Minggu, 05 Juni 2011

Ramlo Hutabarat Wartawan yang Terus Bergerak Oleh : Hentung Toni Purba, Redaktur Pelaksana Suara Simalungun

Merupakan kehormatan bagi penulis bercerita tentang figur Ramlo Hutabarat dalam rangka merayakan peringatan 35 tahun dirinya menjalankan tugas sebagai wartawan. Pengalaman bersama Ramlo Hutabarat adalah pengalaman yang tentang makna sebuah pergerakan yang tiada henti.
Penulis mengenal Ramlo Hutabarat sekitar sembilan tahun yang lalu yang ketika itu adalah seorang wartawan. Tentang apa dan bagaimana profesi wartawan penulis sama sekali tidak mengerti. Hingga pada suatu masa sekitar tahun 1998 sebagai aktivis Gerakan Angkatan Muda Indonesia (GAMKI) cabang Pematangsiantar penulis ikut dalam Tim Kerja Kegiatan Pelatihan Jusnalistik Pemuda Gereja dan ikut juga menjadi peserta Pelatihan Jurnalistik.
Ketika itu Ramlo mengajarkan kepada peserta pelatihan jurnalistik tentang bagaimana menulis berita. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti Ramlo menjelaskan bagaimana menuliskan sebuah berita. Konsep 5 W dan 1H dalam sebuah berita pertama kali penulis mengetahui dirinya. Hingga pelatihan jurnalistik berakhir penulis sama sekali belum mengetahui bagaimana sebenarnya menjadi wartawan.
Pengenalan kepadanya semakin mendalam karena Ramlo begitu perduli dengan berbagai kegiatan GAMKI yang penulis ikut berperan. Beberapa kegiatan GAMKI membutuhkan partisipasi para donateur untuk membiayainya. Beberapa kali kami dibantunya menjalankan proposal bantuan dana, ketika ditemani Ramlo menjalankan proposal sepintas kami merasakan betapa nikmatnya jadi wartawan, banyak sekali pejabat/tokoh masyarakat yang mengenal Ramlo sehingga memudahkan kami menjalankan proposal bantuan dana.
Ketika itu Ramlo mengatakan kenapa dia banyak dikenal dan mengenal pejabat/tokoh masyarakat dikarenakan profesinya sebagai wartawan, itulah enaknya wartawan kita mengenal dan dikenal banyak orang ujarnya kepada kami ketika itu. Mendengar penjelasannya penulis hanya manggut-manggut saja karena kurang tertarik dan kurang mengerti apa dan bagaimana wartawan.
Mendengar cerita dan analisis Ramlo tentang berbagai hal sungguh menyenangkan, analisis dan pendapatnya tentang berbagai hal terkadang menimbulkan perenungan tersendiri bagi penulis. Satu masa pernah dia bercerita tentang dirinya yang sangat mencintai tanah Simalungun, dia berkata bahwa dia sangat cinta dengan Simalungun termasuk dengan adat dan tradisinya. Penulis yang asli orang Simalungun cukup terkejut karena hampir seluruh tokoh Simalungun sangat mengenal Ramlo dengan akrab.
Ramlo juga mengajarkan kepada penulis tentang bagaimana menghadapi hidup, dia berkata dalam hidup kita harus senantiasa bergerak, jangan pernah berhenti dan jangan pernah menyerah haruslah membuat terobosan karena orang-orang seperti itulah yang bisa menghadapi hidup katanya.
Pengenalan penulis terhadap Ramlo Hutabarat semakin mendalam adalah ketika penulis ikut bergabung bersamanya di Surat Kabar Mingguan Simalungun Pos dimana di Surat Kabar tersebut Ramlo menjabat sebagai Redaktur Pelaksana/Chif Reporter. Penulis yang masih sangat awam dengan dunia jurnalistik khususnya jurnalistik lokal banyak sekali merasakan bimbingan dan pacuan semangat dari Ramlo. Menjadi seorang wartawan mungkin bukan pilihan penulis tapi Ramlo menyakinkan bahwa menjadi jurnalis lokal bukanlah pilihan yang salah. Kalau kita kreatif dan terus bergerak mengembangkan surat kabar lokal bukanlah sebuah kekeliruan tapi merupakan alternatif pekerjaan yang memang semakin lama semakin sulit didapatkan paparnya kepada penulis.
Simalungun Pos adalah surat kabar yang pemberitaannya menitikberatkan pada pemberitaan Siantar Simalungun. Semangat otonomi daerah yang bernafaskan pemberdayaan masyarakat lokal sangat mewarnai pemberitaan Simalungun Pos, dan Ramlo Hutabarat sangat berperan memberikan warna pemberitaan Simalungun Pos dengan gayanya yang terbuka, lugas, jujur dan apa adanya.
Karakter Ramlo sangat kuat mewarnai Simalungun Pos walaupun ketika itu banyak juga Simalungun Pos yang kurang bisa mengerti/mengikuti cara berfikirnya yang sekilas keras dan tak mau kompromi. Bagi penulis berbagai contoh tentang bagaimana seharusnya menjadi wartawan khususnya wartawan surat kabar lokal yang ditunjukkan Ramlo adalah sebuah proses pendidikan yang tak ternilai harganya.
Era otonomi daerah memang sangat membutuhkan partisipasi berbagai pihak, roh otonomi daerah adalah keterbukaan artinya Pemerintah Kota/Kabupaten tidak bisa lagi menutup akses masyarakat untuk mengetahui apa yang dikerjakan Pemkab/ Kota. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan bisa menjadi sebuah indikator demokratisnya daerah tersebut.
Dengan pemahaman demikian maka sangat dibutuhkan pers lokal yang menyuarakan berbagai program serta mengkritisi kebijakan yang akan diambil dan akan diambil pemerintah. Bagaimana seharusnya pers lokal memposisikan diri sebagai pers penyambung aspirasi rakyat pada era otonomi daerah pastilah membutuhkan kajian tersendiri akan tetapi Ramlo Hutabarat setidaknya sudah mencoba memberikan bentuk awal pemberitaan yang bersifat lokal.
Dalam kenyataannya walaupun era otonomi daerah mempunyai roh keterbukaan Pemkab/Kota terkesan kurang berani/kurang siap dengan keterbukaan. Ketidaksiapan maupun sikap kurang berani terlihat bagaimana apresiasi Pemko/ Pemkab terhadap pemberitaan Surat Kabar lokal. Pemberitaan Simalungun Pos yang terbuka dan apa adanya justru dipandang sebagai ancaman” kelancaran pelaksanaan pemerintahan. Kondisi tersebut mengakibatkan kesulitan mengakses informasi dari Pemkab/Pemko.
Kesulitan terhadap akses informasi bagi Ramlo, bukanlah suatu hambatan justru dijadikan tantangan agar lebih keras lagi bekerja mencari informasi yang berguna bagi pembela terhadap rakyat kecil. Dia selalu menekankan bahwa tugas pers adalah membela kebenaran dan membela orang lemah dan tertindas.
Penulis selanjutnya dipercaya menjadi Assisten Redaktur Pelaksana yang pada implementasinya justru lebih sering menjadi Assisten Ramlo Hutabarat dalam berbagai hal. Pengalaman menjadi Assisten memberikan pengalaman yang luar biasa bagi penulis tentang sulitnya menata sebuah pemberitaan. Penulis akhirnya memahami mengapa Ramlo begitu mencintai profesi wartawan terutama wartawan Surat Kabar Lokal adalah karena dengan profesi wartawan kita menemukan kenikmatan yang luar biasa karena kita bisa menyuarakan berbagai aspirasi dan kita bisa menyuarakan kebenaran. Profesi wartawan adalah profesi yang sangat mulia karena wartawan bisa menentukan hitam putihnya sesuatu hal. Bagi penulis Ramlo adalah sosok yang cerdas yang mampu menyatakan sikap secara jujur, lugas dan tegas.
Era reformasi ditandai dengan kebebasan pers artinya pendirian penerbitan pers bukanlah suatu yang sulit lagi. Efek kebebasan pers tersebut adalah munculnya ratusan penerbitan pers dengan konsekwensi munculnya begitu banyak wartawan. Saat ini sangat mudah menjadi wartawan dan banyak pandangan miring masyarakat terhadap profesi wartawan. Penerbitan pers pada umumnya tidak memberikan gaji kepada para wartawannya sehingga waratawan seringkali melakukan berbagai hal kepada narasumber untuk mendapatkan uang. Dalam kondisi seperti ini Ramlo kembali mengajarkan kepada penulis tentang makna bergerak. Wartawan harus bergerak untuk menepis sisi negatif pandangan masyarakat kepada wartawan. Wartawan tidak bergaji adalah sebuah realitas tapi bukan menjadi alasan untuk melacurkan makna pekerjaan wartawan. Wartawan adalah profesional paparnya.
Berbagai bimbingan dan contoh bagaimana menjadi wartawan khususnya wartawan surat kabar lokal menjadi modal utama penulis ketika harus bergabung dengan Surat Kabar Independen Suara Simalungun. Penulis yang masih awam dan belum memiliki banyak pengalaman ikut bergabung membidangi sebuah penerbitan pers lokal Suara Simalungun.
Makna tentang bagaimana wartawan harus senantiasa bergerak untuk bisa terus bertahan di tengah kerasnya persaingan saat ini penulis implementasikan ketika bekerja di Suara Simalungun. Dalam perjalanan mempertahankan eksistensi penerbitan Suara Simalungun senantiasa diwarnai dengan proses yang jatuh bangun. Dan ketika masuki dalam proses jatuh makna bergerak seperti yang dicontohkan Ramlo menjadi tenaga yang begitu hebat untuk kembali menguatkan penulis.
Menjadi wartawan bukanlah cita-cita penulis tapi Ramlo mengajarkan menjadi wartawan bukanlah sebuah pilihan yang salah. Wartawan adalah sebuah profesi yang profesional. Seorang profesional tidak bisa diukur berapa gajinya karena pada akhirnya keprofesionalannyalah menentukan berapa besar gajinya.
Hingga tahun keenam penerbitan Suara Simalungun penulis masih secara rutin berdiskusi dengan Ramlo Hutabarat karena banyaknya pemikirannya yang terkadang tidak biasa atau menyeleneh” bahasa Jawa Timurnya tentang bagaimana menjadi wartawan surat kabar lokal. Pemikiran yang tak bisa adalah pemikiran alternatif tentang makna bergerak untuk mempertahankan hidup tanpa harus melanggar nilai-nilai luhur profesi wartawan.
Diakhir tulisan ini penulis mengucapkan selamat ulang tahun ke 50 dan selamat memasuki 35 menekuni profesi wartawan buat Ramlo Hutabarat. Penulis mengharapkan semoga panjang umur dan tetaplah menjadi wartawan yang senantiasa bergerak dan tak pernah lelah untuk sebuah perjuangan mempertahankan hidup dan idealisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar