Minggu, 01 Mei 2011

Samosir Asal Leluhur Orang Batak

Ramlo R Hutabarat


Samosir bisa diartikan dengan dua pengertian. Pertama, merupakan pulau yang berada di tengah perairan Danau Toba. Panorama alamnya indah mempesona. Suatu masa, dulu, pernah menjadi tanah idaman. Seperti yang dilukiskan komponis nasional almarhum Sitor Situmorang, “ …. Gok disi hansang, nang eme nang bawang, rarak nan pinahan di dolok i ….”

Tapi Samosir juga bisa diartikan sebagai suatu wilayah. Kawasannya meliputi seluruh Pulau (?) Samosir, sampai ke Harian Boho, Tamba, Sihotang, hingga ke Limbong dan Sagala dan Sianjur Mula-mula. Nama-nama yang disebut belakangan, secara geografis berada di Pulau Sumatera. Tapi secara sosial budaya termasuk secara ekonomi berada dalam suatu wilayah : Samosir.

Lantas, secara administratif pemerintahan, Samosir merupakan suatu daerah otonomi yang berbentuk kabupaten. Ibukotanya Pangururan, berada di sebelah Timur Pulau (?) Samosir. Kota kecil teramat indah memukau yang berada di tepian Danau Toba. Anak negerinya banyak yang hidup dari sektor perdagangan dan jasa. Meski pun, ada juga yang hidup dari hasil bumi yang tidak seberapa. Dan sebagai pusat pemerintahan, wajar kalau kota kecil ini keras dan penuh persaingan.

Di Kabupaten Samosir ada Kecamatan Pangururan, Kecamatan Palipi, Kecamatan Onanrunggu, Kecamatan Nainggolan, Kecamatan Simanindo, Kecamatan Sitiotio, Kecamatan Harian serta Kecamatan Sianjur Mula-mula. Barangkali, seiring dengan terbentuknya daerah ini sebagai kabupaten, ada lagi kecamatan yang dimekarkan. Tapi mohon maaf kalau saya tak mencantumkannya di sini, sekarang. Harus saya akui, sejak Samosir menjadi kabupaten, saya belum pernah kesana. Jadi saya belum tahu perkembangan terakhir.

Pusat Budaya

Ada beberapa cara untuk bisa sampai ke Samosir, kalau yang dimaksud sebagai pulau. Pertama, lewat perairan Danau Toba dari Parapat di Kabupaten Simalungun atau dari Ajibata di Kabupaten Toba Samosir. Kita bisa menyeberang ke Samosir dan tiba di Tomok, pintu gerbang Pulau (?) Samosir di arah Barat dengan menggunakan ferry atau kapal motor. Juga bisa dari Tiga Ras di Kecamatan Dolog Pardamean Kabupaten Simalungun dengan menggunakan kapal motor hingga mendarat di Simanindo. Kapal motor akan memecah permukaan danau yang terhampar bagai cermin raksasa. Sejauh-jauh mata memandang, panorama terasa amat mengagungkan dan kita pasti merasakan betapa maha karyanya alam ciptaan Tuhan ini.

Anak negeri yang bermukim di tepian Danau Toba pada Kabupaten Simalungun, Dairi, Tanah Karo, Toba Samosir dan Tapanuli Utara, bisa juga menempuh Samosir dari daerahnya masing-masing. Biasanya, mereka menggunakan kapal motor yang mesin dan tubuhnya sudah tua digigit usia. Suara deruman mesin kapal motor itu bagai meraung-raung memecah ombak meniti buih. Kadang, mesin kapal motor itu mendadak berhenti dan tubuh kapal pun diombang-ambingkan ombak. Orang-orang yang berada di atas kapal dalam kondisi begitu akan dekat sekali kepada Tuhan. Biasalah. Ketika di lautan kita sering ingat Tuhan, tapi begitu mendarat kita selalu lupa daratan.

Cara lain, Samosir bisa dicapai melalui jalan darat dari arah Tele. Dari Medan, kendaraan diarahkan ke Brastagi seterusnya ke Merek Situnggaling dan membelok ke arah kanan menuju Sidikalang dan belok kiri lagi supaya bisa sampai ke Tele. Lantas, dari Pematangsiantar menuju Pematang Raya, Saribudolog, Merek Situnggaling. Juga, dari Pematangsiantar menuju Parapat, Siborongborong, belok kanan ke Doloksanggul dan belok kanan lagi arah ke Sidikalang, siapa saja bisa sampai ke Tele.

Dari Tele, Ibukota Kabupaten Samosir, Pangurusan Cuma belasan kilometer jaraknya. Tapi sepanjang perjalanan, kita boleh sport jantung karena medan jalannya yang begitu menyeramkan. Jurang teramat dalam menganga lebar di sisi kiri atau kanan badan jalan. Pernah suatu masa kendaraan meluncur ke jurang yang dalam tadi, dan seluruh penumpangnya harus bersayonara. Nasa jolma ingkon mate. Di antaranya, almarhum Mayor Jenderal Rajagukguk yang pernah jadi Wakasad dan Duta Besar RP di India.

Tiba di Samosir wilayah Sumatera di Kecamatan Sianjur Mula-mula, kita bisa menemukan ragam obyek wisata. Ada wisata alam, wisata sejarah, juga wisata agama (Gereja) Ada Mual Sipitu Dai di kawasan Sihole (Limbong), ada Batu Hobon di Arsam, ada pula Pusuk Buhit yang legendaris menurut kepercayaan orang Batak. Mendaki Pusuk Buhit hingga ke puncaknya, akan lebih mendekatkan kita lagi kepada Tuhan Sang Pencipta. Kesombongan pasti akan runtuh, sebab memandang alam dari puncak Pusuk Buhit akan terasa betapa kecilnya kita manusia ini. Sepertinya, kita bagai sebuah molekul saja dibandingkan Dia Yang Maha Besar.

Batu Hobon, kata kawan saya almarhum TK Malau yang pernah menjadi wartawan SIB dan Kepala Desa Simanindo, merupakan tempat disimpannya pusaka Si Raja Batak. Waktu salah seorang keturunannya – Saribu Raja – hengkang ke arah Sibulan bersama Itonya Si Boru Pareme, dia menyimpan pusaka Si Raja Batak itu di Batu Hobon. Pusaka Si Raja Batak itu sendiri, masih cerita kawan saya TK Malau, didapat Saribu Raja dari ayahandanya Guru Tetea Bulan. Soal benar tidaknya cerita itu, saya tentu tidak tahu. Saya kan sudah katakan tadi, itu cerita kawan saya. Dan kawan saya itu sekarang sudah “loas ahu”

Cerita PR Limbong (juga sudah di sorga) kepada saya, Sianjur Mula-mula adalah asal leluhur orang Batak. Awalnya, mereka, katanya, berada di Pusuk Buhit tapi belakangan turun ke Sianjur Mula-mula dan Arsam sekarang yang dekat SMA Negeri. Dari sana menyebar ke kawasan Habeahan, Sagala, Limbong, Sihole, terus ke arah Harian Boho, Sihotang, Tamba. Juga menyeberang (?) ke Pangururan, Mogang, Palipi, Rianiate, Simbolon, Ronggur ni Huta sampai ke Salaon di pegunungan Samosir. Belakangan, ketika sudah beranak pinak, mereka pun hijrah ke Buhit, Parbaba, Sialanguan, Simanindo, Ambarita, Tomok, Garoga. Juga sampai ke Hutaginjang, Pardomuan, Parbalokan, Pardamean, Sigarantung yang di masa pemerintahan Belanda masuk wilayah Kenegerian Lontung. Juga ke Nainggolan, Tujuan Laut, Gultom, Onanrunggu, Pasar Baru dan entah apa lagi. Banyak sekali.

Lantas, dalam Buku Pustaha Batak tulisan marga Hutagalung yang saya lupa namanya, disebutkan dari Samosir orang Batak menyebar ke daerah Humbang Hasundutan sekarang, Humbang Habinsaran, Toba Holbung, Toba Habinsaran, sampai ke Silindung, Pahae, Hullang, Sorkam, Barus, hingga ada yang ke Singkil di Propinsi Aceh Darussalam. Juga ke Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Paluta, Padang Lawas hingga ke perbatasan Labuhan Batu.

Dalam Buku Migran Batak yang saya lupa siapa penulisnya tapi merupakan tesis doktor seorang dosen Universitas HKBP Nommensen, saya baca pula pada suatu masa orang Batak melakukan migran sampai ke Tanah Malayu di Pesisir Timur Sumatera (Asahan, Labuhan Batu, Batubara, Simalungun, Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai dan segala macam bahkan ada yang ke Tanah Karo. Dari sana, orang Batak pun sampai ke seluruh penjuru Nusantara bahkan hingga ke mancanegara.

Juga, ketika SMP di Lampahan, Aceh Tengah (sekira 25 kilometer menjelang Takengon arah dari Bireun), saya bergaul dengan banyak orang Gayo baik teman satu sekolah mau pun masyarakat luas. Menurut mereka, orang Gayo itu sebenarnya asal usulnya adalah orang Batak juga yang bermigran ke Dataran Tinggi Gayo akibat perang saudara di Tanah Batak. Karena itulah ada istilah Batak 26 kata seorang kawan yang nemanya Rahimdy, sebab yang bisa bertahan hidup sampai di Tanah Gayo Cuma 26 orang. Yang lain, mati di tengah perjalanan dimakan binatang buas atau diserang penyakit. Dan, teman saya Rahimdy pun sudah mati korban GAM seperti yang pernah saya baca di Majalah TEMPO.

Batak, Siapa Dia

Saya bukan akademisi, apalagi akhli. Tapi saya menjadi ragu, siapakah yang disebut Batak. Menurut saya, ada Batak yang bukan Batak tapi ada juga yang bukan Batak meski pun Batak. Bagi saya, akhirnya pun Batak adalah misteri yang sulit sekali untuk dikuak tabirnya. Sama halnya dengan hidup dan kehidupan ini. Kehidupan adalah suatu misteri yang tak akan bisa diungkap, kata kawan saya yang sudah mati dan saya lupa namanya.

Sama halnya kalau saya sampaikan sekarang, ada orang Cina kawan saya warga Tarutung. Nenek moyangnya pun sudah di Tarutung. Kawan saya itu tak tahu dimana Beijing, bahkan Bahasa Cina entah dialek apa pun dia tak pernah tahu. Berbahasa Batak ?, dia paham dan fasih sekali seperti orang Batak lainnya. Dia menjadi anggota jemaat salah satu Gereja Batak, dan kesehariannya mengikuti dan melaksanakan adat Batak. Dan, …. Kawan saya itu mengaku orang Batak meski pun matanya masih (saja) sipit.

Lantas saya mau sampaikan juga ada Amanguda saya yang menikah dengan Boru Hutagalung. Belasan tahun menikah tak punya keturunan (anak) pendek cerita kedua pasangan itu mengadopsi anak dari seorang perempuan orang (Nias) yang hamil tanpa suami. Dibawa ke kampung leluhur kami, dipestakan dengan menyembelih lombu jonggi dan ditabalkan menjadi putranya dengan marga Hutabarat. Sekarang, anak Amanguda saya yang tentunya saya sebut sebagai adik saya itu sudah dewasa. Sudah menikah pun dan dianugerahi Tuhan putra-putri. Saya panggil dia dengan sebutan Anggia sementara istrinya adalah Anggi Boru saya.

Dari pemaparan itulah akhirnya saya berkesimpulan, sesungguhnya ada orang Batak yang bukan orang Batak tapi ada yang bukan orang Batak padahal orang Batak. Sama halnya ada marga Hutabarat yang bukan marga Hutabarat tapi ada yang bukan marga Hutabarat tapi justru marga Hutabarat. Seperti saya sebutkan tadi, hidup adalah misteri. Sebab saya pun kalau saya bicara obyektif, belum tentu marga Hutabarat. Apalagi, waktu dulu Mamak dan Bapak saya bermukim di Pontianak, dan sebagai guru Bapak saya kerap ke pedalaman Singkawang atau Sintang berhari-hari, bermalam-malam.

Makanya, saya pun jadi ragu pada dalil yang sampai sekarang masih (tetap) dipercaya kebanyakan orang yang mengatakan : Samosir Merupakan Asal Leluhur Orang Batak. Orang Batak yang mana ? Yang mana Orang Batak ? Suatu pertanyaan yang bagi saya sulit sekali untuk menjawabya. Sama sulitnya dengan m,encari maling di gereja (kalau mencari koruptor di gereja tentu gampang sekali)

Yang pasti, kalau memang dianggap perlu, kita mesti usut atau teliti kembali dari mana asal usul orang Batak. Penyelusuran tentu bisa dilakukan jika ada kesimpulan terlebih dahulu siapa orang Batak. Kalau asal usul orang Batak awalnya dari Yunan atau Vietnam di kawasan Asia Tengah seperti dikatakan Namboru saya Rainy Hutabarat atau malah dari Pulau Formosa, tak logis semua orang Batak berasal dari Samosir.

Mereka tentu (saya menganggap benar pendapat Rainy MP Hutabarat) akan mendarat di kawasan Timur Sumatera Utara, di Bagan Asahan misalnya atau Tanjungbalai sekarang. Dari sana mereka merangkak menyusur pantai hingga naik kepegunungan di punggung Bukit Barisan. Sebahagian (dalam proses ratusan tahun), tinggal di Asahan, Batubara hingga Labuhan Batu sebahagian lagi suatu masa pun sampai pula di Pusuk Buhit yang sekarang secara administratif pemerintahan masuk pada Kabupaten Samosur.

Kalau pendapat saya ini benar, tentu ungkapan “kampak pembelah kayu, Batak jadi Melayu” pun harus juga dikaji ulang. Boleh jadi, Melayu yang jadi Batak. Jadi uangkapan itu menjadi : Kayu dibelah kapak, Melayu menjadi Batak.

Bah !

Salamku buat Helmiati yang tak kutahu lagi dimana. Dara Gayo dimana hatiku pertama sekali tertambat. Juga buat banyak kawanku, alummi SMP PTPN I Lampahan, Aceh Tengah_____________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar