Kamis, 04 Agustus 2011

Mengenang Almarhum BMT Pardede

Rabu 3 Agustus lalu saya sempat menjenguk almarhum BMT Pardede yang dirawat di Rumah Sakit Harapan di Jalan Lapangan Bola Atas, Pematangsiantar. Kondisinya sudah sangat melemah akibat penyakit yang dideritanya. Dia terbaring lunglai, berjuang melawan derita yang menggerogoti tubuhnya. Nafasnya satu-satu, dan wajahnya saya lihat kala itu masih tetap penuh wibawa kebapaan. Dan gurat-gurat di wajahnya pun masih saya saksikan begitu perkasa. Saya hanya banyak terdiam menerawang ke masa lalu di ruangan tempat dia dirawat.

Meski pun saya marga Hutabarat dan dia marga Pardede, hubungan kami sebenarnya sangat dekat dan mesra sekali. Saya mengenalnya secara dekat ketika almarhum menjadi Kepala Perwakilan Majalah HORAS Sumatera Utara, dan saya menjadi Sekretaris Perwakilan. Waktu itu, Majalah HORAS terbit di Jakarta dengan Pemimpin Redaksi Ch Robin Simanullang. Untuk Perwakilan Sumatera Utara, kantornya berada di Pematangsiantar di Jalan DI Panjaitan yang sekaligus rumah tinggal almarhum.

Ketika hari-hari berlalu, dalam pandangan saya armarhum BMT Pardede adalah seorang yang penuh perhatian, peduli, tanggap dan responsif. Selain, dia merupakan seorang pekerja keras, pejuang yang tidak mengenal istilah menyerah. Tapi tekun, setia, taat dan jujur. Berbuat baik adalah prinsip hidupnya yang tak bisa ditawar-tawar. Dan yang paling penting, dia tidak melihat siapa orangnya. Perbuatan baik adalah kewajiban katanya, bahkan merupakan sebuah ibadah.

Rabu sore pekan ini di Rumah Sakit Harapan, saya masih terdiam merenung dan mengkilas balik hubungan saya dengannya. Tak berlebihan bila saya katakan BMT Pardede yang sekarang sudah membujur kaku tubuhnya di rumahnya di Kompleks Taman Rekreasi Binaling Jalan Cornel Simanjuntak, merupakan sosok yang pantas untuk diteladani oleh orang-orang muda. Awalnya beliau tidak apa-apa dan bukan siapa-siapa. Dia hanya seorang putra yang berasal dari keluarga biasa-biasa serta sederhana. Ayahandanya almarhum Polin Pardede dan Ibundanya Boru Pangaribuan, hanya seorang penjual daging ternak seadanya.

Sebenarnya, BMT Pardede tak terlalu salah jika disebut asli orang Siantar. Leluhurnya datang ke Tanah Simalungun ini ketika terjadinya urbanisasi besar-besaran Batak dari Dataran Tinggi Toba. Para migran Toba ini bekerja keras di kawasan Siantar dan sekitarnya, dan Ompungnya BMT Pardede membuka kawasan hutan yang kelak dinamainya sebagai Lumban Silulu, sekarang dikenal sebagai Kelurahan Nagahuta Timur Kecamatan Siantar Marimbun.

Meski hubungan saya dengan almarhum formalnya merupakan hubungan antara atasan dengan bawahan, tapi almarhum BMT Pardede lebih condong memperlakukan saya sebagai anak. Saya kerap diajaknya minum kopi di Simpang SKI sambil ngobrol ngalor – ngidul. Membicarakan apa saja. Mulai dari politik, ekonomi, budaya. Bahkan tentang pemerintahan apalagi ketika zaman orde baru segalanya masih terbatas untuk dibicarakan. Dan almarhum, acap sekali menyampaikan pendapatnya sambil main catur dengan temannya. Satu kebiasaan yang tentunya ssukar dilakukan oleh orang lain.

Almarhum sendiri, saya panggil dengan sebutan ‘Tulang’ Dan sebutan Tulang dari saya kepadanya, disambutnya dengan memperlakukan saya sebagai ‘Bere’nya. Tidak saja cuma kata-kata, tapi juga dengan sikap dan perbuatan. Makanya, ketika beliau wafat, saya pun akhirnya bagai kehilangan seorang ‘Tulang’ yang sesungguhnya. Tulang yang memperhatikan saya, peduli dan penuh perhatian.

Beliau memang merupakan seorang yang amat penyayang dan sangat merindukan memiliki banyak saudara.

“Saya anak tunggal, Ramlo. Dan putra saya hanya seorang. Saya sangat bersyukur pada Tuhan karena kepada saya dianugerahkan seorang putra dan dua putri.Simarmata itu betul menantu saya, tapi dalam hati saya dia merupakan anak saya. Anak saya”, katanya suatu masa sambil melemparkan pandangan ke arah jalan raya di Simpang SKI yang diseliweri lalu lintas.

Sekira 1992-an hingga 1994-an, saya memang nyaris setiap hari berada bersama almarhum BMT Pardede. Hubungan kami semakin akrab dan mesra sekali bukan saja sebagai Kepala dan Sekretaris Perwakilan. Beliau meminta saya untuk mengerjakan apa saja yang dianggapnya bisa saya lakukan. Termasuk, mengambil uangnya dari BRI Pematangsiantar Rp 50 juta yang waktu itu sudah merupakan jumlah yang sangat besar. Berdetak juga jantung saya keras waktu itu, ketika uang sebesar Rp 50 juta saya bawa naik vespa butut ke rumahnya di Jalan DI Panjaitan.

Sebelumnya, saya mengenal almarhum BMT Pardede ketika saya bekerja untuk Harian SIB. Waktu itu, saya sering diperintahkan almarhum GM Panggabean untuk menulis berita-berita menyangkut budaya (Batak) Dan sebagai pemuka adat budaya, almarhum BMT Pardede adalah orang yang paling tepat untuk dimintai pendapat atau komentarnya.

Ada hal yang sampai sekarang saya ingat sekali dari almarhum. Katanya, Raja bagi orang Batak adalah ‘Pamuro naso martapsior. Parmahan naso marbatahi. Sipaherbang lage jala na ringgas manggalang’ Raja Sisingamangaraja XII bahkan, kata almarhum kepada saya suatu masa, selalu memberi ketika berkunjung ke berbagai daerah di Tanah Batak. Tidak pernah menerima. Ada suatu daerah yang dilanda kemarau panjang, lalu Sisingamangaraja XII datang kesana seraya meminta kepada Mulajadi Nabolon agar didatangkan hujan. Dan hujan pun segera mengguyur.
Sekarang, saya berpikir apakah jika seorang Kepala Daerah meminta atau menerima sesuatu yang bersifat material dari stafnya bukanlah raja yang sesungguhnya ?

Saya tak persis ingat tahunnya, tapi antara 1987 – 1988, Bupati Tapanuli Utara Gustaf Sinaga (waktu itu) akan diberi ‘bulang-bulang’ oleh marga Pardede di Balige. Ketika almarhum DR GM Panggabean memerintahkan saya untuk menulis tentang makna pemberian ‘bulang-bulang’ itu, saya segera mendatangi almarhum BMT Pardede ke rumahnya. Dari almarhum saya mendapat tahu arti dan makna ‘bulang-bulang’ yang segera saya tuliskan, dan DR GM Panggabean pun menyatakan puas dengan paparan saya.

Kepada saya, almarhum BMT Pardede banyak sekali bercerita tentang apa saja. Dan itu dilakukannya, ketika almarhum mengajak saya untuk minum kopi ke Simpang SKI di sisi kiri ruas jalan raya arah ke Simpang Dua. Perlakuannya kepada saya pernah mengundang tanya orang lain. “Kau Berenya kandung ?”, tanya seseorang dan saya menggeleng. Dan orang itu mengatakan, memang BMT Pardede adalah seorang yang amat penyayang dan selalu merindukan siapa saja untuk dijadikan sahabat dan bahkan saudara.

Almarhum BMT Pardede juga pernah menceritakan masa mudanya yang diisinya dengan kerja keras. Ke Sidikalang katanya, membawa ikan untuk dijual dengan mengandarai vespa merupakan sebuah pekerjaan yang pernah rutin dilakukannya. Sering sekali dia haarus berangkat dini hari agar bisa cepat sampai di Sidikalang. Dan pulang ke Siantar hari itu juga ketika ikan sudah habis terjual.

“Hira bulung-bulung ma godang ni hepeng tingki”, katanya mengenang, dan saya pun tercengang.

Almarhum juga menceritakan bagaimana kompetisi atau persaingan yang dilakukannya untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah. Kuncinya, katanya, harus jujur, konsekwen dan beritikad baik. Jangan pernah berpikir untuk melanggar ketentuan dalam kontrak kerja, dan sadari bahwa proyek dimaksud dikerjakan untuk kepentingan orang banyak, katanya. Dan karena saya tidak berminat pada dunia kontraktor, saya pun menolak ketika beliau menawarkan kepada saya untuk dibuatkannnya sebuah perusahaan untuk saya. Dia tertawa kalem. “Memang ndang siulaon karejo naso bidang niba”, katanya.

Tentang Taman Rekreasi Binaling yang sekarang sangat pupuler di Kota Pematangsiantar, dia juga banyak sekali menceritakan latar belakang pendiriannya kepada saya. Yang saya tangkap, niat almarhum membuka usaha hiburan Binaling, tidak semata untuk unsur komersial. Nama Binaling pun diambilnya, katanya demi dan atas nama kecintaannya pada Sonak Malela leluhurnya : Bintatar Naga Baling. Dan kalau saya tidak salah, pendirian Taman Rekreasi Binaling merupakan hasil perenungan panjang yang bernuansa spritual.

Rabu lalu pekan ini saya masih berada di salah satu ruangan RS Harapan menjenguk BMT Pardede yang terbaring lemah melawan penyakit yang dideritanya. Dalam hati saya berharap Tuhan mencurahkan keajaibanNya dan memberikan kesembuhan baginya. Tapi Kamis sore, dari teman saya Pardomuan Nauli Simanjuntak saya mendapat tahu BMT Pardede sudah menghadap Khaliknya dengan tenang dan teduh. Dan Jumat pagi begitu usai menjadi nara sumber di Radio CAS Pematangsiantar, saya telah berada di depan jasad BMT Pardede di rumah duka di Jalan Cornel Simanjuntak. Saya merenung dalam.

Hidup adalah perjalanan. Dan lamanya hidup, saya pikir bukan ditentukan oleh panjang pendeknya usia yang diberikan Tuhan. Tapi justru, seberapa banyak kita berbuat kebaikan pada orang lain. Juga kebaikan untuk jagad ciptaan Tuhan ini. Dan saya percaya, seluruh keluarga yang ditinggalkan mendapat penghiburan dari Tuhan Yang Maha Esa. (Ramlo R Hutabarat)

Ramlo R Hutabarat, 5 Agustus 2011
____________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar