Selasa, 03 Mei 2011

Siantar, Setan Melingkar-lingkar

Siantar, Setan Melingkar-lingkar

Ramlo R Hutabarat


Bagaimana Siantar ? Tanya seorang kawan ketika belum lama ini saya keluar kota. Apanya yang bagaimana. Kenapa rupanya ?, kata saya balik bertanya. Aneh. Partanyaan dijawab dengan pertanyaan. Padahal, pertanyaan sebaiknya dijawab dengan jawaban. Bukan dengan pertanyaan pula.

Masalahnya, pertanyaan kawan saya orang luar kota itu yang aneh. Sekiranya pun kalau saya tanya kepada dia bagaimana Tarutung, tentu dia sukar juga menjawabnya. Apanya yang bagaimana rupanya. Kenapa rupanya Tarutung, Balige, Doloksanggul, Pangururan atau Kabanjahe atau juga Mojokerto dan Bontang. Sidikalang itu ya Sidikalang. Yang jelas, Sidikalang beriklim dingin. Sak ngali Singkalang on, kata orang kampung di arah jalan menuju Parongil sana. Dan biar pun dinginnya setengah hidup, anak negeri tetap juga memetik kopi sambil berharap harga jualnya tidak berfluktuasi.

Meski pun begitu supaya sang kawan tidak kecewa sekali dan pembicaraan kami bisa nyambung, saya katakan juga bahwa Siattar masih tetap menjadi suatu daerah otonomi berbentuk Kota. Walikotanya, sekarang namanya Hulman Sitorus sementara Ketua DPRD-nya Maruli Hutapea. Di kota ini terbilang banyak lembaga pendidikan, termasuk perguruan tinggi yang jumlahnya belasan. Penduduknya tak jelas berapa orang, karena lain malam lain pula siang. Tergantung kapan. Yang pasti, waktu siang penduduk Siantar lebih banyak dibanding malam. Kalau malam, banyak orang yang pulang ke rumahnya ke Perumnas Batu Anam misalnya, dan kawasan itu jelas bukan lagi Kota Pematangsiantar.

Orang Siantar memang sedikit bisa membusungkan dada. Kalau banyak pendeta yang pintar berkhotbah dan menjadi petinggi di banyak Sinode Gereja di tanah air, umumnya mereka sebelumnya menjalani pendidikan di STT-HKBP di Jalan Sangnawaluh di depan Makam Pahlawan sana. Siantar, kata saya, merupakan sebuah kota di tanah air yang paling banyak memproduksi dan menecetak teolog-teolog terkemuka. Meski pun, kata saya, semakin tinggi ilmu seorang teolog, semakin duniawilah pikiran dan harapannya. Sementara, biasanya, ilmuwan kalau makin tinggi dan luas ilmu dan pengetahuannya, semakin dekatlah dia kepada Tuhan dan semakin sorgawi. Meski pun harus saya akui, pendapat saya ini masih perlu untuk dikaji berulang-ulang. (Akh, sekalianlah saya ingin sampaikan selamat ulang tahun kepada kawan saya Hermanto Sipayung, wartawan Metro Siantar yang hari ini berulang tahun)

Kawan saya orang luar kota tadi jadi terbengong-bengong mendengar paparan saya. Saya tidak heran kalau dia bengong, sebab saya pun sebenarnya bengong juga. Saya tahu, saya sering sekali memang menyampaikan apa yang tidak saya pahami. Akibatnya gampang dditebak. Orang lain yang mendengar pun akan semakin tidak memahami apa yang saya katakan. Makanya memang, sebaiknya kita memahami apa yang kita katakan dan mengatakan apa yang kita pahami. Kalau tidak, lebih baik tak usah. Menyampaikan apa yang tidak kita pahami, bisa membuat orang lain menjadi kacau. Dan dalam situasi kacau, makan saja pun bisa jadi tak nikmat.

Disharmonis

Lantas kawan saya orang luar kota itu memaparkan kepada saya. Berdasarkan surat-surat kabar yang dia baca katanya, orang Siantar sudah beberapa tahun belakangan humar-hebur tak jelas persoalannya. Yang berdemo rialah entah karena soal apa saja, yang ribut-ribut juga entah dengan alasan apa saja, termasuk yang menuntut ini menuntut itu, sampai persoalan mantan Walikota-nya, RE Siahaan yang dijadikan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi. Darah Hulman Sitorus termasuk kencingnya pun sekarang ini dipersoalkan orang. Kalau keabsyahan izajah yang dimasalahkan, masih lumayan. Misalnya keabsyahan izajah Ketua DPRD Nias Selatan, Effendi.

Kata saya kepada kawan saya itu, kalau yang itu maksudnya saya bisa paham walau sedikit. Saya jelaskan kepada dia, bahwa Siattar adalah kota. Kota yang tengah berkembang. Di kota ini, semua ada. Tak ada yang tidak ada. Sedang yang tidak ada pun ada. Bahkan, orang Siantar gemar mengada-ada. Dari yang tidak ada bisa dijadikan ada. Konon pula yang memang ada.

Sebagai kota yang tengah berkembang, kata saya lagi, persaingan hidup cukup ketat di kota ini. Untuk mencapai tujuan, orang bisa melakukan apa saja. Mana yang baik dan mana yang buruk tak jelas lagi. Perbedaan antara baik dan buruk memang disini sangat tipis. Barangkali Cuma setipis kulit ari. Bahkan pun, barangkali Cuma bayang-bayang. Namanya saja bayang-bayang. Jadi tergantung cahaya datangnya dari arah mana.

Karena tak jelas lagi mana yang baik mana yang buruk, di kota ini siapa saja bisa dan biasa melakukan apa saja demi dan atas nama tercapainya tujuan. Yang penting, tujuan bisa dicapai, persoalan di belakang. Mau jadi penguasa dengan membeli kekuasaan, tak jadi soal. Apalagi, orang Siantar pun mau koq menjual kekuasaan itu kepada seseorang entah siapa pun seseorang itu. Yang penting dia punya uang untuk membeli kekuasaan. Kalau ada yang menjual, tentu ada pula yang membeli, kata saya.

Dasar orang udik yang kurang gizi, kawan saya orang luar kota itu nampaknya tidak paham sekali apa yang saya sampaikan. Meski pun – sekali lagi – harus saya akui denegan terus terang, saya pun sebenarnya tak paham apa yang sudah saya sampaikan. Asal na hu pandok doi. Dari pada bengong duduk berduaan di lobby hotel murahan di suatu kota yang sebenarnya sama saja kondisinya dengan Siantar.

Akhirnya, supaya kawan tadi mengerti,saya katakan kepada kawan itu bahwa sudah belasan tahun Siantar kacau balau tak karu-karuan. Kondisi ini terjadi, sejak Marim Purba menjadi walikota, dan Bagian Sitopu jadi Ketua DPRD. Artinya, supaya jelas, kekacauan di Siantar terjadi, Cuma karena hubungan yang tidak baik (disharmonis) antara eksekeutif dengan legislatif. Dari sini, merambat dan merembes bagai air comberan kemana-mana. Menggenangi apa dan siapa saja hingga marsamburetan. Jadi latteunglah semua, termasuk saya.

Sayangnya disharmonis itu tidak diselesaikan secara jantan ketika RE Siahaan menjadi walikota dan Lingga Napitupulu menjadi Ketua DPRD. Malah, semakin tajam dan dalam tanpa upaya penetralisasian. Perbedaan-perbedaan sikap dan pandangan, termasuk perbedaan pendapat, semakin diperuncing demi dan atas nama kepentingan. Padahal, berbeda pendapat sebenarnya juga merupakan bagian dari demokrasi, dan berbeda pendapatan itu soal biasa.

Di masa pemerintahan Hulman sekarang, jurang pemisah antara Pemko dengan DPRD semakin rumit lagi. Belum apa-apa, memang, Maruli sudah buat statemen tidak mengakui Hulman sebagai Walikota. Walau pun, sebanarnya itu bukan pendapat DPRD, tapi Cuma pendapat Maruli. Wartawan, sungguh, ikut menumbuhkembangkan bahkan memupuk kekacauan itu. Ketika Maruli ngomong tidak mengakui Hulman sebagai walikota, wartawan menulis besar-besar : DPRD Tidak Mengakui Hulman Sitorus Sebagai Walikota Siantar. Kacau. Humar-hebur.

Lantas Bagaimana

Kondisi Siantar akhirnya pun sudah rumit bagai benang kusut. Sudah kusut, basah pula. Bagaimana untuk mengurainya ? Apalagi menegakkannya. Kata Oppung saya yang sudah mati, menegakkan benang kusut Cuma pekerjaan sia-sia semata. Orang dungu, bodoh, tolol dan goblok saja yang mau berupaya menegakkan benang kusut, kata Oppung saya waktu masih hidup ,dulu. Untunglah memang Oppung saya itu sudah mati. Kalau tak mati-mati juga dia sampai sekarang, tentu sudah jadi batu dia. Atau, barangkali, boleh jadi sudah bermetaformosa menjadi daun kates. Pahit.

Saya pikir, sederhanakan saja persoalan dengan rumus semua bisa diatur. Semua bisa, dan bersama kita bisa (yang ini bukan kampanye salah satu partai politik) Kalau sudah sepaham, ayo kita mulai.

Yang pertama, semua pihak di Siantar harus jelas dulu siapa mengerjakan apa.Pemko mengapa dan DPRD kenapa. Acuannya, simak dan cermati saja Undang-undang beserta segala macam peraturan perundangan yang berlaku. Selama ini, sejak zaman Marim sampai Hulman sekarang, ini yang tidak jelas menurut saya. Akibatnya, Siantar tidak saja sudah bagai lingkaran setan, tapi sudah bagaikan setan yang melingkar-lingkar. Ular saja yang melingkar sudah sulit kita hadapi, yang mana ekor yang mana pula kepalanya. Apalagi, kalau ular sudah melingkar-lingkar. Konon pula kalau yang melingkar-lingkar itu setan. Saya pikir, anti nyamuk saja yang bagus kalau (masih) melingkar. Gampang dibakar dan digunakan.

Siapa mengerjakan apa, penting sekali untuk dipahami dan sekaligus untuk dimaknai dan dilaksanakan.Guru ya mengajar sajalah. Jangan pula demo-demoan apalagi memprovokasi secara negatif. Pendeta ya berkhotbahlah jangan pula berpolitik ria menghasut jemaatnya. Kalau berdoa- ya berdoalah kepada Tuhan. Tidak malah berdoa politik untuk memenangkan salah satu pasangan calon Kepala Daerah dan belakangan kalah dalam pemilukada. Wartawan juga ya menulislah, jangan pula ikut-ikutan merencanakan menjungkalkan pejabat dari jabatan dan kedudukannya. Pencopet pun, ya mencopetlah dengan beretika dan santun.

Saya, sungguh, tak bisa membayangkan bagaimana kalau pencopet menjadi guru dan mengajar di sekolah. Saya pun tak bisa membayangkan bagaimana kalau calon penumpang di terminal berkhotbah dan wartawan jadi mengumpul-ngumpul plastik yang banyak bertebaran di jalanan. Apalagi, saya tak habis pikir kalau anak usia SD pun ikut berdemo ria untuk menentang kebijakan Pemerintah Kota Pematangsiantar. Sementara, oknum-oknum LSM jadi menjual kaset bajakan di pelataran Pasar Horas. Dan, lonte yang banyak di Jalan Pattimura di depan SMA Negeri 4 kalau malam, membentuk paduan suara dan koor di beberapa Gereja. Meski pun, saya sadar lonte juga manusia.

Orang-orang di DPRD, ya lakukan saja tugas dan fungsi serta tanggung jawabnya. Saya tak tahu persis apa tugas dan tanggung jawab mereka termasuk fungsinya. Jangan pula mengurusi siswa SMP yang sebentar lagi mau masuk ke SMA denegan menerima imbalan sejumlah uang. Lantas, mendesak dan memaksa Kepala SMA Negeri agar menerima siswa yang menjadi calonnya sang anggota dewan tadi. Apalagi, mengurusi halte atau tempat/ lokasi bus di Pasar Horas. Juga jangan (lagi) berupaya memindahkan atau ,mempromosikan seorang PNS agar menduduki jabatan struktural.

Orang-orang Pemko pun, nggak usahlah (lagi) berpolitik-politik. Biar saja politisi berpolitik. Apalagi, politik itu kata kawan saya yang sudah mati, peol otik. (padahal, kata Suhardiman, sesepuh SOKSI, politik itu cantik menarik seperti putri Solo) Orang Pemko, kerjakan saja tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana adanya. Jangan yang bukan urusannya diurusi. Maup kita nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar