Rabu, 27 April 2011

Potret Buram Pendidikan di Tapanuli Utara

Oleh : Ramlo R. Hutabarat

Sebegitu Perang Dunia II usai, Kaisar Jepang segera bertanya, “Berapa lagi guru kita yang masih hidup?” Pertanyaan, Kaisar bermakna betapa penting memang pendidikan bagi suatu bangsa. Kaisar tidak bertanya soal Jenderal atau tehnokrat mereka yang hidup akibat perang. Ada terbersit, meski kalah perang dan seluruh negeri porak poranda, dengan pendidikan semuanya bisa dibangun kembali.
Dan dengan begitu pula barangkali kawan saya Drs. Janiapoh Purba mantan Kepala Depdikbud Simalungun (sekarang Diknas) pernah mengatakan, di dunia ini cuma dua yang diperlukan. Pertama : pendidikan dan kedua : yang lain-lain. Pemkab Tapanuli Utara sendiri, agaknya menyadari pentingnya pendidikan bagi anak negerinya. Buktinya, dari tiga pilar utama pembangunan daerah itu salah satunya adalah sektor pendidikan. Meskipun, bila ditelusuri dengan cermat dan cerdas, semua itu cuma slogan dan isapan jempol belaka. Manis di bibir saja, seperti penggalan syair sebuah lagu. Tak percaya? Simak paparan saya berikut. Kondisi Nyata Perkara jumlah lembaga pendidikan di Tapanuli Utara barangkali gudangnya. Sampai sekarang menurut data terakhir ada 386 SD di daerah ini belum termasuk 4 unit Madrasah Ibtidaiyah. Murid SD disini ada 46.388 dengan guru sebanyak 3232 orang. SMP/MTs ada 76 unit dengan murid 21.091 orang dan guru sebanyak 1433 orang. SMA ada 23 unit dan 1 unit Madrasah Aliyah. Muridnya semua 10.922 orang dengan guru berjumlah 693 orang. SMK pun, cukup terbilang banyaknya. Ada 19 unit dengan jumlah murid 6.534 orang dan guru 491 orang. Perguruan Tinggi pun, cukup banyak disini.
Ada Sekolah Tinggi Agama Kristen, ada Universitas Sisingamangaraja XII, ada Akademi Kebidanan bahkan ada pulan Akademi Keperawatan Pemkab Tapanuli Utara. Data terakhir yang saya dapat, ada 6056 mahasiswa keempat perguruan tinggi itu dengan 204 tenaga dosen. Sayangnya, dari sekian banyak gedung sekolah di daerah ini, sekian banyak pula yang kondisinya teramat memprihatinkan. Terutama, gedung-gedung SD yang letaknya bertebaran di daerah-daerah terpencil. Gedung SD di Padang Siandomang misalnya, kondisi fisiknya amat memilukan. Sudah itu, mobiliernyapun sudah sangat usang. Saya tak paham bagaimana siswanya bisa menulis misalnya, di atas daun meja yang berondolan sudah tak rata.
Para guru yang semuanya berjumlah 5.849 orang di Tapanuli Utara, umumnya masih diselimuti ragam persoalan kehidupan teramat memilukan. Baik Pemkab Tapanuli Utara maupun masyarakatnya secara umum, belum memperlakukan guru secara wajar dan pantas. Pada suatu masa guru, guru disini diperlakukan sebagai “sapi perahan”, lantas pada masa lainnya guru pun dijadikan sebagai “kambing hitam”.
Sebagai ujung tombak pendidikan, kehidupan para guru disini bila direkam dalam pita seluloid akan menggambarkan album yang teramat sosiodramatis. Ada guru yang dimutasikan secara tidak wajar, ada yang dipromosikan misalnya cuma karena membayar. Ada guru yang ditindas, dizolimi bahkan “dibunuh” tapi tak ada pihak yang melakukan pembelaan. PGRI pun (Persatuan Guru Republik Indonesia) tidak berbuat apa-apa, sehingga kesan guru sebagai “Pahlawan Tak Berdaya” benar-benar terasa.
Alpha Simanjuntak misalnya, sebelumnya Kepala SMA Negeri Siborong-borong dimutasi sebagai guru kelas di SMP Negeri Simangumban. Djasman Sinaga yang semula Kepala SMK (Otomotif) Sipoholon, dipindahkan menjadi guru kelas pada SMK (Pertanian) di Pangaribuan. Pemimpin Marpaung yang semula Ka. SMK Siatas Barita, dimutasi menjadi Pengawas pada Diknas Taput. Padahal, ada sesuatu yang ada pada Pemimpin Siagian, yang tidak ada pada penggantinya. Joskar Limbong sendiri selaku Kepala Dinas Diknas, tidak berdaya untuk membela para guru yang berada di bawah kepemimpinannya. Campur tangan dan intervensi pihak lain soal mutasi dan promosi guru, dibiarkan Joskar saja demi amannya dia sebagai Kepala Dinas.
Bahkan, ketika Kepala UPT Diknas Kecamatan Parmonangan diganti dan Joskar tidak tahu menahu, mantan Kepala SMA Sarulla ini tenang-tenang saja seperti tak ada apa-apa yang terjadi. Kondisi ini saya cermati, semua bisa terjadi karena perhatian dan kepedulian Pemkab Tapanuli Utara yang sangat mengabaikan sektor pendidikan. Padahal, sekali lagi, salah satu pilar pembangunan daerah itu sekarang ini adalah pendidikan.
Sementara, kondisi riel yang terjadi adalah sesuatu yang paradoksal. Sehingga kesan yang muncul adalah, pilar pembangunan yang didengung-dengungkan cuma semboyan atau slogan saja. Sebagai perbandingan, lihat contoh Bantuan Hibah Pemkab Tapanuli Utara yang ditampung pada APBD 2010. Untuk PGRI misalnya, cuma dialokasikan Rp. 20 juta saja padahal untuk Dewan Kesenian Rp. 75 juta. KNPI, mendapatkan bantuan operasional Rp. 100 juta, KORPRI mendapatkan juga Rp. 100 juta. Akh, Ikatan Motor Indonesia saja memperoleh dana hibah Rp. 50 juta. Padahal, apa dan bagaimanakah Ikatan Motor Indonesia dibanding dengan PGRI. Setali tiga uang dengan Pemkab Tapanuli Utara, para anggota DPRD pun terkesan tidak peduli pula pada sektor pendidikan ini.
Mereka agaknya cuma pura-pura peduli saja kepada guru dan siswa pada saat-saat menjelang pemilu, untuk mendapatkan perolehan suara. Saat kampanye, mereka teriak-teriak dengan kalimat akan membela kepentingan pendidikan, tapi setelah duduk sebagai anggota dewan justru mereka memanfaatkan sektor pendidikan sebagai ajang mendapatkan uang. Lihat contoh rehabilitasi ringan SD Negeri 174584 Parsorminan Kecamatan Pangaribuan, yang dipaksakan pengerjaannya oleh oknum anggota DPRD dari dana P-APBD 2010.
Untungnya memang masih ada oknum anggota DPRD seperti Jasa Sitompul. Pada Pembahasan Rancangan APBD 2011 Desember lalu, dengan cerdas, kritis dan taktis dia bersuara keras dan lantang. Menurut jasa, hatinya teriris karena pagu dana untuk Bantuan Hibah kepada PGRI cuma Rp. 15 juta (turun Rp. 5 juta dari Tahun Anggaran 2010). Ada kesan belum selektif, belum akuntabel dan tidak berkeadilan, katanya.
Dia membandingkan bantuan kepada KONI Rp. 700 juta, bantuan kepada PBVSI Rp. 75 juta, bantuan kepada Panitia Penyelenggara Sepakbola Bupati Cup Rp. 150 juta. Bahkan, Jasa Sitompul membandingkan dengan bantuan kepada kegiatan PKK yang dipimpin Nyonya Toluto Boru Manalu yang Rp. 625 juta, dia bertanya apakah kebijakan Pemkab Tapanuli Utara ini sudah benar dikaitkan dengan salah satu visi utama pembangunan daerah ini meningkatkan mutu pendidikan.
Padahal, menurut Sitompul PGRI merupakan mitra terdepan untuk mewujudkan visi utama Pemkab Tapanuli Utara itu. Jalan Keluar Meningkatkan mutu pendidikan di Tapanuli Utara selama daerah itu dipimpin Toluto, agaknya cuma sloganisme belaka. Jangan harap itu bisa terwujud kecuali dalam mimpi belaka. Bagaimana bisa terwujud, sebab antara lain peningkatan kualitas dan mutu pendidikan bisa dicapai dengan pengalokasian dana yang wajar dan pantas.
Juga, tentunya dengan itikad baik dari semua pihak. Sementara, guru sebagai garda terdepan maju mundurnya pendidikan sampai sekarang masih diselimuti keragu-raguan, deg-degan dan sangat tidak nyaman dalam melakukan tugas dan kewajibannya. Hemat saya, pendidikan bukan cuma tanggung jawab pemerintah. Dengan prinsip cuma satu hal yang bisa membangun bangsa dan cuma pendidikan, semua elemen dan komponen harus berperan. Termasuk, masyarakat tentunya. Apalagi Pemkab Tapanuli Utara tak bisa diharapkan sampai saat ini.
Banyak hal yang bisa dilakukan agar potret pendidikan di Tapanuli Utara tidak seburam hari ini. Orang tua (masyarakat) harus penuh perhatian pada sektor ini, tidak cuma ngomong “Ingkon do singkola satimbo-timbona” omong kosong itu pendidikan gratis. Pendidikan saja yang bisa memajukan suatu bangsa. Dan karena itu, pendidikan itu mahal. Setidaknya harus ada ongkosnya. Pemkab Tapanuli Utara seyogianya bertobat hari ini juga.
Aparatur pendidikan pun di semua tingkatan juga harus bertobat. Tidak malah memanfaatkan sektor pendidikan sebagai ajang memperkaya diri. Korupsi. Semua dana untuk sektor pendidikan harus digunakan sebagaimana mestinya. Tidak malah digerogoti seperti selama ini. Lebih dari itu, suasana nyaman dan sejuk harus diciptakan secara bersama. Guru pun memang jangan lagi berpolitik praktis hingga wajar jika menjadi korban politik.
Oknum LSM dan yang mengaku-ngaku wartawanpun, agaknya harus mengkaji ulang apakah kunjungan ke sekolah-sekolah mulai sekarang diurungkan. Sebab, kunjungan ke sekolah-sekolah mempertanyakan penggunaan dana BOS dan lain-lain, sangat mengganggu proses belajar dan mengajar. Sebagai perantara asal Tapanuli Utara yang pernah menjadi guru dan mengasuh lembaga pendidikan, saya menangisi potret pendidikan di daerah ini yang buram bahkan dicoret-coreti ragam pihak. Saat ini pun, saya tengah menyusun sebuah buku tentang kondisi nyata pendidikan disini, meskipun cuma dalam bentuk narasi yang jauh dari penilaian ilmiah.
Penulis adalah praktisi pers tinggal di Tepian Bah Bolon pada Nagori Siantar Estate di Pinggiran Simalungun, yang berbatasan dengan Kota Pematangsiantar.

1 komentar:

  1. Sebuah 'potret' dari seorang Ramlo Hutabarat, yg patut dijadikan sebagai referensi untuk kajian perihal pendidikan di Taput. Tks

    BalasHapus