Minggu, 05 Juni 2011

Ramlo Hutabarat, Guru dan Sahabat yang Sederhana : Hardono Purba

Awal Mei 2007, sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Disana tertulis; aku menunggu tulisan kalian untuk buku biograpiku, waktu sudah dekat, kapan bisa kuterima. Sesaat aku ingatanku melayang pada sosok yang mengirim pesan singkat tersebut; Ramlo Hutabarat akrab kupanggil Bang Ramlo, meskipun jika dilihat dari perbedaan umum aku lebih pantas menjadi anaknya. Dan tanpa pikir panjang segera kubalas pesan tersebut “Siap bang, pekan depan akan kukirim”. Karena bagiku, sebuah kehormatan besar bisa menuliskan pandanganku tentangnya dalam buku memoarnya.
Aku mengenal Bung Ramlo medio 1997. Saat itu, gerakan mahasiswa sedang giat-giatnya mengkritisi kebijakan pemerintah orde baru. Kami sering berdiskusi di rumah kontrakannya yang sederhana (sering disebutnya daerah rawan banjir) di jalan Asahan yang jaraknya hanya sepeminuman teh dari kampusku. Topik diskusi kami beragam, mulai dari situasi politik nasional maupun local, tentang seni, hukum, pendidikan, gaya hidup bahkan tentang percintaan. Kesan pertamaku adalah, bang Ramlo adalah seniman yang romantis namun sedikit sentimental.
Kebersamaan kami terus berlanjut. Tak jarang sepulang aksi demonstrasi, kami para aktivis yang lapar dan haus sengaja berkunjung ke rumahnya, dan dengan hati yang tulus ihklas, bang Ramlo menyediakan makanan indomie telor, teh manis dan nasi putih dengan lauk ikan asin yang tentunya kami makan dengan lahap, karena memang namanya mahasiswa apalagi anak kost, situasi keuangannya pasti terbatas. Dan dikemudian hari hidangan tersebut menjadi menu wajib bagi kami jika bertandang kerumahnya.
Suatu waktu, ketika itu persediaan makanan sudah habis sementara keesokan harinya kami akan melaksanakan aksi besar-besaran, aku datang ke rumahnya meminta petunjuk. Dan dengan segera dia pergi kedapur dan menyerahkan bungkusan plastik yang isinya beras dan ikan asin. “Inilah kalian masak di basekamp” katanya saat itu. Dan itulah bang Ramlo, sedapat mungkin pasti memberikan bantuan yang tulus dan ikhlas. Dalam pandangan saya saat itu sebagai aktivis mahasiswa bang Ramlo memberikan kontribusi yang jelas bagi pergerakan mahasiswa di Siantar Simalungun.
Satu yang unik dari bang Ramlo adalah kajiannya yang realistis. Setiap permasalahan yang kami diskusikan selalu dianalisa dari berbagai sudut pandang dan selalu berdasarkan logika. Pernah kami membahas tentang APBD Kabupaten Simalungun pos belanja kepala daerah. Disitu tertulis belanja rumah dinas: pembelian kulkas Rp. 10 juta, pembelian horden 15 juta. Dan dengan gaya bicaranya yang khas dia memberi pendapat, bahwa kulkas dan horden yang ada di rumah dinas bupati adalah kulkas dan horden yang paling mahal sedunia, pendapat yang sangat realistis dan logika.
Pada era reformasi. Dimana pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi kebebasan pers, bang Ramlo mengajak saya bergabung di Surat Kabar Mingguan Simalungun Pos. Setiap pagi, sekitar jam 07.00 aku sudah hadir di rumahnya, lalu kami berdiskusi sebentar tentang arah yang akan dituju lalu berangkat. Dan satu hal lagi yang kukagumi dari pribadinya adalah cara berpakaian yang rapi. Dari rumahnya kami berangkat memburu berita kesetiap sudut Siantar Simalungun. Tak jarang meskipun dengan uang yang pas-pasan kami berangkat ke beberapa kecamatan di Simalungun untuk melihat secara jelas pembangunan yang sedang berlangsung. Dengan uang 20 ribu dan kereta pinjaman kami pernah ke kecamatan Purba melalui Simpang Dua dan pulangnya kami lewat Sipolha terus ke Tiga Balata. Capek, tegang namun mengasyikkan.
Meskipun dengan modal yang pas-pasan, semangat untuk bekerja demi bangsa dan negara (menurutnya) tidak pernah surut. Sepulang berkunjung ke kecamatan, kami langsung mendiskusikan apa yang telah kami lihat, dengar dan alami. Diskusi bisa berlangsung berjam-jam lamanya dan menjelang subuh baru berangkat tidur. Keesokan harinya hasil diskusi dituangkan dalam bentuk tulisan, baik itu berita, artikel maupun catatan.
Begitulah aktivitas rutin yang kami lalui. Aktivitas tersebut tanpa saya sadari telah membentuk jiwa dan kepribadian saya untuk tidak bermental tempe. Untuk selalu berjuang meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi. Dengan bahasanya dia mengatakan, generasi muda yang akan menjadi pemimpin di masa depan harus bermental pejuang dan mental pejuang hanya bisa diperoleh melalui proses yang panjang, berliku, capek dan melelahkan. Kalau sudah bermental panjang,m pasti pemimpin di masa depan tidak akan melakukan cara instant (korupsi, kolusi dan nepotisme) untuk mencapai kesuksesan.
Ide, pemikiran bang Ramlo juga sangat demokratis. Disaat Simalungun sedang demam ahap Simalungun, dengan tegas bang Ramlo sebagai orang yang bukan Simalungun mendukung gerakan tersebut. Alasannya, sangat wajar orang Simalungun sebagai penduduk asli diberi kesempatan untuk menjadi pemimpin di tanah leluhurnya yang memberi kehidupan bagi banyak anak bangsa. “Riskan kalau di kampung saya di Hutabarat sana yang menjadi pangulu adalah marga Purba dari Negeridolok” katanya waktu itu. Dan dukungannya terhadap gerakan tersebut diaplikasikan dengan bekerja di SIMALUNGUN POS serta mempublikasikan tulisan-tulisan di berbagai media tentang keberpihakannya pada gerakan marahap Simalungun.
Namun sebagai manusia biasa, bang Ramlo juga memiliki kekurangan. Bagiku kekurangan tersebut adalah sifatnya yang temperamental. Jika sedang marah, bang Ramlo tak kenal tempat dan siapa orangnya. Dengan suara yang keras, dia akan membentak orang yang dianggapnya bertanggung jawab terhadap sesuatu peristiwa. Meskipun orang tersebut adalah seorang pejabat, bang Ramlo tak segan-segan membantah bahkan membentak jika ada sesuatu yang dianggapnya kurang pas.
Pernah, kami bertemu dengan seorang pejabat teras di pemerintahan. Karena sesuatu hal, pembicaraan berlangsung dalam situasi yang panas dan tegang. Dan tanpa kuduga, bang Ramlo dengan suara tinggi menahan marah, membentak pejabat tersebut. Aku yang saat itu masih junior hanya bisa diam karena takut ajudan pejabat tersebut akan mengusir kami.
Pernah juga, karena kesibukan yang luar biasa dan tak sempat pulang pada dead line koran kami, bang Ramlo menugasiku untuk membuat berita utama dan editorial. Pengalaman pertama bagiku. Sejak sore aku sudah berada di depan mesin tik, dan tak terhitung berapa banyak kertas yang terbuang sia-sia. Tiba-tiba telepon berdering diujung sana bang Ramlo bertanya apakah tugasku sudah selesai dan aku menjawab belum. Spontan dia marah dan mengatakan aku bodoh dan lamban. Aku hanya diam, karena saat itu aku memang hanya bisa diam.
Namun meskipun temperamental, bang Ramlo sebenarnya berhati lembut. Kepeduliaannya terhadap sesama sangat tinggi. Jika ada yang membutuhkan bantuan, bang Ramlo tak sungkan-sungkan untuk mengulurkan tangan. Bagiku pribadi tak terhitung berapa banyak bantuan yang telah diberikan bang Ramlo.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, bagiku bang Ramlo adalah abang, guru dan sahabat yang baik, sederhana dan peduli. Mungkin penilaianku terlalu subjektif namun semua itu kutuliskan apa adanya, seperti yang diajarkannya padaku. Dihari jadinya yang ke-50, melalui catatan ini, aku hanya bisa berdoa semoga diberi umur yang panjang, kesehatan serta kebahagiaan sampai anak cucu. HORAS (Penulis adalah wartawan, tinggal di kecamatan Silou Kahean)

1 komentar: