Kamis, 26 Mei 2011

Wartawan yang Bagaimanakah Aku (Cukilan Buku : Orang Pinggiran yang Berada di Tengah)

Ramlo R Hutabarat

Aku wartawan. Mukhtar Lubis juga wartawan. Rosihan Anwar, Karni Ilyas yang anak Bukittinggi itu, Mahmud Djunaedi, Ayip Rosyidi, bahkan GM Panggabean, Nazar Effendy Erde, M Zaki Abdullah, Azrin Marydha yang anak Melayu itu juga wartawan. Imran Nasution, Antoni Pardosi, Bersihar Lubis, Jansen Simanjuntak dan Riduan Napitupulu juga. Elman Saragih Andy F Noya, Effendy Damanik, As Atmadi, Syamin Pardede dan Rifyan Gani juga. Semua wartawan.

Tapi meski semua nama yang kusebutkan itu sama-sama wartawan, sudah barang tentu berbeda masing-masing kewartawanannya. Ada wartawan yang kaya raya, ada yang hidup tak cuma miskin tapi juga melarat dan kadang sekarat. Ada yang cerdas brilian, ada pula yang biasa-biasa. Yang goblok, bodoh dan tolol bahkan dungu, pasti tak ada. Kupikir, kalau wartawan sudah pasti pintar dan cerdas. Kalau brilian seperti Mahmud Djunaedi, Rosihan Anwar, Mukhtar Lubis ada satu dua.

Lantas aku wartawan yang bagaimana ? Bagaimana kewartawananku ? Pentingkah pertanyaan itu ? Aku tak tahu. Penting tak penting yang penting aku akan ceritakan saja beberapa hal yang aku sungguh tak tahu penting atau tak penting.

Pertama seperti yang sudah kukatakan tadi, aku wartawan. Aku suka menjadi wartawan, dan aku bangga pada profesiku itu. Biar ada yang bilang wartawan dalam pengertian negatif dan banyak orang tua yang tidak suka putrinya menikah dengan wartawan, tak peduliku itu. Urusan dialah itu. Urusanku, aku wartawan dan kalau sekarang aku kembali muda dan bisa memilih profesi (lagi) aku akan pilih menjadi wartawan.

Boleh jadi aneh kalau aku pun tak peduli dengan pengertian apa wartawan itu. Ada sih pengertian wartawan menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 dan pengertian-pengertian lain, tak soal itu sama aku. Yang soal sama aku, aku wartawan dan sebutan itu diberikan orang lain kepadaku. Artinya, pada awalnya pihak lain yang mengatakan aku wartawan, lalu wartawanlah aku. Maka kalau ada yang bertanya wartawan yang bagaimana aku, pihak lain itu yang lebih pantas menjawabnya.

Yang terang, waktu kelas II SMP di Lampahan dulu, aku menulis cerpen, puisi, cerita bersambung dan reportase di surat kabar Mimbar Swadaya, Seulawah dan Pos Utara. Lantas aku mendapatkan honor yang bisa kumanfaatkan untuk antara lain mentraktir kawan-kawanku di kantin sekolah. Aku jadi populer waktu itu, bahkan pernah diminta untuk menyampaikan kata sambutan pada resepsi perayaan HUT Proklamasi di tingkat emplasmen di kebun. Apalagi, karena aku populer lewat tulisan-tulisanku, seorang dara Gayo adik kelasku suka sama aku. Ya begitulah waktu itu. Aku semakin bersemangat menulis pertama karena mendapatkan honorarium, dan kedua Helmiati dara Gayo itu suka sama aku.

Waktu di STM – HKI Tarutung, kebiasaanku menulis juga kuteruskan. Namaku pun populer di tengah pelajar Tarutung di era pertengahan 1970-an. Harian SIB tempatku menulis waktu itu, luas sekali peredarannya. Lalu ada cewek anak SMEA Negeri bernama Martianna Tambunan suka sama aku. Aku juga, tentu, suka sama dia. Artinya, dia suka aku aku suka dia. Lalu wajar saja kami jadi suka-sukaan. Dan kesukaanku pada Martianna acap sekali menjadi sumber inspirasiku untuk menulis. Semakin aku suka Martianna, semakin rajin aku menulis.

Usai STM, aku bekerja di Depot Buku dan Percetakan Gereja Methodist Indonesia di Tebingtinggi – Deli.Disana pun, kebiasaanku menulis masih saja kuteruskan. Apalagi kawan-kawanku di tempatku bekerja itu suka pula membaca tulisan-tulisanku yang ditterbitkan harian SIB waktu itu. Juga kawan-kawanku di P3MI GMI Tebingtinggi. Aku senang jika kawan-kawanku di tempatku bekerja seperti Mansen Purba, Japantas Purba, Minar Sirait, Rempina Manurung, membaca apa saja yang kutulis. Juga dua Boru Simanjuntak yang kupanggil Namboru, Mamak Linda dan Mamak Made, termasuk Boru Gultom seorang balu Itonya mantan Bishop GMI J Gultom Mamak Ucok yang belakangan setahuku sekolah di ITA..

Dari kebiasaanku menulis itu aku juga mendapat banyak sahabat pena dari berbagai kota. Ada Rohani Hutauruk anak Perdagangan yang belakangan bercinta-cintaan denganku, ada Yuri Gagarin Napitupulu anak Gang Jalan Perjuangan Medan. Lalu ada Corry Aritonang yang waktu itu masih SMA dan sekarang menjadi penyiar Radio Pemkab Deli Serdang di Lubukpakam, ada Intan Panggabean putri sulung DR GM Panggabean. Ada juga seorang Boru Simanjuntak anak Rantauprapat bernama Tiurmaida, dan banyak lagi yang sekarang wajar aku sudah lupa. Aku senang dan bahagia punya banayak sahabat pena waktu itu. Barangkali, sahabat pena waktu itu sama dengan teman face book sekarang.

Ketika aku dipindahtugaskan dari Toko Buku dan Percetakan GMI Tebingtinggi ke Kantor Pusat GMI di Jalan Hang Tuah Medan, kebiasaanku menulis itu masih saja kuteruskan. Lingkungan pergaulanku waktu itu semakin luas karena namanya saja kerja di sebuah kantor pusat sinode Gereja. Wajar aku kenal banyak pekerja Gereja, seperti Pdt Abdon Sihombing, Pdt Allemar Hutabarat, Pdt Herman Hutabarat, Pdt Kosasih, Pdt W Siahaan, Pdt B Sinaga, Pdt Motto Situmorang, Pdt Robert Tobing, Pdt RPM Tambunan, Pdt Simon Doloksaribu, Pdt Napiun dan terlalu banyak nama lainnya belum termasuk para Guru Injil. Kalau tulisanku disiarkan di Harian SIB, mereka membacanya dan memuja muji aku. Dan seperti manusia lainnya, aku memang suka puja puji. Meski pun, kata orang puji Tuhan, Haleluya, puji diri hamamago. Sukka-sukka oranglah.

Kapan saja ada waktu luangku, kumanfaatkan untuk menulis. Menulis entah apa saja. Boleh jadi hari ini aku baca sesuatu di surat kabar, lalu aku bahas dan analisa dalam bentuk opini. Pernah di Medan menurut berita surat kabar berkemebang arisan berantai yang menghebohkan, lalu aku dalami dalam bentuk opini dan dimuat besar-besar di Harian SIB. Pernah pula waktu Gunung Galunggung meletus lalu aku buat tulisan tentang gunung meletus juga ditempatkan Redaktur Harian SIB dengan judul yang besar. Aku bangga.

Supaya aku bisa menulis tentang apa saja, aku pun membeli ragam buku apa saja dan dimana saja. Buku-buku bekas di Titi Gantung, sudah tentu menjadi pilihan pertama. Selain harganya murah, segala macam jenis buku ada disana. Ke toko buku aku jarang membeli buku karena harganya mahal. Paling-paling aku ke Gramedia saja atau BPK Gunung Mulia di Jalan Sutomo. Sementara, di Kantor Pusat GMI juga terbilang banyak buku yang bebas kubaca. Dan Bishop Hermanus Sitorus yang waktu itu pimpinan pusat GMI mendorongku untuk membaca dan menulis. Beberapa artikelku yang sudah terbit waktu itu di Harian SIB kukumpulkan dalam bentuk satu buku berjudul Menuju Keluarga Bahagia. Buku itu kujual kepada banyak orang dan karena itu uangku pun terbilang banyak juga waktu itu. Ketika itulah orang-orang menyebutku sebagai seorang wartawan. Padahal menurutku waktu itu, aku bukan wartawan. Aku cuma seorang penulis di surat kabar. Tidak lebih. Tapi kalau orang-orang menyebutku wartawan, mana bisa aku larang. Apalagi kata kawanku almarhum Pdt Jhon Wely Napitupulu kita tidak bisa larang burung terbang di atas kepala kita. Yang bisa kita larang adalah bila burung bersarang di telinga kita.

Aku merasa menjadi wartawan sebenarnya ketika aku telah menjadi wartawan SIB di Pekanbaru, 1980. Waktu itu aku menulis berita entah dari mana saja sumbernya. Bisa dari Pengadilan Negeri, bisa dari Kantor Walikota Pekanbaru, bisa dari Kantor gubernur Riau, bisa dari Polda Riau atau Kejaksaan Tinggi Riau. Aku beruntung ketika di Pekanbaru, ada Sariaman Panjaitan yang menjadi petinggi di Polda. Kepala Kejaksaan Tinggi Pekanbari waktu itu pun BAS Tobing yang kupanggil sebagai abang. Mereka kerap memberiku berita yang kukirim melalui pos kilat khusus atau telepon. Waktu itu, cara pengiriman berita tidak seperti sekarang gampangnya lewat email misalnya.

Tapi karena latar belakangku yang suka menulis, aku tidak cuma menulis berita saja. Sebenarnya aku harus akui, aku tidak terlalu suka menulis berita. Aku lebih suka menulis reportase atau laporan pandangan mata. Waktu pers Indonesia belum mengenal sekali investigasi reporting, aku sebenarnya sudah melakukannya dengan cara dan gayaku sendiri. Cuma karena aku wartawan, bagaimana pun memang aku harus (juga) menulis berita (bukan membuat berita) Makanya agar aku bisa menulis reportase, aku acap sekali bepergian atau lebih tepat kukatakan berpetualang kemana saja. Pernah juga agar aku bisa menulis tentang gelandangan di Pekanbaru, aku bermalam di emperan Pasar Pusat bersama kaum yang terpinggirkan. Untuk menulis kenapa perempuan bisa dan mau jadi lonte, aku pernah bermalam di kompleks pelacuran di arah Rintis yang sekarang aku lupa namanya. Aku juga pernah masuk hutan di pedalaman Riau untuk menulis tentang pemuda-pemuda Batak yang bekerja sebagai pembalak kayu-kayuan. Di hutan Riau , aku pernah lihat kotoran gajah. Teronggok di sekitar lokasi pondokan pekerja.

Sebagai pekerja pers, waktu di Pekanbaru aku juga menjual koran SIB. Pekerjaan yang bukan saja kuanggap kewajiban tapi juga sekaligus sebagai ibadah. Aku suka dan senang menjual koran bukan supaya aku mendapatkan uang. Waktu itu aku berpikir koran dicetak banyak-banyak supaya dibeli orang. Orang membeli dan membaca koran supaya pintar dan cerdas, tidak bodoh, goblok dan tolol. Dengan membeli koran, perusahaan tempatku bekerja bisa mendapatkan uang untuk mencetak koran dan sekaligus dapat membayar gaji banyak karyawannya. Surat kabar menurutku, tidak hanya harus membuat berita atau tulisan yang bagus-bagus, tapi harus mampu menjualnya ke pasaran. Bagaimana pun bagusnya isi koran tapi kalau tak dibeli orang ya tak ada gunanya. Sederhana sekali pemikiranku soal ini. Dalam bidang pers rasanya pemikiranku sangat sederhana apalagi aku hanya praktisi dan bukan akademisi. Jauh sekali pemikiran ilmiahku dalam bidang pers.

Sampai sekarang, menjual koran pun masih tetap kulakukan dengan gembira dan senang serta bahagia. Ada juga, tentu, rasa bangga. Makanya jangan heran kalau misalnya sekira pukul 10.00 WIB aku berbincang dengan Bupati Simalungun Zulkarnaen Damanik tentang kebijakan-kebijakan Pemkab Simalungun atau dengan Syahmidun Saragih Ketua DPRD Simalungun, tapi satu jam berselang aku sudah dibentak-bentak Satpam penjaga rumah mereka karena aku terlambat mengantarkan koran untuk Zulkarnaen atau Syahmidun.

Sebagai Wakil Pemimpin Redaksi dan Penanggungjawab Surat Kabar Simalungun Pos, aku bertugas mempersiapkan segala materi surat kabar itu sepenuhnya. Namanya saja penanggungjawab. Sebenarnya pun memang, namanya sajanya aku Wakil Pemimpin Redaksi. Segala policy dan kebijakan surat kabar kami ada di tanganku. Mulai dari ABC-nya hingga Z, aku yang mengambil keputusan akhir sesuai dengan wewenang yang diberikan Boss ku Baringin Purba. Pak Baringin itu kan orang pemerintahan di Pempropsu yang menduduki eselon. Dialah pemilik perusahaan Simalungun Pos, dan Nyonyanya Ibu Hotnauli Turnip dipajang sebagai Pemimpin Redaksi.

Tapi meski pun begitu, aku tak pernah merasa sungkan untuk sekaligus menjadi loper. Mengantar koran secara langsung ke rumah-rumah atau ke kantor-kantor pelanggan. Karena itulah memang, pagi-pagi sekali aku sudah bangun dari tidurku yang lelap untuk mengantar koran. Hal itu kulakukan demi pelayanan yang prima kepada pelanggan. Sebab, umunya loper yang sekarang licik bahkan aku mau katakan penipu. Koran tidak diantar secara rutin dan teratur kepada pelanggan tapi uang langganannya ditagih penuh. Aku sangat tidak suka pada sikap dan perbuatan yang seperti itu. Aku langsung saja mengambil alih. Meski pun penuh resiko. Bayangkan, ada kalanya koran terlamabat dicetak dan karenanya terlambat pula disampaikan kepada pelanggan. Dalam kondisi seperti inilah aku acap kali dibentak-bentak keroco-keroconya pejabat, dan aku terima saja fakta itu. Pada suatu masa memang aku bisa menjadi bossnya boss dia, tapi pada suatu masa lain aku justru menjadi keroconya. Sama seperti dalam pelaksanaan adart Batak. Suatu masa aku pernah menjadi hula-hula tapi di masa lain aku justru jadi boru. Bukankah hal yang seperti ini merupakan sesuatu kekayaan hidup ?

Sebagai wartawan, aku tentu bergaul dengan banyak kalangan dan lapisan. Entah namanya itu komponen atau elemen atau juga stoke holder. Boleh jadi pagi-pagi aku berbincang ria dengan pengusaha atau penguasa atau politisi di Kedai Kopi Si Mosrum di Jalan Cipto atau di Kedai Kopi Sedap di Jalan Sutomo, tengah hari bertemu dengan supir angkot atau calo penumpang di terminal. Sorenya aku berbincang dengan pimpinan Sinode Gereja, tapi menjelang dini hari aku bertemu dengan lonte di depan SMA Negeri 4 di Jalan Pattimura.

Untuk hal yang satu ini aku memang pantas bersyukur. Istriku paham sekali apa dan bagaimana aku suaminya yang wartawan ini. Dia tak pernah protes apa dan bagaimana aku di luaran sana yang penting aku bisa utuh pulang ke rumah. Makanya aku bebas bergaul dan dekat dengan siapa saja. Bisa pereman, pengangguran, politisi, pejabat, pengusaha, juga dengan sintua dan orang yang “pasintua-tuahon” Dengan perempuan, aku dibebaskannya berkawan biar dengan gadis, janda, istri orang sampai pada perempuan yang tak jelas statusnya kawin, gadis atau janda. Bahkan, dengan bencong, waria, wadam, lesbian, homo, biseksual, gay juga dengan orang yang hiperseks. Meski pun sebenarnya, aku tak paham apa semua istilah itu.

Berkali-kali aku memang harus katakan, istriku seorang yang hebat, jago dan perkasa. Karena itulah makanya sungguh, aku bisa bertahan menjadi wartawan sampai sekarang. Yang penting bagi istriku, aku pulang dan harus pulang ke rumahku setiap hari tidak lewat tengah malam. Kalau sampai dini hari aku belum pulang juga, istriku biasanya menjemputku. Pernah aku pulang pagi, wajahnya masam dan asam menyambutku. Tapi begitu pun disodorkannya juga gelas berisi dua telor seteengah masak untukku.

“Masalahnya Pak, kesehatan Bapak kan bisa terganggu kalau tidak tidur semalaman”, katanya dengan wajah yang masih masam dan asam. Aku diam saja sambil meneguk kopi buatannya. Mallongok-longok kopi itu melewati tenggorokanku, dan aku segera masuk kamar. Bobok.

Di perusahaan surat kabar, sudah hampir semua bidang yang ketekuni.Aku pernah menjadi pembersih ruangan kerja redaktur, penyunting berita, korektor, opmaker, montase, lay out, percetakan, sampai pada distribusi, pemasaran, dan penagihan. Juga, seperti yang sudah kukatakan tadi, jadi loper pun aku pernah dan biasa. Makanya memang, nyaris semua bidang kupahami dan di nyaris semua bidang itu aku tak bisa bisa lagi dipermainkan orang lain. Aku bisa tahu apa yang diperbuat oleh orang lain di perusahaan tempatku bekerja. Dan aku ingin mengatakan, semua itu kukerjakan karena aku suka. Tidak supaya aku mendapatkan uang.

Menyusul era reformasi perusahaan surat kabar bebas didirikan orang. Banyak orang yang jadi wartawan entah tukang cendol kian pun dia, entah kernek bus atau entah penjual sate. Banyak pula yang tiba-tiba menjadi redaktur bahkan koordinator liputan atau kepala biro. Pemimpin Umum saja ada yang semula supir angkot, tukang beca atau tukang solder yang kerap keliling pemukiman. Mereka muncul dengan wajah perasaan jago dan jago sekali. Padahal, itu hanya perasaannya saja.

Menghadapi kondisi yang seperti ini, aku cuek saja. Urusan dia itu dan aku tidak punya urusan dengan dia selama aku tak diganggunya. Cuma menurutku, mendirikan sebuah perusahaan harus dengan berlandaskan suatu idealisme. Prinsipku dalam bersuratkabar ria ini adalah ingin mencerdaskan masyarakat kita yang sebenar-benarnya masih bodoh sekali. Jangankan mengatakan yang benar, menuntut haknya saja masih banayak di antara kita yang takut. Goblok nggak. Dan untuk itulah surat kabar ada meneurutku. Jadi aneh, sebab sesungguhnya sebeuah perusahaan didirikan sesungguhnya untuk mendapatkan uang. Namanya saja perusahaan.

Tapi begitulah menurut aku, dan yang menurut aku ini tentunya tidak akan kutanamkan pada pihak lain. Kalau orang lain menjadi wartawan supaya mendapatkan uang, urusan dia itu. Tapi aku jadi wartawan supaya orang lain tidak tolol. Aku tidak pernah berpikir supaya mendapatkan uang meski pun acap sekali aku mendapatkan uang sebagai wartawan. Dan aku harus katakan dengan terus terang, acap juga aku mendapatkan uang yang cukup besar karena tulisanku. Apa sih bedanya dengan pendeta yang mendapatkan uang karena menyampaikan khotbah ?

Makanya menurut aku, kalau jadi wartawan jangan mengharap mendapatkan uang dengan gampang. Begitu ada pikiran yang begitu kecewalah dia dan segera berhenti menjadi wartawan. Kalau mendirikan perusahaan pers juga begitu. Jangan pikirkan supaya kaya raya dan segala macam. Begitu berpikir seperti itu, kollapslah perusahaan itu, mati dan dikuburkan dan tidak akan bangkit pada hari ketiga.

Di Siantar aku lihat, Suara Simalungun yang dipimpin Hentung Toni Purbalah yang ideal. Sejak awal perusahaan itu didirikan Sarolim Sinaga, Januarison Saragih, Hendro Purba, Hentung Purba dan kawan-kawan hanya untuk dan ingin membela kepentingan orang Simalungun. Ketika sampai sekarang mereka masih tetap komit, konsisten dan konsekwen dengan idealisme itu, Suara Simalungun tetap jaya dan berkibar hingga saat ini. Dan dari belasan perusahaan pers yang didirikan di Siantar sejak era reformasi, faktanya hanya surat kabar ini yang eksis. Itu semua menurutku, karena mereka tidak pernah berpikir untuk bisa kaya.

Di Tarutung ada LIPUTAN BONA PASOGIT yang didirikan dan dipimpin Martua Situmorang yang menganut paham seperti pendapatku tadi. Ketika aku diminta Martua Situmorang untuk ikut membidani kelahiran koran itu, prinsip-prinsip dasar tadi kusampaikan dan Martua setuju. Surat kabar ini didirikan dimaksudkan untuk mencerdaskan anak negeri Tapanuli Utara dan sebagai media informasi bagi perantaunya, oke, maka dirikanlah kataku pada Martua waktu itu. Dan kalau sampai sekarang surat kabar itu masih tetap eksis, itu hal yang wajar. Meski aku tahu Jansen Simanjuntak yang menjadi motornya tak pernah risau soal uang atau materi.

Kita-kita ini, menurutku, silahkan mendirikan perusahaan surat kabar. Tapi syarat utamanya jangan berharap mendapat untung. Kalau bisa mengumpulkan uang untuk biaya cetak saja sudah lumayan baguslah . Tidak lebih. Kalau lebih dari itu, lebih baik jangan dirikan. Yang kumaksud kita adalah kita. Bukan orang lain yang punya modal satu gunung. Aneh ? Ya memang aneh.

Semua personal surat kabar yang kita-kita ini, harus sehati sepikir bahkan sejiwa dalam menjalankan usahanya. Harus saling memiliki ikatan batin yang diiringi kasih yang tulus serta kesederhanaan dan kebersamaan. Ada kesepemahaman, saling percaya dan saling pengertian. Kita harus diselimuti semangat, kesetiaan , keikhlasan seerta mau dan rela berkorban. Juga memiliki daya kerja yang tinggi, loyal, patuh serta taat. Dan yang tak kalah penting, kita pekerja pers harus memiliki disiplin yang kokoh dan tegar serta tentunya harus memiliki profesionalisme yang luas dan dalam pada soal managemen pers yang aneh ini.

Wartawan menurutku jangan pernah berpikir bisa mendapatkan uang dengan cara gampang. Kalau sempat begitu pikirannya, berhenti saja menjadi wartawan sekarang. Ya, sekarang. Bukan besok apalagi lusa.

Lantas wartawan yang bagaimanakah aku ? Ontahlah jang. Aku pun tak tahu wartawan yang massam mana aku ini Aku saja kadang tak tahu wartawan yang massam mana aku. Konon pula Anda, Pembaca !
__________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________________________

1 komentar:

  1. keren! ya wartawan bagaimana juga aku, hehe. Kalo sempat kunjungi juga blogku ya http://lawankanan.blogspot.com/2015/02/jika-solidaritas-seperti-itu-maaf-saya.html

    BalasHapus