Senin, 12 September 2011

Benarkah Saya Seorang Pengkhianat ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Pada Rabu 7 September lalu ketika saya mengikuti Rapat di Ruangan Badan Anggaran DPRD Simalungun, rekan Victor Peranginangin wartawan Harian Simantab menelepon saya. Dia mengajak saya minum kopi ke kantin di Kompleks Perkantoran Harian Simantab, di Desa Hapoltakan Raya, Kecamatan Raya. Victor datang bersama seorang laki-laki yang tak saya kenal, dan di tengah deraian hujan deras kami bertiga melaju menuju kantin Kompleks Perkantoran Simantab menggunakan mobil yang dikendarai Victor.

Di kantin itu kami jumpai belasan orang. Di antaranya yang saya kenal adalah Silverius Bangun, Jarinsen Saragih, dan seorang marga Purba yang saya kenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Simantab. Seperti biasa, dengan gayanya yang khas dan ramah, Silverius segera menegur saya serta memesankan segelas kopi buat saya.

“Meski Bapak sering mengkritik Pak JR Saragih dalam tulisan-tulisan Bapak, saya akan tetap ramah dan akrab dengan Bapak. Kita tetap berteman, buktinya saya menegur Bapak bahkan memesankan kopi untuk Bapak”, katanya akrab dan mesra. Saya teguk kopi yang segera terhidang di depan saya. Udara dingin menambah nikmatnya minum kopi sekira pkul 14. 00 siang itu.

“Tapi ngomong-ngomong Pak Ramlo. Kenapa Bapak selalu menulis sisi jelek dari Boss saya Pak JR Saragih ? Padahal, dengan terus terang saya katakan, sebagai anak buah Pak JR Saragih saya melihat banyak yang baik yang sudah diperbuat Pak JR selama memimpin Simalungun ini”, Silverius nyerocos seperti kebiasaannya yang ngomong santai dan enjoy.

Saya mencoba tersenyum. Di kantin itu ada belasan orang yang umumnya tidak saya kenal. Empat di antaranya mengenakan pakaian PNS Pemkab Simalungun, di antaranya Jarinsen Saragih Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga. Tentu, karena lebih banyak yang tak saya kenal, saya pun menjawab sekenanya.

“Itu soal sisi pandang saja, Pak Bangun. Soal dimana kita berdiri dan memandang dari mana. Sebagai yang Bapak sebut bahwa Bapak anak buahnya JR Saragih, sudah barang tentu sisi pandang Bapak berbeda dengan sisi pandang saya. Coba kita berdiri di tempat yang sama. Pandangan kita tentu bisa jadi sama. Klop kan ?”, kata saya. Silverius Bangun tertawa. Saya tertawa. Beberapa orang lainnya saya lihat ikut tertawa. Meski pun, saya tak tahu mengapa mereka tertawa. Boleh jadi mereka mentertawakan kami yang tertawa. Tapi boleh jadi mereka tertawa karena kami tertawa. Orang memang bisa tertawa menyaksikan orang lain tertawa. Meski pun, tawanya boleh jadi tanpa arti, tanpa makna. Makanya ada kata yang menyebut ‘tawa tak bermakna’ Tertawa karena orang lain tertawa.

Ketika satu-satu orang meninggalkan kantin itu, saya pun minta agar diantarkan rekan Victor ke sisi ruas jalan Sondi Raya – Pematangsiantar. Saya katakan kepadanya, saya tidak membawa kendaraan ke Sondi Raya hari itu.Karena itu saya akan pulang ke Pematangsiantar dengan menggunakan bus penumpang umum.

Tapi begitu mobil Victor bergerak hendak mengantar saya ke ruas jalan dimaksud, Apri Saragih yang saya kenal Pemimpin Usaha Harian Simantab datang. Dia segera menstop mobil kami, dan meminta saya masuk ke salah satu ruangan yang ada di Kompleks Perkantoran Harian Simantab. Disana dia marah besar kepada saya, karena meneurut dia saya telah melakukan pengkhianatan.

“Bapak wartawan Simantab, tapi menulis di Harian Metropolis. Ini suatu pengkhianatan besar. Sebelum ini Bapak saya kenal sebagai wartawan senior yang sangat saya hormati, tetapi sekarang setelah Bapak menulis tentang JR Saragih dengan tidak baik, Bapak saya pandang lebih rendah dari telapak kaki saya ini”, katanya dengan emosi yang tertahan.

Tak selang beberapa jenak di tengah Apri menumpahkan kemarahannya, seorang marga Purba yang saya kenal sebagai Pemimpin Redaksi Harian Simantab memasuki ruangan tempat saya dan Apri yang mirip gudang itu. Katanya, dia baru saja mandi supaya terasa dingin, dan meminum air es. Sebab, katanya, begitu melihat saya tadi di kantin darahnya mendidih apalagi mengingat masa lalunya yang pernah menjadi pereman.

Dia ikut-ikutan memarahi saya dengan cara membentak-bentak. Hampir sama nadanya dengan Apri, dia mengaku menyesal kepada saya karena telah membuat berbagai tulisan yang mengkritisi JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. Dia juga menuding saya sebagai pengkhianat, sebab katanya saya adalah wartawan Simantab.

“Kalau bukan wartawan Simantab, saya tidak pernah kecewa kepada Bapak. Tapi, Bapak wartawan Simantab dan Koordinator Liputan pula. Apalagi posisi Bapak sebagai Koordinator Liputan Harian Simantab sudah kami umumkan pada Rapat Wartawan Simantab di Siantar Hotel”, katanya.

Posisi saya saat itu benar-benar tertekan. Bahkan saya merasa terancam. Ruangan tempat kami berada, merupakan bahagian belakang dari gedung berjajar yang mirip gudang. Apa saja yang terjadi disana, tidak akan diketahui atau didengar orang lain. Tak ada jendela. Cuma pintu kecil . Agakanya, ruangan yang belum selesai pembangunannya.

Dalam posisi seperti itu, saya mencari jalan pintas. Saya minta maaf kepada keduanya karena telah membuat tulisan-tulisan yang kritis terhadap kepemimpinan JR Saragih sebagai Bupati Simalungun. Saya berjanji, tak akan mengulangi pekerjaan serupa. Dan ketika ditanya Apri Saragih apakah ke depan saya akan menjadi opsosisi, saya jawab cepat : “Saya tidak akan menjadi oposisi di Simalungun ini. Saya tidak memiliki daya dan kemampuan untuk menjadi oposisi. Saya orang yang lemah secara ekonomi, dan itulah sebabnya selama ini saya menulis”, kata saya memelas.

“Sebagai adik JR Saragih, saya akan perintahkan semua pimpinan SKPD untuk tidak membantu Bapak.Siapa saja Pimpinan SKPD yang membantu Bapak, akan saya minta untuk dinojobkan hari itu juga”, kata Apri Saragih dengan garang dan suara keras. Saya tidak memberi reaksi apa pun, sebab saya pikir Apri Saragih tidak tahu apa yang diucapkannya. Saya kasihan melihat kedua orang itu, sama seperti saya kasihan pada diri sendiri pada saat itu. Sudah hampir 35 tahun saya menjadi jurnalis, tapi baru kali itulah saya mengalami hal yang seperti ini.

Direktur Simantab

Selama dibentak-bentak oleh kedua orang itu, saya tidak memberi reaksi berarti. Alasan saya, pertama saya mau cari jalan aman. Ilmu selamat antara lain, bisa didapat jika kita tidak membela diri meski pun kita tidak berada di posisi yang salah. Alasan kedua, rasanya saya tidak perlu memberi reaksi apa pun terhadap kedua orang ini karena keduanya saya anggap tidak siapa-siapa. Cara-cara yang mereka gunakan terhadap saya ini, saya nilai sebagai sikap dan perbuatan kuno yang sesungguhnya di zaman ini tak laku lagi. Alasan ketiga, keduanya tengah diluapi emosi yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Ketika seseorang diluapi emosi, sikap dan tindakannya bisa jadi membabi-buta. Tak rasional. Alasan keempat dan ini yang lebih penting, sungguh keduanya bukan imbang saya dalam soal kewartawanan. Murid saya pun sebagai wartawan keduanya tidak mampu.

Sesungguhnyalah, saya tidak ingin memaparkan peristiwa ini kepada khalayak sebab pelakunya bukanlah siapa-siapa. Kalaulah keduanya di mata saya adalah orang-orang yang layak untuk diperhitungkan dalam jagad kewartawanan, nampaknya peristiwa ini bisa menarik untuk dipercakapkan. Itu pun sekadar untuk dipercakapkan doang. Apalagi, sebagai wartawan saya sadar bahwa wartawan ibarat berumah di tepi pantai. Dan saya sendiri sebagai wartawan, bahkan berumah di tengah samudra. Tiap detik tiap sekon selalu diancam badai dan gelombang.

Tapi apa boleh buat. Sebagai seorang wartawan, tentu saya tidak sendiri.Saya ada dimana-mana dan kemana-mana. Bahkan, diri saya pun bukan hanya milik saya lagi. Saya sudah menjadi milik siapa-siapa dan dengan sendirinya ada bersama-sama siapa-siapa. Dan dengan begitu, meski pun berumah di tengah samudra saya tidak pernah takut diterjang ombak bahkan badai yang bisa datang kapan saja.

Karenanya, tak heran jika Kamis besoknya saya mendapat telepon dari berbagai pihak menanyakan peristiwa itu. Anehnya ada yang mengatakan sebagai penculikan, penyekapan dan istilah-istilah lain yang cukup seram . Alinapiah Simbolon pun, Wakil Pemimpin Umum Harian Metropolis menanyakan saya apa yang sebenarnya terjadi, termasuk rekan Manson Purba, Koordinator Liputan Harian Metropolis. Bahkan, rekan saya Edy Ramli Sitanggang, Aliwongso Sinaga, Martin Hutabarat dan Ruhut Sitompul yang anggota DPR RI ikut menelepon menanyakan apa yang terjadi yang sebenarnya. Juga, beberapa pejabat di Pemko Pematangsiantar dan Pemkab Simalungun yang tak elok namanya saya cantumkan disini ikut menanyakan kabar saya melalui telepon. Saya bingung juga dan heran dari mana mereka semua bisa tahu, sebab peristiwa ini hanya saya beritahu kepada rekan saya Imran Nasution wartawan Batak Pos, Sofyar Koto seorang tokoh pemuda di Pematangsiantar, dan seorang petinggi di Simalungun yang tak usah saya sebutkan namanya disini.

Kagetnya saya, Silverius Bangun pun yang berada di Jakarta Kamis lalu menelpon saya dan meminta saya untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya. “Tunggulah Pak Ramlo Senin depan, kita akan jumpa dan akan saya bawa kedua orang itu untuk meminta maaf kepada Bapak. Cara-cara mereka tak benar lagi. Sebagai pimpinan kedua orang itu saya mohon maaf Pak Ramlo”, kata Silverius melalui telepon ketika saya baru saja keluar dari Studio Radio CAS Fm karena pagi itu seperti biasa saya menjadi nara sumber pada acara KUPASS (Kajian Utama Pemberitaan Siantar – Simalungun)

Yang paling telak, rekan-rekan dari AJI pun ikut menelepon saya hingga saya pun tak bisa mengelak. Saya diminta untuk membuat paparan atas peristiwa itu, untuk menjadi bahan sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap pers. “Abang harus buat laporannya meski dalam bentuk paparan. Kami akan mendiskusikannya sambil mempelajari apa yang akan dilakukan”, kata seorang kawan dari AJI juga lewat telepon dan saya pun akhirrnya menyerah dan menulis paparan ini sekarang.

Sesungguhnya, yang saya rasa penting untuk saya kedepankan disini adalah apa yang dikatakan Apri Saragih dan marga Purba itu bahwa saya wartawan Harian Simantab merupakan sesuatu omong kosong alias tidak benar. Karena itulah menurut saya, keduanya tak perlu untuk saya tanggapi karena keduanya sebenarnya tidak tahu apa yang mereka katakan.

Memang sekira dua atau tiga bulan lalu, saya diminta Pardomuan Nauli Simanjuntak dan Piliaman Simarmata untuk datang ke Wisma Ganda Ula Jalan Melanthon Siregar Pematangsiantar. Ketika saya datang bersama istri saya, di Wisma Ganda Ula saya diperkenalkan keduanya kepada seseorang yang bernama Silverius Bangun. Dari untaian pembicaraan kami, Silverius Bangun meminta saya untuk bekerja di Harian Simantab. Saya diminta untuk menduduki posisi sebagai Direktur, yang saya tidak tahu tugas dan wewenangnya karena jabatan itu tidak lajim di sebuah perusahaan surat kabar.

“Datanglah ke kantor kita di Hapoltakan, disitu akan kita bicarakan tugas dan wewenang Bapak sebagai Direktur sekaligus kita bicarakan soal gaji dan fasilitas”, kata Silverius Bangun waktu itu di depan istri saya, Pardomuan Nauli Simanjuntak, Piliaman Simarmata, dan tiga orang lainnya yang tidak saya kenal.

Tapi ketika beberapa hari kemudian saya datang ke Kantor Harian Simantab, Silverius Bangun mengatakan semua fungsionaris Harian Simantab tidak menginginkan saya sebagai Direktur. “Saya mengharapkan Pak Ramlo berbesar hati untuk menjadi Koordinator Liputan saja, apalagi fungsionaris yang sekarang umumnya adalah bekas Tim Sukses Pak JR Saragih”, katanya sambil menyebut sejumlah dana sebagai gaji saya tiga bulan pertama dan saya boleh mengambil fasilitas yang sudah disediakan. Setelah mengiayakan ucapan Silverius Bangun itulah, Apri Saragih dan marga Purba tadi dipanggilnya dan mengenalkan saya kepada keduanya. Keduanya pun meminta saya agar membuat surat lamaran di atas kertas bermaterai yang saya janjikan akan saya penuhi beberapa hari kemeudian.

Besoknya, Selasa, kami melakukan Rapat bersama beberapa wartawan di kantor Harian Simantab di Hapoltakan. Lusanya, Rabu, kami melakukan Rapat lagi di Siantar Hotel bersama puluhan wartawan Simantab. Dan saat itu memang saya diperkenalkan sebagai Koordinator Liputan yang sekaligus sebagai pengumuman. Dan seusai Rapat itulah saya menyimpulkan saya tidak cocok untuk bekerja di Harian Simantab, dan karena itu sejak hari itu saya tidak pernah masuk lagi ke Kantor Haraian Simantab sampai hari ini.

Yang menjadi pokok soal sekarang, benarkah saya pengkhianat sebab saya adalah wartawan Harian Simantab tapi justru menulis di Harian Metropolis seperti dituduhkan Apri Saragih dan marga Purba tadi ?

Saya ingin Anda – Pembaca – yang menilainya dan Anda tentu juga bisa mengambil kesimpulan. Yang pasti, sampai hari ini saya tidak pernah membuat lamaran untuk menjadi apa pun di Harian Simantab. Saya tidak pernah menerima Kartu Pers dari Harian Simantab. Saya tidak pernah menerima gaji sepeser pun dari Harian Simantab. Saya juga tidak pernah menerima fasilitas kerja apapun dari Harian Simantab. Sampai hari ini. Sampai hari ini.

Lantas, benarkah saya pengkhianat ?. Mengkhianati siapa ?

Besoknya, Selasa, di Kantor Harian Simantab kami melakukan Rapat bersama beberapa wartawan.

5 komentar:

  1. Sabarlah pak Ramlo, sebagai orang Simalungun apalagi par Raya saya minta maaf kepada Pak Ramlo, saya sangat sedih membaca tulisan Pak Ramlo ini. Saya heranya, tak biasa orang Simalungun seperti yang Bapak ceritakan ini bisa kasar begitu, setahu saya orang Simalungun tidak punya tabiat seperti itu apalagi orang Raya, jauh. Saya ragu apakah orang-orang yang bapak ceritakan ini memang orang Simalugun, apalagi orang Raya?

    BalasHapus
  2. benar begitu ceritanya pak ramlo? tapi saya disitu kok saat itu. sebagai org yg tidak bapak kenal

    BalasHapus
  3. benar begitu ceritanya pak ramlo? tapi saya disitu kok saat itu. sebagai org yg tidak bapak kenal

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus