Sabtu, 30 April 2011

Ketika Petinggi Mengulah

Ketika Petinggi Mengulah, Pejabat pun Resah

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Ada satu hal yang sesungguhnya sudah kerap saya protes. Itu soal Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004  tentang Pemerintahan Daerah. Khususnya dalam soal Tata Cara Pemilihan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Terus terang, saya sangat tidak sependapat. Meski pun saya sadar, kalau saya tak sependapat kenapa rupanya. Kan tak apa-apa. Karena saya kan tidak siapa-siapa. Juga tak apa-apa. Kenapa rupanya ?

Tapi apa boleh buat. Saya Cuma penulis, dan saya harus menulis. Meski pun tak akan ada yang mempedulikan tulisan saya. Itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah menulis, dan urusan orang lainlah apakah dia peduli atau tidak peduli pada tulisan saya. Saya akan terus menulis, sampai denyut terakhir nadi saya. Sampai akhir menutup mata. Sama sekiranya saya menjadi anggota parlemen. Saya akan terus berbicara dan berbicara terus. Perlemen kan berasal dari kata parle dan men. Orang yang berbicara. Jadi aya pikir, anggota parlemen sesungguhnya adalah “babi” (banyak bicara) Dia harus bicara, didengar atau tidak didengar. Yang penting dan harus adalah, anggota parlemen adalah mesti “babi”

Kembali ke soal Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tadi. Seperti jamak diketahui, disana diisyaratkan siapa saja boleh dan bisa menjadi Kepala Daerah.  Biar preman. Kenapa rupanya ? Biar mantan bandar togel atau mantan pelaku illegal loging. Yang penting, dia memenuhi syarat seperti yang dimaksudkan oleh Undang-undang. Mumpung bisa dan dibenarkan oleh Undang-undang, ribak. Sekali lagi, kenapa rupanya ?

Tapi, tentu ada syarat yang tak diisyaratkan Undang-undang, namun berlaku umum dan sifatnya paku mati. Artinya tidak boleh tidak. Harus. Apa ? Kalau disimak dan dicermati, ada semacam roh dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang mengatakan : Tidak satu pun orang yang bisa menjadi Kepala Daerah kalau tidak memiliki uang yang  luar biasa banyaknya. Mimpi sajalah menjadi Kepala Daerah, kalau tidak memiliki uang yang luar biasa banyaknya. Lebih baik mimpi.

Bagaimana tidak. Agar ada partai yang mengajukan seseorang menjadi calon kepala daerah, seseorang itu harus membayar dengan jumlah dan nilai yang sangat banyak kepada partai yang bersangkutan. Kalau tidak membayar, jangan harap dicalonkan partai politik mana pun. Biar seseorang merupakan Ketua Parpol A misalnya, dia harus membayar kepada partainya. Konon pula kalau seseorang yang punya ambisi menjadi calon Kepala Daerah itu bukan merupakan ketua apalagi kader partai yang bersangkutan.

Lewat jalur independen ? Lebih besar lagi. Persoalannya, rakyat kita dimana saja sudah cukup bahkan sudah sangat cerdas. Kalau ada seseorang yang punya ambisi besar menjadi calon kepala daerah dan meminta dukungan dengan foto copy KTP, rakyat kita dengan senang hati memberikannya. Tapi ada syarat mutlak yang harus dipenuhi sang bakal calon. “Sadia hepeng na ?” Atau : “Cair do ?”

Sang bakal calon pun, akan dan harus merogoh koceknya untuk membayar dukungan rakyat lewat foto copy KTP itu. Itu harus, sebab rakyat kita tak akan mau memberi dukungan, apabila uang sang bakal calon tak cair . Rakyat sudah tahu sekali, sang bakal calon mau dan mengenal rakyat Cuma ketika ingin mendapatkan dukungan. Kalau kelak terpilih menjadi Kepala Daerah, jangan harap dia mengenal lagi rakyat yang mendukungnya. Kalau pun saling berpapasan, jangan harap sang Kepala Daerah berpaling apalagi menegur.

Dalam situasi yang seperti ini, saya tidak melihat tidak ada yang salah. Semua berjalan wajar dan pantas. Bagi seorang Kepala Daerah, urusan apa dengan rakyat ? Tak ada urusanlah. Sebab pada saat lalu urusan sudah selesai. Tunai.  Rakyat memberi dukungan karena dibayar. Dan karena  sudah dibayar, ya selesai. Putus hubungan. Makanya, kalau saya pun menjadi Kepala Daerah di Kabupaten Antah Barantah kelak, saya tidak akan memikirkan rakyat. Saya Cuma berpikir, bagaimana memakmurkan diri dari rakyat . Tidak akan pernah saya pikirkan bagaimana memakmurkan rakyat.

Beli dan Jual

Itulah sebabnya mengapa saya paling getol untuk memprotes Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Saya beranggapan, sistem atau pola Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 masih lebih ideal dan praktis untuk digunakan sampai sekarang. Dengan Undang-undang itu, kalau pareman jangan harap bisa menjadi Kepala Daerah. Itu Cuma ada dalam mimpi dan angan-angan saja. Bagai angan-angan ni parcendol.

Dulu, waktu diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, biasanya yang dipilih dan diangkat menjadi Kepala Daerah Cuma PNS atau TNI/ POLRI saja. Itu pun, kalau dia PNS, biasanya dari Departemen Dalam Negeri saja . Meski pun, ada juga sesekali PNS dari departemen lain. Makanya, biasanya yang menjadi Kepala Daerah di Kota atau Kabupaten Cuma mereka yangberasal dari Kantor Gubernur atau pejabat yang paling seniordi Kota/ Kabupaten yang bersangkutan. Kalau untuk menjadi Gubernur, biasanya mereka yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri saja. Atau, sekalian adalah mantan Panglima Kodam.

Makanya, pada waktu itu kekuasaan menjadi tidak seolah-olah tidak tak terbatas. Kepala Daerah di Kota/ Kabupaten, selaluamit-amit terhadap Gubernur di tingkat Propinsi. Mau keluar daerah saja, harus pamit. Konon pula keluar negeri. Sekarang, urusan apa ? Tokh yang memilih dan mengangkat dia bukan Gubernur. Urusan apa dengan Gubernur ?

Maka, Bupati atau Walikota pun berlagak tidakmau tahu dengan pemerintah atasan, yang dalam hal ini Gubernur. Bupati atau Walikota pun malah berlagak sebagai rajadi raja yang tidak dikontrol siapa saja. DPRD juga, jangan harap dapat dan mampu melaksanakan fungsi pengawasannya. Bagaimana DPRD bisa berperan lagi seperti yang diamanatkan Undang-undang, sebab anggota DPRD umumnya sudah mendapatkan bagian kekuasaan.

Maka, seorang Bupati dan atau Walikotapun, akan bebas lenggang kangkung ketika menjalankan kekuasaannya. Mau memgangkat atau memberhentikan seorang PNS dari jabatan struktural pun, sesuka hati dan seleranya. Yang penting berapa seorang PNS mau dan mampu membayar agar didudukkan pada jabatan tertentu. Padahal, yang saya pahami adalah, seorang Kepala Daerah berkuasa untuk menjalankan peraturan. Bukanberkuasa untuk melaksanakan kehendak hatinya.

Jual beli jabatan atau kedudukan pun dilakukan, persis seperti di onan. Ada tawar menawar segala, dan kadang ada pula tipuan timbangan. Misalnya, si A baru saja diangkat tapi mendadak diberhentikan. Persoalan yang muncul, siapa pun yang menjadi pejabat tidak pernah memiliki rasa percaya diri. Setiap saat gedebakgedebuk kapan diberhentikan. Makanya, ketika menduduki jabatan, gunakan azas mumpung. Manfaatkan kesempatan dan peluang yang ada. Sikat habis sampai mengitngit.

Makanya pula, jangan kaget kalau banyak Kepala Daerah yang menjual jabatan saat dia berkuasa. Penyebabutama, ketika menjadi Kepala Daerah pun, dia sesungguhnya sudah membeli dari rakyat dan dibayar kontan. Kalau ada membeli, tentu ada menjual. Disini berlaku hukum pasar, ketika banyak permintaan, harga pun akan melonjak drastis. Dan sekali lagi, DPRD tidak akan mampu melakukan tugas dan wewenangnya.

Menghadapi Kepala Daerah yang mengulah seperti sekarang, saya sendiri takmerasakecewa atau bagaimana.eperti yang saya kedepankan tadi, akar masalahnya adalah pemberlakuan dan penerapan dari Undang-undang Nomor 32 Tahun  2004 itu. Ketika seseorang berambisi menjadi Kepala Daerah, dia haruss mengeluarkan uang yang sangat banyak. Banyak sekali. Dan wajar sekali pun, kalau selma menjadi Kepala Daerah dia akan berupaya mengembalikan uangnya yang sebermula sudah dikeluarkannya.

Makanya lagi, jangan heran kalau banyak pejabat yang resah ketika menjalankan tugasnya sebagai pejabat. Mau tidak mau, suka atau tidak suka, sang pejabat pun akan berupaya pula mendapatkan uang yang sudah dikeluarkannya untuk dapat menduduki jabatannya. Belum lagi,, uang yang harus diberikan kepada Kepala Daerah dengan alasan dan dalih yang macam-macam. Menggunakan keseempatan dalam segala hal. Termasuk, saat diminta pihak lain untuk menjadi panitia entah apa saja.

Lantas, “Susu Tante” pun kerap sekali dilakukan. Susu tante (sumbangan suka rela tanpa tekanan) dilakukan kapan saja dan untuk keperluan apa saja. Dan pejabat, harus ikut berperan mensukseskan sang Kepala Daerah. Meski pun pahit, tapiharus ditelan. Semua, gara-gara sistem yang kita anut sekarang belum saatnya untuk diterapkan.

Akh. Sudah dini hari. Saya harus akui, kadang saya tidak tahu apa yang saya tulis. Padahal, kata guru saya : Tuliuslah yang kau ketahui dan ketahuilah yang kau tulis. Padahl, sekarang, saya nyarais tidak tahu apa yang saya tulis ini. Tapi begitu pun, seperti sudah saya katakan tadi di atas, saya penulis. Karenanya saya harus menulis. Menulis apa saja. Apa saja saya tulis. Yang penting menulis. Sampai mati. Sampai mati. Mati.


Ramlo R Hutabarat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar