Rabu, 21 Desember 2011

Batik Siswa Simalungun, Persekongkolan dan Monopoli ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Agaknya mulai Januari tahun depan, semua siswa di Simalungun akan mengenakan pakaian seragam baru. Pakaian seragam baru yang bermotifkan etnik tradisional Simalungun. Kemeja sekaligus celana bagi pria dan rok , tentu, untuk perempuan. Sampai disini, agaknya tak ada persoalan. Bahkan boleh disebut, kebijakan ini sungguh baik dan bagus. Penampilan para pelajar di Simalungun tentu akan lebih menarik dan unik. Yang namanya tradisi leluhur memang wajar bahkan wajib untuk dilestarikan.
Tapi saya melihatnya dari dimensi lain. Kewajiban pemakaian seragam motif etnik Simalungun bagi siswa di daerah ini, saya lihat sebagai bentuk lain pemerasan terhadap anak negeri. Setidaknya, cuma sebuah cara untuk mendapatkan uang oleh sekelompok orang tertentu meski pun dengan cara menambah beban ekonomi anak negeri. Padahal, di sisi lain kehidupan anak negeri sekarang ini amat terpuruk akibat harga-harga hasil bumi yang fluktuatif tak menentu.
Hasil Rekayasa
Pakaian seragam baru bagi seluruh siswa di Simalungun yang bermotif etnik itu, diberlakukan menyusul terbitnya Peraturan Bupati Simalungun Nomor 15 Tahun 2011 tentang Kewajiban Pemakaian Seragam Motif Etnik Simalungun bagi murid Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan murid Sekolah Menengah Atas dan atau sederajat di Kabupaten Simalungun. Menurut Peraturan Bupati itu, semua siswa baik negeri mau pun swasta wajib mengenakan seragam dimaksud.
Peraturan Bupati Simalungun itu, katanya diterbitkan setelah merujuk pada Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun Nomor 7 Tahun 2006. Dan inilah yang membuat saya bingung serta pusing tujuh keliling. Saya jadi ragu sekali, apakah saya sudah terbilang pikun dan linglung. Atau, apakah Bupati Simalungun malah yang memang sudah mengalami hal yang sama seperti saya.
Masalahnya, Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Simalungun Nomor 7 Tahun 2006 itu adalah tentang Kewajiban mencantumkan uhir/ ornamen atau ragam hias Simalungun pada setiap bangunan pemerintah, BUMN, BUMD dan swasta serta fasilitas umum di Kabupaten Simalungun. Jadi tak berkaitan pakaian, tegasnya, kaitannya adalah dengan bangunan. Jadi saya pikir, rujukan penerbitan Peraturan Bupati Simalungun tadi, tak dapat dengan menggunakan Perda Nomor 7 Tahun 2006.
Setelah terbitnya Peraturan Bupati Simalungun tadi seperti dituturkan Albert Sinaga, Kepala Dinas Pendidikan Simalungun kepada saya, terbit pula Surat Keputusan Bupati Simalungun Nomor 188.45/2732/ Umkap-2011 tertanggal 11 Mei 2011. Pada intinya, Surat Keputusan Bupati Simalungun ini adalah tentang Pengadaan Pakaian Seragam Motif Etnik Simalungun bagi murid SD, SMP, SMA/ sederajat Negeri dan swasta di Kabupaten Simalungun. Berdasarkan hal itulah muncul CV Pelita Pendidikan yang Direkturnya Hotlan Anto Purba SE memberi tahu kepada seluruh Kepala Sekolah serta Ketua Komite Sekolah di daerah ini bahwa pakaian dimaksud sudah tersedia di kantor mereka di Jalan Kartini Nomor 6 Pamatang Raya.
Artinya, pengadaan pakaian seragam baru untuk seluruh siswa di Simalungun itu sekarang hanya dapat dipasok oleh CV Pelita Pendidikan saja. Apalagi, pakaian sejeneis tidak ada dijual pihak lain di pasaran.
Harga Mahal
Dalam suratnya Nomor 132/ CV PP/ P.V/ 2011 tanggal 10 Oktober 2011 yang ditujukan kepada seluruh Kepala Sekolah dan Ketua Komite Sekolah di seluruh Simalungun, Direktur CV Pelita Pendidikan Hotlan Anto Purba SE menjelaskan , harga baju batik etnik Simalungun yang spesifik termasuk celana bagi laki-laki dan rok bagi perempuan untuk tingkat SD Rp 80.000. Sementara untuk tingkat SMP seharga Rp 85.000, dan untuk tingkat SMA/ SMK seharga Rp 115.000. Pengambilannya menurut Hotlan dengan penyerahan uang muka sebesar 50 persen dan kemudian dapat dicicil selama 30 hari ke depan hingga lunas. Unit Koperasi Sekolah boleh mengambil sendiri pakaian itu ke kantor CV Pelita Pendidikan di Pamatang Raya, atau pihak mereka sendiri (CV Pelita Pendidikan) yang mengantarnya secara langsung ke Unit Koperasi Sekolah.
Dalam pandangan tokoh pemuda Sumatera Utara yang juga politisi senior Marlon Purba SH, harga jual yang diberlakukan pihak CV Pelita Pendidikan itu sungguh mahal jika dibandingkan dengan bahan sejenis. Marlon cukup kritis menanggapi kebijakan Bupati Simalungun ini, yang menurut dia hanya menambah-nambah beban rakyat semata. Apalagi warnanya tidak cerah bahkan kusam kata Marlon ketika kami berbincang-bincang di Lobby Siantar Hotel belum lama ini.
“Memang bagus jugalah kalau seluruh siswa di daerah ini mengenakan seragam yang bernuansa etnik Simalungun. Tapi agaknya, dalam situasi ekonomi masyarakat kita yang sekarang cukup payah, kebijakan Bupati Simalungun itu belum tepat sekali untuk diterapkan”, kata Marlon yang meski pun bermukim di Medan tapi tetap memberi perhatian pada tanah leluhurnya ini.
Lantas, Johalim Purba yang anggota DPRD dan kebetulan sekarang Ketua Komisi IV DPRD Simalungun yang antara lain membidangi pendidikan menyebut, ide pakaian seragam motif etnik Simalungun tadi sesungguhnya datang dari pihaknya, katanya. Mereka (DPRD Simalungun) pernah berkunjung ke suatu daerah di Nusa Tenggara, dan menyaksikan betapa indah dan menariknya jika semua siswa memang mengenakan pakaian seragam yang berasal dari etnisnya. Dari situlah akhirnya terbit kebijakan Bupati Simalungun yang mewajibkan seluruh siswa di daaerah ini untuk mengenakan pakaian seragam (baru), kata Johalim.
Tinjau Ulang
Bagi saya sebagai salah seorang anak negeri Simalungun, kewajiban pengenaan pakaian seragam baru bagi seluruh siswa ini sesungguhnya tidak begitu sesederhana itu. Banyak hal yang terselip disini, yang pada akhirnya memiliki potensi kejahatan. Dan karena itu, saya berharap semua pihak mau memberi perhatian yang serius. Saya mau katakan dengan terus terang, kewajiban penggunaan pakaian seragam itu hanya cara lain untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya dengan cara gampang saja. Mumpung punya peluang dan kekuasaan.
Dari surat CV Pelita Pendidikan Nomor 132/ CV.PP/ P.V/ 2011 tertanggal 10 Oktober 2011 itu saja saya melihat ada banyak hal yang janggal. Pertama, surat rekomendasi Dewan Pimpinan Cabang Partuha Maujana Simalungun (PMS) Nomor 50/ PMS/ IX/2009. Entah Dewan Pimpinan Cabang Partuha Maujana Simalungun mana maksudnya yang dibuat pada 2009 itu. Termasuk surat rekomendasi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Simalungun Nomor 556/ Disbudpar tanggal 24 Agustus 2009. Bahkan pun, saya meragukan validitas pendaftaran HKI desain industri pembuatan baju batik etnis Simalungun yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual seperti yng disebutkan oleh Hotlan Anto Purba. Apalagi, surat itu pun ditembuskan juga kepada Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Simalungun padahal Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Simalungun tidak pernah ada sampai sekarang.
Yang saya lihat, dalam soal Peraturan Bupati Simalungun Nomor 15 Tahun 2011 sampai Surat Keputusan Bupati Simalungun Nomor 188.45/2732/ Umkap-2011 tanggal 11 Mei 2011, ada sesuatu yang tidak beres disini dan perlu untuk ditinjau ulang. Pihak mana saja, perlu untuk mengkaji ulang semua itu agar praktek-praktek KKN dapat dihindarkan sekaligus diberangus. Apakagi, praktek-praktek semacam ini telah secara langsung menyentuh kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Bagi saya, semua itu merupakan perbuatan keji yang harus dibasmi yang cenderung saya lihat sebagai suatu persekongkolan pihak penguasa bersama pihak-pihak tertentu yang tujuannya untuk memperkata diri secara tidak syah.. Termasuk barankali merupakan perbuatan monopoli yang bertentangn dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha.
Wah, masalahnya : Siapa yang mau peduli ?
Siantar Estate 21 Desember 2011
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
___________________________________________________________________)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar