Minggu, 25 September 2011

Timbul Tenggelamnya Usaha Penerbitan Pers di Siantar

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Belantara pers kita tumbuh subur bagai jamur di musim hujan menyusul era reformasi. Departemen Penerangan dibubarkan pada masa pemerintahan Gusdur. Dan, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) pun tak lagi dibutuhkan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga diberlakukan. Konsekwensinya, siapa saja boleh menjadi wartawan, sekaligus siapa saja pun boleh mendirikan usaha penerbitan pers. Hari ini buatkan aktenya di Notaris, dan besoknya usaha penerbitan pers pun bisa dilakukan. Yang penting usaha itu diterbitkan oleh lembaga yang berbadan hukum seperti yang diisyaratkan oleh peraturan perundangan.

Maka ramai-ramailah orang yang menjadi wartawan. Ada yang semula tukang solder keliling kampung, sekarang sudah tampil sebagai wartawan. Ada yang puluhan tahun menjadi kenek bus, juga tiba-tiba muncul jadi wartawan. Ada pedagang kaki lima, penjual barang rongsokan, kuli bangunan yang bekerja secara musiman, pedagang lonte (lontong dan sate), juga bekas pekerja di sarang lonte (salon) Termasuk, ada yang cuma penjual es campur, penjual kambing curian, bahkan tukang semir dan penambal ban di pinggir jalan.

Dimana-mana usaha penerbitan pers pun ramai seramai pasar malam didirikan orang, Di Medan saja kabarnya, ada 200-an dan hampir 200-an pula yang tak pernah lagi terbit karena tumpur. Ada perusahaan pers di Medan yang hidup beberapa kali penerbitan saja, tapi mendadak mati bagai terkena serangan jantung. Ada yang terbit sesekali lalu mati dan menjadi aneh terbit lagi karena mati tapi tak pernah dikubur. Yang paling lucu, ada perusahaan pers yang mati dalam kandungan. Artinya, perusahaan pers itu padam sebelum pernah menerbitkan korannya.

Di Siantar tempo hari ada Sinalsal Simalungun yang dibandari kawan saya Jan Wiserdo Saragih. Awalnya koran ini menggebu-gebu, tapi karena tak seorang pun awaknya yang memahami usaha penerbitan pers lalu mati konyol dan kuburannya pun tak pernah dibuatkan. Lantas ada Koran Siantar yang dicukongi Marim Purba dan awaknya hampir semua berpendidikan S2, tapi hidup ngos-ngosan dan pangsan lantas mati suri. Padahal waktu itu Marim adalah orang nomor satu di Kota Pematangsiantar.

Lantas, ada Rakyat Siantar yang ditokei Jonson Sibarani. Pangsan dan ambruk. Dicoba lagi dengan menjadi koran mingguan dengan nama Pena Rakyat, tapi kollaps juga, mati dan dikuburkan. Selanjutnya, ada Sinar Keadilan yang diusahai Rajisten Sitorus, tapi hidup megab-megab baung sampai akhirnya mati ditelan bumi. Sumatera Timur dan Transmedia yang dikomandani kawan saya sekaliber Bantors Sihombing juga terkana stroke dan tewas seketika. Begitu juga Siantar Pos yang dimodali RE Siahaan waktu menjadi Walikota Pematangsiantar, Bongkar Kasus yang didirikan Boyke Sinaga, Suara Indonesia Baru yang dibangun Reagen Rajagukguk, Local News yang dibidani Luhut Simanjuntak, serta The Lcal News yang dibandari Denny Siahaan. Termasuk satu lagi yang saya lupa sekarang namanya, tapi dimodali John Hugo Silalahi begitu dia tak lagi menjadi Bupati Simalungun. Semua padam, tak pernah lagi terbit karena tumpur. Hanya Suara Simalungun saja yang dikomandani kawan saya Hentung Toni Purba yang masih mampu bertahan hidup meski pun bagai kerakap tumbuh di batu. Mingguan ini memang layak diapresiasi meski pun sudah lebih sepuluh tahun usianya tapi masih saja menderita sesak napas yang berkepanjangan.

Dari semua itu, hanya Metro Siantar yang dicukongi raksasa ekonomi dari grup Jawa Pos yang mampu bertahan hidup. Siantar 24 Jam hanya megab-megab baung saja, dan belakangan muncul Siantar Metropolis serta Konstruktif yang dimotori Antoni Pardosi serta Tigor Muthe. Saya sempat ada di Konstruktif ini, namun belakangan mundur teratur sebelum korannya terbit. Beberapa hari sempat terlanjur di Konstruktif, akhirnya saya menyimpulkan usaha penerbitan ini hanya bagai menunda kekalahan saja. Dan saya berani taruhan, penerbitan ini hanya bisa terbit dalam hitungan bulan saja. Setelah itu, mati berkolong tanah.

Enteng dan Mentereng

Orang ramai-ramai menjadi wartawan karena merasa menjadi wartawan itu hebat dan gampang mendapatkan uang. Boleh jadi mereka selalu menyaksikan dilayar kaca wartawan yang bebas mewawancarai siapa saja, termasuk para petinggi pemerintahan. Lantas, bisa kemana saja dan kapan saja seperti bagai bebas rintangan yang menghalang. Ada pula yang namanya ongkir (ongkos kirim) selain bisa ngancam-ngancam orang lain agar kasusnya tidak diberitakan di surat kabar. Pokoknya, banyak orang yang menyangka jadi wartawan itu gampang mendapatkan uang. Dan para petinggi yang korup, takut kasusnya disiarkan di surat kabar.

Anggapan itu dalam realita hanya anggapan semata. Yang pasti, menjadi wartawan bukanlah sesuatu yang gampang seperti disangkakan banyak orang. Seorang wartawan haruslah seorang pembelajar yang tak pernah berhenti untuk belajar. Dia harus memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, Karena itu, seorang wartawan adalah seorang pembaca yang tekun dan tak pernah jenuh. Dia harus memiliki prinsip belajar dan belajar sampai denyut terakhir nadinya.

Kalau wartawan itu hebat, barangkali benar juga. Tapi harap diingat, tidak semua wartawan hebat dan seorang hebat tidak harus menjadi wartawan. Seseorang yang tidak sombong, tidak angkuh, suka mendengar, pegaul yang luwes dan elastis, suka membaca dan belajar terus, dan tidak berorientasi uang atau material tentu memang bisa digolongkan sebagai orang hebat. Tapi yang sombong, angkuh, merasa pintar dan sok jago dan merasa benar selalu, apakah bisa diklasifikasi sebagai orang hebat ? Apalagi, bergaul pun tak pintar karena merasa orang lain goblok dan tolol.

Mendirikan sebuah usaha penerbitan pers juga merupakan sesuatu yang gampang. Seperti yang saya sebutkan tadi, hari ini buatkan aktenya di Notaris dan besok korannya bisa diterbitkan. Tak terlalu salah jika disebutkan mendirikan perusahaan penerbitan pers sama gampangnya dengan membalikkan telapak tangan. Jadi enteng sekali, dan orang-orang pemilik perusahaan pers selalu merasa mentereng dan beteng. Seolah, dengan mendirikan perusahaan pers semuanya akan gampang diatur. Wartawan saja pun jago, apalagi pemilik perusahaan pers.

Tapi duduk soalnya tentu bukan disitu. Yang sulit sekali adalah mengelola perusahaan pers itu hingga menjadikannya sebagai suatu perusahaan yang menghasilkan uang. Itulah soalnya, sebab pers dalam masa ini adalah sebuah lembaga ekonomi yang mau tidak mau paling sedikit mampu menghidupi para karyawannya. Sementara, tujuan utama sebuah perusahaan pers adalah untuk mendapatkan uang melalui perannya sebagai alat pendidikan, alat hiburan dan sosial kontrol.

Perusahaan pers, mutlak dilola oleh orang-orang yang memiliki kecakapan dan pengalaman di bidang manajemen pers dalam arti luas. Kalau tidak, agaknya hanya mimpi belaka bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Sementara, pengalaman serta kecakapan di bidang manajemen pers tidak bisa datang sendiri. Dia mesti berasal dari pengetahuan dan pengalaman yang bertahun-tahun tanpa henti. Jadi tidak seperti makan cabai, begitu dimakan begitu terasa.

Manajemen pers itu pun sungguh, merupakan sesuatu yang unik dan khas. Dia bagai merupakan barang langka dan antik yang sulit sekali untuk didapatkan. Jadi tidak seperti anggapan banyak orang, gampang dan bisa dilakukan dengan belajar sendiri. ‘Marsiajar dilapik’, istilah Tapanuli, dan ini omong kosong. Kalau hanya dengan prinsip ‘marsiajar dilapik’ lebih baik jangan coba-coba. Sebab, modal usaha sebuah penerbitan pers tidak cukup sekadar puluhan juta rupiah. Mesti ada dana segar sampai ratusan juta rupiah.

Kiat Cemerlang

Kawan saya Hentung Toni Purba yang sekarang menjadi pengasuh surat kabar Mingguan Suara Simalungun, agaknya bisa dijadikan sumber bagaimana mengelola sebuah usaha penerbitan pers. Juga barangkali, kawan saya Martua Situmorang dan Jansen Simanjuntak yang mengasuh Liputan Bona Pasogit di Tarutung sana. Ketiga orang ini, faktanya telah menjalankan usaha penerbitan pers selama bertahun-tahun dengan gilang gemilang. Gilang gemilang disimpulkan, karena usaha penerbitan pers yang mereka pimpin dan kelola sudah bertahun-tahun bisa hidup meski pun dengan ngos-ngosan dan bagai sesak napas. Meski pun piutang menggunung dan akhirnya menjadi piutang tak tertagih, faktanya usaha penerbitan mereka masih saja eksis sampai sekarang.

Saya pikir, modal utama dalam mengelola sebuah usaha penerbitan pers adalah keprofeionalismean yang dimiliki berupa pengalaman dan kecakapan. Kalau kecakapan dan pengalaman tidak dimiliki, lebih baik jangan mulai sebuah usaha penerbitan pers. Cari saja bentuk usaha lain yang mungkin bisa berkembang, dan katakan ‘sayonara’ pada bidang ini. Bumi ini masih terlalu kaya untuk dilola entah di bidang apa saja. Plastik bekas saja serta kertas-kertas yang bertebaran dimana-mana bahkan sampah yang bergelimpangan masih bisa didaur ulang dan dijadikan uang.

Di antara para pengelola sebuah usaha penerbitan pers, mutlak dibutuhkan kesepemahaman untuk apa mereka ada. Mesti jelas tujuan yang akan dicapai, dari mana dan akan kemana serta bagaimana. Mereka juga harus dilandasi oleh semangat kerja yang berapi-api, tidak goyah, teguh dalam prinsip dan setia serta taat. Mereka juga harus memiliki landasan pemikiran yang siap berkorban, rela dan ikhlas, dilumuri semangat serta nilai juang yang tinggi.

Para pengelola sebuah usaha penerbitan pers, harus memiliki rasa saling menghargai, saling mengasihi serta saling mengayomi. Mereka juga mutlak saling percaya, saling pengertian dan memahami sesamanya, dan mau mendengar sesama mereka. Selain, mereka juga harus tampil seadanya tanpa merasa lebih hebat dari yang lain. Dalam usaha penerbitan pers, tidak ada devisi yang lebih dari yang lain, bagai lokomotif dengan gerbongnya.

Maka timbul tenggelamnya usaha penerbitan pers di Pematangsiantar, saya lihat secara umum dikarenakan belum adanya niat dan kesepakatan di antara sesama pengelolanya untuk melandasi pekerjaannya seperti yang diuraikan di atas. Mereka umumnya masih sekadar hura-hura berlagak sudah hebat bila pernah mengelola usaha penerbitan pers. Padahal, apa artinya pernah mengelola usaha penerbitan pers sebulan dua bulan lantas usaha itu pun padam, hancur, dan akhirnya mati serta tak dibuatkan pula kuburannya. Bikkin malu saja, seperti kata almarhum DR GM Panggabean yang saya anggap sebagai maha guru saya dalam persuratkabaran. ‘Latteung’, seperti acap diucapkannya semasa hidupnya.

Inilah yang bisa saya sampaikan sekaitan dengan permintaan DR Sarmedi Purba SPOG kepada saya untuk menulis tentang timbul tenggelamnya usaha penerbitan pers di Siantar. Saya merasa tersanjung dengan istilah dokter spesialis kandungan, politisi dan pemerhati itu kepada saya sebagai penulis kondang. Permintaan DR Sarmedi kepada saya untuk menulis tanggapan tentang timbul tenggelamnya usaha penerbitan pers di Siantar, saya anggap merupakan sebeuah penghargaan.. Terima kasih atas permintaannya, Doktor ! (25 September 2011) .

Selasa, 20 September 2011

Diknas Siantar dan Simalungun Sarang Korupsi ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Perkara korupsi, kolusi dan manipulasi, barang kali Dinas Pendidikan Nasional Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun sarangnya. Boleh jadi memang, juga di semua Dinas Pendidikan Nasional di tanah air. Tapi karena kita tinggal dan bermukim di daerah ini, maka wajar dan pantasnya saja kita hanya membicarakan soal Dinas Pendidikan Nasional di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun.

Korupsi, kolusi dan manipulasi di Dinas Pendidikan Nasional Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, menggurita sejak dari ruang kelas belajar sampai ke tingkat sekolah. Mulai dari pengadaan buku-buku pelajaran, pakaian seragam, alat peraga, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), sertifikasi guru, sampai pada pelaksanaan Proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) Juga berbagai pungutan yang selalu bekerja sama dengan pihak Komite Sekolah, bahkan sampai pada Pendidikan Luar Sekolah. Maka, dunia pendidikan sebenarnya di daerah ini sudah dirasuki virus sangat berbahaya yang disebut korupsi.

Pelaksanaan Proyek DAK merupakan ajang korupsi yang paling rawan sekaligus bagai mahkota bagi para pelakunya. Menyusul, Proyek yang dibiayai oleh DPPIP (Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan) yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Jenis pekerjaan Proyek DAK, bisa pembangunan ruang kelas baru atau rehabilitasi ruang kelas, pengadaan mobiler, pengadaan buku dan alat peraga, sampai alat-alat laboratorium dan muatan lokal. Sementara, DPPIP biasanya diperuntukkan bagi pembangunan ruang kelas baru atau rehabilitasi ruang kelas.

Modus operandi manipulasi pelaksanaan Proyek DAK maupun DPPIP, dimulai dengan tawaran secara diam-diam kepada para kontraktor untuk menjadi pemborong pekerjaan itu. Kepada calon kontraktornya, dimintakan sejumlah dana dengan persentase dari pagu anggarannya. Dari sinilah pada gilirannya, pelaksanaan proyek tadi tidak dilakukan (lagi) sesuai dengan perjanjian yang diikat dalam kontrak. Dan pihak manapun yang terlibat dalam pengawasannya, dibuat tak berdaya sama sekali. Bahkan pihak sekolah dimana pekerjaan itu dilakukan.

Pengadaan buku-buku yang dananya bersumber dari DAK, merupakan makanan empuk bagi perusahaan-perusahaan penerbit. Dengan iming-iming komisi sekian persen atau diskoun, perusahaan – perusahaan penerbit tertentu pun dijadikan sebagai pemasok buku-buku itu. Mulai dari guru, kepala sekolah hingga oknum-oknum pejabat Dinas Pendidikan Nasional pun mendapatkan semacam fee. Ada jalinan kerja sama antar beberapa pihak, termasuk orang-orang swasta yang dikenal sebagai orang dekat kepala daerah.

Pengadaan mobiler, juga merupakan ‘makanan empuk’ bagi para koruptor yang dijadikan Dinas Pendidikan Nasional sebagai pemasoknya. Mobiler itu boleh jadi kursi murid, meja murid, kursi guru, meja guru, juga lemari buku. Biasanya, dalam spek dicantumkan bahan rangkanya terbuat dari kayu berkelas tapi yang dipasok justru dari kayu jenis sembarang (tidak berkelas) Daun meja mau pun daun kursi serta dinding lemari yang biasanya dalam spek dicantumkan dari multiplek 12 inci, tapi yang digunakan biasanya Cuma 6 atau 9 inci saja. Lantai yang biasanya harus menggunakan keramik yang memiliki standart SII (Standart Industri Indonesia) atau sejenis buatan KIA, tapi yang digunakan justru keramik sontoloyo belaka.

Langkah maju pemerintah yang sejak 2008 menerapkan kebijakan sertifikasi guru, juga dimanfaatkan oknum-oknum di Dinas Pendidikan Nasional sebagai ajang pungli yang berpotensi korupsi. Persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi itu, banyak yang diperoleh secara tidak syah. Boleh jadi juga karya tulisnya yang hasil contekan dengan hanya mengganti judulnya, sampai jumlah jam mengajar setiap pekannya yang direkayasa.

Di Kota Pematangsiantar misalnya, tahun ini ada 800-an guru yang diproses sertifikatnya. Dan bukan rahasia lagi, kepada mereka dikutip sejumlah uang yang nilainya bervariasi. Lain dari guru swasta, lain pula dari guru yang mengajar di negeri. Sempat surat kabar ribut-ribut memberitakannya, tapi belakangan padam dengan sendirinya seiring dengan bergantinya hari-hari. Dan Hermanto Panjaitan orang yang mengurusi masalah ini di Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar, dengan tenang dan kalem hanya mengatakan : Kutipan yang sempat kami lakukan, sekarang sudah
dikembalikan.

Pemanfaatan Dana BOS, juga merupakan ajang korupsi yang amat subur. Perencana penggunaan Dana BOS ini, dijadikan oknum kepala sekolah bagai topeng atau boneka belaka. Managemen BOS tingkat sekolah (SD dan SMP), juga tidak menggunakan Dana BOS itu sesuai aturan dan petunjuk yang ada. Sementara di sisi lain, Manejer BOS tingkat Kabupaten atau Kota, lenggang kangkung belaka seolah tak ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan Dana BOS yang tak sesuai aturan tadi. Kalau saja pemanfaatan Dana BOS ini diaudit oleh tim independent, dijamin bakalan banyak kepala sekolah di Pematangsiantar dan Simalungun yang bakalan masuk penjara.

Celakanya, Komite Sekolah yang ada di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, juga ikut-ikutan dilumuri praktek-praktek kotor yang koruptif dan manipulatif. Dengan alasan untuk ini itu, Komite Sekolah pun melakukan kutipan kepada orang tua murid yang biasanya dimotori oleh Kepala Sekolah. Di SMP Negeri I Bandar misalnya, sekarang tengah berlangsung pengutipan sejumlah uang dari orang tua murid dengan alasan untuk membuat jerajak jendela. Juga, di beberapa sekolah yang agaknya tak perlu untuk dipaparkan disini.

Akar Persoalan

Sektor pendidikan memang, sudah kotor sekali menyusul era otonomi daerah. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah, menjadi wewenang Kepala Daerah untuk mengangkat dan memberhentikannya. Dan dalam realita, meski ada Peraturan Mendiknas tentang Tata Cara Pengangkatan Kepala Sekolah, Kepala Daerah selalu mengabaikannya seraya mengangkat Kepala Sekolah sesuai dengan ssuka-suka dan seleranya.

Karena itu bukan rahasia lagi di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, seorang guru yang diangkat menjadi Kepala Sekolah harus membayar sekian puluh juta kepada oknum-oknum tertentu. Nilainya tergantung kepada jumlah muridnya atau besar sekolahnya. Makin banyak murid suatu sekolah, semakin besar uang yang harus diserahkan seorang guru yang berambisi menjadi Kepala Sekolah. Meski pun, seorang kawan marga Simanjuntak yang disebut-sebut dekat dengan JR Saragih, Bupati Simalungun membantahnya.

“Tak ada kewajiban untuk menjadi Kepala Sekolah dengan cara membayar”, katanya dalam suatu perbincangan belum lama ini.

Kepala Dinas Pendidikan Simalungun Albert Sinaga misalnya, belakangan memiliki kiat tertentu untuk mendapatkan sejumlah uang dari pihak sekolah. Caranya gampang, dengan hanya meminta agar semua sekolah dan Kantor UPTD Dinas Pendidikan Nasional di daerah ini untuk mengganti plang mereknya masing-masing. Dan, pembuatannya dimintakan agar dipesan kepada pemilik nomor HP 0852 7558 8320 yang ketika dihubungi mengaku marga Saragih.

Kiat Albert agaknya cukup cerdas dan brilian untuk mendapatkan uang yang cukup banyak. Kalau jumlah semua sekolah di Simalungun ada 1000 ditambah semua Kantor UPTD Dinas Pendidikan di kecamatan, entah sudah bertapa biaya untuk membuat plang merek itu kalau sekiranya satu unit harganya Rp 200.000.

Disinilah agaknya akar masalahnya. Kebijakan penyelenggara pendidikan di Dinas Pendidikan Nasional sampai kepala Kepala Daerah yang tidak bijaksana, mengakibatkan guru sebagai garda terdepan pendidikan ikut-ikutan kotor atau tercemar. Apa boleh buat, Kepala Sekolah pun harus mencari upaya agar bisa mendapatkan uang tambahan entah bagaimana pun caranya. Sejumlah uang yang terlanjur diserahkan agar menjadi Kepala Sekolah, harus dikembalikan dengan cara entah bagaimana saja. Boleh jadi melalui Dana BOS, boleh jadi dari pemasokan buku-buku atau boleh jadi dari mana saja. Yang penting duit bisa dikembalikan dan kalau bisa dapat untung pula.

Maka dunia pendidikan kita pun akan semakin runyam dan anjlok. Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan yang didengang-dengungkan akhirnya hanya ada dalam mimpi dan harapan belaka. Jangan berharap mutu dan kualitas pendidikan di Siantar dan Simalungun bisa meningkat dari tahun ke tahun kalau kondisinya masih saja begini-begini. Jauh panggang dari api, kata pepatah Melayu kuno yang tak usang-usangnya.
________________________________________________________________________
Pematangsiantar 20 September 2011 Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
_______________________________________________________________________

Senin, 19 September 2011

Zulkarnaen Damanik Layak dan Pantas Pimpin Partai Demokrat Siantar

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Dewan Pimpinan Cabang Partai Demokrat Kota Pematangsiantar, sejak Pebruari tahun ini sesungguhnya sudah demisioner. Masa priodeisasinya sudah berakhir, dan mantan ketuanya pun RE Siahaan sekarang tengah ditahan KPK karena diduga melakukan kejahatan korupsi ketika menjadi Walikota Pematangsiantar. Alhasil, wajar kalau partai pemenang pemilu itu secara khusus di kota ini bagai kehilangan induk.

Kalau tak salah, Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat telah menghunjuk John Hugo Silalahi sebagai Pelaksana Ketua PD Kota Pematangsiantar, menggantikan RE Siahaan. Sebagai pelaksana , tentunya ada tugas khusus Hugo yang menjadi kewajibannya. Antara lain, tentu, melaksanakan Musyawarah Cabang Partai Demokrat seperti yang diatur dalam AD/ ART (Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga) partai binaan SBY itu.

Sudah berbulan-bulan Hugo ditetapkan sebagai Pelaksana Ketua PD Kota Pematangsiantar. Dan, sudah berbulan-bulan pula musyawarah cabang belum juga dapat dilaksanakan entah dengan alasan apa. Pernah diberitakan surat-surat kabar, muscab akan dilangsungkan sebelum lebaran tahun ini. Molor. Lantas berhembus pula kabar kabur, setelah lebaran. Ekh, meski lebaran sudah berlalu, Muscab PD Kota Pematangsiantar belum juga terlaksana. Tak jelas apa gerangan penyebabnya. Yang jelas muscab itu sampai sekarang belum terlaksana juga.

Biasalah, partai besar dan pemenang pemilu pula. Ragam spekulasi beredar di berbagai kalangan. Ada yang menyebut, muscab belum juga kunjung dilaksanakan karena masih tarik menariknya kekuatan di antara sesama kader. Ada kelompok yang menginginkan agar Ketua PD Kota Pematangsiantar mendatang merupakan seorang yang berasal dari kader itu partai itu. Ada pula kabarnya, kelompok yang berharap Ketua PD Kota Pemataangsiantar kelak adalah seseorang yang bukan berasal dari kalangan kadernya. Dan PD memang, menganut paham seperti itu.. Lihat misal Tengku Milwan yang sekarang Ketua PD Sumatera Utara. Juga Kasmin Simanjuntak Ketua PD Tobasa. Juga JR Saragih Ketua PD Simalungun. Ketiganya sebelumnya bukan merupakan kader partai yang dipimpin Anas Urbaningrum itu.

Namanya saja spekulasi. Tak ada jawaban yang bernada pasti. Nyaris semua kader PD di kota ini bungkam seribu bahasa jika ditanya soal ini.. Ragam alasan mereka untuk enggan angkat bicara. Semua ingin mencari ilmu selamat. Sebab salah ngomong bisa alamat terbuang dari posisi yang diinginkan. Apalagi, mereka yang sekarang duduk di lembaga legislatif kota ini. Dan sebagai sebuah partai raksasa apalagi pemenang pemilu, para kadernya wajar deg-deg ser untuk berbicara. Berbeda dengan partai gurem, di mana kadernya bebas lenggang kangkung untuk berbicara tentang apa saja. Tokh tak akan ada yang mendengarnya. Kalau pun ada pendengarnya, tak akan ada pengaruhnya.

RE Siahaan yang Ketua PD Kota Siantar sebelumnya, sudah barang tentu tak akan maju (lagi) untuk menduduki posisi yang sama. Seperti sudah dituturkan tadi, sekarang saja dia masih berada di penjara. Bagaimana orang yang tengah dipenjara bisa terpilih menjadi ketua partai. Partai besar pula. Artinya, tamat sudah cerita soal RE Siahaan untuk (kembali) memimpin PD kota ini. Kalau pun ada yang menginginkan RE Siahaan, itu sama saja dengan bagai pungguk merindukan bulan. Mimpi doang yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Primadona

Sebagai sebuah partai besar dan apalagi pemenang pemilu, wajar kalau banyak pihak yang berkeinginan untuk menjadi Ketua Partai Demokrat Kota Pematangsiantar. Boleh jadi Hulman Sitorus yang sekarang Walikota Pematangsiantar, Koni Ismail yang sekarang Wakil Walikota Pematangsiantar, juga Maruli Hutapea yang sekarang Ketua DPRD Kota Pematangsiantar. Termasuk barangkali, Rudolf Hutabarat dan Maurits Siahaan yang sekarang anggota DPRD Kota Pematangsiantar. Dan boleh jadi, ada nama-nama lain yang dirasa pantas dan layak.

Akan halnya Hulman Sitorus seperti yang dibenarkan Ketua PAC (Pengurus Anak Cabang) PD Kecamatan Siantar Martoba Ferry SP Sinamo, memang punya ambisi yang besar dan kuat untuk menduduki posisi sebagai orang pertama di PD kota ini. Melalui Ferry sendiri katanya, Hulman sudah melakukan berbagai pendekatan kepada beberapa PAC yang sememang punya hak suara dalam muscab. “Saya berada di front terdepan untuk memenangkan Hulman pada musscab mendatang”, kata Ferry dengan suara latang seperti kebiasaannya.

Koni Ismail sendiri melalui Ucok Pohan yang mengaku saudaranya mengatakan, Wakil Walikota Pematangsiantar itu tidak memiliki niat sedikit pun untuk itu. Koni, menurut abang kandung Ramadhan Pohan anggota DPR – RI asal PD ini, tak punya nyali untuk mengurusi partai politik. “Dia birokrat tulen. Dia cuma mau memusatkan perhatian mengurusi pemerintahan saja”, kata Ucok dalam suatu wawancara dengan Radio CAS Fm beberapa waktu lalu.

Lantas bagaimana pula dengan Maruli Hutapea ? Sebagai Ketua DPRD, agaknya Maruli cukup beralasan untuk berambisi menjadi Ketua PD kota ini. Sayangnya, orang yang satu ini tidak memiliki akar yang kuat di tengah kader PD konon pula di tengah ragam kalangan yang majemuk di kota ini. Menjadi anggota dewan saja kayaknya hanya ditopang nasib baiknya saja waktu iu ketika ipar kandungnya RE Siahaan menjadi Walikota Pematangsiantar sekaligus Ketua PD. Dan posisinya sebagai Ketua DPRD sekarang ini, juga dimungkinkan karena PD-lah pemenang pemilu di Kota Pematangsiantar.

Tapi di balik nama-nama itu semua, sesungguhnya ada tersimpan nama yang cukup tenar dan populer. Siapa lagi, kalau bukan Zulkarnaen Damanik mantan Bupati Simalungun. Yang jelas, figur yang satu ini merupakan nama besar yang agaknya pantas dan layak untuk menyandang posisi sebagai Ketua PD Kota Pematangsiantar. Suatu nama yang layak dan wajar jika dipertimbangkan oleh mereka yang memiliki hak suara pada muscab mendatang.

Yang pasti, Zulkarnaen Damanik adalah seorang kader PD yang pada periode lalu dipercaya sebagai Wakil Ketua Departemen Perhubungan di Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Sementara kalau tak salah, sekarang dia merupakan salah seorang fungsionaris di DPD (Dewan Pimpinan Daerah) Partai Demokrat Sumatera Utara yang dipimpin Tengku Milwan. Sosok Zulkarnaen Damanik di daerah ini memang merupakan seorang yang cukup berpengaruh dan memiliki wibawa kepemimpinan yang tahan uji dan tahan puji.

Berbagai kalangan pun agaknya, sangat mendukung apabila putra asal Kecamatan Bandar ini kelak dipilih dan menjadi Ketua Partai Demokrat Kota Pematanagsiantar (***).
_______________________________________________________________
Pematangsiantar 19 September 2011
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
______________________________________________________________

Senin, 12 September 2011

Benarkah Saya Seorang Pengkhianat ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Pada Rabu 7 September lalu ketika saya mengikuti Rapat di Ruangan Badan Anggaran DPRD Simalungun, rekan Victor Peranginangin wartawan Harian Simantab menelepon saya. Dia mengajak saya minum kopi ke kantin di Kompleks Perkantoran Harian Simantab, di Desa Hapoltakan Raya, Kecamatan Raya. Victor datang bersama seorang laki-laki yang tak saya kenal, dan di tengah deraian hujan deras kami bertiga melaju menuju kantin Kompleks Perkantoran Simantab menggunakan mobil yang dikendarai Victor.

Di kantin itu kami jumpai belasan orang. Di antaranya yang saya kenal adalah Silverius Bangun, Jarinsen Saragih, dan seorang marga Purba yang saya kenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Simantab. Seperti biasa, dengan gayanya yang khas dan ramah, Silverius segera menegur saya serta memesankan segelas kopi buat saya.

“Meski Bapak sering mengkritik Pak JR Saragih dalam tulisan-tulisan Bapak, saya akan tetap ramah dan akrab dengan Bapak. Kita tetap berteman, buktinya saya menegur Bapak bahkan memesankan kopi untuk Bapak”, katanya akrab dan mesra. Saya teguk kopi yang segera terhidang di depan saya. Udara dingin menambah nikmatnya minum kopi sekira pkul 14. 00 siang itu.

“Tapi ngomong-ngomong Pak Ramlo. Kenapa Bapak selalu menulis sisi jelek dari Boss saya Pak JR Saragih ? Padahal, dengan terus terang saya katakan, sebagai anak buah Pak JR Saragih saya melihat banyak yang baik yang sudah diperbuat Pak JR selama memimpin Simalungun ini”, Silverius nyerocos seperti kebiasaannya yang ngomong santai dan enjoy.

Saya mencoba tersenyum. Di kantin itu ada belasan orang yang umumnya tidak saya kenal. Empat di antaranya mengenakan pakaian PNS Pemkab Simalungun, di antaranya Jarinsen Saragih Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga. Tentu, karena lebih banyak yang tak saya kenal, saya pun menjawab sekenanya.

“Itu soal sisi pandang saja, Pak Bangun. Soal dimana kita berdiri dan memandang dari mana. Sebagai yang Bapak sebut bahwa Bapak anak buahnya JR Saragih, sudah barang tentu sisi pandang Bapak berbeda dengan sisi pandang saya. Coba kita berdiri di tempat yang sama. Pandangan kita tentu bisa jadi sama. Klop kan ?”, kata saya. Silverius Bangun tertawa. Saya tertawa. Beberapa orang lainnya saya lihat ikut tertawa. Meski pun, saya tak tahu mengapa mereka tertawa. Boleh jadi mereka mentertawakan kami yang tertawa. Tapi boleh jadi mereka tertawa karena kami tertawa. Orang memang bisa tertawa menyaksikan orang lain tertawa. Meski pun, tawanya boleh jadi tanpa arti, tanpa makna. Makanya ada kata yang menyebut ‘tawa tak bermakna’ Tertawa karena orang lain tertawa.

Ketika satu-satu orang meninggalkan kantin itu, saya pun minta agar diantarkan rekan Victor ke sisi ruas jalan Sondi Raya – Pematangsiantar. Saya katakan kepadanya, saya tidak membawa kendaraan ke Sondi Raya hari itu.Karena itu saya akan pulang ke Pematangsiantar dengan menggunakan bus penumpang umum.

Tapi begitu mobil Victor bergerak hendak mengantar saya ke ruas jalan dimaksud, Apri Saragih yang saya kenal Pemimpin Usaha Harian Simantab datang. Dia segera menstop mobil kami, dan meminta saya masuk ke salah satu ruangan yang ada di Kompleks Perkantoran Harian Simantab. Disana dia marah besar kepada saya, karena meneurut dia saya telah melakukan pengkhianatan.

“Bapak wartawan Simantab, tapi menulis di Harian Metropolis. Ini suatu pengkhianatan besar. Sebelum ini Bapak saya kenal sebagai wartawan senior yang sangat saya hormati, tetapi sekarang setelah Bapak menulis tentang JR Saragih dengan tidak baik, Bapak saya pandang lebih rendah dari telapak kaki saya ini”, katanya dengan emosi yang tertahan.

Tak selang beberapa jenak di tengah Apri menumpahkan kemarahannya, seorang marga Purba yang saya kenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Simantab memasuki ruangan tempat saya dan Apri yang mirip gudang itu. Katanya, dia baru saja mandi supaya terasa dingin, dan meminum air es. Sebab, katanya, begitu melihat saya tadi di kantin darahnya mendidih apalagi mengingat masa lalunya yang pernah menjadi pereman.

Dia ikut-ikutan memarahi saya dengan cara membentak-bentak. Hampir sama nadanya dengan Apri, dia mengaku menyesal kepada saya karena telah membuat berbagai tulisan yang mengkritisi JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. Dia juga menuding saya sebagai pengkhianat, sebab katanya saya adalah wartawan Simantab.

“Kalau bukan wartawan Simantab, saya tidak pernah kecewa kepada Bapak. Tapi, Bapak wartawan Simantab dan Koordinator Liputan pula. Apalagi posisi Bapak sebagai Koordinator Liputan Harian Simantab sudah kami umumkan pada Rapat Wartawan Simantab di Siantar Hotel”, katanya.

Posisi saya saat itu benar-benar tertekan. Bahkan saya merasa terancam. Ruangan tempat kami berada, merupakan bahagian belakang dari gedung berjajar yang mirip gudang. Apa saja yang terjadi disana, tidak akan diketahui atau didengar orang lain. Tak ada jendela. Cuma pintu kecil . Agakanya, ruangan yang belum selesai pembangunannya.

Dalam posisi seperti itu, saya mencari jalan pintas. Saya minta maaf kepada keduanya karena telah membuat tulisan-tulisan yang kritis terhadap kepemimpinan JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. Saya berjanji, tak akan mengulangi pekerjaan serupa. Dan ketika ditanya Apri Saragih apakah ke depan saya akan menjadi opsosisi, saya jawab cepat : “Saya tidak akan menjadi oposisi di Simalungun ini. Saya tidak memiliki daya dan kemampuan untuk menjadi oposisi. Saya orang yang lemah secara ekonomi, dan itulah sebabnya selama ini saya menulis”, kata saya memelas.

“Sebagai adik JR Saragih, saya akan perintahkan semua pimpinan SKPD untuk tidak membantu Bapak.Siapa saja Pimpinan SKPD yang membantu Bapak, akan saya minta untuk dinojobkan hari itu juga”, kata Apri Saragih dengan garang dan suara keras. Saya tidak memberi reaksi apa pun, sebab saya pikir Apri Saragih tidak tahu apa yang diucapkannya. Saya kasihan melihat kedua orang itu, sama seperti saya kasihan pada diri sendiri pada saat itu. Sudah hampir 35 tahun saya menjadi jurnalis, tapi baru kali itulah saya mengalami hal yang seperti ini.

Direktur Simantab

Selama dibentak-bentak oleh kedua orang itu, saya tidak memberi reaksi berarti. Alasan saya, pertama saya mau cari jalan aman. Ilmu selamat antara lain, bisa didapat jika kita tidak membela diri meski pun kita tidak berada di posisi yang salah. Alasan kedua, rasanya saya tidak perlu memberi reaksi apa pun terhadap kedua orang ini karena keduanya saya anggap tidak siapa-siapa. Cara-cara yang mereka gunakan terhadap saya ini, saya nilai sebagai sikap dan perbuatan kuno yang sesungguhnya di zaman ini tak laku lagi. Alasan ketiga, keduanya tengah diluapi emosi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Ketika seseorang diluapi emosi, sikap dan tindakannya bisa jadi membabi-buta. Tak rasional. Alasan keempat dan ini yang lebih penting, sungguh keduanya bukan imbang saya dalam soal kewartawanan. Murid saya pun sebagai wartawan keduanya tidak mampu.

Sesungguhnyalah, saya tidak ingin memaparkan peristiwa ini kepada khalayak sebab pelakunya bukanlah siapa-siapa. Kalaulah keduanya di mata saya adalah orang-orang yang layak untuk diperhitungkan dalam jagad kewartawanan, nampaknya peristiwa ini bisa menarik untuk dipercakapkan. Itu pun sekadar untuk dipercakapkan doang. Apalagi, sebagai wartawan saya sadar bahwa wartawan ibarat berumah di tepi pantai. Dan saya sendiri sebagai wartawan, bahkan berumah di tengah samudra. Tiap detik tiap sekon selalu diancam badai dan gelombang.

Tapi apa boleh buat. Sebagai seorang wartawan, tentu saya tidak sendiri.Saya ada dimana-mana dan kemana-mana. Bahkan, diri saya pun bukan hanya milik saya lagi. Saya sudah menjadi milik siapa-siapa dan dengan sendirinya ada bersama-sama siapa-siapa. Dan dengan begitu, meski pun berumah di tengah samudra saya tidak pernah takut diterjang ombak bahkan badai yang bisa datang kapan saja.

Karenanya, tak heran jika Kamis besoknya saya mendapat telepon dari berbagai pihak menanyakan peristiwa itu. Anehnya ada yang mengatakan sebagai penculikan, penyekapan dan istilah-istilah lain yang cukup seram . Alinapiah Simbolon pun, Wakil Pemimpin Umum Harian Metropolis menanyakan saya apa yang sebenarnya terjadi, termasuk rekan Manson Purba, Koordinator Liputan Harian Metropolis. Bahkan, rekan saya Edy Ramli Sitanggang, Aliwongso Sinaga, Martin Hutabarat dan Ruhut Sitompul yang anggota DPR RI ikut menelepon menanyakan apa yang terjadi yang sebenarnya. Juga, beberapa pejabat di Pemko Pematangsiantar dan Pemkab Simalungun yang tak elok namanya saya cantumkan disini ikut menanyakan kabar saya melalui telepon. Saya bingung juga dan heran dari mana mereka semua bisa tahu, sebab peristiwa ini hanya saya beritahu kepada rekan saya Imran Nasution wartawan Batak Pos, Sofyar Koto seorang tokoh pemuda di Pematangsiantar, dan seorang petinggi di Simalungun yang tak usah saya sebutkan namanya disini.

Kagetnya saya, Silverius Bangun pun yang berada di Jakarta Kamis lalu menelpon saya dan meminta saya untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya. “Tunggulah Pak Ramlo Senin depan, kita akan jumpa dan akan saya bawa kedua orang itu untuk meminta maaf kepada Bapak. Cara-cara mereka tak benar lagi. Sebagai pimpinan kedua orang itu saya mohon maaf Pak Ramlo”, kata Silverius melalui telepon ketika saya baru saja keluar dari Studio Radio CAS Fm karena pagi itu seperti biasa saya menjadi nara sumber pada acara KUPASS (Kajian Utama Pemberitaan Siantar – Simalungun)

Yang paling telak, rekan-rekan dari AJI pun ikut menelepon saya hingga saya pun tak bisa mengelak. Saya diminta untuk membuat paparan atas peristiwa itu, untuk menjadi bahan sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap pers. “Abang harus buat laporannya meski dalam bentuk paparan. Kami akan mendiskusikannya sambil mempelajari apa yang akan dilakukan”, kata seorang kawan dari AJI juga lewat telepon dan saya pun akhirrnya menyerah dan menulis paparan ini sekarang.

Sesungguhnya, yang saya rasa penting untuk saya kedepankan disini adalah apa yang dikatakan Apri Saragih dan marga Purba itu bahwa saya wartawan Harian Simantab merupakan sesuatu omong kosong alias tidak benar. Karena itulah menurut saya, keduanya tak perlu untuk saya tanggapi karena keduanya sebenarnya tidak tahu apa yang mereka katakan.

Memang sekira dua atau tiga bulan lalu, saya diminta Pardomuan Nauli Simanjuntak dan Piliaman Simarmata untuk datang ke Wisma Ganda Ula Jalan Melanthon Siregar Pematangsiantar. Ketika saya datang bersama istri saya, di Wisma Ganda Ula saya diperkenalkan keduanya kepada seseorang yang bernama Silverius Bangun. Dari untaian pembicaraan kami, Silverius Bangun meminta saya untuk bekerja di Harian Simantab. Saya diminta untuk menduduki posisi sebagai Direktur, yang saya tidak tahu tugas dan wewenangnya karena jabatan itu tidak lajim di sebuah perusahaan surat kabar.

“Datanglah ke kantor kita di Hapoltakan, disitu akan kita bicarakan tugas dan wewenang Bapak sebagai Direktur sekaligus kita bicarakan soal gaji dan fasilitas”, kata Silverius Bangun waktu itu di depan istri saya, Pardomuan Nauli Simanjuntak, Piliaman Simarmata, dan tiga orang lainnya yang tidak saya kenal.

Tapi ketika beberapa hari kemudian saya datang ke Kantor Harian Simantab, Silverius Bangun mengatakan semua fungsionaris Harian Simantab tidak menginginkan saya sebagai Direktur. “Saya mengharapkan Pak Ramlo berbesar hati untuk menjadi Koordinator Liputan saja, apalagi fungsionaris yang sekarang umumnya adalah bekas Tim Sukses Pak JR Saragih”, katanya sambil menyebut sejumlah dana sebagai gaji saya tiga bulan pertama dan saya boleh mengambil fasilitas yang sudah disediakan. Setelah mengiayakan ucapan Silverius Bangun itulah, Apri Saragih dan marga Purba tadi dipanggilnya dan mengenalkan saya kepada keduanya. Keduanya pun meminta saya agar membuat surat lamaran di atas kertas bermaterai yang saya janjikan akan saya penuhi beberapa hari kemeudian.

Besoknya, Selasa, kami melakukan Rapat bersama beberapa wartawan di kantor Harian Simantab di Hapoltakan. Lusanya, Rabu, kami melakukan Rapat lagi di Siantar Hotel bersama puluhan wartawan Simantab. Dan saat itu memang saya diperkenalkan sebagai Koordinator Liputan yang sekaligus sebagai pengumuman. Dan seusai Rapat itulah saya menyimpulkan saya tidak cocok untuk bekerja di Harian Simantab, dan karena itu sejak hari itu saya tidak pernah masuk lagi ke Kantor Haraian Simantab sampai hari ini.

Yang menjadi pokok soal sekarang, benarkah saya pengkhianat sebab saya adalah wartawan Harian Simantab tapi justru menulis di Harian Metropolis seperti dituduhkan Apri Saragih dan marga Purba tadi ?

Saya ingin Anda – Pembaca – yang menilainya dan Anda tentu juga bisa mengambil kesimpulan. Yang pasti, sampai hari ini saya tidak pernah membuat lamaran untuk menjadi apa pun di Harian Simantab. Saya tidak pernah menerima Kartu Pers dari Harian Simantab. Saya tidak pernah menerima gaji sepeser pun dari Harian Simantab. Saya juga tidak pernah menerima fasilitas kerja apapun dari Harian Simantab. Sampai hari ini. Sampai hari ini.

Lantas, benarkah saya pengkhianat ?. Mengkhianati siapa ?

Besoknya, Selasa, di Kantor Harian Simantab kami melakukan Rapat bersama beberapa wartawan.

Minggu, 11 September 2011

Ketika Kepala Daerah Berulah, Bertingkah dan Bersalah

(Studi Kasus Bupati Simalungun JR Saragih)
Oleh : Ramlo R Hutabarat

Sebagai jurnalis apalagi sebagai seorang anak negeri Simalungun, saya acapkali malu dan tersentak bila ketika berkunjung ke luar daerah dan ditanyai beberapa kawan : Bagaimana Bupati Anda JR Saragih ? Bah, kenapa rupanya ? Agar tidak berpanjang-panjang dan menimbulkan terkurasnya energi berlebihan, biasanya saya jawab singkat saja. Bupati kami JR Saragih, merupakan seorang yang jago dan jago sekali. Dia seorang doktor ilmu pemerintahan, dan ketika dia menggonta-ganti pejabat di jajaran Pemkab Simalungun dan segala macam ulah dan ringkah, tak ada siapa pun yang bilang apa. Kenapa rupanya ?

Nyatanya jawaban saya tidak bisa menghentikan pembicaraan. Kawan-kawan di luar daerah akan menerangkan begini-begitu tentang JR Saragih yang sekarang Bupati Simalungun. Singkatnya menurut mereka berdasarkan pemberitaan di berbagai media massa yang mereka baca, JR Saragih sebagai Bupati Simalungun selalu berulah dan bertingkah. Dan tingkah serta ulahnya itu, selalu membuat banyak pihak menjadi resah dan gelisah. Dan sikapnya itu, perlu serta harus dirubah agar Simalungun ke depan tak lagi mendesah. Wah. Orang-orang luar daerah pun nyatanya paham sekali apa yang belakangan terjadi di Simalungun.

Sebagai warga Simalungun yang mendukung pemerintahan JR Saragih, saya tentunya berupaya membela orang nomor satu di kabupaten ini. Saya katakan, kalau seorang kepala daerah masih sekadar berulah dan bertingkah, itu masih wajar dan lumrah. Apalagi seorang kepala daerah yang baru saja menduduki jabatan basah. Yang jadi soal memang, jika seorang kepala daerah sudah berbuat salah. Ini bisa memang menghantarnya ke jurang yang dalam : Bedebah !

Kontroversial

Sosok JR Saragih memang, antara lain dikenal acap mengambil kebijakan yang tidak populer. Misalnya, sehari begitu dilantik dia langsung mencopot beberapa pejabat eselon II di jajaran Pemkab Simalungun. Ada yang dicopotnya dengan alasan sudah memasuki batas usia pensiun seperti almarhum Revanus Sormin, tapi menjadi kontroversi sebab yang menggantikannya justru Anna Girsang yang juga sudah memasuki batas usia pensiun. James Simamora yang waktu itu sudah memasuki batas usia pensiun tapi diperpanjang masa tugasnya sebagai Staf Akhli Bupati Simalungun, aneh bin ajaib dimutasinya pula sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja. Padahal, sebagai seorang doktor dalam bidang ilmu pemerintahan, JR harus tahu seorang PNS yang menduduki jabatan boleh diperpanjang masa tugasnya tapi harus pada jabatan yang sama. Jadi, tidak malah dimutasi untuk menduduki jabatan lain.

Penghunjukan Ismail Ginting sebagai Plt Sekdakab Simalungun pun, merupakan ulah dan tingkah JR Saragih yang pantas dan patut untuk dicermati.Waktu diangkat sebagai Plt Sekdakab Simalungun, Ismail tidak sedang menduduki jabatan apapun yang artinya dia sedang dalam status non job. Tidak seperti JR Saragih, saya sungguh tak memiliki pendidikan apapun dalam bidang pemerintahan. Tapi, tak terlalu bodoh saya agaknya jika saya heran bercampur bingung. Bagaimana seorang yang tidak menduduki jabatan apapun tapi dihunjuk sebagai Plt Sekdakab. Padahal, seorang Sekdakab karena jabatannya adalah Koordinator Panitia Anggaran, yang sekaligus Ketua Baperjakat, juga sebagai Kuasa Pengguna Anggaran di Sekretariat Pemkab. Apalagi, seorang Sekdakab juga merupakan pimpinan tertinggi PNS di suatu pemerintahan daerah.

Mensedernakannya, begini. Kepala Dinas Pendidikan Nasional Simalungun yang sekarang Albert Sinaga misalnya, harus mengikuti Sekolah Pimpinan (Sespim) selama beberapa bulan karena memang dia belum pernah lulus dari pendidikan penjenjangan karir itu. Berdasarkan aturan yang berlaku, apabila seorang pejabat mengikuti pendidikan selama lebih dari enam bulan, dia harus diberhentikan sementara dari jabatannya Dan untuk menggantikannya sebagai Plt Kepala Dinas Pendidikan Nasional Simalungun, harus seorang PNS yang sedang menduduki jabatan pula. Boleh jadi yang dihunjuk sebagai Plt adalah salah seorang Kepala Dinas dari SKPD lain, atau salah seorang Kepala Bidang di dinas yang bersangkutan. Tidak boleh seorang PNS yang tidak sedang menduduki jabatan. PNS yang menduduki jabatan Eselon IV saja tidak boleh. Konon pula PNS yang sedang tidak menduduki jabatan.

Sosok JR Saragih juga memang, merupakan seorang yang tak terlalu salah jika disebut sebagai seorang kontraversial. Kebijakan-kebijakannya kerap sekali mengundang perhatian khalayak ramai. Misalnya, membangun lapangan terbang di Sondi Raya dengan secara liar mengangkangi aturan yang ada. Bangun dulu, belakangan izinnya kata JR Saragih seperti dilansir berbagai media tempo hari. Sikap seperti ini, betul-betul suatu sikap pemimpin yang tak perlu ditiru. Kalau anak negeri Simalungun menirunya, bisa berabe dan celaka tiga belas. Orang akan ramai-ramai membangun rumah masing-masing tanpa IMB (Izin Mendirikan Bangunan) dengan memberi alasan : Bangun dulu belakangan diurus IMB-nya Sama seperti alasan JR Saragih ketika membangun lapangan terbang.

JR Saragih juga memindah-mindahkan kantor-kantor SKP Pemkab Simalung
Un. Mula-mula, kantor Bappeda dan BKD dipindahkannya ke Kantor Sekretariat. Juga, kantor-kantor lain dipindah-pindahkan dengan alasan yang tidak jelas. Belakangan, Sekretariat pun dipindahkannya ke gedung lain, seperti kantor Bappeda dan Kantor BKD. Orang ramai jadi bingung dibuatnya. Kantor – kantor koq dipindah-pindah. Tidak cukup cuma memindah-mindahkan pejabat. pemerintahan.

Pemagaran seluruh gedung kantor Pemkab Simalungun dengan sejenis seng juga membuat nama JR Saragih bertambah populer di tengah masyarakat sampai pada warga di daerah lain. Ketika kawan-kawan saya menanyakan apa maksud pembuatan pagar itu pun, saya hanya bisa terdiam dan terpelongo. Saya tak tahu mau jawab apa dan bagaimana mengapa kantor-kantor itu dipagar sehingga menimbulkan kesan angker. Saya pikir, JR Saragih saja memang yang bisa menjawabnya. Yang saya tahu, alam pun tak setuju dengan pemagaran-pemagaran itu. Buktinya, alam Simalungun pernah murka dengan menjungkir-balikkan pagar itu. Tapi dasar bandel, JR Saragih pun tetap bertahan memagarnya dengan mendirikan kembali pagar - pagar yang sudah ditumbangkan angin.

Bisa Dilengserkan

Kalau hanya sampai disitu, saya pikir JR Saragih masih bisa digolongkan sebagai kepala daerah yang suka buat ulah dan tingkah. Belum bisa disebut dia menyalah karena tak ada aturan hukum yang dilanggarnya. Ulah dan tingkah, tidak bisa dibawa menjadi persoalan hukum. Tapi kalau sudah menyalah dari aturan hukum dan perundangan, seorang kepala daerah bisa diseret ke meja hijau yang berakibat pelengserannya dari singgasana kekuasaannya.

Dalam pandangan saya, JR Saragih sebagai kepala daerah justru sudah melanggar aturan perundangan yang berlaku. Dimana karena status dan kedudukannya sesungguhnya mau atau tidak mau, suka atau tidak suka dia harus patuh dan tunduk. Tak ada jalan lain bagi JR Saragih sebenarnya, sebagai Bupati Simalungun dia mutlak tunduk dan patuh pada aturan perundanagan yang berlaku. Apa boleh buat, itulah resiko seorang kepala daerah.

Keputusan JR Saragih yang mencopot beberapa PNS dari jabatan struktural dengan mengabaikan tata cara pemberhentian PNS seperti yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, saya pikir merupakan salah satu pelanggaran hukum yang dilakukannya. Betul sampai sekarang tak ada PNS yang mempersoalkannya, tapi itu bukan berarti keputusan JR Saragih tadi legal secara hukum. Saya sendiri tak heran mengapa tak ada PNS di Pemkab Simalungun yang menggugat JR Saragih ke PUTN misalnya, karena mereka menyadari tak akan ada gunanya. Dari pengalaman-pengalaman yang lewat-lewat, putusan PTUN selalu mandul tak akan ada eksekusinya. Sabrina Tarigan Kepala Dinas Kesehatan Simalungun sekarang misalnya, waktu di Tanah Karo dulu pernah menggugat Bupati Karo ke PTUN dan dia dimenangkan. Tapi apa lacur, putusan PTUN tadi hanya putusan semata yang tak pernah digubris siapa-siapa. Dan siapa-siapa pun tak peduli sampai Sabrina pindah dari Pemkab Tanah Karo ke Pemkab Simalungun.

Kebijakan JR Saragih yang tidak membayar Insentif Guru Swasta tapi mengalihkannya untuk penggunaan lain pun, saya nilai merupakan suatu pelanggaran terhadap aturan perundangan. Termasuk, menggunakan anggaran yang sudah jelas peruntukkannya tapi digunakan untuk pembayaran proyek-proyek di Dinas Tarukim dan Bina Marga. Membelikan kendaraan roda empat untuk pimpinan-pimpinan fraksi di DPRD Simalungun juga saya pikir merupakan suatu pelanggaran hukum yang dilakukan JR Saragih, meski pun penyediaan kendaraan roda empat untuk pimpinan-pimpinan fraksi di DPRD Simalungun itu direkayasa dengan istilah dipinjampakaikan.

Lantas, bagaimana pula kalau seorang kepala daerah sudah melanggar aturan perundangan yang berlaku ?

Kawan saya dari DPC GAMKI (Dewan Pimpinan Cabang Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia) Pematangsiantar di facebooknya yang dikirimkan ke Forum Pengawasan Pelayanan Publik dan Penegakan Hukum menulis : Seorang Bupati/ Walikota saat diangkat sumpahnya meneyatakan akan taat dan setia pada Pancasila dan UUD 1945 serta peraturan perundanagan yang berlaku. Dan kalau seorang Bupati/ Walikota melanggar sumpahnya, menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 seorang Bupati/ Walikota bisa diusulkan oleh DPRD untuk diberhentikan oleh Menteri Dalam Negeri.

Tapi menurut kawan saya DR Sarmedi Purba seorang tokoh yang pantas untuk digugu dan didengar pendapatnya di daerah ini, Bupati atau Walikota yang melanggar sumpah diajukan ke pengadilan, dijatuhkan keputusan tetap. Atas dasar keputusan ini Mendagri memberhentikan Bupati/ Walikota. Artinya, kalau saya tak salah mengerti, jika seorang kepala daerah dihukum oleh pengadilan dan telah mendapat keputusan tetap, kedudukannya sebagai kepala daerah akan dengan sendirinya dilengserkan.

Lantas, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daearah dan Wakil Kepala Daerah khususnya pada Bab X Pasal 123 dinyatakan : Kepala Daerah dan atau Wakil Kepala Daerah berhenti karena : a. meninggal dunia, b. permintaan sendiri, atau c. diberhentikan. Sementara pada (Ayat) 2 huruf d dinyatakan antara lain : Kepala Daaerah dan/ atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan karena : dinyatakan melanggar sumpah/ janji jabatan Kepala Daerah dan/ atau Wakil Kepala Daerah.

Selanjutnya bagaimana ? Sekarang apakah JR Saragih sebagai Bupati Simalungun telah melanggar sumpah/ janjinya sebagai kepala daerah ? Terus terang, saya tidak tahu secara pasti. Yang pasti saya tahu adalah sumpah/ janji seorang kepala daerah ketika dilantik bunyinya adalah : Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/ berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/ wakil kepala daerah dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan seluruh-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.

Sekarang yang ingin saya sampaikan adalah, saya tidak seperti JR Saragih yang doktor ilmu pemerintahan dan saya sungguh tidak memiliki pengalaman pemerintahan. Saya juga bukan seorang politisi, bahkan saya benar-benar seorang non partisan karena saya hanya jurnalis yang punya kewajiban menulis. Menulis bagi saya, merupakan suatu kewajiban bahkan merupakan ibadah. Yang namanya ibadah, saya harus lakukan senang atau tidak senang, suka atau tidak suka. Jadi mohon dipahami oleh siapa saja, terutama bagi pihak yang tak menyukai tulisan saya ini.

Karena saya tak seperti JR Saragih yang doktor dalam bidang ilmu pemerintahan itu, saya wajar saja tak tahu apa yang harus diperbuat siapa jika seorang kepala daerah telah melakukan pelanggaran sumpah atau penyelewengan wewenang. Apalagi, saya tidak akan menggurui orang-orang di DPRD Simalungun sana, karena yang namanya politisi semuanya bisa dilakukan untuk dan oleh karena semua. Politik itu kejam Nak, kata Mamak saya puluhan tahun lalu. Karena itulah, saya enggan untuk menjadi politisi. Sampai kini, sampai mati !
Simalungun, 11 September 2011 - Ramlo R Hutabarat - HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________

Jumat, 09 September 2011

Kiat Pemkab Simalungun Mengatasi Keterpurukan Keuangannya

Oleh : Ramlo Hutabarat

Kondisi keuangan Pemkab Simalungun, sekarang ini dalam situasi morat-marit. Betul-betul dalam kadaan gawat darurat, dan tak terlalu salah jika disebut Pemkab Simalungun sekarang cenderung tumpur dan bangkrut. Kenapa jadi begitu, sulit untuk mengurainya dengan rinci dan detail. Singkatnya, keuangan Pemkab Simalungun agaknya sudah salah urus hingga tak terurus. Di hampir semua lini kesan yang muncul adalah, Pemkab Simalungun sekarang benar-benar kurus.

Seperti sudah jamak diketahui publik, utang Pemkab Simalungun sekarang menggunung melilit pinggangnya. Ada utang kepada pihak ketiga (penyedia barang dan jasa), ada kepada PNS (Pegawai Negeri Sipil)-nya, ada pula utang kepada guru-guru swasta. Selain itu ada utang kepada PT Askes, termasuk utang ke Kementerian Keuangan. Nilainya, seperti diakui Bupati Simalungun JR Saragih, mencapai tujuhpuluhan miliar rupiah. Jumlah yang relatif besar. APBD Simalungun saja tahun ini, hanya sekira kurang lebih Rp 1, 1 triliun doang.

Menanggapi kondisi itu, Sekdakab Simalungun Ismail Ginting mengatakan akan melunasi seluruh utang-utang itu pada tahun anggaran 2012 nanti. Dia yakin utang-utang itu bisa dilunasi tahun depan dengan akan bertambahnya pendapatan daerah. Juga, pihaknya akan mengefektifkan anggaran, katanya pada Rapat Pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Perubahan Plafon Angaran Sementara (KUA-PPAS) bersama Badan Anggaran DPRD Simalungun Rabu 7/9.

“Untuk tahun 2012, Pemkab telah merencanakan pembersihan utang ke pihak lain. Sehingga kita berharap dalam pembahasan anggaran ini benar-benar diefektifkan dan disesuaikan dengan kebutuhan yang ada”, katanya.

Lantas Ismail masih berceloteh. Menurut dia Pemkab Simalungun juga memprogramkan untuk mengurangi jumlah pegawainya. Khususnya, katanya, pegawai yang berstatus honorer dan tenaga harian musiman. Hal ini dilakukan pihaknya kata mantan PNS di Tanah Karo itu, untuk mengurangi beban APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Kebijakan pengurangan dan pemberhentian pegawai honorer sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, masih kata Ismail. PP itu memang mengisyaratkan pelarangan pengangkatan pegawai honorer sejak diterbitkan dan diberlakukan.

Lain Kata Lain Perbuatan

Ismail memang boleh saja bilang apa. Dan DPRD Simalungun yang dalam hal ini Badan Anggaran boleh juga mendengarnya dengan terkesima. Singkatnya, utang Pemkab Simalungun sekarang menggunung, dan tahun depan akan diberesi. Selesai ?

Menurut saya, berutang saja pun sesungguhnya sulit sekali. Konon pula membayar utang. Artinya, sesulit-sulitnya berutang lebih sulit (lagi) membayar utang. Buktinya, belum lama ini Pemkab Simalungun pernah berupaya berutang ke Kementerian Keuangan tapi permintaan berutang itu ditolak oleh Menteri Keuangan. Tak elok memang berutang untuk membayar utang. Kalau pun mau berutang, sebaiknya digunakan untuk membangun infrastruktur yang produktif. Mana ada di muka bumi ini yang mau memberi utang kalau utang dimaksud akan digunakan untuk membayar utang.

Saya pikir, utang-utang Pemkab Simalungun itu bisa terjadi justru akibat salah urus dan tidak profesionalnya aparat Pemkab khususnya mereka yang membidangi masalah keuangan. Juga, disebabkan oleh suatu tindakan yang keliru sekaligus berpotensi sebagai suatu kejahatan. Kalau benar salah urus, agaknya sikap yang harus dilakukan adalah tindakan administratif. Lantas kalau benar disebabkan oleh suatu tindakan atau keputusan yang keliru, persoalannya harus diselesaikan melalui jalur hukum. Apalagi, bila keputusan itu berpotensi sebagai suatu bentuk kejahatan.

Disebutkan salah urus, misalnya utang Pemkab Simalungun kepada pihak ketiga yang dalam hal ini para kontraktor yang mengerjakan berbagai proyek yang bersumber dari APBN (dana ad hock) Bupati Simalungun sendiri JR Saragih mengatakan dana dimaksud tidak dicairkan oleh Pemerintah Pusat karena Pemkab Simalungun tidak membuat laporan pelaksanaannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Jadi bisa disebut, karena aparat atau staf Pemkab Simalungun tidak profesional ketika menjalankan tugas dan kewajibannya.

Ketidakprofesionalan aparat ini, saya pikir antara lain disebabkan oleh hobbi aneh JR Saragih yang kerap menggonta-ganti pejabat di jajaran Pemkab Simalungun. Kerap sekali menggonta-ganti pejabat, melahirkan kesan bahwa seseorang diangkat untuk menduduki jabatan dengan tidak mempertimbangkan berbagai aspek yang dibutuhkan. Akibatnya, itu tadi. Secara khusus pengelolaan keuangan menjadi kacau balau dan centang perenang. Buktinya, Resman Saragih yang sempat dipercaya menjadi Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Asser Daearah, mendadak dicopot meski pun dia masih beberapa bulan menduduki jabatan itu.

Keputusan yang keliru dan berpotensi kejahatan adalah kebijakan JR Saragih yang tidak taat aturan. Misalnya kebijakan JR Saragih yang membayarkan Dana Insentif Guru Swasta untuk pembelian kendaraan dinas pimpinan DPRD Simalungun. Kalau aparat berwajib di daerah ini tanggap dan responsif, kebijakan tadi bisa dibawa ke wilayah hukum dan tidak mesti karena adanya pengaduan para korban. Bukankah suatu kejahatan bila dana yang diterima dari Pempropsu untuk Insentif Guru Swasta tapi digunakan untuk pembelian kendaraan dinas Pimpinan DPRD ? Jadi tidak sekadar kesalahan pembayaran seperti yang dikatakan Julius Silalahi salah seorang Wakil Ketua DPRD Simalungun, kepada saya. Lebih dari itu kebijakan tadi sudah tergolong sebagai penyalahgunaan wewenang.

Maka menurut hemat saya, ketika seorang Bupati telah menyalahgunakan wewenangnya, apa yang harus dilakukan DPRD ? Saya pikir sederhana saja. Pendapat DPRD itu bisa disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diuji materi. Dan ketika pendapat tadi telah dikuatkan Mahkamah Agung, DPRD Simalungun bisa melakukan Sidang Paripurna untuk mengusulkan pemberhentian JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. Klop ? Meski pun saya sependapat semua itu akan membawa dampak yang besar secara sosial dan politik sekaligus membutuhkan dana yang cukup besar. Padahal, di sisi lain keuangan Pemkab Simalungun saja sekarang ini tengah morat-marit dan ngos-ngosan.

Celoteh Ismail Ginting di depan Badan Anggaran DPRD itu, saya nilai hanya sekadar celoteh belaka untuk menunda kekalahan saja. Apalagi menurut dia, Pemkab Simalungun akan mencoba mengatasi pembayaran utang dengan mengurangi pegawai honorernya. Celoteh yang lain diucapkan, lain pula yang dilakukan. Kata Orang Melayu, jauh panggang dari api. Kapan yang dipanggang bisa matang untuk dapat dinikmati.

Nyata-nyatanya, Pemkab Simalungun sendiri di bawah kepemimpinan JR Saragih, sampai sekarang masih mengangkat pegawai honorer. Tak percaya ? Saya sendiri tentu tidak akan berani sembarang sebut. Dan supaya jelas, datang saja ke Dinas Kehutanan. Disana ada seorang pegawai honor yang diangkat kurang lebih sebulan lalu. Dia lulusan Universitas HKBP Nommensen jurusan psikologi yang tamat tahun ini. Kalau pernyataan saya ini benar, bukankah hal ini sudah merupakan pelanggaran dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 ? Dan kalau ada pelanggaran peraturan pemerintah dilakukan seorang kepala daerah, apa yang harus dilakukan DPRD ?

Saya pikir, Sekdakab Simalungun Ismail Ginting taklah elok bila bermanis-manis bibir seperti penggalan syair lagi almarhum Pance Pondaag. Kiat yang dikemukakannya di depan Badan Anggaran DPRD Simalungun tadi saya nilai hanya sekadar manis di bibir saja, pelipur lara belaka. Mengefektipkan anggaran seperti dikatakannya, seolah-olah selama ini anggaran di Pemkab Simalungun belum dan tidak efektif. Padahal, dalam menyusun anggaran unsur efektifitas menjadi salah satu cara yang digunakan sesuai dengan pedoman penyusunan dan penetapan APBD seperti yang diisyaratkan oleh Permendagri.

Saya justru berpendapat, kiat untuk mengatasi keterpurukan Pemkab Simalungun secara khusus dalam bidang keuangan adalah itikad baik yang dijalankan dengan tulus dan ikhlas. Keterpurukan keuangan ini sesungguhnya adalah masalah seluruh anak negeri Simalungun tanpa terkecuali. Termasuk, masalah putra-putri Simalungun yang berada di perantauan. Lantas kalau begitu, kenapa tidak dilakukan saja semacam pertemuan akbar untuk mencari jalan keluar ? Kenapa tidak mengundang segenap komponen dan elemen yang ada untuk suatu dialog yang konstruktif dan dialogis ?

Saya pikir, dalam suatu pertemuan akbar semacam itu dapat dicari jalan keluar berdasarkan hasil kesepakatan bersama. Menurut sejarah yang pernah saya dengar, dahulu kala Raja-raja Simalungun selalu melakukan musyawarah untuk mengatasi persoalan yang terjadi di tengah anak negeri. Musayawarah semacam inilah yang kelak dalam sejarah dikenal sebagai Harungguan Bolon. Suatu kegiatan yang masih dilakukan sampai sekarang oleh khususnya para Maujana. Dan dalam kegiatan semacam ini, segala sesuatu bisa diputuskan asalkan berdasarkan keputusan bersama.

Karenanyalah saya ingin menyampaikan saran ini kepada semua pihak di Tanoh Habonaron do Bona ini. Ayo kita selesaikan secara bersama-sama utang Pemkab yang menggunung. Boleh jadi dengan menjual asset yang ada kalau memang dirasa perlu, boleh jadi dengan cara lain asal tidak dengan cara berutang (lagi) ke pihak lain, Bank Sumut misalnya. Sekali lagi, tak elok rasanya berutang untuk membayar utang.

Orang-orang di Pemkab Simalungun juga, termasuk orang – orang di DPRD Simalungun, jangan seperti selama ini merasa sombong dan angkuh. Seolah-olah hanya mereka pemilik Negeri Simalungun ini dan anak negeri termasuk perantau dianggap sebagai penonton belaka. Simalungun adalah negeri bersama yang bisa dibangun secara bersama-sama pula. Tidak oleh Pemkab semata bersama DPRD, tapi oleh segenap anak negeri dari berbagai lapisan dan tingkatan.

Saya mimpikan memang suatu pertemuan akbar semacam itu, sebagai kiat untuk mengatasi keterpurukan keuangan Pemkab Simalungun yang terjadi belakangan ini, ketika dipimpin JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. (***)
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________

Kamis, 08 September 2011

Aneh dan Ganjil, Pergantian Pejabat di Pemkab Simalungun

Oleh : Ramlo R Hutabarat


Dengan terus terang saya akui sekarang, sesungguhnya saya tidak pernah lulus dari SD Inpres. Persoalannya, waktu itu belum ada SD Inpres. Saya hanya tamat dari SD Swasta saja, itu pun masuk sore pula. Dan waktu SMP, benar saya sempat masuk SMP Negeri di Kuala Simpang Aceh Tamiang (dulu Aceh Timur), tapi akhirnya tamat dari SMP Swasta juga di SMP PTPN I Kebun Lampahan, Aceh Tengah. Kesimpulannya, sejak sekolah saya memang orang swasta. Bahkan gelar kesarjanaan saya cuma dari perguruan tinggi swasta yang tidak memiliki akreditasi, sehingga gelar itu tidak pernah saya pakai di depan nama saya. Tegasnya, saya tidak berhak menggunakan gelar kesarjanaan itu hingga nama saya tetap Ramlo R Hutabarat.

Tapi jangan salah. Meski pun menjadi murid SD Swasta dan masuk sore pula, saya terbilang cerlang dan cemerlang di antara kawan-kawan saya satu kelas. Sejak kelas I SD hingga kelas III SMP saya tetap menjadi Ketua Kelas. Menjadi Ketua Kelas karena dipilih secara aklamasi oleh teman-teman sekelas, dan disetujui oleh Wali Kelas. Jelasnya, saya tidak pernah dipilih dan diangkat menjadi Ketua Kelas secara serampangan dan asal pilih. Dan yang patut dicatat, saya tidak pernah diberhentikan sebagai Ketua Kelas secara tiba-tiba dan mendadak tanpa sebab. Ya, meski pun saya Ketua Kelas SD Swasta yang masuk sore, tapi kedudukan saya sebagai Ketua Kelas tidak pernah dicopot tanpa alasan yang jelas.

Kondisi yang paradoksal sekarang terjadi di jajaran Pemkab Simalungun, semasa pemerintahan JR Saragih. Pergantian pejabat pemerintahan di lingkungan Pemkab Simalungun, agaknya dilakukan dengan gampang sekali dan terkesan sesuka hati penguasa. Sebulan dua bulan pertama pemerintahan JR Saragih di Simalungun, saya masih mencatat berapa kali dilakukan pergantian pjabat. Tapi belakangan karena terlalu acapnya dilakukan pergantian pejabat, saya pun jadi jenuh dan lelah untuk mencatatnya. Makanya sekarang, saya tidak tahu lagi sudah berapa pejabat yang diganti selama sebelas bulan pemerintahan JR Saragih.

Yang menarik dicatat, JR Saragih dilantik pada 28 Oktober 2010, kebetulan hari Kamis. Lantas, besoknya Jumat 29 Oktober 2011 artinya sehari setelah dilantik, JR Saragih mengganti beberapa pejabat Eselon II. Almarhum Revanus Sormin yang waktu itu memang sudah memasuki masa usia pensiun, digantikan Anna Girsang sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Menjadi lebih menarik, sebab Anna pun sesungguh sudah memasuki masa usia pensiun juga. Barangkali, inilah pergantian pejabat yang paling tercepat di tanah air yang pernah terjadi. Cermati saja, hari ini bupati dilantik besoknya dia melakukan pergantian pejabat.

Lantas, Senin berikutnya – hari pertama pada pekan pertama setelah JR Saragih dilantik - belasan pejabat pun diganti. Selanjutnya dan selanjutnya, aparat Pemkab Simalungun pun bolak balik diganti terkesan bongkar pasang dan tambal sulam. Berita-berita pergantian pejabat di jajaran Pemkab Simalungun pun tak menarik lagi untuk diikuti di surat-surat kabar karena sudah terlalu sering. Sekiranya saya Pemred sebuah surat kabar (Pemimpin Redaksi) saya tak akan lagi mempublikasi peristiwa pergantian pejabat itu karena sudah terlalu sering.

Menjadi aneh dan ganjil, di antara pejabat yang diganti ada yang hanya hitungan hari diganti lagi dengan orang lain. Ada malah yang dicopot dari jabatan A misalnya dan ditempatkan di jabatan B tapi dikembalikan lagi ke jabatan A tadi dalam tempo yang tidak terlalu lama. Binsar Situmorang yang belum satu tahun bertugas di Pemkab Simalungun misalnya, sudah pernah menjadi Asisten III Setdakab Simalungun, Kepala Dinas Koperasi, dan sekarang Kepala Bappeda. Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daearah) dalam tempo belum satu tahun sudah beberapa kali pula diganti. Padahal, SKPD ini merupakan salah satu SKPD yang cukup taktis dan strategis di tubuh sebuah Pemkab.

Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Asset Daerah , sudah tiga kali diganti oleh JR Saragih. Dari Duarman Purba digantikan oleh Resman Saragih yang ‘diimport’ dari Pemko Pematangsiantar, lantas sekarang diganti lagi oleh Gideon Purba. Kepala Bagian Humas pada Setdakab, sudah diganti entah sudah berapa kali dalam sebelas bulan terakhir. Mulai dari Simeseno Hia, Jonny Saragih, entah siapa, Banjarnahor, dan pekan ini digantikan lagi oleh seseorang yang saya tidak tahu namanya. Begitu juga yang lain-lain, yang kalau saya paparkan namanya sekarang disini tidak akan cukup untuk ditampung kolom ini.

Tidak Kondusif

Sebagai seorang awam di bidang pemerintahan, saya tidak paham sekali dengan tata cara dan mekanisme pergantian pejabat di lingkungan pemerintahan. Apalagi bila dibanding dengan JR Saragih yang katanya merupakan seorang doktor dalam bidang ilmu pemerintahan. Saya hanya bisa membandingkan dengan Pemda (Pemerintah daerah) lainnya di tanah air, yang tak pernah saya dengar asyik menggonta-ganti pejabatnya. Tak usah jauh-jauh membandingkannya dengan daerah lain. Pemko Pematangsiantar saja sebagai tetangga terdekat Pemkab Simalungun, tidak seobral Pemkab Simalungun ketika mengganti – ganti pejabatnya. Padahal, Hulman Sitorus yang sekarang Walikota Pematangsiantar, bukan siapa-siapa latar belakang pendidikannya jika dibandingkan dengan JR Saragih.

Yang saya pahami hanya, dalam pergantian pejabat akan diiringi dengan suasana yang baru. Dari jabatan yang lama kemudian pindah ke jabatan yang baru saya pikir akan terjadi sesuatu yang harus dipelajari oleh masing-masing pejabat. Suasana yang baru boleh jadi antara lain membangkitkan gairah kerja, inovasi, kreasi, bahkan inspirasi. Tapi begitu mendadak dan tiba-tiba dimutasi ke tempat lain lagi, semua akan sirna dan hilang. Padam. Dan jika kondisi ini terjadi berulang-ulang, bahkan bisa justru mematikan kreatifitas.

Yang saya pahami juga, pergantian pejabat akan selalu diiringi oleh pertimbangan-pertimbangan seperti yang diisyaratkan oleh peraturan perundangan. Juga, tentu, selain pertimbangan-pertimbangan khusus yang tersirat dan yang tersurat Apalagi, seorang kepala daerah yang sudah barang tentu memiliki wewenang. Wewenang untuk menjalankan peraturan perundangan yang berlaku. Jadi justru tidak dengan sewenang-wenang. Sebab, kesewenang-wenangan bisa melahirkan kelaliman. Dan kelaliman bisa berbuntut pada penzoliman.

Mencermati pergantian demi pergantian pejabat di jajaran Pemkab Simalungun yang dilakukan JR Saragih, saya melihatnya justru malahirkan persoalan baru di tengah-tengah sesama PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang ada. Itu antara lain timbulnya persaingan (kompetisi) yang tidak sehat di sesama PNS, sehingga menimbulkan pula sikap Amat (Ambil Muka Angkat Telor) dan ABS (Asal Bapak Senang) Sementara, jika sikap yang seperti ini sudah muncul di tengah PNS itu artinya etos kerja pun dengan sendirinya akan hilang, di mana prestasi pun tidak lagi mendapatkan apresiasi.

Dalam suatu pemerintahan, saya pikir di sesama aparaturnya perlu dan mutlak diciptakan suasana kondusif, nyaman dan tenang dalam bekerja. Sejuk dan teduh, bernaung di bawah kepemimpinan sang pemimpin. Pemimpin yang dibutuhkan saat ini, adalah pemimpin yang arif dalam mengambil suatu keputusan yang bersifat kebijakan. Sehingga, semua staf (PNS) dapat nyaman dan teduh dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Tidak malah grasa-grusu, takut dan kuatir kapan diganti. Bahkan boleh jadi, ketika menuju kantornya ada tanyadalam hati sendiri : Apakah sesampainya di kantor nanti saya akan diganti ?

Sudah barang tentu, saya tidak akan mengajari apalagi mendikte JR Saragih untuk mengambil sebuah kebijakan di Pemkab Simalungun secara khusus dalam soal ganti menganti pejabat. Apalagi, saya tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk itu. Saya sadar sekali, JR Saragih adalah seorang pintar dan cerdas, bahkan jago dan jago sekali. Beberapa jenjang pendidikan yang dimilikinya malah bisa dicapainya secara luar biasa cepatnya. Suatu prastasi pencapaian jenjang pendidikan yang terabaikan hingga luput dari catatan MURI (Museum Rekor Indonesia)

Cuma sebagai seorang jurnalis apalagi sebagai anak negeri Simalungun, saya berharap sekali agar JR Saragih ke depan ini tidak lagi melakukan pergantian pejabat dengan mendadak dan tiba-tiba sekali, tanpa pertimbangan bahkan justru melanggar aturan perundangan yang ada. Seorang Bupati antara lain pernah bersumpah untuk taat dan setia pada Pancasila dan UUD 1945, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dan kalau seorang Bupati melanggar sumpahnya, menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 seorang Bupati bisa diusulkan oleh DPRD untuk diberhentikan oleh Menteri Dalam Megeri.

Hemat saya, selama ini DPRD Simalungun sudah cukup ‘bermurah hati’ terhadap JR Saragih dengan tidak melakukan langkah politik apa pun untuk meninjau kembali kedudukannya sebagai Bupati Simalungun. Tapi jangan karena mentang-mentang DPRD Simalungun ‘bermurah hati’ , JR Saragih pun mengambil sikap mumpung dan terus melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Ingat saja ketika Plt Gubsu Gatot mengganti beberapa pejabat di lingkungan Pempropsu dengan tidak sesuai aturan, langkah apa yang dilakukan DPRD Sumatera Utara. Meski pun belakangan langkah DPRD Sumatera Utara tadi mentok oleh kekuatan politik yang tidak memihak kepada mereka.

Saya yang tamat dari SD Swasta dan masuk sore ini saja waktu menjadi Ketua Kelas dulu, tidak gampang diganti dan Ketua Kelas kami memang tak pernah pula diganti-ganti. Konon pula saya pikir, pejabat-pejabat di lingkungan Pemkab Simalungun. Percayakah Anda – Pembaca – pejabat pemerintah itu lebih jago dari Ketua Kelas SD Swasta yang masuk sore ?
_____________________________________ Ramlo R Hutabarat __________________________

Senin, 05 September 2011

Ketika Insentif Guru Honor di Simalungun Digelapkan Pemkabnya

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Sesedih-sedihnya film India, lebih sedih nasib guru honor di Simalungun. Bukan saja gajinya yang amat relatif sedikit, tapi insentifnya pun tega-teganya pula digelapkan Pemkab Simalungun yang sekarang dipimpin JR Saragih sebagai bupati. Oalah. Kalau sudah insentif yang nilainya sangat sedikit itu pun digelapkan oleh Pemkab, bukan tak mungkin masih ada uang-uang lainnya yang digelapkan. Karenanya memang, aparat hukum di daerah ini diminta aktif dan kreatif. Insentif guru honor saja digelapkan. Konon pula yang lain.

Insentif guru honor di Simalungun itu, berasal dari Pemerintah Propinsi Sumatera Utara. Berkaitan dengan program pemerintah dalam rangka wajib belajar 9 tahun, pemerintah menyediakan insentif bagi seluruh guru honor di Sumatera Utara. Tahun lalu, masing-masing guru honor diberikan Rp 60 ribu per bulan, Pembayarannya dilakukan sekali dalam satu semester. Semester pertama Januari – Juni, dan semester kedua Juli – Desember. Jadi dalam setahun, setiap guru honor di Sumatera Utara mendapatkan Rp 720 ribu. Sementara, dalam tahun ini kabarnya insentif itu dinaikkan menjadi Rp 70 ribu per guru per bulan.

Pempropsu sendiri, sudah menyalurkan insentif tadi kepada guru honor di Simalungun, seperti halnya di daerah lain di Sumatera Utara. Biasalah, sesuai dengan aturan yang berlaku, dananya ditransfer melalui rekening Pemkab Simalungun, untuk diteruskan pencairannya kepada masing-masing guru honor di setiap sekolah. Penyaluran dari Pempropsu ke rekening Pemkab Simalungun, dilakukan Desember tahun lalu. Uang sebesar Rp 1, 2 miliar lebih itu dimaksudkan sebagai pembayaran untuk semester kedua tahun ajaran 2010, Juli – Desember 2010.

Tapi apa lacur. Meski pun uang tadi sudah berada di rekening Pemkab Simalungun, Bupati Simalungun tak kunjung menyalurkannya kepada masing-masing guru yang berhak. Wajar dan pantas para guru honor gelisah resah, dan April lalu mereka ramai-ramai mempertanyakannya kepada Pemkab Simalungun. Dan seperti biasa, Bupati Simalungun pun buat janji. Agustus mendatang akan dibayarkannya, katanya kalem dan enteng. Guru-guru honor pun menantikannya, mudah-mudahan sebelum lebaran tahun ini bisa dicairkan.

Harapan para guru honor menjadi sirna, setelah sampai jelang lebaran tahun ini insentif tadi tak juga diberikan Pemkab Simalungun. Apa boleh buat, nilai yang hanya Rp 360 ribu per orang tadi bahkan sampai Senin 5 Septeember belum juga diberikan Pemkab Simalungun. Bagi guru-guru honor di daerah ini, boleh jadi alasan Bupati Simalungun untuk tidak memberikan insentif itu bisa tidak jelas. Padahal bagi saya yang mengamati persoalan ini sesungguhnya sangat jelas sekali. Apa ? Insentif guru honor itu sudah digelapkan oleh Pemkab Simalungun. Digelapkan ? Ya, digelapkan oleh Pemkab Simalungun yang sekarang dipimpin JR Saragih.

Pengakuan di Paripurna DPRD

Penggelapan insentif guru-guru honor di Simalungun itu, terungkap jelas dan terang pada suatu Sidang Paripurna DPRD Simalungun belum lama ini. Awalnya, beberapa fraksi di DPRD Simalungun, mempertanyakan persoalan ini kepada Bupati Simalungun dalam pemandangan umum atas Nota Pengantar LKPj Tahun Anggaran 2010 yang disampaikan oleh JR Saragih. Dalam Nota Jawaban atas pertanyaan fraksi-fraksi itu, JR Saragih membenarkan insentif guru-guru honor tadi benar sudah diterima dari Pempropsu, namun digunakan Pemkab Simalungun untuk kepentingan lain.

Astagafirullah ! Sebagai pemerhati, pengakuan JR Saragih di depan Sidang Paripurna DPRD Simalungun ini bagi saya merupakan sesuatu yang mengagetkan sekaligus memprihatinkan. Dan lebih dari itu, sebenarnya pengakuan JR Saragih ini sudah bisa digolongkan sebagai suatu kejahatan yang menjadi urusan hukum. Kalau saya aparat hukum di daerah ini, tentu saya akan mengambil tindakan hukum. Sayang memang saya hanya seorang jurnalis yang bermukim di pinggiran Simalungun doang. Apalagi sebagai seorang jurnalis, saya selalu dipinggirkan. Saya memang hanya seorang jurnalis yang dipinggirkan mentang-mentang saya orang pinggiran.

Cobalah kita kaji lebih dalam seperti penggalan salah satu syair lagu Ebiet G Ade. Ada uang Pempropsu yang diperuntukkan bagi guru-guru honor di Simalungun. Uang itu diberikan Pempropsu kepada guru-guru honor tadi, melalui Pemkab Simalungun. Tapi setelah uang itu diterima Pemkab Simalungun, uang itu pun tidak diberikan kepada guru-guru honor sebagai pihak yang berhak. Bukankah ini sudah merupakan suatu kejahatan ? Dan yang paling celaka, peristiwa itu sudah diakui JR Saragih dalam suatu Sidang Paripurna DPRD Simalungun pula !

Menurut hemat saya, Pemkab Simalungun bisa saja menggunakan uang sebesar Rp 1,2 miliar lebih tadi untuk kepentingan lain. Bisa. Kenapa tidak bisa, sebab semua sekarang ini bisa. Tapi, masih menurut hemat saya, perlakuan itu baru dapat dikatakan bisa tentunya jika telah melalui mekanisme atau prosudur yang dibenarkan oleh peraturan perundangan yang berlaku. Jadi tidak serta merta bisa mentang-mentang JR Saragih adalah Bupati Simalungun apalagi seorang doktor ilmu pemerintahan pula.

Seperti yang saya katakan diatas tadi, insentif guru – guru honor itu berasal dan merupakan uang Pempropsu. Maka seyogianya, JR Saragih harus terlebih dahulu meminta persetujuan dari pemilik uang yang dalam hal ini adalah Gubernur Sumatera Utara . Gubernur Sumatera Utara sendiri, tidak bisa secara langsung memberikan persetujuan untuk pengalihan penggunaan uang insentif guru-guru honor itu oleh Pemkab Simalungun. Dia, Gubernur Sumut, sebelum memberikan persetujuan harus meminta persetujuan prinsip terlebih dahulu dari DPRD Sumatera Utara. Jika DPRD Sumut sudah memberikan persetujuan prinsip, barulah JR Saragih boleh menggunakan uang insentif guru-guru honor itu untuk keperluan lain.

Tindak Kriminal

Yang membingungkan saya, meski pun JR Saragih kepada DPRD Simalungun sudah mengakui menggunakan uang insentif guru-guru honor itu untuk keperluan lain, namun DPRD Simalungun memposisikannya sebagai sesuatu yang tidak ada apa-apanya. Seolah-olah, kebijakan JR Saragih itu bukanlah merupakan sesuatu kebijakan yang salah sesuai dengan aturan. Sampai sekarang, DPRD Simalungun tidak mengambil sikap, bahkan diam membisu. Padahal, Bupati Simalungun JR Saragih secara nyata-nyata sudah melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum. Sementara, di negeri ini tak ada yang kebal hukum. Seorang pun tidak. Oalah. Saya jadi bernapas sesak. Ada apa denganmu DPRD Simalungun ?

Menurut hemat saya, dalam hal ini DPRD Simalungun sudah bisa menggunakan jalur politik untuk memutuskan apakah Bupati Simalungun JR Saragih memang telah melanggar aturan perundangan yang berlaku. Saya tentu tidak akan mengajari ayam untuk bertelur. Tapi kalau ada keputusan DPRD yang menyebut JR Saragih sudah melanggar aturan, keputusan ini selanjutnya diujimaterikan ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, apabila Mahkamah Agung memutuskan bahwa benar Bupati Simalungun JR Saragih telah melanggar hukum, DPRD Simalungun bisa memparipurnakan untuk mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memberhentikan JR Saragih sebagai Bupati Simalungun.

Di sisi lain, Gubernur Sumatera Utara pun sesungguhnya sudah bisa melakukan tindakan terhadap Bupati Simalungun JR Saragih. Sekali lagi saya enggan untuk mengajari ayam bertelur. Tapi dengan mengalihkan uang insentif guru-guru honor di Simalungun untuk kepentingan lain saya pikir tak ada keragu-raguan lagi bahwa JR Saragih sebagai Bupati Simalungun telah melakukan penyalahgunaan wewenang. Sementara penyalahgunaan wewenang khususnya di bidang keuangan diatur dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Kewenangan Pengelolaam Keuangan Daerah.

Sementara itu, bagi seluruh guru honor di Simalungun, kebijakan JR Saragih yang tidak membayarkan insentif mereka sebenarnya sudah bisa digolongkan sebagai suatu tindakan penggelapan. Jadi jelas, ini sudah termasuk dalam tindak kriminal yang bisa diproses aparat hukum sesuai aturan yang berlaku. Sayangnya, sampai sekarang saya belum melihat tanda-tanda kearah itu. Semua guru honor di daerah ini masih adem ayem terkait dengan tidak satu pihak pun di daerah ini yang mau melakukan pendampingan kepada guru-guru honor itu. Saya pikir, guru-guru honor dapat didampingi atau diadvokasi oleh para penggiat pergerakan di daerah ini, untuk mengadukan JR Saragih kepada aparat hukum. Alasannya jelas : Telah melakukan penggelapan !

Saya pikir, silahkan JR Saragih melakukan tindakan tegas terhadap siapa saja. Tapi juga, siapa saja pun silahkan untuk melakukan tindakan tegas kepada JR Saragih yang sekarang Bupati Simalungun. Saya jadi ragu, kalau sekarang tidak dilakukan tindakan tegas terhadap JR Saragih, suatu masa boleh jadi dia akan semakin lalim dan penuh kezoliman ketika memimpin daerah ini. Sejarah mencatat, pemimpin yang zolim tidak pernah mengakhiri kekuasaannya dengan gilang cemerlang. Apalagi, pemimpin yang menzolimi wakilnya.
Ramlo R Hutabarat
____________________________________________________________________

Sabtu, 03 September 2011

Lebih Rp 50 Miliar Uang Pemkab Simalungun ‘Digolapkan’

@ Aparat Hukum di Pusat dan Daerah Harus ‘Buka Mata’
@ Aktifis dan Penggiat Pergerakan Harus ‘Buka Mulut’
@ Pemkab Simalungun dan JR Saragih Harus ‘Pasang Telinga’

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah Simalungun Resman Saragih, Jumat pekan lalu secara mendadak diganti oleh Bupati Simalungun, JR Saragih. Penggantinya adalah Gideon Purba yang sebelumnya merupakan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Gideon bukan orang baru di Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah. Putra asal Kecamatan Raya ini, pernah bertahun-tahun bertugas di dinas yang sama sebagai salah seorang Kepala Bidang sampai dipercaya Bupati Simalungun Zulkarnaen Damanik (waktu itu) sebagai Sekretaris Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan Daerah.

Apa pasal mengapa Resman dicopot, tidak jelas bagi siapa-siapa. Seperti biasa, JR Saragih memang nampaknya cuma sekadar menyalurkan hobby anehnya yang suka menggonta-ganti pejabat saja. Yang penting, Resman diganti dan JR Saragih sememang gemar serta senang menukar-nukar posisi jabatan PNS (Pegawai Negeri Sipil) Kalau muncul sesuatu yang kurang beres sebagai dampak mutasi itu, agaknya bagi JR Saragih tak jadi soal. Nampaknya, pencopotan Resman bukan dilatarbelakangi sesuatu yang tidak beres. Buktinya, putra asal Kecamatan Silou Kahean ini justru dipercaya JR Saragih untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Suatu jabatan yang cukup strategis di sebuah pemerintahan daerah.

Sekali lagi, tak jelas mengapa dan karena alasan apa Resman diganti. Mendadak pula dan pelantikannya pun dilakukan dalam menit-menit terakhir pada jam kerja Jumat 26 Agustus lalu. Yang jelas, menurut catatan saya ada Rp 50.315.780.725 uang Pemkab Simalungun yang tak jelas penggunaannya. Menjadi misteri dan teka-teki, yang saya pikir harus dijelaskan Bupati Simalungun JR Saragih dengan terbuka dan terang-terangan. Artinya, kalau ada tudingan Rp 50 miliar lebih uang Pemkab Simalungun tak jelas kemana, Bupati Simalungun JR Saragih harus pasang telingan untuk mendengarkannya sekaligus memberikan respon terhadap tudingan itu.

Informai Liar

Uang Pemkab Simalungun yang sebesar Rp 50.315.780.725 yang saya sebut tak jelas dikemanakan itu, sesungguhnya lebih tepat kalau saya sebut sebagai ‘digolapkan’ Kenapa saya sebut dengan istilah atau sebutan ‘digolapkan;, karena justru itu tadi : Tak jelas digunakan untuk apa. Karena tak jelas digunakan untuk apa, pengertiannya sama dengan ‘golap’ Dan ‘digolapkan’ barangkali identik dengan penggelapan. Sementara, kalau sudah muncul istilah penggelapan, sudah barang tentu ini bersentuhan dengan hukum. (meski pun penggelapan insentif guru honor yang berasal dari Pempropsu sampai sekerang belum menjadi masalah hukum)

‘Golapnya’ uang Pemkab Simalungun sebesar yang saya sebut tadi, muncul dari dua sumber informasi yang berbeda. Pertama yang saya jadikan sumber adalah LKPj (Laporan Keterangan Pertanggungjawaban) Bupati Simalungun Tahun Anggaran 2010. Sementara sumber kedua yang saya gunakan adalah ekspose Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan pada Kementerian Keuangan. Ketika saya chroschek, terdapat perbedaan yang sangat mengganggu yang akhirnrya melahirkan pertanyaan yang tak terjawab kecuali oleh JR Saragih sendiri.

Berdasarkan LKPj Bupati Simalungun yang disampaikan kepada DPRD Simalungun pada Rapat Paripurna DPRD bulan lalu, DAU (Dana Alokasi Umum) Simalungun Tahun Anggaran 2010 adalah sebesar 644.610.865.000. sementara berdasarkan ekspose Dirjen Perimbangan Keuangan DAU Simalungun Tahun Anggaran 2010 adalah sebesar Rp 676.489.615.000. Dari fakta ini, ada selisih sebesar Rp 31.878.750.000. DAK (Dana Alokasi Khusus) Simalungun berdasarkan LKPj Bupati Simalungun 2010 pun dinyatakan JR Saragih sebesar Rp 62.942.551.678, sementara menurut ekspose Dirjen Perimbangan Keuangan sebesar Rp 68.014.186.621. Dari sini muncul selisih senilai Rp 5.071.634.943. Dan, Dana Penyesuaian (Ad Hoc) yang menurut LKPj Bupati Simalungun sebesar Rp 112.261.658.218 tapi menurut ekspose Dirjen Perimbangan Keuangan justru sebesar Rp 125.627.054.000. Berdasarkan fakta itu, terdapat selisih sebesar Rp 13.365.395.782.

Berdasarkan kenyataan itu, total jenderal selisih antara LKPj Bupati Simalungun dengan ekspose Dirjen Perimbangan Keuangan ada sebesar Rp 50.315.780.725. Inilah yang saya sebut sebagai uang Pemkab Simalungun yang ‘digolapkan’ (lebih jelas, cermati tabel)

Dana Penyesuaian (Ad Hoc) yang sebesar Rp 112.261.658.218 menurut LKPj Bupati Simalungun itu terdiri dari untuk Insentif Daerah (DID) sebesar Rp 18.575.895.000, untuk Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah sebesar Rp 31.066.163.218. Lantas untuk Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daaerah sebesar Rp 6.527.250.000, untuk Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan sebesar Rp 1.740.600.000. Juga untuk Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNS sebesar Rp 22.281.450.000, dan untuk Dana Tunjangan Profesi Guru (Sertifikasi dan Non Sertifikasi) sebesar Rp 31.878.750.000.


Versi LKPj Bupati Simalungun Versi Dirjen Perimbangan Keuangan Selisih
DAU
Rp 644.610.865.000 Rp 676.489.615.000 Rp 31.878.750.000
DAK Rp 62.942.551.678 Rp 68.014.186.621 Rp 5.071.634.943
Dana Penyesuaian (Ad Hoc) Rp 112.261.658.218 Rp 125.627.054.000 Rp 13.365.395.782
1. Insentif Daerah (DID) Rp 18.575.895.000 Rp 18.575.895.000 -

2. Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah Rp 31.066.163.218 Rp 34.517.959.000


3. Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah Rp 6.527.250.000 Rp 14.505.00.000
4. Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan Rp 1.740.600.000 Rp 3.868.000.000
5. Dana Tambahan Penghasilan Bagi Guru PNS Rp 22.281.450.000 Rp 22.281.450.000
6. Dana Tunjangan Profesi Guru (Sertifikasi dan Non Sertifikasi) Rp 31.878.750.000 Rp 31.878.750.000

J u m l a h Rp 50.315.750.000
(Sumber : LKPj Bupati Simalungun TA 2010 dan Ekspose Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan)

Menurut hemat saya informasi yang jelas-jelas sumbernya ini harus dapat diklarifikasi oleh Bupati Simalungun. JR Saragih. Ini berguna agar tidak munculnya informasi liar yang dapat merusak nama baik JR Saragih sendiri baik sebagai Bupati Simalungun mau pun sebagai pribadi. Kalau ekspose Dirjen Keuangan tadi tidak benar misalnya, barangkali tidak menjadi soal. Tapi kalau benar, tentu tudingan saya bahwa ada Rp 50 miliar lebih uang Pemkab Simalungun yang ‘digolapkan’ harus menjadi persoalan hukum yang cukup serius. Dan ini tentunya sudah menjadi porsinya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

Tentunya saya tidak mau mereka-reka secara negatif latar belakang pencopotan Resman Saragih sebagai Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelola Keuangan. Apalagi, dia adalah salah seorang teman baik saya yang selama ini cukup dekat dan komunikatif dengan saya. Yang saya mau katakan adalah manajemen keuangan Pemkab Simalungun di bawah kepemimpinan JR Saragif memang sungguh amburadul dan centang perenang. Kawan saya Janauarison Saragih yang Dekan Fakultas Hukum Universistas Simalungun menyebutnya : Manajemen Keuangan Pemkab Simalungun di bawah kepemimpinan JR Saragih tidak profesional.

Fakta-fakta amburadul dan centang perenangnya manajemen keuangan Pemkab Simalungun di bawah kepemimpinan JR Saragih antara lain bisa dilihat dari LKPj Bupati Simalungun Tahun Anggaran 2010 yang menyebut ada SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) sebesar Rp 1, 5 miliar, tapi justru ada utang kepada pihak ketiga sebesar Rp 24, 1 miliar. Dalam pandangan saya yang awam dalam soal keuangan, manalah mungkin ada SILPA sementara di sisi lain justru ada utang.

Buruknya manajemen keuangan Pemkab Simalungun di bawah kepemimpinan JR Saragih juga bisa dikedepankan tentang kebijakan JR Saragih yang menggelapkan Insentif Guru Honor sebesar Rp 1, 2 miliar. Saya golongkan ini sebagai penggelapan sebab uang sebesar itu tadi sudah diterima dari Pemprop Sumatera Utara tapi justru dipergunakan JR Saragih untuk kepentingan lain. Fakta ini sebenarnya merupakan suatu perbuatan pidana berupa penggelapan bagi guru-guru honor, sekaligus penyalahgunaan wewenang oleh JR Saragih. Termasuk, pengalihan dana untuk pembebasan tanah bagi pelebaran ruas jalan masuk kota Pamatang Raya sebesar Rp 10 miliar yang dialihkan sebesar Rp 5 miliar lebih untuk ganti rugi pertapakan tanah pembangunan alun-alun di kompleks perkantoran Pemkab, merupakan salah satu indikasi amburadulnya manajemen keuangan itu.

Juga, program JR Saragih yang merehabilitasi 31 kantor camat di Simalungun dengan menggunakan dana pinjaman dari Kementerian Keuangan merupakan, merupakan cerminan betapa buruknya manajemen keuangan itu. Buktinya, karena pinjaman tidak dapat direalisasi, akhirnya pun rencana rehabilitasi kantor camat tadi pun justru jadi diurung atau ditunda. Tidakkah sebuah program yang brengsek jika ingin merehabilitasi kantor amat tapi sumber dananya diharapkan dari hasil mengutang ? Atau, membayar utang dengan cara menjual asset ?

Maka itulah sebabnya saya meminta aparat berwajib baik di Simalungun mau pun di tingkat propinsi bahkan pusat, agar memberi perhatian terhadap dugaan ‘golapnya’ puluhan miliar uang Pemkab Simalungun. Mereka harus ‘pasang mata’ terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di Simalungun ini. Boleh jadi dalam kasus dugaan ‘penggolapan’ ini ada potensi korupsi yang belum jelas dilakukan oleh siapa. Dan saya, seratus persen tidak percaya kalau ada penggelapan yang dilakukan Resman Saragih meski pun dia belakangan diganti secara mendadak.

Kepada para penggiat pergerakan sekaligus aktifis di daerah ini, saya juga berharap agar mereka membuka mulut untuk mengatakan yang perlu dikatakan. Juga para politisi di luar para anggota DPRD Simalungun. Kalau para oknum anggota DPRD itu, jangan harap untuk melakukan apa saja, sebab oleh karena biasalah yang kita semua sudah tahu sama tahu.

Sebagai seorang warga Simalungun, saya juga berharap kepada JR Saragih agar membuka telinga pada informasi yang beredar luas. Seorang bupati menurut saya, tidak boleh berlagak buta dan tuli dan bangga pula dengan kebutaan serta ketuliannya tadi. Seorang bupati justru harus tanggap dan responsif terhadap apa saja yang ada dan terjadi di daerahnya. Sekali lagi, tidak malah berlagak buta dan tuli !
____________________________________________________________________
Suasana Lebaran , 3 September 2011

Ramlo R Hutabarat
____________________________________________________________________