Selasa, 20 September 2011

Diknas Siantar dan Simalungun Sarang Korupsi ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Perkara korupsi, kolusi dan manipulasi, barang kali Dinas Pendidikan Nasional Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun sarangnya. Boleh jadi memang, juga di semua Dinas Pendidikan Nasional di tanah air. Tapi karena kita tinggal dan bermukim di daerah ini, maka wajar dan pantasnya saja kita hanya membicarakan soal Dinas Pendidikan Nasional di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun.

Korupsi, kolusi dan manipulasi di Dinas Pendidikan Nasional Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, menggurita sejak dari ruang kelas belajar sampai ke tingkat sekolah. Mulai dari pengadaan buku-buku pelajaran, pakaian seragam, alat peraga, dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), sertifikasi guru, sampai pada pelaksanaan Proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) Juga berbagai pungutan yang selalu bekerja sama dengan pihak Komite Sekolah, bahkan sampai pada Pendidikan Luar Sekolah. Maka, dunia pendidikan sebenarnya di daerah ini sudah dirasuki virus sangat berbahaya yang disebut korupsi.

Pelaksanaan Proyek DAK merupakan ajang korupsi yang paling rawan sekaligus bagai mahkota bagi para pelakunya. Menyusul, Proyek yang dibiayai oleh DPPIP (Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan) yang berasal dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) Jenis pekerjaan Proyek DAK, bisa pembangunan ruang kelas baru atau rehabilitasi ruang kelas, pengadaan mobiler, pengadaan buku dan alat peraga, sampai alat-alat laboratorium dan muatan lokal. Sementara, DPPIP biasanya diperuntukkan bagi pembangunan ruang kelas baru atau rehabilitasi ruang kelas.

Modus operandi manipulasi pelaksanaan Proyek DAK maupun DPPIP, dimulai dengan tawaran secara diam-diam kepada para kontraktor untuk menjadi pemborong pekerjaan itu. Kepada calon kontraktornya, dimintakan sejumlah dana dengan persentase dari pagu anggarannya. Dari sinilah pada gilirannya, pelaksanaan proyek tadi tidak dilakukan (lagi) sesuai dengan perjanjian yang diikat dalam kontrak. Dan pihak manapun yang terlibat dalam pengawasannya, dibuat tak berdaya sama sekali. Bahkan pihak sekolah dimana pekerjaan itu dilakukan.

Pengadaan buku-buku yang dananya bersumber dari DAK, merupakan makanan empuk bagi perusahaan-perusahaan penerbit. Dengan iming-iming komisi sekian persen atau diskoun, perusahaan – perusahaan penerbit tertentu pun dijadikan sebagai pemasok buku-buku itu. Mulai dari guru, kepala sekolah hingga oknum-oknum pejabat Dinas Pendidikan Nasional pun mendapatkan semacam fee. Ada jalinan kerja sama antar beberapa pihak, termasuk orang-orang swasta yang dikenal sebagai orang dekat kepala daerah.

Pengadaan mobiler, juga merupakan ‘makanan empuk’ bagi para koruptor yang dijadikan Dinas Pendidikan Nasional sebagai pemasoknya. Mobiler itu boleh jadi kursi murid, meja murid, kursi guru, meja guru, juga lemari buku. Biasanya, dalam spek dicantumkan bahan rangkanya terbuat dari kayu berkelas tapi yang dipasok justru dari kayu jenis sembarang (tidak berkelas) Daun meja mau pun daun kursi serta dinding lemari yang biasanya dalam spek dicantumkan dari multiplek 12 inci, tapi yang digunakan biasanya Cuma 6 atau 9 inci saja. Lantai yang biasanya harus menggunakan keramik yang memiliki standart SII (Standart Industri Indonesia) atau sejenis buatan KIA, tapi yang digunakan justru keramik sontoloyo belaka.

Langkah maju pemerintah yang sejak 2008 menerapkan kebijakan sertifikasi guru, juga dimanfaatkan oknum-oknum di Dinas Pendidikan Nasional sebagai ajang pungli yang berpotensi korupsi. Persyaratan-persyaratan untuk mendapatkan sertifikasi itu, banyak yang diperoleh secara tidak syah. Boleh jadi juga karya tulisnya yang hasil contekan dengan hanya mengganti judulnya, sampai jumlah jam mengajar setiap pekannya yang direkayasa.

Di Kota Pematangsiantar misalnya, tahun ini ada 800-an guru yang diproses sertifikatnya. Dan bukan rahasia lagi, kepada mereka dikutip sejumlah uang yang nilainya bervariasi. Lain dari guru swasta, lain pula dari guru yang mengajar di negeri. Sempat surat kabar ribut-ribut memberitakannya, tapi belakangan padam dengan sendirinya seiring dengan bergantinya hari-hari. Dan Hermanto Panjaitan orang yang mengurusi masalah ini di Dinas Pendidikan Kota Pematangsiantar, dengan tenang dan kalem hanya mengatakan : Kutipan yang sempat kami lakukan, sekarang sudah
dikembalikan.

Pemanfaatan Dana BOS, juga merupakan ajang korupsi yang amat subur. Perencana penggunaan Dana BOS ini, dijadikan oknum kepala sekolah bagai topeng atau boneka belaka. Managemen BOS tingkat sekolah (SD dan SMP), juga tidak menggunakan Dana BOS itu sesuai aturan dan petunjuk yang ada. Sementara di sisi lain, Manejer BOS tingkat Kabupaten atau Kota, lenggang kangkung belaka seolah tak ikut bertanggung jawab atas pelaksanaan Dana BOS yang tak sesuai aturan tadi. Kalau saja pemanfaatan Dana BOS ini diaudit oleh tim independent, dijamin bakalan banyak kepala sekolah di Pematangsiantar dan Simalungun yang bakalan masuk penjara.

Celakanya, Komite Sekolah yang ada di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, juga ikut-ikutan dilumuri praktek-praktek kotor yang koruptif dan manipulatif. Dengan alasan untuk ini itu, Komite Sekolah pun melakukan kutipan kepada orang tua murid yang biasanya dimotori oleh Kepala Sekolah. Di SMP Negeri I Bandar misalnya, sekarang tengah berlangsung pengutipan sejumlah uang dari orang tua murid dengan alasan untuk membuat jerajak jendela. Juga, di beberapa sekolah yang agaknya tak perlu untuk dipaparkan disini.

Akar Persoalan

Sektor pendidikan memang, sudah kotor sekali menyusul era otonomi daerah. Guru yang diberi tugas tambahan sebagai Kepala Sekolah, menjadi wewenang Kepala Daerah untuk mengangkat dan memberhentikannya. Dan dalam realita, meski ada Peraturan Mendiknas tentang Tata Cara Pengangkatan Kepala Sekolah, Kepala Daerah selalu mengabaikannya seraya mengangkat Kepala Sekolah sesuai dengan ssuka-suka dan seleranya.

Karena itu bukan rahasia lagi di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun, seorang guru yang diangkat menjadi Kepala Sekolah harus membayar sekian puluh juta kepada oknum-oknum tertentu. Nilainya tergantung kepada jumlah muridnya atau besar sekolahnya. Makin banyak murid suatu sekolah, semakin besar uang yang harus diserahkan seorang guru yang berambisi menjadi Kepala Sekolah. Meski pun, seorang kawan marga Simanjuntak yang disebut-sebut dekat dengan JR Saragih, Bupati Simalungun membantahnya.

“Tak ada kewajiban untuk menjadi Kepala Sekolah dengan cara membayar”, katanya dalam suatu perbincangan belum lama ini.

Kepala Dinas Pendidikan Simalungun Albert Sinaga misalnya, belakangan memiliki kiat tertentu untuk mendapatkan sejumlah uang dari pihak sekolah. Caranya gampang, dengan hanya meminta agar semua sekolah dan Kantor UPTD Dinas Pendidikan Nasional di daerah ini untuk mengganti plang mereknya masing-masing. Dan, pembuatannya dimintakan agar dipesan kepada pemilik nomor HP 0852 7558 8320 yang ketika dihubungi mengaku marga Saragih.

Kiat Albert agaknya cukup cerdas dan brilian untuk mendapatkan uang yang cukup banyak. Kalau jumlah semua sekolah di Simalungun ada 1000 ditambah semua Kantor UPTD Dinas Pendidikan di kecamatan, entah sudah bertapa biaya untuk membuat plang merek itu kalau sekiranya satu unit harganya Rp 200.000.

Disinilah agaknya akar masalahnya. Kebijakan penyelenggara pendidikan di Dinas Pendidikan Nasional sampai kepala Kepala Daerah yang tidak bijaksana, mengakibatkan guru sebagai garda terdepan pendidikan ikut-ikutan kotor atau tercemar. Apa boleh buat, Kepala Sekolah pun harus mencari upaya agar bisa mendapatkan uang tambahan entah bagaimana pun caranya. Sejumlah uang yang terlanjur diserahkan agar menjadi Kepala Sekolah, harus dikembalikan dengan cara entah bagaimana saja. Boleh jadi melalui Dana BOS, boleh jadi dari pemasokan buku-buku atau boleh jadi dari mana saja. Yang penting duit bisa dikembalikan dan kalau bisa dapat untung pula.

Maka dunia pendidikan kita pun akan semakin runyam dan anjlok. Peningkatan mutu dan kualitas pendidikan yang didengang-dengungkan akhirnya hanya ada dalam mimpi dan harapan belaka. Jangan berharap mutu dan kualitas pendidikan di Siantar dan Simalungun bisa meningkat dari tahun ke tahun kalau kondisinya masih saja begini-begini. Jauh panggang dari api, kata pepatah Melayu kuno yang tak usang-usangnya.
________________________________________________________________________
Pematangsiantar 20 September 2011 Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
_______________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar