bersangkutan. Kalau tidak membayar, jangan harap dicalonkan partai politik mana pun. Biar seseorang merupakan Ketua Parpol A misalnya, dia harus membayar kepada partainya. Konon pula kalau seseorang yang punya ambisi menjadi calon Kepala Daerah itu bukan merupakan ketua apalagi kader partai yang bersangkutan.

Lewat jalur independen ? Lebih besar lagi. Persoalannya, rakyat kita dimana saja sudah cukup bahkan sudah sangat cerdas. Kalau ada seseorang yang punya ambisi besar menjadi calon kepala daerah dan meminta dukungan dengan foto copy KTP, rakyat kita dengan senang hati memberikannya. Tapi ada syarat mutlak yang harus dipenuhi sang bakal calon. “Sadia hepeng na ?” Atau : “Cair do ?”

Sang bakal calon pun, akan dan harus merogoh koceknya untuk membayar dukungan rakyat lewat foto copy KTP itu. Itu harus, sebab rakyat kita tak akan mau memberi dukungan, apabila uang sang bakal calon tak cair . Rakyat sudah tahu sekali, sang bakal calon mau dan mengenal rakyat Cuma ketika ingin mendapatkan dukungan. Kalau kelak terpilih menjadi Kepala Daerah, jangan harap dia mengenal lagi rakyat yang mendukungnya. Kalau pun saling berpapasan, jangan harap sang Kepala Daerah berpaling apalagi menegur.

Dalam situasi yang seperti ini, saya tidak melihat tidak ada yang salah. Semua berjalan wajar dan pantas. Bagi seorang Kepala Daerah, urusan apa dengan rakyat ? Tak ada urusanlah. Sebab pada saat lalu urusan sudah selesai. Tunai.  Rakyat memberi dukungan karena dibayar. Dan karena  sudah dibayar, ya selesai. Putus hubungan. Makanya, kalau saya pun menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Antah Barantah kelak, saya tidak akan memikirkan rakyat. Saya Cuma berpikir, bagaimana memakmurkan diri dari rakyat . Tidak akan pernah saya pikirkan bagaimana memakmurkan rakyat.

Beli dan Jual

Itulah sebabnya mengapa saya paling getol untuk memprotes Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Saya beranggapan, sistem atau pola Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 masih lebih ideal dan praktis untuk digunakan sampai sekarang. Dengan Undang-undang itu, kalau pareman jangan harap bisa menjadi Kepala Daerah. Itu Cuma ada dalam mimpi dan angan-angan saja. Bagai angan-angan ni parcendol.

Dulu, waktu diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, biasanya yang dipilih dan diangkat menjadi Kepala Daerah Cuma PNS atau TNI/ POLRI saja. Itu pun, kalau dia PNS, biasanya dari Departemen Dalam Negeri saja . Meski pun, ada juga sesekali PNS dari departemen lain. Makanya, biasanya yang menjadi Kepala Daerah di Kota atau Kabupaten Cuma mereka yangberasal dari Kantor Gubernur atau pejabat yang paling seniordi Kota/ Kabupaten yang bersangkutan. Kalau untuk menjadi Gubernur, biasanya mereka yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri saja. Atau, sekalian adalah mantan Panglima Kodam.

Makanya, pada waktu itu kekuasaan menjadi tidak seolah-olah tidak tak terbatas. Kepala Daerah di Kota/ Kabupaten, selaluamit-amit terhadap Gubernur di tingkat Propinsi. Mau keluar daerah saja, harus pamit. Konon pula keluar negeri. Sekarang, urusan apa ? Tokh yang memilih dan mengangkat dia bukan Gubernur. Urusan apa dengan Gubernur ?

Maka, Bupati atau Walikota pun berlagak tidakmau tahu dengan pemerintah atasan, yang dalam hal ini Gubernur. Bupati atau Walikota pun malah berlagak sebagai rajadi raja yang tidak dikontrol siapa saja. DPRD juga, jangan harap dapat dan mampu melaksanakan fungsi pengawasannya. Bagaimana DPRD bisa berperan lagi seperti yang diamanatkan Undang-undang, sebab anggota DPRD umumnya sudah mendapatkan bagian kekuasaan.

Maka, seorang Bupati dan atau Walikotapun, akan bebas lenggang kangkung ketika menjalankan kekuasaannya. Mau memgangkat atau memberhentikan seorang PNS dari jabatan struktural pun, sesuka hati dan seleranya. Yang penting berapa seorang PNS mau dan mampu membayar agar didudukkan pada jabatan tertentu. Padahal, yang saya pahami adalah, seorang Kepala Daerah berkuasa untuk menjalankan peraturan. Bukanberkuasa untuk melaksanakan kehendak hatinya.

Jual beli jabatan atau kedudukan pun dilakukan, persis seperti di onan. Ada tawar menawar segala, dan kadang ada pula tipuan timbangan. Misalnya, si A baru saja diangkat tapi mendadak diberhentikan. Persoalan yang muncul, siapa pun yang menjadi pejabat tidak pernah memiliki rasa percaya diri. Setiap saat gedebakgedebuk kapan diberhentikan. Makanya, ketika menduduki jabatan, gunakan azas mumpung. Manfaatkan kesempatan dan peluang yang ada. Sikat habis sampai mengitngit.

Makanya pula, jangan kaget kalau banyak Kepala Daerah yang menjual jabatan saat dia berkuasa. Penyebabutama, ketika menjadi Kepala Daerah pun, dia sesungguhnya sudah membeli dari rakyat dan dibayar kontan. Kalau ada membeli, tentu ada menjual. Disini berlaku hukum pasar, ketika banyak permintaan, harga pun akan melonjak drastis. Dan sekali lagi, DPRD tidak akan mampu melakukan tugas dan wewenangnya.

Menghadapi Kepala Daerah yang mengulah seperti sekarang, saya sendiri takmerasakecewa atau bagaimana.eperti yang saya kedepankan tadi, akar masalahnya adalah pemberlakuan dan penerapan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun  2004 itu. Ketika seseorang berambisi menjadi Kepala Daerah, dia haruss mengeluarkan uang yang sangat banyak. Banyak sekali. Dan wajar sekali pun, kalau selma menjadi Kepala Daerah dia akan berupaya mengembalikan uangnya yang sebermula sudah dikeluarkannya.

Makanya lagi, jangan heran kalau banyak pejabat yang resah ketika menjalankan tugasnya sebagai pejabat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, sang pejabat pun akan berupaya pula mendapatkan uang yang sudah dikeluarkannya untuk dapat menduduki jabatannya. Belum lagi,, uang yang harus diberikan kepada Kepala Daerah dengan alasan dan dalih yang macam-macam. Menggunakan keseempatan dalam segala hal. Termasuk, saat diminta pihak lain untuk menjadi panitia entah apa saja.

Lantas, “Susu Tante” pun kerap sekali dilakukan. Susu tante (sumbangan suka rela tanpa tekanan) dilakukan kapan saja dan untuk keperluan apa saja. Dan pejabat, harus ikut berperan mensukseskan sang Kepala Daerah. Meski pun pahit, tapiharus ditelan. Semua, gara-gara sistem yang kita anut sekarang belum saatnya untuk diterapkan.

Akh. Sudah dini hari. Saya harus akui, kadang saya tidak tahu apa yang saya tulis. Padahal, kata guru saya : Tuliuslah yang kau ketahui dan ketahuilah yang kau tulis. Padahl, sekarang, saya nyarais tidak tahu apa yang saya tulis ini. Tapi begitu pun, seperti sudah saya katakan tadi di atas, saya penulis. Karenanya saya harus menulis. Menulis apa saja. Apa saja saya tulis. Yang penting menulis. Sampai mati. Sampai mati. Mati.


Ramlo R Hutabarat

Dinas Kehutanan Sumut dan Vanana


Dinas Kehutanan Sumut Akui Vanana Garden Merupakan Kawasan Hutan

  • Poldasu akan Bertindak Jika Ada Pengaduan
  • Alboin Enggan Untuk Melakukan Tindakan

Tarutung,
     Dinas Kehutanan Sumatera Utara melalui Kepala Bidang Pengawasan Kawasan Hutan H Purba membenarkan, Vanana Garden di Siarang-arang Kecamatan Tarutung
Yang diusahai dan dikuasai Toluto merupakan kawasan hutan. Hal itu ditegaskannya setelah mencermati Peta Kawasan Hutan Sumatera Utara yang diterbitkan Kementerian Kehutanan di kantornya, Rabu pekan lalu. Namun Purba mengatakan, selama tidak ada pengaduan atau laporan dari pihak mana saja, pihaknya tidak akan melakukan tindakan.

     “Lagi pula, soal laporan dan pengaduan, itu merupakan tugas dan gawenya Dinas Kehutanan Tapanuli Utara. Sementara, soal tindakan hukum, merupakan urusan polisi”, kata Purba.

     Semula, Purba enggan memberi reaksi atas pertanyaan yang disampaikan. Dia mengatakan, wartawan jangan mencari-cari persoalan dengan menulis berita-berita yang menyudutkan orang-orang yang menggarap kawasan hutan. Kalau dicermati, banyak sekali pihak di daerah ini katanya yang secara nyata telah menggarap kawasan hutan. Tapi hal itu menurut dia, jangan dijadikan sebagai obyek pemberitaan.

     “Tulis saja berita-berita yang menyenangkan orang lain”, katanya seperti mengajari wartawan menulis berita.

     Tapi Purba belakangan pun mengatakan, meski pun berdasarkan peta yang ada Vanana Garden yang diusahai dan dikuasai Toluto merupakan kawasan hutan, kepastiannya harus dilakukan dengan memeriksanya dengan menggunakan peralatan khusus. Pemeriksaan itu bisa dilakukan atas permintaan pihak yang keberatan menurut dia, dan dimohonkan kepada Dinas Kehutanan secara tertulis.

     “Saya akan menurunkan staf saya untuk melakukan pemeriksaan katanya,  dan pihak yang meminta pemeriksaan harus membayar biaya opersional mereka”, kata Purba lagi.

     Pada kesempatan lain, Kepala Dinas Kehutanan Tapanuli Utara Alboin Siregar pun mengakui bahwa  Vanana Garden milik Toluto di Siarangarang merupakan kawasan hutan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005. Tapi kata dia, bukan hanya Toluto saja yang telah menggarap kawasan hutan di daerahnya. Masih banyak pihak lain kata Alboin, dan karena itulah dia sebagai Kepala Dinas tidak melakukan tindakan apa pun.

     “Kalau kami menyampaikan persoalan ini kepada pihak berwajib, maka akan banyak sekali orang yang masuk penjara”, katanya.

     Alboin menyebut. SK Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 itu sesungguhnya dibuat dengan tidak melihat fakta yang sesungguhnya di lapangan. Dengan kata lain. Alboin berpendapat , SK Menhut itu tidak sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Makanya, katanya, pihaknya belum lama ini ikut mengajukan revisi tentang SK Menhut itu. 

     “Saya antara lain ikut menandatangani permohonan untuk meminta SK itu direvisi”, katanya.

     Tapi ucapan dan pendapat Alboin tadi justru mendapat kecaman pedas dari seorang Kepala Dinas Kehutanan di salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Sebagai seorang Kepala Dinas, senang atau tidak senang Alboin harus berkewajiban untuk mengamankan kebijakan Pemerintah Pusat yang dalam hal ini Menteri Kehutanan, katanya.  Tugas seorang Kepala Dinas Kehutanan antara lain adalah mengamankan kawasan hutan, titik. Tidak boleh tidak. Harus, katanya lagi.

     Kepala Dinas Kehutanan yang enggan ditulis namanya itu menilai, dengan ucapan dan pendapat Alboin menunjukkan sendiri belangnya siapa dia yang sesungguhnya. Alboin, menurut Kepala Dinas Kehutanan di salah satu kabupaten di Sumatera Utara itu, memang merupakan orang yang tidak memahami hutan. Dia itu katanya memaksudkan Alboin, tidak memiliki latar belakang pendidikan kehutanan. Termasuk, Alboin tidak memiliki pengalaman di bidang kehutanan. Setahu dia katanya, Alboin sejak menjadi PNS bekerja di Dinas Pertanian dan baru belakangan ini saja ditugaskan di Dinas Pertanian.

     Sementara  itu AKBP MP Naingolan dari Bidang Dispenpoldasu mengatakan, pihaknya akan segera menanggapi apabila ada penggarapan kawasan hutan di daerah ini. Cuma kata dia, pihaknya tidak akan memberi respons kalau Cuma berdasarkan pemberitaan saja. Harus ada laporan pengaduan katanya lagi, baik oleh Dinas Kehutanan atau anggota masyarakat. Dia menjanjikan, sekiranya ada pengaduan bahwa Toluto sudah menggarap kawasan hutan, pihaknya akan segera melakukan penyelidikan dan segera memeproses pengaduan itu sesuai dengan prosudur  hukum yang berlaku.

     Seperti ddiketahui, Toluto yang sekarang Bupati Tapanuli Utara telah mengusahai, mengerjakan dan menduduki kawasan hutan di Siarangarang Kecamatan Tarutung arah ke Kecamatan Sipahutar.  Pada areal kawasan hutan itu, Toluto menjadikannya sebagai daerah pertanian dan peternakan, juga sebagai tempat atau ajang permainan anak-anak.

     Di kawasan itu Toluto membuatkan jalan beraspal yang mengitarinya, termasuk pembuatan jaringan instalasi listrik yang tidak jelas dari mana sumber dananya. Yang jelas Cuma, Toluto kerap berada disana dan mendirikan dua bangunan permanen terbuat dari kayu bergaya Melayu.

     Seharian, tamppak beberapa pekerja disana yang terdiri dari beberapa pria dan wanita, asyik melakukan pekerjaan apa saja. Beberapa kendaraan roda empat menggunakan plat pemerintah juga kerap kali ada disana, termasukl beberapa peralatan berat milik Dinas PU Bina Marga Tapanuli Utara. Seorang marga Sitanggang yang juga Sekretaris Dinas Pertanian dan Perkebunan Tapanuli Utara, disebut-sebut lebih kerap  berada disana dibanding di kantornya sendiri.

     Informasi beredar, pupuk bersubsidi langka ditemui di Tapanuli Utara.(erha)

Rabu, 27 April 2011

Tak Kelola Dana BOS Sesuai Aturan : Ribuan Kepala SD dan Kepala SMP di Sumatera Utara Terancam Masuk Penjara

Oleh Ramlo R. Hutabarat

Pekan-pekan ini, seluruh SD dan SMP di Sumatera Utara menerima Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dari pemerintah pusat melalui pemerintah kota/ kabupaten di daerahnya. Nilainya untuk masing-masing sekolah bervariasi sesuai dengan jumlah murid di sekolah yang bersangkutan. Setiap murid SD menerima Rp. 400.000, sedangkan untuk setiap murid SMP diberikan Rp. 575.000. Penyalurannya dilakukan pemerintah kota/kabupaten dalam empat tahap, sekali tiga bulan. Makanya yang diterima SD dan SMP pekan-pekan ini adalah untuk triwulan pertama 2011, Januari – Februari – Maret.
Pemkab Simalungun misalnya, pekan lalu telah menyalurkan Dana BOS itu sebesar Rp. 16.358.373.000 kepada 854 SD negeri dan swasta, serta kepada 142 SMP negeri dan swasta. Manager BOS Simalungun Jamesrin Saragih, S.Pd meminta seluruh Kepala Sekolah di Simalungun supaya menggunakan dana itu sebaik-baiknya, agar tidak timbul masalah dikemudian hari. Semua pelaksanaan kegiatan diharapkan berpedoman kepada peraturan yang berlaku, katanya. Dan pedoman itu adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 37 Tahun 2010 (SIB, 2 April 2011).

Dari Mana Mau Kemana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) merupakan bantuan pemerintah pusat kepada semua SD dan SMP di seluruh tanah air, negeri dan swasta. Tujuannya agar membebaskan biaya pendidikan bagi siswa yang tidak mampu dan meringankan beban bagi siswa lain dalam rangka mendukung pencapaian program wajib belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun. Semua siswa SD dan SMP berhak mendapatkan Dana BOS tanpa kecuali. Jadi, tidak cuma siswa yang tidak mampu saja. Apalagi, faktanya banyak siswa putus sekolah karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolahnya serta ketidakmampuan siswa membeli alat tulis dan buku pelajaran dalam rangka mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Pemerintah menyadari, pendidikan merupakan salah satu kunci penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan jangka panjang. Tapi tak dapat dipungkiri, sampai sekarang masih banyak orang miskin yang memiliki keterbatasan akses untuk memperoleh pendidikan bermutu antara lain karena mahalnya biaya pendidikan. Padahal, di sisi lain Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar, yang dikenal dengan istilah Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Konsekwensi dari hal tersebutlah maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI) dan SMP/MTs, serta satuan pendidikan yang sederajat.
Dana BOS yang dikucurkan pemerintah, ditentukan pula untuk apa digunakan oleh setiap SD dan SMP penerimanya. Semuanya diatur dalam panduan Pelaksanaan Dana BOS yang diterbitkan setiap tahun oleh Kementrian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama yang wajib untuk dilaksanakan. Jadi, Dana BOS tidak bisa digunakan oleh Kepala Sekolah dengan sekehendak hatinya. Tata cara penggunaannya pun, harus sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Tidak bisa tidak.

Bagaimana
Di tingkat satuan pendidikan (sekolah), Dana BOS dikelola oleh Kepala Sekolah yang sekaligus sebagai penanggungjawab, Bendahara dan satu orang mewakili unsur orangtua murid. Tim ini disebut Manajemen BOS Sekolah, yang unsur orangtua siswa tidak boleh dari Komite Sekolah. Pemilihan unsur orangtua murid ini, dilakukan oleh Kepala Sekolah dan Komite Sekolah dengan mempertimbangkan kredibilitas yang bersangkutan.
Mereka (Manajemen BOS Sekolah) bertugas dan bertanggungjawab untuk memverifikasi jumlah dana yang diterima dengan data siswa yang ada. Mereka juga harus mengumumkan daftar komponen yang boleh dan yang tidak boleh dibiayai oleh Dana BOS serta penggunaan Dana BOS di sekolah menurut komponen dan besar dananya di papan pengumuman sekolah. Juga, mengumumkan besar dana yang diterima dan dikelola oleh sekolah dan rencana penggunaan Dana BOS di papan pengumuman sekolah yang ditandatangani oleh Kepala Sekolah, Bendahara dan Ketua Komite Sekolah.
Manajemen BOS Sekolah, juga wajib membuat laporan bulanan pengeluaran dana BOS dan barang-barang yang dibeli oleh sekolah serta mengumumkannya di papan pengumuman sekolah setelah ditandatangani Kepala Sekolah, Bendahara dan Ketua Komite Sekolah setiap tiga bulan. Selain mereka juga harus memberikan pelayanan dan penanganan pengaduan masyarakat, melaporkan penggunaan Dana BOS kepada Tim Manajemen Bos Kota/Kabupaten, serta memasang spanduk di sekolah terkait dengan sekolah gratis.
Tapi jangan silap, penggunaan atau pemanfaatan Dana BOS di sekolah bukan cuma ditentukan atau ditetapkan oleh manajemen sekolah. Penggunaan Dana BOS di sekolah harus didasarkan oleh kesepakatan dan keputusan bersama antara Tim Manajemen BOS Sekolah, Dewan Guru dan Komite Sekolah. Hasil kesepakatan penggunaan Dana BOS ini harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk Berita Acara Rapat yang dilampirkan dengan tanda tangan seluruh peserta rapat. Juga wajib diumumkan pada papan pengumuman sekolah. Hal ini sesuai dengan jiwa Dana BOS ang harus dilakukan secara transparan dan tepat sasaran.

Fakta di Lapangan
Di bagian-bagian daerah lain di tanah air, pengelolaan Dana BOS agaknya sudah dilakukan Tim Manajemen BOS sekolah dengan baik dan benar sesuai dengan aturan. Di Bontang, Kalimantan Timur misalnya seperti dituturkan Sanggul Hutabarat seorang Bendahara salah satu sekolah disana. Juga di DKI Jakarta seperti dituturkan Irene Jean Manurung salah seorang guru. Juga di Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sumatera Barat seperti disampaikan beberapa narasumber.
Tapi di Sumatera Utara secara umum, pengelolaan Dana BOS belum juga dilakukan sesuai aturan. Manajer Dana BOS Tapanuli Utara 2011 Arifin Simamora mengatakan, itu tanggung jawab kepala sekolah, padahal Manajer BOS Kabupaten Kota bertugas dan bertanggungjawab antara lain untuk melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada Kepala Sekolah, serta bertanggung jawab terhadap kasus penyalahgunaan dana di tingkat Kabupaten/Kota.
Akibat belum dikelolanya Dana BOS di Sumatera Utara dengan baik dan benar sesuai aturan gampang ditebak. Penggunaan dan pemanfaatannya pun rentan disalahgunakan dan berpotensi korupsi. Beruntung, hingga sekarang belum banyak terdengar Kepala SD dan Kepala SMP yang masuk penjara gara-gara menyalagunakan Dana BOS. Mereka, sampai sekarang paling-paling masih menjadi incaran dan bulan-bulanan oknum-oknum yang mengaku wartawan atau LSM. Atau paling-paling cuma mendapat cercaan dan hujatan masyarakat. Sekiranya aparat hukum di Sumatera Utara ini cerdas dan mau bekerja keras, bukan tidak mungkin sudah ribuan Kepala SD dan Kepala SMP di daerah ini yang masuk penjara.
Maka ketika pekan-pekan ini seluruh SD dan SMP di Sumatera Utara menerima kucuran Dana BOS, para Kepala SD dan Kepala SMP harus amit-amit. Mereka perlu diingatkan agar hati-hati supaya tidak masuk penjara. Sebab, merekalah penanggung jawab pengelolaan Dana BOS di tingkat sekolah, jalankan saja dan laksanakan pengelolaan Dana BOS sesuai aturan yang berlaku.
Rasanya sulit sekali membayangkan bagaimana kalau ribuan Kepala SD dan Kepala SMP di daerah ini masuk penjara. Kalau masyarakat kita sudah cerdas, dan aparat hukum kita pun mau bekerja keras, bukan tidak mungkin ribuan Kepala SD dan Kepala SMP di daerah ini masuk penjara cuma gara-gara pengelolaan Dana BOS yang tidak sesuai aturan.

Penulis adalah praktisi pers dan pemerhati sektor pendidikan, bermukim di Tepian Bah Bolon pada Nagori Siantar Estate di Pinggiran Simalungun, yang berbatasan dengan Kota Pematangsiantar.

3 April 2011

Potret Buram Pendidikan di Tapanuli Utara

Oleh : Ramlo R. Hutabarat

Sebegitu Perang Dunia II usai, Kaisar Jepang segera bertanya, “Berapa lagi guru kita yang masih hidup?” Pertanyaan, Kaisar bermakna betapa penting memang pendidikan bagi suatu bangsa. Kaisar tidak bertanya soal Jenderal atau tehnokrat mereka yang hidup akibat perang. Ada terbersit, meski kalah perang dan seluruh negeri porak poranda, dengan pendidikan semuanya bisa dibangun kembali.
Dan dengan begitu pula barangkali kawan saya Drs. Janiapoh Purba mantan Kepala Depdikbud Simalungun (sekarang Diknas) pernah mengatakan, di dunia ini cuma dua yang diperlukan. Pertama : pendidikan dan kedua : yang lain-lain. Pemkab Tapanuli Utara sendiri, agaknya menyadari pentingnya pendidikan bagi anak negerinya. Buktinya, dari tiga pilar utama pembangunan daerah itu salah satunya adalah sektor pendidikan. Meskipun, bila ditelusuri dengan cermat dan cerdas, semua itu cuma slogan dan isapan jempol belaka. Manis di bibir saja, seperti penggalan syair sebuah lagu. Tak percaya? Simak paparan saya berikut. Kondisi Nyata Perkara jumlah lembaga pendidikan di Tapanuli Utara barangkali gudangnya. Sampai sekarang menurut data terakhir ada 386 SD di daerah ini belum termasuk 4 unit Madrasah Ibtidaiyah. Murid SD disini ada 46.388 dengan guru sebanyak 3232 orang. SMP/MTs ada 76 unit dengan murid 21.091 orang dan guru sebanyak 1433 orang. SMA ada 23 unit dan 1 unit Madrasah Aliyah. Muridnya semua 10.922 orang dengan guru berjumlah 693 orang. SMK pun, cukup terbilang banyaknya. Ada 19 unit dengan jumlah murid 6.534 orang dan guru 491 orang. Perguruan Tinggi pun, cukup banyak disini.
Ada Sekolah Tinggi Agama Kristen, ada Universitas Sisingamangaraja XII, ada Akademi Kebidanan bahkan ada pulan Akademi Keperawatan Pemkab Tapanuli Utara. Data terakhir yang saya dapat, ada 6056 mahasiswa keempat perguruan tinggi itu dengan 204 tenaga dosen. Sayangnya, dari sekian banyak gedung sekolah di daerah ini, sekian banyak pula yang kondisinya teramat memprihatinkan. Terutama, gedung-gedung SD yang letaknya bertebaran di daerah-daerah terpencil. Gedung SD di Padang Siandomang misalnya, kondisi fisiknya amat memilukan. Sudah itu, mobiliernyapun sudah sangat usang. Saya tak paham bagaimana siswanya bisa menulis misalnya, di atas daun meja yang berondolan sudah tak rata.
Para guru yang semuanya berjumlah 5.849 orang di Tapanuli Utara, umumnya masih diselimuti ragam persoalan kehidupan teramat memilukan. Baik Pemkab Tapanuli Utara maupun masyarakatnya secara umum, belum memperlakukan guru secara wajar dan pantas. Pada suatu masa guru, guru disini diperlakukan sebagai “sapi perahan”, lantas pada masa lainnya guru pun dijadikan sebagai “kambing hitam”.
Sebagai ujung tombak pendidikan, kehidupan para guru disini bila direkam dalam pita seluloid akan menggambarkan album yang teramat sosiodramatis. Ada guru yang dimutasikan secara tidak wajar, ada yang dipromosikan misalnya cuma karena membayar. Ada guru yang ditindas, dizolimi bahkan “dibunuh” tapi tak ada pihak yang melakukan pembelaan. PGRI pun (Persatuan Guru Republik Indonesia) tidak berbuat apa-apa, sehingga kesan guru sebagai “Pahlawan Tak Berdaya” benar-benar terasa.
Alpha Simanjuntak misalnya, sebelumnya Kepala SMA Negeri Siborong-borong dimutasi sebagai guru kelas di SMP Negeri Simangumban. Djasman Sinaga yang semula Kepala SMK (Otomotif) Sipoholon, dipindahkan menjadi guru kelas pada SMK (Pertanian) di Pangaribuan. Pemimpin Marpaung yang semula Ka. SMK Siatas Barita, dimutasi menjadi Pengawas pada Diknas Taput. Padahal, ada sesuatu yang ada pada Pemimpin Siagian, yang tidak ada pada penggantinya. Joskar Limbong sendiri selaku Kepala Dinas Diknas, tidak berdaya untuk membela para guru yang berada di bawah kepemimpinannya. Campur tangan dan intervensi pihak lain soal mutasi dan promosi guru, dibiarkan Joskar saja demi amannya dia sebagai Kepala Dinas.
Bahkan, ketika Kepala UPT Diknas Kecamatan Parmonangan diganti dan Joskar tidak tahu menahu, mantan Kepala SMA Sarulla ini tenang-tenang saja seperti tak ada apa-apa yang terjadi. Kondisi ini saya cermati, semua bisa terjadi karena perhatian dan kepedulian Pemkab Tapanuli Utara yang sangat mengabaikan sektor pendidikan. Padahal, sekali lagi, salah satu pilar pembangunan daerah itu sekarang ini adalah pendidikan.
Sementara, kondisi riel yang terjadi adalah sesuatu yang paradoksal. Sehingga kesan yang muncul adalah, pilar pembangunan yang didengung-dengungkan cuma semboyan atau slogan saja. Sebagai perbandingan, lihat contoh Bantuan Hibah Pemkab Tapanuli Utara yang ditampung pada APBD 2010. Untuk PGRI misalnya, cuma dialokasikan Rp. 20 juta saja padahal untuk Dewan Kesenian Rp. 75 juta. KNPI, mendapatkan bantuan operasional Rp. 100 juta, KORPRI mendapatkan juga Rp. 100 juta. Akh, Ikatan Motor Indonesia saja memperoleh dana hibah Rp. 50 juta. Padahal, apa dan bagaimanakah Ikatan Motor Indonesia dibanding dengan PGRI. Setali tiga uang dengan Pemkab Tapanuli Utara, para anggota DPRD pun terkesan tidak peduli pula pada sektor pendidikan ini.
Mereka agaknya cuma pura-pura peduli saja kepada guru dan siswa pada saat-saat menjelang pemilu, untuk mendapatkan perolehan suara. Saat kampanye, mereka teriak-teriak dengan kalimat akan membela kepentingan pendidikan, tapi setelah duduk sebagai anggota dewan justru mereka memanfaatkan sektor pendidikan sebagai ajang mendapatkan uang. Lihat contoh rehabilitasi ringan SD Negeri 174584 Parsorminan Kecamatan Pangaribuan, yang dipaksakan pengerjaannya oleh oknum anggota DPRD dari dana P-APBD 2010.
Untungnya memang masih ada oknum anggota DPRD seperti Jasa Sitompul. Pada Pembahasan Rancangan APBD 2011 Desember lalu, dengan cerdas, kritis dan taktis dia bersuara keras dan lantang. Menurut jasa, hatinya teriris karena pagu dana untuk Bantuan Hibah kepada PGRI cuma Rp. 15 juta (turun Rp. 5 juta dari Tahun Anggaran 2010). Ada kesan belum selektif, belum akuntabel dan tidak berkeadilan, katanya.
Dia membandingkan bantuan kepada KONI Rp. 700 juta, bantuan kepada PBVSI Rp. 75 juta, bantuan kepada Panitia Penyelenggara Sepakbola Bupati Cup Rp. 150 juta. Bahkan, Jasa Sitompul membandingkan dengan bantuan kepada kegiatan PKK yang dipimpin Nyonya Toluto Boru Manalu yang Rp. 625 juta, dia bertanya apakah kebijakan Pemkab Tapanuli Utara ini sudah benar dikaitkan dengan salah satu visi utama pembangunan daerah ini meningkatkan mutu pendidikan.
Padahal, menurut Sitompul PGRI merupakan mitra terdepan untuk mewujudkan visi utama Pemkab Tapanuli Utara itu. Jalan Keluar Meningkatkan mutu pendidikan di Tapanuli Utara selama daerah itu dipimpin Toluto, agaknya cuma sloganisme belaka. Jangan harap itu bisa terwujud kecuali dalam mimpi belaka. Bagaimana bisa terwujud, sebab antara lain peningkatan kualitas dan mutu pendidikan bisa dicapai dengan pengalokasian dana yang wajar dan pantas.
Juga, tentunya dengan itikad baik dari semua pihak. Sementara, guru sebagai garda terdepan maju mundurnya pendidikan sampai sekarang masih diselimuti keragu-raguan, deg-degan dan sangat tidak nyaman dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Hemat saya, pendidikan bukan cuma tanggung jawab pemerintah. Dengan prinsip cuma satu hal yang bisa membangun bangsa dan cuma pendidikan, semua elemen dan komponen harus berperan. Termasuk, masyarakat tentunya. Apalagi Pemkab Tapanuli Utara tak bisa diharapkan sampai saat ini.
Banyak hal yang bisa dilakukan agar potret pendidikan di Tapanuli Utara tidak seburam hari ini. Orang tua (masyarakat) harus penuh perhatian pada sektor ini, tidak cuma ngomong “Ingkon do singkola satimbo-timbona” omong kosong itu pendidikan gratis. Pendidikan saja yang bisa memajukan suatu bangsa. Dan karena itu, pendidikan itu mahal. Setidaknya harus ada ongkosnya. Pemkab Tapanuli Utara seyogianya bertobat hari ini juga.
Aparatur pendidikan pun di semua tingkatan juga harus bertobat. Tidak malah memanfaatkan sektor pendidikan sebagai ajang memperkaya diri. Korupsi. Semua dana untuk sektor pendidikan harus digunakan sebagaimana mestinya. Tidak malah digerogoti seperti selama ini. Lebih dari itu, suasana nyaman dan sejuk harus diciptakan secara bersama. Guru pun memang jangan lagi berpolitik praktis hingga wajar jika menjadi korban politik.
Oknum LSM dan yang mengaku-ngaku wartawanpun, agaknya harus mengkaji ulang apakah kunjungan ke sekolah-sekolah mulai sekarang diurungkan. Sebab, kunjungan ke sekolah-sekolah mempertanyakan penggunaan dana BOS dan lain-lain, sangat mengganggu proses belajar dan mengajar. Sebagai perantara asal Tapanuli Utara yang pernah menjadi guru dan mengasuh lembaga pendidikan, saya menangisi potret pendidikan di daerah ini yang buram bahkan dicoret-coreti ragam pihak. Saat ini pun, saya tengah menyusun sebuah buku tentang kondisi nyata pendidikan disini, meskipun cuma dalam bentuk narasi yang jauh dari penilaian ilmiah.
Penulis adalah praktisi pers tinggal di Tepian Bah Bolon pada Nagori Siantar Estate di Pinggiran Simalungun, yang berbatasan dengan Kota Pematangsiantar.

POLDASU DIHARAP TINDAK PENGGARAP HUTAN DI TAPUT

Oleh Ramlo R. Hutabarat

Orang Tapanuli Utara, khususnya warga Tarutung, siapa lagi yang tak pernah dengar nama Vanana Garden. Letaknya sekira 4 kilometer dari Tarutung, arah Kecamatan Sipahutar, di sisi kiri ruas jalan beraspal menjelang Dusun Siarang-arang Desa Hutabarat Parbaju Tonga. Setelah meliuk-lik menyusur jalan seolah membelah perut bukit, setiap orang bisa sampai pada kawasan yang sekarang populer disebut Vanana Garden. Vanana Garden boleh disebut sebagai taman sekaligus tempat hiburan juga areal pertanian dan peternakan.
Tak ada yang tahu pasti berapa hektar luasnya. Cuma, dipastikan tak kurang belasan hektar yang berbatasan dengan kawasan hutan. Ada jalan lingkar yang meliuk-liuk mengitarinya, diaspal dengan sistem lapisan penetrasi. Ada jaringan instalasi listrik yang tak jelas darimana sumber pembiayaan pembuatannya. Juga ada dua bangunan megah ditengahnya berupa rumah panggung bergaya melayu. Sesekali, disana orang ramai-ramai berdendang ria diiringi musik keyboard, seolah tak ada yang kurang (lagi). Lalu ada sarana hiburan anak-anak berupa ayunan dan berbagai jenis lainnya. Taman-taman ditata sedemikian apik, hingga indah dipandang mata. Selebihnya, ada hamparan tanaman kentang dan ubi jalar termasuk ragam komoditas lainnya. Ternak babi dibuatkan di ujung sebelah utara pada tapal batas areal yang berada di bibir jurang. Dan, sudah barang tentu, ada belasan karyawannya disana yang bekerja seharian dengan tekun dan cermat.
Sesekali, terlihat pula kenderaan milik Pemkab Tapanuli Utara beroperasional disana entah mengerjakan apa saja. Vanana Garden. Suatu tempat indah menawan. Sedap dipandang mata, cantik dan menarik, memikat hati. Milik Penguasa Secara umum, tak ada yang tau pasti milik siapa Vanana Garden. Cuma, orang Tarutung menyebut, kawasan itu merupakan miliknya Torang Lumbantobing, sekarang Bupati Tapanuli Utara Bupati Tapanuli Utara. Persoalannya, Torang memang pernah mengajak beberapa petinggi pemerintahan kesana, untuk melakukan panen salah satu jenis komoditas, waktu itu dalam bagian pidatonya Torang menyebut bahwa areal itu merupakan miliknya yang diusahainya bersama keluarganya.
Dan sejak itu, orang-orang menyebut Vanana Garden adalah milik Torang Lumbantobing. Boleh jadi memang, Vanana Garden tidak dibuat atas nama Torang Lumbantobing. Karena itulah tadi disebut, tidak diketahui secara hukum siapa pemilik Vanana Garden. Yang pasti, Torang Lumbantobing acapkali berada disana meski pada jam-jam produktif. Acap pula, pagi-pagi sekali orang pertama di Tapanuli Utara itu terlihat pulang ke arah Tarutung dari Vanana Garden mengendarai sendiri mobil milik Pemkab Tapanuli Utara. Beberapa petinggi pemerintahan Tapanuli Utara juga sering juga ke Vanana Garden untuk menjumpai Torang Lumbantobing entah untuk urusan apa saja.
Biasalah, tentu, hubungan antara seorang Kepala Daerah dengan staffnya. Soeharto sendiri pada zaman keemasannya acap didatangi petinggi negeri kita ini ke Tapos. Tapi ketika Soeharto lengser dari kekuasaannya, Tapos pun sepi pengunjung. Tak ada lagi petinggi yang datang kesana. Sebagai Bupati Torang Lumbantobing memang cukup beruntung. Kabarnya dia juga memiliki tanah pertanian di Kecamatan Siatas Barita yang juga luasnya belasan hektar. Disebut beruntung, sebab orang lain – masyarakat biasa – tentu tidak memiliki tanah pertanian seluas yang dimiliki Torang Lumbantobing.
Persoalannya, masyarakat biasa tentu saja tidak memiliki uang yang cukup untuk membeli tanah seluas yang dibeli Torang Lumbantobing. Lagipula, mereka (masyarakat biasa) dibatasi dengan kepemilikan tanah seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah. Termasuk kepemilikan absentie yang diatur dalam Undang-undang. Tidak boleh memiliki tanah pertanian di luar kecamatannya tinggal. Maka diatas kertas, berbahagialah Torang Lumbantobing, Tobing memiliki Vanana Garden, juga tanah pertanian di kawasan Hutanamora Kecamatan Siatas Barita. Di hari tuanya, setelah tidak lagi menjadi Bupati Tapanuli Utara, dia bisa berusaha sekaligus beristirahat di areal pertanian, peternakan dan taman miliknya itu.
Menikmati hari tua yang tenang, setelah pernah menjadi Ketua DPRD dan dua periode (pula) menjadi Bupati Tapanuli Utara. Kawasan Hutan Lebih beruntung lagi, Toluto tidak diusik siapapun ketika mengusahai, mengerjakan dan menduduki areal yang disebutnya Vanana Garden itu. Tidak oleh Badan Pertanahan Nasional, Dinas Kehutanan Tapanuli Utara, termasuk Polisi Resort Tapanuli Utara. Apalagi, tentu masyarakat dan warga Tapanuli Utara. Toluto boleh dan silahkan lenggang mengelola Vanana Garden yang diklaimnya sebagai miliknya itu. Kenapa disebut pula lebih beruntung, sebab sesungguhnya areal Vanana Garden itu merupakan kawasan hutan seperti yang dimaksud oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005.
Di Simalungun misalnya 2 tahun lalu 59 anak negeri yang mengusahai, mengerjakan dan menduduki kawasan pernah divonnis pengadilan bersalah, dan dijebloskan kedalam penjara. Mereka (anak negeri Simalungun itu) harus mendekam di balik jeruji besi untuk beberapa waktu cuma karena menggarap kawasan hutan. Dan Torang Lumbantobing juga telah menggarap kawasan hutan. Sama dengan anak negeri Simalungun tadi. Cuma perlakuan aparat hukum kita yang berbeda. Padahal, karena negara kita adalah negara hukum pada prinsipnya semua orang sama dihadapan hukum. Bahwa Vanana Garden yang diusahai, dikerjakan, diduduki Torang Lumbantobing merupakan kawasan hutan bisa dipastikan pada Peta Kawasan Hutan Sumatera Utara yang diterbitkan oleh Kementrian Kehutanan Republik Indonesia.
Dalam peta itu jelas dan pasti disebutkan Vanana Garden merupakan kawasan hutan yang tentu mau atau tidak mau tidak boleh digarap oleh siapa saja. Ada undang-undang tentang kehutanan di republik ini yang mengatur segala sesuatu tentang hutan. Pihak Badan Pertanahan Nasional Tapanuli Utara pun membenarkan bahwa Vanana Garden merupakan kawasan hutan seperti yang dimaksud oleh Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005. Cuma, menurut mereka, sertifikat Vanana Garden diterbitkan sebelum Peta Kawasan Hutan disampaikan kepada pihak BPN Tapanuli Utara. Jadi waktu sertifikat Vanana Garden diproses untuk diterbitkan, mereka (BPN) tidak tahu bahwa Vanana Garden tadi masuk dan merupakan kawasan hutan.
Padahal, kalau sekarang sudah diketahui bahwa Vanana Garden merupakan kawasan hutan, BPN harus mencabut dan sekaligus membatalkan sertifikat itu. Lha, kalau begitu, sekarang bagaimana? Rasanya tak perlu dijelaskan apa dan bagaimana peranan hutan bagi bumi kita ini. Kayak mengajari ayam bertelur pula nantinya. Lagipula, paparan yang menggurui tak sedap untuk dibaca kata para penulis sohor. Konon, kalau Polres Tapanuli Utara apalagi Dinas Kehutanan Tapanuli Utara jangan harap mampu untuk melakukan tindakan. Tak akan dilakukan mereka itu, sebab sekarang Toluto adalah Bupati Tapanuli Utara. Paling-paling kelak kalau dia tak lagi menjadi Bupati, barulah tindakan hukum dilakukan oleh aparat di daerah itu.
Makanya yang diharapkan sekarang adalah Dinas Kehutanan Sumatera Utara, sekaligus Polisi Daerah Sumatera Utara. Kedua institusi ini harus segera melakukan tindakan hukum. Siapa saja penggarap kawasan hutan harus dijerat hukum karena sudah merupakan tindakan melawan hukum. Sekali lagi, negara kita adalah negara hukum. Semua warga sama dihadapan hukum. Tak ada yang kebal hukum, seorang pun tidak termasuk, katanya, Torang Lumbantobing. Penulis adalah praktisi pers, perantau asal Tapanuli Utara yang tinggal di Tepian Bah Bolon pada Kawasan Nagori Siantar Estate di Pinggiran Simalungun, yang berbatasan dengan Kota Pematangsiantar.

Dari Mana Mau Kemana

Sesungguhnya aku tidak siapa-siapa. Juga tidak apa-apa. Makanya sebenarnya aku tidak mengapa-mengapa. Aku cuma dilahirkan seorang ibu yang biasa-biasa, di Pontianak, Kalimantan Barat. Ayahku, seorang guru yang juga tidak luarbiasa. Dilahirkan dan dibesarkan di Pontianak, Sintang, Jakarta, Rantauprapat, Medan, Tarutung, Pekan Baru, Kuala Simpang (Aceh Tamiang), Langsa, Lampahan (Aceh Tengah, sekira dua puluh kilo meter sebelum Takengon dari arah Bireun), akupun akhirnya menjadi orang Indonesia. Padahal bapakku Batak medhok dan totok sementara ibuku sesungguhnya bagai kampak pembelah kayu, Batak yang sudah jadi Melayu.

Akupun sampai sekarang tetap tidak dimana-mana, meski harus kemana-mana karena aku cuma seorang jurnalis. Jurnalis yang tinggal di Tepian Bah Bolon pada kawasan Nagori Siantar Estate, di pinggiran Simalungun yang berbatasan dengan Kota Pematangsiantar. Jadi aku cuma orang pinggiran, tapi sekaligus menjadi orang perbatasan. Imran Nasution, kawanku yang juga jurnalis menyebutku sebagai : Orang Pinggiran yang Selalu Berada di Tengah.

Cuma satu yang aku inginkan. Aku mau menulis sampai kapanpun, sampai denyut terakhir nadiku, sampai akhir menutup mata. Meskipun tak akan ada yang mendengar isi tulisanku, itu bukan urusanku. Urusanku adalah menulis dan itu pekerjaanku. Sementara bekerja bagiku adalah kewajiban, bahkan ibadah.

Aku mau menulis, untuk membuktikan bahwa aku pernah hidup. Dan aku mau sejarah mencatat bahwa aku pernah ada di muka bumi ini. Hidup harus dibuat berarti, meski suatu masa aku pasti mati.

Mati.