Kamis, 15 Desember 2011

Disiplin PNS di Pemkab Simalungun dan Finger Print

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Perkara disiplin, pegawai di Pemkab Simalungun lebih tertib dibanding dengan pegawai di Pemko Pematangsiantar, kata seorang kawan, Yosef Saragih. Dia boleh jadi bisa memberi penilaian secara obyektif dengan metoda teori pembandingan, karena selama ini Yosef bertugas sebagai wartawan di Unit Pemko Pematangsiantar. Belakangan, oleh pimpinannya Ulamatuah Saragih di Tabloid KONSTRUKTIF , Yosef dimutasi ke Pemkab Simalungun di Sondi Raya, dan penilaian Yosef saya nilai boleh jadi benar.
Masih cerita Yosef kepada saya, berdasarkan pengamatannya setelah bertugas di Pemkab Simalungun sebagai wartawan, pegawai di jajaran Pemkab yang sekarang dipimpin JR Saragih itu secara umum masuk kerja sesuai dengan ketentuan. Pulangnya juga demikian, dan agaknya gairah kerja mereka belakangan ini tengah berkobar serta menyala-nyala. Boleh jadi kata Yosef, ini disebabkan prinsip yang kita anut : ada kerja ada uang. Kalau uangnya jelas, kerjanya pun apasti akan jelas. Yang sulit adalah jika ada uang tapi tak ada kerja. Dan kami berdua pun terbahak-bahak di salah satu kedai minuman di Hapoltakan, Kecamatan Raya awal pekan ini.
Tapi dalam pandangan saya, pendapat kawan yang satu ini sesungguhnya masih perlu untuk dikaji ulang. Okelah, saya akui memang, soal disiplin pegawai di Pemkab Simalungun belakangan ini sudah membaik meski disana-sini masih diperlukan pembenahan. Sudah sangat sulit mencari pegawai Pemkab Simalungun yang ongkang-ongkang di warung-warung pada saat jam-jam kerja. Sama sulitnya dengan mencari maling di gereja.
“Saya masih meragukan disiplin yang mulai tertib itu datang dari hati sanubari mereka yang paling dalam”, kata saya pada Yosef. Boleh jadi karena Bupati Simalungun yang sekarang berlatarbelakangkan TNI yang dikenal kuat dalam disiplin. Jadi mereka – para pegawai itu - cuma karena takut semata kepada pucuk pimpinannya. Janganlah karena Bupati Simalungun kebetulan seorang yang ketat pada disiplin, lantas pegawainya pun ikut-ikutan berdisiplin. Kalau itu yang terjadi, sesungguhnya belum merupakan suatu perubahan, kata saya. Yosef pun mengernyitkan keningnya. Asap rokoknya dihembuskannya lepas ke udara bebas.
Taat dan Patuh
Disiplin merupakan perasaan taat dan patuh terhadap nilai-nilai yang dipercaya termasuk melakukan pekerjaan tertentu yng menjadi tanggung jawabnya. Itu menurut teori yang saya ambil dari Google. Dan kata kawan saya, disiplin mencakup sesuatu yang sangat luas dan bermakna. Bukan hanya taat pada jam kerja, tapi juga taat pada perintah dan ketentuan. Juga taat dan patuh pada aturan atau hukum yang berlaku. Orang yang tidak taat hukum, tak terlalu salah jika disebut tidak berdisiplin.
Dulu, ketika saya masih berstatus PNS, (Pegawai Negeri Sipil) ada aturan yang mengatur tentang disiplin yang namanya Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980. Sekarang, PP itu sudah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Konon kata kawan saya Resman Saragih yang sekarang Kepala BKD (Badan Kepegawaian Daerah) Simalungun, PP Nomor 30 Tahun 1980 itu diganti dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan keadaan.
Secara khusus pada Pasal 3 Ayat (11) Peraturan Pemerintah tadi, disebut setiap PNS wajib datang, melaksanakan tugas, dan pulang sesuai dengan ketentuan kerja serta tidak berada di tempat umum bukan karena dinas. Artinya, setiap PNS wajib mentaati ketentuan kerja yang sudah digariskan. Sementara, ketentuan jam kerja adalah dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 16.00 WIB. Dan, secara khusus sesuai dengan penjelasan PP Nomor 53 Tahun 2010 pada Pasal 3 Ayat (11) disebutkan : Keterlambatan masuk kerja dan atau pulang cepat dihitung secara kumulatif dan dikonversi 7 setengah jam sama dengan stu hari masuk kerja.
Dalam pandangan saya, penerapan disiplin pegawai di instansi mana saja terutama diinstansi pemerintah, sudah masanya dilakukan dengan mengikuti teknologi canggih yang memang sudah tersedia. Jadi tidak akurat lagi jika dilakukan secara manual tradisional. Lihat misal yang terjadi di DPR – RI Senayan sana. Kata Ketua DPR Marzuki Ali, ada anggotanya yang tak pernah mengikuti Sidang Paripurna sama sekali, tapi justru ikut mengisi absen. Absen bodong istilahnya, dan itu dimungkinkan terjadi karena sistem pengabsenan tidak dilakukan secara komputerisasi.
Maka saya pikir pun, kebijakan Pemkab Simalungun yang belakangan memanfaatkan Finger Print merupakan sesuatu langkah yang sangat tepat untuk mendisiplinkan para pegawainya. Finger Print, seperti yang saya dapat tahu dengan cara membuka Google, merupakan terjemahan dari absen sidik (jari) Artinya, setiap pegawai hanya bisa membuktikan kehadirannya melalui sidik jarinya yang direkam melalui sebuah alat dan peralatan canggih. Jadi tak akan terjadi lagi absen bodong.
Selain itu, dengan tehnologi yang dibuat sedemikian rupa, Finger Print juga dapat merekap data daftar hadir/ absensi yang ada di seluruh SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) termasuk di kantor-kantor kecamatan yang bagaimana pun terpencilnya. Tak ada lagi batas ruang dan waktu, sebab setiap saat BKD Simalungun yang kantornya di Sondi Raya justru dapat memantau seluruh pegawainya dimana saja. Semua pegawai yang tidak masuk kerja, terlambat masuk atau cepat pulang misalnya, dapat dideteksi dengan gampang sekali.
Perlahan-lahan
Maka cerita kawan saya Yosef Saragih yang menyebut soal disiplin pegawai Pemkab Simalungun belakangan ini semakin baik, saya pikir merupakan buah atau hasil pemanfaatan Absensi Pegawai dengan Sidik Jari atau yang populer disebut dengan istilah Finger Print tadi. Melalui alat elektronik ini sekarang dilaksanakan proses dan prosudur serta pelaporan absensi pegawai. Seluruh pegawai di Pemkab Simalungun pun, tak lagi bisa ‘neko-neko’ Setiap harinya, pegawai yang tidak masuki kerja dapat diketahui secara cepat dan akurat walau pun pegawai yang bersangkutan bertugas di kecamatan yang jauh bahkan terpencil dari Kantor BKD Simalungun di Sondi Raya.
Lalu saya pikir, proses ini semua tentu tidak seperti makan cabai atau merica. Begitu dimakan, pada saat itu juga terasa. Juga, tidak seperti membalikkan telapak tangan. Sekarang juga bisa dilakukan, dalam hitungan detik.
Setahu dan menurut pemahaman saya, yang namanya teknologi canggih berupa peralatan elektronik, hanya bisa digunakan secara berangsur lambat laun. Pesawat teve yang baru dibeli saja tidak bisa langsung digunakan begitu sampai dari toko. Sebelumnya harus dilakukan penyesuaian terutama dengan arus listrik yang akan menggerakkannya. Termasuk dengan suhu ruangan.
Namanya saja peralatan baru sekaligus pemasangan baru. Sudah barang tentu Finger Print yang sekarang dimiliki Pemkab Simalungun belum dapat digunakan secara maksimal. Orang-orang di Pemkab Simalungun tentu, masih terbatas penguasaannya terhadap peralatan ini yang akan masih dicermati ketika hari-hari berjalan seiring dengan berjalannya waktu. Masih perlu upaya penguasaan teknologi (baru) ini di lingkungan Pemkab Simalungun, dan karena itu sekali lagi masih wajar dan pantas sekali masih belum terlihat hasil yang maksimal.
Cuma dalam hati saya membenarkan apa yang disebut kawan saya Yosef Saragih. Disiplin pegawai di jajaran Pemkab Simalungun sekarang ini semakin tertib, baik dan sesuai aturan. Tak usahlah saya katakan lebih baik dari pada disiplin pegawai di Pemko Pematangsiantar, sebab kata Ompung saya tak elok membanding-bandingkan. Dan itu saya pikir, antara lain dikarenakan pemanfaatan Finger Print yang (sekaligus) diterjemahkan sebagai peralatan elektronik dimana pelaksanaan proses dan prosudur serta pelaporan absensi pegawai dilakukan dengan sidik jari.
____________________________________________________________________
Nagori Siantar Estate 15 Desember 2011
Ramlo R Hutabarat
Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar