Minggu, 15 Mei 2011

Aku dan Orang-orang Kampungku

Ramlo R Hutabarat


Kampungku di Kelurahan Partali Toruan, Kecamatan Tarutung, Kabupaten Tapanuli Utara. Sebenarnya, lebih tepat kalau kusebut tanah asal leluhurku. Sebab, aku lahir dan dibesarkan di Indonesia, sama dengan Bapakku yang (sudah) dilahirkan di Sidikalang dan merantau kesana kemari karena tugas yang diembannya dulu. Tapi aku pernah tinggal disana, waktu aku sekolah di STM – HKI Tarutung pada jurusan mesin umum. Lantas, waktu aku bekerja sebagai Wartawan SIB, aku pernah juga bertugas di Tapanuli Utara, 1984 – 1986. Makanya, tak terlalu salah kalau kusebut kampungku di Kelurahan Partali Toruan, Tarutung. Oke ?

Setiap orang bisa sampai ke kampungku dari berbagai ruas jalan di empat arah mata angin. Dari arah Timur, kampungku bisa ditempuh dari Sipoholon di ruas jalan Trans Sumatera. Belok kiri begitu melewati Aek Rangat, menyusur pemukiman penduduk yang berada di tengah persawahan. Dari arah Barat, bisa ditempuh dari Jembatan Aek Situmandi di Desa Hutagalung Harean, belok kanan menuju kota Tarutung. Beberapa gedung kantor pemerintahan terlihat di tengah persawahan dibangun pemerintah, tentunya. Aku tak tahu kenapa justru pemerintah yang merubah fungsi sawah menjai areal perkantoran.

Dari arah Utara, artinya dari arah kota Tarutung, siapa saja bisa sampai ke kampungku setelah melewati Jembatan Aek Ristop di Huta Baginda. Di sisi kiri jalan raya, akan terlihat Gereja Katolik yang megah dan anggun lengkap dengan kompleks sekolah yang dibangun di sekitarnya. Arsitektur Gereja Katolik itu menarik perhatianku karena dibuat dengan ornamen Batak yang unik dan khas. Melewati Gereja Katolik, ada pomp bensin (SBPU) yang merupakan satu-satunya di kota Tarutung yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Tapanuli Utara.

Dari arah Selatan, semua orang bisa juga sampai ke kampungku setelah meliuk-liuk menuruni punggung Bukit Barisan di kawasan Siarangarang. Panorama yang amat menakjubkan akan terlihat jika ke kampungku melalui jalur ini. Jelang tiba di kawasan Aek Rangat, sejauh-jauh mata memandang akan terlihat Gunung Martimbang yang berdiri kokoh menjulang ke angkasa dengan perkasa. Gunung Martimbang sejak bumi ini ada, sudah mengkawal anak negeri Tarutung dengan gagahnya. Gunung ini juga yang setiap saat memberi kami air panas dan dimanfaatkan banyak anak negeri untuk menambah pendapatannya.

Kampungku menjadi berbentuk kelurahan ketika sepupuku Chungking Hutabarat menjadi kepala desa disana. Aku tak ingat secara pasti tahun berapa itu, tapi agaknya sekira pertengahan 1980-an. Chungking memang pintar dan cerdas dan selalu memanfaatkan peluang begitu terbuka lebar. Waktu itu dia menjadi Ketua KNPI Tapanuli Utara dan segala macam jabatan serta kedudukan yang diembannya.Posisinya yang menguntungkan dimanfaatkannya meningkatkan status desa kami menjadi kelurahan.

Hampir semua sepupuku di kampungku hidup dari hasil pertanian dalam arti luas. Perut bumi kampungku memang ramah kalau diolah dan dijamah. Ada sawah disana, ada lahan pertanian kering. Karena sistem pengairan yang belum teknis, orang-orang kampungku mengolah sawah masih sekali setahun. Tapi begitu padi disawah dipanen, orang-orang kampung memanfaatkan lahan sawah untuk ditanami cabai, sayuran dan tanaman holtikultura lainnya. Makanya, sebenarnya, hampir tak ada waktu luang sepanajang tahun bagi orang-orang kampungku.

Dulu mulai akhir 1960-an hingga akhir 1970 orang-orang kampungku mengekploitasi batu kapur yang banyak di kawasan Aek Raangat. Pebukitan di kawasan Dusun Aek Rangat digempur dari segala macam arah. Ketika pebukitan menjadi rata dengan bumi, orang-orang kampungku belum puas. Perut bumi pun dikeruk sampai dalam supaya diambil batu kapurnya. Sesekali bumi kampungku gerah dan marah juga. Pernah perut bumi yang dikeroyok menumpahkan kemarahannya, dan menimpa seorang sepupu sampai mati. Longsoran batu kapur membuat sepupuku tadi tak bisa bernapas dan …. Mati. Dikubur.

Laki-laki di kampungku, umumnya bekerja juga sebagai tukang. Bisa tukang batu, tukang kayu dan juga tukang bengkel. Begitu proyek-proyek pemerintah mulai ditender dan dikerjakan kontraktor, banyak laki-laki di kampungku yang mandah keluar daerah. Dulu waktu Tapanuli Utara masih meliputi Humbang Hasundutanm Tobasa dan Samnosir, laki-laki dari kampungku banayak yang mandah kesana karena bertukang. Banyak di antara mereka justru mendapat jodoh dari daerah tempatnya bertukang. Seorang sepupuku bernama Gordon Hutabarat, dulu menjadi tukang di Ramba Siala Kecamatan Garoga. Nasib baik dia menjadi SH (Sonduk Hela) disana sampai sekarang. Dia rajin dam tekun, bekerja keras dan berhemat, akhirnya sekarang sudah menjadi orang yang kaya (sekali) Kabarnya kebun karetnya tak terhitung lagi entah sudah berapa juta centimeter.

Dulu, banyak perempuan di kampungku yang kerjanya martonun. Mereka sepanjang hari sepanjang minggu dan bulan, bahkan sepanjang hidupnya hanya martonun dan martonun. Benang bahan baku martonun mereka beli sekali seminggu dari Pekan Tarutung waktu hari onan. Sekalian, mereka menjual hasil tonunannya dan sekalian pula maronani. Membeli bahan-bahan dapur atau ragam bahan kecantikan. Sampo apalagi conditioner tidak mereka beli, tentu. Persoalannya, waktu itu bahan kecantikan semacam itu belum ada, dan perempuan di kampungku umumnya menggunakan kelapa untuk memebersihkan rambutnya.
Tapi sekarang, perempuang di kampungku tak banyak lagi yang martonun. Kalau ada pun, paling satu-satu dan tidak cukup serius seperti masa lalu. Penyebabnya, sekarang sudah ada industri ulos di kota-kota besar. Partonun di kampungku kalah bersaing dengan industri ulos pabrikan itu. Apalagi, bahan baku untuk membuat ulos semakin hari semakin mahal. Tak seimbang (lagi) dengan ulos yang dihasilkan jika ditonun. Meski pun sudah tentu, ulos buatan tangan yang ditonun lebih berkualitas dari ulos pabrikan.

Lain dulu, lain sekarang, tentu. Dulu orang-orang kampungku mengenal istilah marsiadapari. Sawah dikerjakan secara bersama-sama. Hari ini di sawah si A, besok boleh jadi di sawah si B. Pengolahan sawah, dimulai dari mangombak, manggole, mangaresres. Lantas marsuan, marbabo dan akhirnya manggotil. Manggotil sekaligus juga dilakukan dengan mardege yang umumnya merupakan bagian pekerjaan anak-anak muda. Mardege dilakukan pada malam hari dengan diterangi lampu petromaks yang di kampungku populer disebut strongking. Kadang kalau tak ada minyak lampu, alat penerangan yang digunakan hanya sinar bulan yang redup. Tapi kalau memanfaatkan sinar bulan, suasananya menjadi sanagat romantis.

Mardege harus diselesaikan dalam hitungan malam saja. Tidak pernah dilanjutkan keesokan harinya, sebab biasanya busuk-busukan dibuat sebesar yang mungkin dikerjakan dalam satu malam (saja) Proses manarsari merupakan bagian pekerjaan perempuan. Proses pengangkutan padi ke rumah, merupakan bagian laki-laki. Padi dimasukkan ke dalam panuhukan besar dan diangkut melalui pematang-pematang sawah yang sempit dan liicin. Kadang kalau tarsulandit, si pembawa padi kejeblos ke sawah.

Orangtua pemilik sawah, biasanya hanya punya urusan memasak makanan doang. Setelah siap, makanan dibawa ke sawah untuk disantap para pardege. Di tengah sawah, di tengah malam, bukan main lahapnya makan. Biar gulamo natinutung dan sedikit cabai, habislah semua makanan itu. Padahal biasanya, kalau musim mardege lompam selalu enak-enak. Tak jarang pmbunuhan pun dilaklukan. Boleh jadi ayam beberapa ekor atau anak ni pinahan lobu.(Bersambung)
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
_______________________________________________________________________

1 komentar: