Minggu, 25 September 2011

Timbul Tenggelamnya Usaha Penerbitan Pers di Siantar

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Belantara pers kita tumbuh subur bagai jamur di musim hujan menyusul era reformasi. Departemen Penerangan dibubarkan pada masa pemerintahan Gusdur. Dan, SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) pun tak lagi dibutuhkan. Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers juga diberlakukan. Konsekwensinya, siapa saja boleh menjadi wartawan, sekaligus siapa saja pun boleh mendirikan usaha penerbitan pers. Hari ini buatkan aktenya di Notaris, dan besoknya usaha penerbitan pers pun bisa dilakukan. Yang penting usaha itu diterbitkan oleh lembaga yang berbadan hukum seperti yang diisyaratkan oleh peraturan perundangan.

Maka ramai-ramailah orang yang menjadi wartawan. Ada yang semula tukang solder keliling kampung, sekarang sudah tampil sebagai wartawan. Ada yang puluhan tahun menjadi kenek bus, juga tiba-tiba muncul jadi wartawan. Ada pedagang kaki lima, penjual barang rongsokan, kuli bangunan yang bekerja secara musiman, pedagang lonte (lontong dan sate), juga bekas pekerja di sarang lonte (salon) Termasuk, ada yang cuma penjual es campur, penjual kambing curian, bahkan tukang semir dan penambal ban di pinggir jalan.

Dimana-mana usaha penerbitan pers pun ramai seramai pasar malam didirikan orang, Di Medan saja kabarnya, ada 200-an dan hampir 200-an pula yang tak pernah lagi terbit karena tumpur. Ada perusahaan pers di Medan yang hidup beberapa kali penerbitan saja, tapi mendadak mati bagai terkena serangan jantung. Ada yang terbit sesekali lalu mati dan menjadi aneh terbit lagi karena mati tapi tak pernah dikubur. Yang paling lucu, ada perusahaan pers yang mati dalam kandungan. Artinya, perusahaan pers itu padam sebelum pernah menerbitkan korannya.

Di Siantar tempo hari ada Sinalsal Simalungun yang dibandari kawan saya Jan Wiserdo Saragih. Awalnya koran ini menggebu-gebu, tapi karena tak seorang pun awaknya yang memahami usaha penerbitan pers lalu mati konyol dan kuburannya pun tak pernah dibuatkan. Lantas ada Koran Siantar yang dicukongi Marim Purba dan awaknya hampir semua berpendidikan S2, tapi hidup ngos-ngosan dan pangsan lantas mati suri. Padahal waktu itu Marim adalah orang nomor satu di Kota Pematangsiantar.

Lantas, ada Rakyat Siantar yang ditokei Jonson Sibarani. Pangsan dan ambruk. Dicoba lagi dengan menjadi koran mingguan dengan nama Pena Rakyat, tapi kollaps juga, mati dan dikuburkan. Selanjutnya, ada Sinar Keadilan yang diusahai Rajisten Sitorus, tapi hidup megab-megab baung sampai akhirnya mati ditelan bumi. Sumatera Timur dan Transmedia yang dikomandani kawan saya sekaliber Bantors Sihombing juga terkana stroke dan tewas seketika. Begitu juga Siantar Pos yang dimodali RE Siahaan waktu menjadi Walikota Pematangsiantar, Bongkar Kasus yang didirikan Boyke Sinaga, Suara Indonesia Baru yang dibangun Reagen Rajagukguk, Local News yang dibidani Luhut Simanjuntak, serta The Lcal News yang dibandari Denny Siahaan. Termasuk satu lagi yang saya lupa sekarang namanya, tapi dimodali John Hugo Silalahi begitu dia tak lagi menjadi Bupati Simalungun. Semua padam, tak pernah lagi terbit karena tumpur. Hanya Suara Simalungun saja yang dikomandani kawan saya Hentung Toni Purba yang masih mampu bertahan hidup meski pun bagai kerakap tumbuh di batu. Mingguan ini memang layak diapresiasi meski pun sudah lebih sepuluh tahun usianya tapi masih saja menderita sesak napas yang berkepanjangan.

Dari semua itu, hanya Metro Siantar yang dicukongi raksasa ekonomi dari grup Jawa Pos yang mampu bertahan hidup. Siantar 24 Jam hanya megab-megab baung saja, dan belakangan muncul Siantar Metropolis serta Konstruktif yang dimotori Antoni Pardosi serta Tigor Muthe. Saya sempat ada di Konstruktif ini, namun belakangan mundur teratur sebelum korannya terbit. Beberapa hari sempat terlanjur di Konstruktif, akhirnya saya menyimpulkan usaha penerbitan ini hanya bagai menunda kekalahan saja. Dan saya berani taruhan, penerbitan ini hanya bisa terbit dalam hitungan bulan saja. Setelah itu, mati berkolong tanah.

Enteng dan Mentereng

Orang ramai-ramai menjadi wartawan karena merasa menjadi wartawan itu hebat dan gampang mendapatkan uang. Boleh jadi mereka selalu menyaksikan dilayar kaca wartawan yang bebas mewawancarai siapa saja, termasuk para petinggi pemerintahan. Lantas, bisa kemana saja dan kapan saja seperti bagai bebas rintangan yang menghalang. Ada pula yang namanya ongkir (ongkos kirim) selain bisa ngancam-ngancam orang lain agar kasusnya tidak diberitakan di surat kabar. Pokoknya, banyak orang yang menyangka jadi wartawan itu gampang mendapatkan uang. Dan para petinggi yang korup, takut kasusnya disiarkan di surat kabar.

Anggapan itu dalam realita hanya anggapan semata. Yang pasti, menjadi wartawan bukanlah sesuatu yang gampang seperti disangkakan banyak orang. Seorang wartawan haruslah seorang pembelajar yang tak pernah berhenti untuk belajar. Dia harus memiliki wawasan dan pengetahuan yang luas dalam berbagai disiplin ilmu, Karena itu, seorang wartawan adalah seorang pembaca yang tekun dan tak pernah jenuh. Dia harus memiliki prinsip belajar dan belajar sampai denyut terakhir nadinya.

Kalau wartawan itu hebat, barangkali benar juga. Tapi harap diingat, tidak semua wartawan hebat dan seorang hebat tidak harus menjadi wartawan. Seseorang yang tidak sombong, tidak angkuh, suka mendengar, pegaul yang luwes dan elastis, suka membaca dan belajar terus, dan tidak berorientasi uang atau material tentu memang bisa digolongkan sebagai orang hebat. Tapi yang sombong, angkuh, merasa pintar dan sok jago dan merasa benar selalu, apakah bisa diklasifikasi sebagai orang hebat ? Apalagi, bergaul pun tak pintar karena merasa orang lain goblok dan tolol.

Mendirikan sebuah usaha penerbitan pers juga merupakan sesuatu yang gampang. Seperti yang saya sebutkan tadi, hari ini buatkan aktenya di Notaris dan besok korannya bisa diterbitkan. Tak terlalu salah jika disebutkan mendirikan perusahaan penerbitan pers sama gampangnya dengan membalikkan telapak tangan. Jadi enteng sekali, dan orang-orang pemilik perusahaan pers selalu merasa mentereng dan beteng. Seolah, dengan mendirikan perusahaan pers semuanya akan gampang diatur. Wartawan saja pun jago, apalagi pemilik perusahaan pers.

Tapi duduk soalnya tentu bukan disitu. Yang sulit sekali adalah mengelola perusahaan pers itu hingga menjadikannya sebagai suatu perusahaan yang menghasilkan uang. Itulah soalnya, sebab pers dalam masa ini adalah sebuah lembaga ekonomi yang mau tidak mau paling sedikit mampu menghidupi para karyawannya. Sementara, tujuan utama sebuah perusahaan pers adalah untuk mendapatkan uang melalui perannya sebagai alat pendidikan, alat hiburan dan sosial kontrol.

Perusahaan pers, mutlak dilola oleh orang-orang yang memiliki kecakapan dan pengalaman di bidang manajemen pers dalam arti luas. Kalau tidak, agaknya hanya mimpi belaka bisa mencapai tujuan yang diharapkan. Sementara, pengalaman serta kecakapan di bidang manajemen pers tidak bisa datang sendiri. Dia mesti berasal dari pengetahuan dan pengalaman yang bertahun-tahun tanpa henti. Jadi tidak seperti makan cabai, begitu dimakan begitu terasa.

Manajemen pers itu pun sungguh, merupakan sesuatu yang unik dan khas. Dia bagai merupakan barang langka dan antik yang sulit sekali untuk didapatkan. Jadi tidak seperti anggapan banyak orang, gampang dan bisa dilakukan dengan belajar sendiri. ‘Marsiajar dilapik’, istilah Tapanuli, dan ini omong kosong. Kalau hanya dengan prinsip ‘marsiajar dilapik’ lebih baik jangan coba-coba. Sebab, modal usaha sebuah penerbitan pers tidak cukup sekadar puluhan juta rupiah. Mesti ada dana segar sampai ratusan juta rupiah.

Kiat Cemerlang

Kawan saya Hentung Toni Purba yang sekarang menjadi pengasuh surat kabar Mingguan Suara Simalungun, agaknya bisa dijadikan sumber bagaimana mengelola sebuah usaha penerbitan pers. Juga barangkali, kawan saya Martua Situmorang dan Jansen Simanjuntak yang mengasuh Liputan Bona Pasogit di Tarutung sana. Ketiga orang ini, faktanya telah menjalankan usaha penerbitan pers selama bertahun-tahun dengan gilang gemilang. Gilang gemilang disimpulkan, karena usaha penerbitan pers yang mereka pimpin dan kelola sudah bertahun-tahun bisa hidup meski pun dengan ngos-ngosan dan bagai sesak napas. Meski pun piutang menggunung dan akhirnya menjadi piutang tak tertagih, faktanya usaha penerbitan mereka masih saja eksis sampai sekarang.

Saya pikir, modal utama dalam mengelola sebuah usaha penerbitan pers adalah keprofeionalismean yang dimiliki berupa pengalaman dan kecakapan. Kalau kecakapan dan pengalaman tidak dimiliki, lebih baik jangan mulai sebuah usaha penerbitan pers. Cari saja bentuk usaha lain yang mungkin bisa berkembang, dan katakan ‘sayonara’ pada bidang ini. Bumi ini masih terlalu kaya untuk dilola entah di bidang apa saja. Plastik bekas saja serta kertas-kertas yang bertebaran dimana-mana bahkan sampah yang bergelimpangan masih bisa didaur ulang dan dijadikan uang.

Di antara para pengelola sebuah usaha penerbitan pers, mutlak dibutuhkan kesepemahaman untuk apa mereka ada. Mesti jelas tujuan yang akan dicapai, dari mana dan akan kemana serta bagaimana. Mereka juga harus dilandasi oleh semangat kerja yang berapi-api, tidak goyah, teguh dalam prinsip dan setia serta taat. Mereka juga harus memiliki landasan pemikiran yang siap berkorban, rela dan ikhlas, dilumuri semangat serta nilai juang yang tinggi.

Para pengelola sebuah usaha penerbitan pers, harus memiliki rasa saling menghargai, saling mengasihi serta saling mengayomi. Mereka juga mutlak saling percaya, saling pengertian dan memahami sesamanya, dan mau mendengar sesama mereka. Selain, mereka juga harus tampil seadanya tanpa merasa lebih hebat dari yang lain. Dalam usaha penerbitan pers, tidak ada devisi yang lebih dari yang lain, bagai lokomotif dengan gerbongnya.

Maka timbul tenggelamnya usaha penerbitan pers di Pematangsiantar, saya lihat secara umum dikarenakan belum adanya niat dan kesepakatan di antara sesama pengelolanya untuk melandasi pekerjaannya seperti yang diuraikan di atas. Mereka umumnya masih sekadar hura-hura berlagak sudah hebat bila pernah mengelola usaha penerbitan pers. Padahal, apa artinya pernah mengelola usaha penerbitan pers sebulan dua bulan lantas usaha itu pun padam, hancur, dan akhirnya mati serta tak dibuatkan pula kuburannya. Bikkin malu saja, seperti kata almarhum DR GM Panggabean yang saya anggap sebagai maha guru saya dalam persuratkabaran. ‘Latteung’, seperti acap diucapkannya semasa hidupnya.

Inilah yang bisa saya sampaikan sekaitan dengan permintaan DR Sarmedi Purba SPOG kepada saya untuk menulis tentang timbul tenggelamnya usaha penerbitan pers di Siantar. Saya merasa tersanjung dengan istilah dokter spesialis kandungan, politisi dan pemerhati itu kepada saya sebagai penulis kondang. Permintaan DR Sarmedi kepada saya untuk menulis tanggapan tentang timbul tenggelamnya usaha penerbitan pers di Siantar, saya anggap merupakan sebeuah penghargaan.. Terima kasih atas permintaannya, Doktor ! (25 September 2011) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar