Minggu, 15 Mei 2011

Impian tentang Simalungun yang Indah

Ramlo R Hutabarat


Senja. Di luar kelam. Angin menderu-deru. Menggoyang ranting pepohonan. Menggetarkan ranting. Awan di langit bergumpal-gumpal. Bergulung-gulung. Langit pun menghitam. Petir sesekali membahana. Memecah kesunyian. Membongkah kebisuan. Sunyi. Sepi. Sendiri. Aku melangkah gontai ke kamar kerjaku yang sempit. Menutup daun jendela yang sempat dipermainkan angin. Dibanting-banting. Dan seperti biasa, arus listrik pun putus ke rumahku. Tak tahu sebab kenapa-kenapa.

Aku membanting tubuhku yang kurus di kursi meja kerjaku. Menatap nanap pada dinding. Gelap. Sunyi mencekam. Aku menerawang pada masa lalu. Masa lalu yang manis indah, tapi pahit getir bila dikenang. Aku pun berharap pada masa depan. Masa depan yang penuh harapan. Tapi juga penuh tantangan.Dan petir pun tiba-tiba menggelegar sambung menyambung. Angin makin menderu-deru. Bagaikan dua raksasa yang tengah bertarung di angkasa raya mempertahankan harkat dan martabat. Dan hujan pun berderai membasahi apa saja. Membasahi segala. Tanpa irama.

Tiba-tiba aku melihat nanar sesosok tubuh. Tinggi. Kekar. Gurat-gurat di wajahnya memantulkan wibawa. Wibawa kebapaan yang diselimuti kharisma. Aku menggosok-gosok kelopak mataku. Mengkedip-kedipkannya. Berkali-kali. Sekali lagi. Berkali-kali. Sekali lagi. Tak berhenti. Sepertinya, aku mengenal sosok itu.

Aku tak keliru. Itu sosok Drs Djabanten Damanik yang pernah menjadi Bupati Simalungun sampai dua periode. Aku mengenalnya dan sangat kenal sekali. Selain karena dia pernah menjadi Bupati Simalungun, kami sempat bertetangga di Kompleks PN Kertas Pematangsiantar. Menurutku, rumahnya di belakang rumahku. Tapi menurut dia, rumahku di belakang rumahnya. Tak ada di antara kami yang mengalah. Padahal yang sebenarnya, rumah kami saling membelakangi.

“Pak Djabanten. Apa kabar Pak ? Lama kita tak bertemu”, kataku sambil berdiri dan menyalaminya akrab dan mesra. Kuguncang-guncangkan tangannya ketika tangannya yang kekar itu kujabat erat. Pak Djabanten hanya memandangiku. Sorot matanya tajam dan garang. Tegas dan jelas. Ciri khas seorang Drs Djabanten Damanik, putra Sipolha di Tepian Pantai Danau Toba.

Beberapa jenak kami saling berdiam diri. Kupandangi Pak Djabanten. Dipandanginya aku. Kami saling memandang. Pak Djabanten diam. Aku juga diam. Kami saling diam-diaman. Di luar, halilintar masih sesekali membahana dan hujan jatuh ke bumi. Keras. Deras.

“Kemana Bapak selama ini ?”, kataku lagi mencoba memecah kebisuan yang beberapa jenak menyelimuti kami.

Pak Djabanten masih tetap diam. Dipandanginya lagi aku dengan sorot matanya yang garang, jelas dan tegas serta penuh wibawa. Dipandanginya mulai dari ujung kakiku sampai ujung rambutku. Aku jadi kikuk. Seperti serba salah. Kilat menyambar diikuti petir yang menggetarkan dinding kamar kerjaku.

“Aku pergi. Aku sudah pergi. Ke tempat Yang Maha Tinggi. Dimana dendam, iri, dengki dan sakit hati tak ada lagi”, katanya tiba-tiba dan berdiri sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celananya, kiri dan kanan. Aku diam dan Pak Djabanten merasa aman untuk melemparkan tanya.

“Bagaimana Simalungun sekarang ?”, katanya masih tetap dengan sorot mata yang garang, jelas, tegas dan penuh wibawa kebapaan.

Aku katakan pada Pak Djabanten, Simalungun sudah berubah sejak ditinggalkannya. Bupati Simalungun yang sekarang, JR Saragih, kataku, gemar dan hobby pada perubahan. Karena itu, selama beberapa bulan ini saja masa pemerintahannya, sudah banyak yang dirubahnya. Berubah-ubah demi dan atas nama perubahan. Dan demi serta atas nama perubahan pula sudah banyak sekali yang diubah-ubah. Hingga, kataku, aku pun jadi ragu apa yang dimaksud dengan kata perubahan. Sampai sekarang aku belum pernah membaca kamus.

Pak Djabanten mengernyitkan keningnya. Dipandanginya aku dalam dan tajam. Dikeluarkannya sebatang rokok dari sakunya, dan dihembuskannya asapnya lepas dan bebas ke udara yang lepas dan bebas pula. Masih seperti dulu. Pak Djabanten mengisap Gudang Garam Filter kegemarannya. Dan aku merasa aman untuk meneruskan ceritaku.

Kuceritakan pada Pak Djabanten, Kantor Bupati Simalungun yang pembangunannya diawali pada masa pemerintahannya dulu, sekarang sudah ditinggalkan. Ini tentu, kataku, merupakan bahagian dari perubahan tadi. Padahal, kataku lagi, pembangunannya dibiayai dengan dana puluhan miliar rupiah. Soal kenapa tidak ditempati lagi, kan banyak sekali alasan yang bisa untuk dikedepankan, kataku. Termasuk, banyak kantor yang dipindah dan ini artinya juga diubah, kataku. Bahkan, ada ruas jalan yang diubah di kompleks perkantoran Pemkab Simalungun di Sondi Raya, dijadikan lokasi pendirian kantin, kataku lagi.

Pak Djabanten tertawa. Tapi tawanya hambar. Kering bahkan tandus. Tak terkesan ada yang lucu hingga membuatnya tertawa. Dan aku pun merasa Pak Djabanten justru mentertawakanku. Namun karena tawa Pak Djabanten kurasa cuma ingin mentertawakanku, aku pun balik tertawa. Kami tertawa-tawa. Aku dan Pak Djabanten tertawa. Kami mempertawakan diri kami sendiri. Dan barangkali, banyak orang mempertawakan kami. Tertawa.

Pak Djabanten berdiri. Berkeliling di ruang kamar kerjaku yang sempit dan pengap. Di luar hujan masih saja berderai. Petir sambung menyambung didahului kilat yang menyambar masuk ke ruangan kami. Arus listrik belum juga tersambung. Dan malam pun terus merangkak dengan damainya.

Sebagai pakar pemerintahan dan salah seorang penggagas ide otonomi daerah, Pak Djabanten menjelaskan banyak hal kepadaku. Dia menerangkannya bagai seorang dosen yang cerdas dan lihai, sementara aku mendengarkannya bagai seorang mahasiswa yang dungu, dongok dan goblok

Kata Pak Djabanten, sebenarnya seorang Kepala Daerah harus mampu berperan sebagai koordinator pembangunan, motivator pembangunan, maneger pembangunan, sekaligus pembangun masyarakat. Sebagai koordinator pembangunan kata Pak Djabanten, Kepala Daerah harus mampu mensinkronkan dan menyelaraskan gerak para pelaksana pembangunan agar dana yang dikeluarkan untuk pembangunan dapat lebih hemat dan efisien. Tugas ini harus dilakukan seorang Kepala Daerah katanya, karena pelaksanaan pembangunan yang tidak sikron pada akhirnya akan merugikan masyarakat. Bukan hanya karena penghamburan dana, tetapi juga pelayanan kepada masyarakat menjadi terhambat.

Sebagai motivator pembangunan, Kepala Daerah itu kata Pak Djabanten diperlukan karena tidak semua warga masyarakat menyadari perannya untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Sebahagian anggota masyarakat justru harus dipacu dan dimotivasi dengan berbagai cara agar mau menyumbangkan tenaga, dana dan pikirannya untuk berkiprah dalam pembangunan. Upaya memotivasi juga tidak dilakukan dengan sambil lalu. Tetapi harus dengan perencanaan yang mantap dan matang, serta aktivitas yang terus menerus.

Sebagai maneger pembangunan, seorang Kepala Daerah katanya harus mampu menggali berbagai potensi sumber daya agar menjadi kekuatan riel untuk mendukung pembangunan. Dalam rangka inilah katanaya lagi, seorang Kepala Daerah harus mampu membaca peta kekuatan yang ada di wilayahnya. Dimana, menurut Pak Djabanten, kekuatan-kekuatan itu baik fisik maupun sosial dikerahkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Sebagai pembangun masyarakat, kata Pak Djabanten seorang Kepala Daerah harus mempunyai kemampuan untuk mengaktualisasikan potensinya sendiri, seerta mempunyai prakarsa dan kreativitas yang bermanfaat bukan untuk dirinya saja. Tapi untuk semua masyarakat yang dipimpinnya. Kepala Daerah, harus menciptakan iklim dimana masyarakat bisa mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya. Baik potensi sosial intelektual, mental spiritual , maupun fisiknya secara optimal.

Di luar alam masih saja tidak bersahabat dan dingin mulai merambat. Aku pun asyik terus dengan pemaparan Pak Djabanten yang kupikir sangat memikat.

Seorang Kepala Daerah, menurut Pak Djabanten harus mampu memerankan tiga prinsip yang menjadi dasar bagi seorang pemimpin. Pertama, dia harus seorang yang konsisten, kedua dia juga harus konsekwen dan ketiga dia harus memiliki sikap dan karakter mengayomi. Konsisten artinya tetap teguh pada pendiriannya dalam bagaimana pun keadaannya. Konsekwen artinya, dia sanggup menerima resiko dari pendiriannya. Meskipun, katanya, dia harus tetap menyadari sikap konsekwennya itu perlu dipegang teguh apabila dia yakin bahwa pendiriannya itu benar dan akan membawa kebaikan pada yang dipimpinnya.

Dalam memerankan prinsip yang ketiga, mengayomi, menurut Pak Djabanten seorang Kepala Daerah harus memeberi perlindungan dan keteguhan. Sehinga, semua pihak yang dipimpinnya selalu merasa aman dan tenteram dalam perlindungannya. Dia mengayomi yang pada dasarnya mengandung rasa tanggung jawab, yakni kesediaan menanggung segala akibat yang dijalankan oleh pengikutnya dalam rangka memenuhi perintah-perintah atau ajakan si Bupati. Untuk mencegah kemungkinan tertimpanya beban berat akibat tindakan-tindakan yang merugikan si Bupati sekaligus untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan tugas, seluruh pihak harus dibimbing agar tindakannya tidak menyimpang dari tujuan yang ditetapkan.

“Selain, seorang Kepala Daerah harus memiliki sifat-sifat adil, arif, bijaksana, penuh prakarsa, percaya diri, ulet, jujur, berani, mawas diri, berani mengambil keputusan, dan komunikatif”, kata Pak Djabanten. Dia kulihat lega sekali setelah mengucapkan kata itu dan aku masih saja diam karena terpana pada pernyataannya.

Pak Djabanten menambahkan, seorang Bupati harus benar-benar memperhatikan semua lapisan yang dipimpinnya. Dia juga harus peka untuk membaca keinginan-keinginan dan memberi rasa keadilan kepada segenap lapisan yang dipimpinnya. Prinsip konsisten dan pendirian yang konsekwen dilaksanakannya sepanjang semua pihak menganggap bahwa prinsip dan pendirian yang dianut Bupati itu sesuai dengan aspirasi yang dipimpinnya. Jadi, Bupati Simalungun yang sekarang harus konsisten dan konsekwen bukan dengan menggunakan tolok ukur kebenaran menurut versinya. Tapi dia, kata Pak Djabanten, harus melihatnya dari kacamata seluruh anak negeri dan seluruh stafnya.

Kata Pak Djabanten, seorang Kepala Daerah harus memiliki prinsip dan berpegang teguh pada pencapaian tujuan. Tapi dalam prakteknya, dia juga harus menyesuaikan berbagai hal agar pencapaian tujuan itu bisa lebih efektif. Dia pun merupakan seorang administrator pembangunan yang menanagani dan meneggerakkan serta menegarahkan pembangunan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Sementara, dia juga kata Pak Djabanten, harus menyadari bahwa sasaran pembangunan merupakan hasil konsensus dari seleuruh unsur yang ada di tengah-tengah anak negeri yang dipimpinnya.

Praktek menunjukkan, katanya, kondisi lapangan dalam memimpin akan memudahkan si pemimpin dalam mempengaruhi perilaku masyarakat yang dipimpinnya. Lebih-lebih dalam masyarakat modren yang cara berpikirnya kritis, perlu ada pendekatan-pendekatan khusus agar arahan-arahan yang ddiberikan masuk dalam logika mereka. Di samping itu, perlu juga memperhatikan struktur masyarakat, tradisi dan kondisi lingkungan sosial mau pun geografis dimana si pemimpin bertugas. Karena itulah, Bupati Simalungun yang sekarang menurut Pak Djabanten perlu terus menerus berdialog dan berintegrasi dengan masyarakatnya. Agar melalui dialog dan integrasi itu menghasilkan konsensus-konsensus menganai tujuan dan arah gerak masyarakat itu sendiri, katanya.

“Bupati Simalungun yang sekarang harus menyadari bahwa dalam proses semua itu, tugas utamanya adalah mengarahkan dan meluruskan apabila ada arahan yang menyimpang dari arahan yang lebih besar. Disini dibutuhkan seni kepemimpinan, dimana dia menyusun komposisi yang pas antara pencapaian tujuan dengan kondisi riel masyarakat. Sekaligus menampung aspirasi yang berkembang dalam masyarakat”, kata Pak Djabanten.

Pak Djabanten kemudian diam. Ketika mendadak petir membahana, aku kaget dan tersentak, sedang Pak Djabanten tetap tenang bahkan tenang sekali dan kalem. Sorot matanya tajam sekali mengarah kepadaku, dan dipandangi begitu aku pun jadi merasa kikuk dan salah tingkah.

Bupati Simalungun yang sekarang, harus mampu menghantarkan seluruh anak negerinya ke alam kesejahteraan, kata Pak Djabanten melanjutkan. Meski pun, katanya, ada dua tantangan besar yang dihadapinya. Pertama, dampak dari era globalisasi dan kedua, perubahan cara berpikir masyarakat Simalungun sekarang yang merupakan hasil perubahan sosial karena pembangunan nasional.. Jadi jangan menganggap keadaan itu masih sama dengan masa beberapa tahun sebelumnya.

Bupati Simalungun yang sekarang, katanya, harus menyadari dampak globalisasi yang sememang dapat memperlemah wawasan kebangsaan. Sementara, perubahan cara berpikir menuntut tidak saja hak-hak fisik tetapi juga menyangkut hak-hak sipil warga yang mencakup hak-hak sosial (minta dihargai) dan hak-hak politis (diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan)

Tantangan-tantangan tersebut mengharuskan Bupati Simalungun yang sekarang harus tetap konsisten dengan pendirian yang menyangkut keutuhan negara. Namun, dia harus lebih aspiratif dalam upaya mencapai tujuan nasional. Dengan demikian dia pun tetap bersikap integratif dan mengembangkan pola-pola kepamongan. Prinsip-prinsip utama baginya adalah keberpihakan kepada seluruh anak negeri yang dipimpinnya. Sehingga dia bersedia mengasuh, melayani dan membimbing dengan sikap arif untuk mencapai tujuan bersama.

Di luar hujan masih terus saja berderai. Berderai dan terus berderai. Aku tak tahu dari mana saja air begitu banyak tercurah ke bumi. Yang aku tahu, malam terus merangkak dan sekarang sudah menjadi garang. Angin tidak hanya berhembus sepoi, tapi bagaikan berang melibas daun-daunan. Entah mengapa, aku ingat pada peristiwa lahirnrya ungkapan Habonaran do Bona di Bumi Simalungun. Ngeri. Bulu kudukku merinding. Pikiranku pun menerawang pada almarhum Radjamin Purba yang pernah memimpin Simalungun, pada almarhum Pdt J Wismar Saragih, pada Haji Ulakma Sinaga. Juga pada Raja Kerajaan Purba, Pangultopultop. Padahal, semuanya tidak pernah aku kenal secara fisik. Aku cuma pernah mendengar kisah-kisah mereka dari tokoh dan tetua Simalungun seperti D Kenan Purba. Padahal, Pak Kenan Purba sendiri sudah lama sekali mati.

Aku beranjak dari dudukku. Dengan sangat hati-hati aku katakan pada Pak Djabanten, bahwa Bupati Simalungun yang sekarang, JR Saragih, tak perlu digurui apalagi diingatkan. Dia itu, kataku, bukan orang sembarangan dan bukan sembarangan orang. JR Saragih, kataku, tidak cuma seorang cerdas dan brilian, tapi juga punya ide cerdas dan cemerlang. Apalagi, dia merupakan seorang doktor. Doktor dalam bidang disiplin ilmu pemerintahan pula, kataku.

Wajah Pak Djabanten berubah. Tak lagi cerah seperti sejak tadi aku diceramahinya. Aku menyesal mengucapkan kalimat-kalimat yang barusan kusampaikan. Mendadak Pak Djabanten menghardikku keras dan garang. Katanya, biar cerdas, brilian dan berotak cemerlang, semua kita harus saling mengingatkan. Tak ada yang pintar kalau jalan sendiri-sendiri katanya, dan siapa pun harus diingatkan agar tidak tergelincir. Aku diam termangu dan membenarkannya. Apalagi, kata Pak Djabanten kritik diperlukan dalam pembangunan.

Tiba-tiba aku terpelanting dari kursiku. Tubuhku menghempas ke lantai. Bagian punggungku terasa nyeri. Ketika kugosok-gosok kelopak mataku, arus listrik sudah kembali tersambung di rumahku. Hujan pun telah reda. Petir tak lagi membahana. Hanya deraian air Bah Bolon di belakang rumahku yang terdengar mengalir deras. Menghempas.

Sudah dini hari. Selamat pagi !
____________________________________ Ramlo R Hutabarat - 081361706993

Tidak ada komentar:

Posting Komentar