Selasa, 07 Juni 2011

Keras, Kasar Tapi Humoris dan Pencerita : Henrika Sitanggang

Aku mengenal bang Ramlo karena dia pimpinanku di Surat Kabar Simalungun Pos tempat kami bekerja. Aku wartawan biasa, dan bang Ramlo adalah Wakil Pemimpin Redaksi sekaligus Penanggungjawab. Hubunganku dengannya terasa jauh karena aku sering kali sibuk selain menjadi wartawan juga aku ditugasi perusahaan untuk mengurusi bidang ketatausahaannya.
Sekitar April 2004 aku dipanggilnya menghadap dan dimintanya untuk menjadi Asistennya. Tawaran itu tentu saja tak kutampik, sebab sesungguhnya aku pun kepingin sekali jadi wartawan profesional. Dengan menjadi asistennya tentu pikirku aku akan selalu dekat dengannya. Dan dekat dengannya berati aku berkesempatan banyak belajar tentang kewartawanan secara khusus.
Benar saja. Sebagai asisten aku acapkali bersama dengan bang Ramlo kemana saja dan bertemu dengan siapa saja. Aku mendampinginya ketika mengikuti seminar misalnya, diskusi atau apa saja. Dan setelah itu aku sadar bahwa sesungguhnya kehidupan wartawan adalah pembelajaran yang tidak berakhir.
“Wartawan memang harus terus menerus belajar dan belajar Hen”, katanya pada suatu hari.
Hari-hari pertama menjadi assistennya, terus terang aku merasakan sesuatu yang tak menyejukkan. Bang Ramlo ternyata keras sekali bahkan cenderung kasar. Ada saja kesalahanku menurut dia, dan karena itu aku dibentaknya keras-keras dengan kata-kata yang kasar pula.
“Goblok kau! Pakai otakmu!” katanya ketika suatu pekerjaan kulakukan dengan salah. Sebagai perempuan, aku sangat sakit hati. Pernah malah, air mataku menetes sangkin sakitnya perasaanku dibentak-bentak begitu.
Pantas, ketika aku diminta bang Ramlo untuk menulis tentang dia yang akan dimuat dalam Buku Otobiografinya yang akan diluncurkan pada ulang tahunnya ke 50 Juli 2007 ini, apa yang harus kutulis?
Terus terang, aku sesunguhnya enggan untuk menulis tentang bang Ramlo. Pertama, sebenarnya aku belum lama mengenalnya dibanding teman-teman lainnya seperti Hentung, Hendro, Hardono dan lainnya. Kedua, kalau aku harus menulis tentang dia, tentu aku harus menulis apa adanya dan menulis dengan jujur bagaimana dia dalam pandanganku. Apalagi, bang Ramlo mengajarku untuk menulis secara jujur dan benar. Ada satu kalimatnya yang sering kuingat: wartawan tak boleh salah tulis. Dia harus jujur dan benar ketika menulis. Wartawan salah tulis, sama dengan polisi salah tembak. Dengan prinsip inilah akhirnya tulisan tentang bang Ramlo ini kutulis, apalagi aku menganggapnya buka suatu permintaan tapi justru sebagai suatu perintah.
Sebagai pimpinan, bang Ramlo nampaknya sangat menyukai staf yang tidak saja cerdas, cekatan dan terampil, tapi juga berwawasan luas dan pegaul yang luwes. Karena buku-bukunya pada semua stafnya secara bergiliran. Aku sendiri, secara rutin diberinya buku-buku tentang jurnalistik tapi juga dari berbagai disiplin ilmu.

Sulitnya, bang Ramlo selalu mentest apakah aku telah membaca buku-buku yang diberinya untukku dengan baik. Caranya, dengan mengajukan beberapa pertanyaan menyusul usainya aku membaca buku itu. Makanya, biar buku yang sipinjamkannya untukku tak menarik perhatianku, akhirnya terpaksa juga kubaca agae aku tak kena dampratannya.
“Berhentilah jadi wartawan Hen, kalau kau berhenti membaca”, karanya dengan nada keras.
Dalam pembelajaran yang diberikan Bang Ramlo kepadaku, katanya wawan harus rajin membaca, rajin cakap-cakap, rajin kemana-mana dan bertemu dengan siapa-siapa saja. Rajin kemana-mana, sekaligus juga rajin mengamati dan memperhatikan apa saja. Dari membaca, cakap-cakap dengan siapa saja, mengamati dan memperhatikan, kita bisa membuat tulisan. Membuat beritapun sebenarnya kita harus memiliki wawasan yang luas. Membuat bagaimana berita yang kita tulis bisa berbobot.
Satu hal yang kulihat dari sosok bang Ramlo, dia itu pekerja keras. Selain, dia teramat mencintai profesinya sebagai wartawan. Karena cintanya pada profesinya itu barangkali, dia amat setia pada tugas-tugasnya, dan kesetiaannya itu memang telah dibuktikannya dengan menjadi wartawan yang sampai sekarang sudah 30 tahun.
Pada saat-saat deadline koran kami, jangan coba mengusiknya. Bang Ramlo akan menekuni pekerjaannya membuat Berita Umum, Editorial dan Opini dihadapan mesin tulis manualnya. Ketika aku tanya kenapa dia masih menggunakan mesin tulis manual dia bilang: “Sudah puluhan tahun aku menulis dengan mesin tulis manual. Sepertinya suara ketikan mesin tulis ini justru memberi ilham dan inspirasi buatku untuk menulis”.
Baiklah, agar sesuai dengan judul tulisanku ini aku mau paparkan sesuatu tentang bang Ramlo yang barangkali justru tak mengenakkannya. Tetapi balik seperti apa katanya, wartawan harus jujur ketika menulis. Dan ucapannya ini yang sekarang kulakukan saat bang Ramlo memintaku menulis tentang dia.
Aku sendiri membutuhkan waktu yang lama untuk mengenal bang Ramlo secara baik dan benar. Kesan pertama yang kudapat darinya adalah kalimat-kalimat yang kasar keluar dari mulutnya apalagi ketika aku melakukan kesalahan dalam tugas atau pekerjaanku. Kalimat-kalimatku yang salah pun bisa menjadi bahan baginya untuk mencercaku habis-habisan. Bang Ramlo memang, sangat mencintai Bahasa Indonesia, dan karena itu dia marah sekali jika aku atau siapa saja menggunakan Bahasa Indonesia dengan tak baik dan tak benar.
Soal kemarahan, bang Ramlolah orangnya. Ada-ada saja persoalan yang gampang memicu kemarahannya. Dan kalau sudah marah, biasanya kata-kata kasar gampang meluncur dari mulutnya membuat orang lain menjadi sakit hati. Tapi anehnya, bang Ramlo tak pernah menyimpan kemarahannya. Dia betul-betul tak sanggup memelihara kemarahannya dan segera lebur beberapa menit kemudian.
Satu hal yang sering kali membuat bang Ramlo marah adalah kebodohan. Pernah aku bersikap bodoh dihadapannya, saat itu pula dia marah besar kepadaku justru dihadapan orang lain. Hampir aku berteriak dan ingin sekali menangis, tapi untung aku masih memiliki rasa malu. Beberapa jenak kemudian bang Ramlo menghampiriku seraya membujukku dan menyatakan maaf.
Lalu, ada lagi yang pantas kucatat tentang bang Ramlo. Dia itu, orang yang suka sekali menyanyi. Nyanyian sepertinya baginya adalah doa dan harapan. Dia bernyanyi dimana saja ketika keinginan bernyanyi itu muncul dipikirannya. Bahkan tengah berkendaraan di tengah kota pun bang Ramlo suka bernyanyi-nyanyi kecil, kalau sudah begini, aku diam saja sambil menikmati nyanyiannya.
Entah bagaimana, sepertinya banyak sekali nyanyian yang diketahui di luar kepala. Bang Ramlo, kalau menyanyi selalu tak putus-putus dari satu nyanyian ke nyanyian lain bersambung-sambung. Kalau dia tengah memetik gitar, bisa saja dinyanyikannya lagu anak-anak, lagu daerah, lagu-lagu nostalgia sampai lagu pop dan lagu-lagu wajib yang dulu diajarkan di sekolah. Kalau bang Ramlo bernyanyi begitu, kami kawan-kawannya akan terasa senyum-senyum lucu bahkan bisa terkekeh-kekeh.
Satu hal lagi, bang Ramlo sepertinya masih tetap merasa mudah saja tak pernah merasa tua. Nongkrong di kafe atau karaoke dengan orang-orang muda adalah kegemarannya yang dilakukannya di saat-saat pekerjaan tak menumpuk. Cerita ngalor ngidul dengan tema apa saja pun, dia mampu dan setiap orang yang mendengarnya selalu tertarik. Entah darimana dan bagaimana dia menciptakan cerita itu, mulai dari yang logis sampai yang tak logis tapi enak untuk didengar sebagai pelipur lara.
Seperti yang kukatan tadi dengan jujur, bang Ramlo itu suka marah. Suka sekali, dan sifat itu nampaknya akan tetap ada padanya. Marahnya bang Ramlo pun tak pernah terasa ramah. Marahnya bang Ramlo, cenderung kasar dan sering membuat sakit hati orang lain. Sudah marah dengan saura keras, kasar pula.
Tapi dibalik semua itu, bang Ramlo pun ternyata seorang humoris dan pencerita. Bang Ramlo juga orang yang penuh perhatian terhadap siapa saja. Humor dan ceritanya serta perhatiannya menghapus segala sakit hati orang lain yang dibuatnya.
Selamat Ulang Tahun Bang! Teruskan marahmu, tapi pertahankan humormu dan ceritamu serta perhatianmu kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar