Rabu, 25 Mei 2011

Tak Kemana-mana, Tapi Ada Dimana-mana (Cuplikan Buku : Orang Pinggiran yang Selalu di Tengah)

Ramlo R Hutabarat

Jujur sajalah. Aku ini sungguh orang yang kaku. Sudah kaku, keras pula. Dan sebenarnya, aku lebih tepat jika disebut sebagai orang yang “tak kepakek” Dimana-mana, dan aku sadar sekali itu. Aku tahu diri, dan karena itu aku tak mau kemana-mana. Meski pun aku ada di mana-mana.

Makanya sebenarnya aku tak suka berorganisasi, organisasi apa pun itu. Apalagi berpartai politik. Orang-orang yang berpartai menurutku prakteknya harus tidak punya idealisme. Begitu dia teguh pada sikap atau pendirian, mauplah dia. Jadi harus mampu menjadi seperti bunglon, atau harus mau ikut arah angin. Mau bertahan di tengah badai yang menggelora, bisa tumbang dan terkapar. Pangsan. Mati dan dikuburkan supaya orang lain tidak terganggu.

Betul, waktu muda dulu aku pernah menjadi akitifis di P3MI (Persekutuan Pemuda-pemudi Methodist Indonesia) Cabang GMI (Gereja Methodist Indonesia) Tebingtinggi – Deli. Kawan seangkatanku waktu itu antara lain Roslina Hutabarat anak Jalan DI Panajaitan, Evi Samosir juga anak DI Panjaitan yang menikah dengan seorang marga Tambunan lulusan AKABRI. Juga Pangihutan Harianja salah seorang putra Guru Injil Harianja yang terakhir bertugas di Kampung Juhar, termasuk Maruhum Harianja abangnya Pangihutan yang sekarang guru SD di Sungai Parit Serdang Bedagai. Juga Godfried Hutabarat sekarang Jemaat GMI Tarutung.

Ada juga di P3MI Tebingtinggi waktu iu antara lain Rempina Manurung yang pakai kaca mata minus setebal pantat botol (sekarang bekerja di Toko Buku Geminta Medan), Roslina Tambunan adiknya pemain band The De Loyid, Yetty Pasaribu yang waktu itu Kepala SD PKMI Tebingtinggi, Boru Hutauruk anak pensiunan kebun Rambutan, dan masih banyak yang lain. Oh ya, ada Rosdiana Tobing seorang guru SD yang aku pernah dekat dengannya. Dan waktu di Tebing inilah aku pernah terpilih sebagai pengurus P3MI Distrik bersaama Poltak Purba anaknya Pdt Benyamin Purba.

Ketika aku bekerja di Kantor Pusat GMI di Jalan Hang Tuah Medan, aku juga aktif di P3MI Cabang Hang Tuah. Kawan seangkatanku waktu itu ada Maringan Sirait, Hamonangan Manurung, Ponty Panggabean, Fridolin Siahaan yang dosen FT Univeritas HKBP Nommensen dan menikah dengan Marlinang yang juga teman seangkatan kami. Juga almarhum Igor Hutagalung putranya Ferdinand Hutagalung yang pernah menjadi Gubernur Muda Sumut, Polin Siregar, Galumbang Sitinjak.

Juga ada Sonya Tobing adiknya Jelly Tobing penabuh drum terkenal secara nasional dan kakaknya almarhumah Martha Tobing. Ada juga Taty Siregar, Septiana Sagala, Otto Sagala, Adelina Sitompul, Lucynde Panggabean, Norma Hutabarat, Ratna Silalahi yang putrinya pengusaha Firma Apul. Sementara itu di P3MI Cabang Madong Lubis ada Juliana Tobing yang lama sekali menjadi Dekan FE Universitas HKBP Nommensen, Pangondian Simatupang, Sevenday Napitupulu, Chatrine Sitorus, dan beberapa nama lain. Oh ya, ada juga di P3MI Madong Lubis waktu itu Luhut F Siahaan yang acukup dekat denganku. Sudah lama sekali aku tak pernah bertemu (lagi) dengannya. Kabar terakhir yang aku dapat entah dari siapa-siapa, Luhut sekarang berada di Amrik.

Waktu menjadi aktifis P3MI Cabang Hang Tuahlah, aku terpilih menjadi Pengurus P3MI Wilayah Sumut – Aceh dalam suatu Konprensi Wilayah P3MI di Kompleks Institut Alkitab Jalan YOS Sudarso Medan. Kami dilantik almarhum Bishop Hermanus Sitorus waktu itu, dan aku menangis saat pelantikan. Aku menyadari benar tugas dan tanggung jawab yang kupikul sebagai salah seorang pengurus apalagi untuk suatu wilayah yang sangat luas. Sumut-Aceh.

Lantas, aku memang pernah juga menjadi salah seorang Pengurus Wira Karya Sumatera Utara, seangkatan dengan James Simanjuntak yang menjadi Sekretaris. Pernah pula menjadi Pengurus KNPI Sumatera Utara ketika dipimpin Drg Zainal Arifin yang kabar terakhir pernah kudengar menjadi Atase Pendidikan di Kedubes RI di Kualalumpur. Beberapa temanku waktu itu ada Willer Pasaribu yang pernah menjadi Kepala Dinas Pendidikan Simalungun, Jumiran Abdi, Effendy Naibaho yang pernah jadi anggota DPRD Sumut dari Fraksi PDIP, Jauti Sibarani, Syahrul Pasaribu yang sekarang Bupati Tapanuli Selatan. Juga Purnama Sitompul yang menikah dengan David Napitupulu waktu itu Dubes RI di Kanada. Juga seorang putri Nias Florencia Patricia Hulu yang sekarang tak pernah lagi kudengar kabarnya. Florencia waktu itu masih kuliah di Fisipol USU dan merupakan angkatan pertama.

Aku juga pernah menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) waktu almarhum Anwar Effendy menjadi Ketua, pernah menjadi anggota Partai Golkar lengkap dengan NPAG-nya, Sekretaris P2MI (Persekutuan Pria Methodist Indonesia) Cabang GMI Pematangsiantar. Aku juga pernah menjadi Wakil Sekretaris Toga Manullang Kota Pematangsiantar, juga Ketua KPP (Komisi Penyantun Perguruan) pada PKMI (Perguruan Kristen Methodust Indonesia) Dolog Marlawan Kecamatan Siantar.

Tapi ketika usiaku semakin menanjak, aku semakin kenal dan sadar siapa aku. Aku semakin tahu diri bahwa aku benar-benar manusia yang tidak “kepakek” Apalagi ketika aku terpilih menjadi Utusan Konperensi Tahunan GMI dan setelah itu aku bentrok keras dengan Pdt MT Manurung. Juga ketika aku dipercaya menjadi Sekretaris Panitia Natal GMI Agave Pematangsiantar yang waktu itu ketuanya J Sinurat yang sesungguh kawan dekatku. Aku tak kepakek. Aku tak mampu ikut arus bagai pepatah Batak : Eme na masak digagat ursa, aha na masa ima taula.

Begitu orde baru tumbang, orang pun ramai-ramai mendirikan partai. Hampir tak ada waktu itu aktifis yang tidak masuk partai politik. Aku ikut dan terlibat mendeklarasikan PDKB(Partai Demokrasi Kasih Bangsa di Kota Pematangsiantar dan Simalungun bersama antara lain almarhum dr MH Silitonga, DR Sarmedi Purba, Hendro Purba, Pdt PTV Haloho, Pdt Sunggul Pasaribu dan banyak lagi. Tapi bagi orang lain aneh, aku justru enggan menjadi anggota partai itu apalagi menjadi pengurus.

Bahkan, aku pun enggan untuk ikut dilantik sebagai Pengurus PGM (Parsadaan Guru Mangaloksa) Pematangsiantar ketika aku juga dipilih menjadi salah seorang pengurusnya. Aku tak mau dipilih tapi tetap juga dipilih dalam suatu rapat, dan diterbitkan SK-nya oleh Sahat Panggabean Ketua Umum PGM se-dunia yang waktu itu menjadi Walikota Sibolga. Waktu acara pelantikan di GOR Pematangsiantar, aku tidak hadir. Kenapa rupanya ?

Aneh ya memang aneh, siapa saja boleh mengatakan begitu. Tapi akulah yang tahu kenapa dan bagaimana aku. Prinsipnya tadi seperti yang kukatakan sejak awal, aku sebenarnya merupakan seorang manusia yang “tak kepakek” Dari pada jadi duri bagi orang lain kan lebih baik tumagon. Bahkan untuk menjadi Maujana Nagori di kampungku di Siantar Estate aku enggan, juga jadi pengurus STM (Serikat Tolong Menolong), juga entah organisasi apa pun itu.

Aku juga tak pernah berminat menjadi anggota KPU atau Panwaslu. Waktu Nason Damanik menjadi anggota DPRD Simalungun dan menjadi salah seorang Panitia Seleksi anggota Panwas Pilkada, dia meminta agar aku ikut mendaftar yang segera kujawab enteng tanpa beban.

“Aku tak memenuhi persyaratan untuk menjadi anggota Panitia Pengawas Pilkada”, kataku tenang dan kalem menjawab Nason sahabatku.

“Akh, kamu. Syarat yang mana ?”, Nason yang anggota DPRD dari Fraksi Golkar itu bertanya dengan mimik heran.

“Setiap calon anggota Panwas harus jujur dan adil. Aku bukan orang yang jujur dan juga bukan orang yang adil”, kataku masih tetap enteng. Tak ada beban apa pun dalam benakku ketika mengucapkan kalimat itu. Barangkali aku mau mendaftar menjadi calon anggota Panwas bila persyaratan itu dirubah. Berat sekali persyaratan itu menurutku dan kalau kosekwen tentu tidak ada yang memenuhi syarat.

Tapi sekarang aku katakan sajalah dengan jujur sekali. Keenggananku untuk memasuki organisasi entah apa pun itu apalagi partai politik justru karena aku seorang wartawan. Sebagai wartawan aku harus tidak kemana-mana meski pun ada dimana-mana. Wartawan, menurutku harus seorang non partisan. Independent.

Wartawan menurutku bekerja untuk publik. Dia tidak dibenarkan bekerja untuk parpol apalagi untuk penguasa, pengusaha.Kalau wartawan sekaligus menjadi anggota parpol mau tidak mau dia pun akan bekerja untuk kepentingan parpolnya. Wartawan menurutku mesti tidak berpihak, sebab dia bekerja untuk kepentingan semua pihak. Mau Islam, Kristen, Hindu, Buddha. Mau Golkar, PDIP, PAN, atau Demokrat, sama saja. Kalau aku menjadi anggota Partai Golkar misalnya, bagamana aku akan bisa membawa kepentingan partai lain ?

Indepedensi bagi seorang wartawan menurutku adalah sesuatu yang mutlak. Kata indepedensi kuartikan sebagai netralitas. Kalau dalam kondisi terpaksa wartawan harus berpihak, dia harus berpihak pada orang-orang miskin. Orang-orang yang dipinggirkan. Orang-orang yang dizolimi, ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang. Yang pantang sekali menurutku bahkan haram adalah bila wartawan berpihak pada penguasa dan pengusaha. Berpihak pada kekuasaan, jangan.

Celaka memang, ketika aku tidak kemana-mana tapi ada dimana-mana. Dalam kondisi seperti ini aku tentu tidak punya “payung” aatau “mantel” Payung atau mantel yang bisa melindungi dari panas terik, hujan dan boleh jadi badai. Apalagi, belakangan ini wartawan acap sekali mendapat tekanan atau ancaman. Bahkan, dalam catatan AJI (Asosiasi Jurnalistik Indonesia), semakin tahun semakin sering terjadi kekerasan terhadap wartawan terutama di dunia ketiga.

Menyikapi hal yang seperti ini, aku sangat percaya dan yakin sekali pada perlindungan Tuhan. Aku terlalu percaya Tuhan pasti melindungiku ketika aku menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai wartawan. Mantan Ephorus HKBP DR SAE Nababan pernah mengatakan padaku supaya aku tidak takut kepada siapa pun kecuali takut kepada Tuhan. Yang harus aku lakukan sebagai wartawan adalah aku wajib menulis dengan baik dan benar. Tidak boleh fitnah, sensasi, issu atau rumors.

“Kamu jangan takut kepada siapa pun Ramlo, kecuali takut pada Tuhan”, kata DR Nababan pada suatu hari 1989 lalu ketika aku beertemu dengannya di GOR Pematangsiantar, dan kalimat itu sangat kumaknai sampai sekarang.

Aku pun memang, sering sekali merasakan perlindungan dalam ketika aku menjalankan tugas dan kewajibanku sebagai jurnalis. Aku merasakan dan mengalami kasih sayang Tuhan, dan kedekatan Tuhan. Dalam setiap doaku memang, pasti aku minta agar Tuhan melindungi aku, menjaga aku serta menjauhkan aku dari segala yang jahat. Dan itu semua sudah kuperoleh.

Pernah aku didatangi sekelompok preman setelah aku membuat berita tentang pekerjaan pengaspalan di Jalan Kesatria (sekarang namanya Jalan Pdt Justin Sihombing) Pematanagsiantar yang tidak bermutu dan dikerjakan kontraktornya tidak sesuai dengan perjanjian kerjanya. Tapi ketika sudah berhadap-hadapan, tiba-tiba mereka seolah tidak melihatku dan berlalu begitu saja. Aku bengong. Pernah pula beberapa preman mendatangiku ke Kantor SIB di Pematangsiantar sambil membawa golok, tapi menjadi aneh ketika mereka malah bertanya kepada Josmar Simanjuntak dan Ulamatuah Saragih rekanku wartawan SIB waktu itu dimana aku. Padahal, waktu iu aku bersama Josmar dan Ulamatuah tengah duduk berhadap-hadapan.

“Yang mana si Ramlo ?”, tanya salah seorang dianatara mereka, padahal semua mereka sebelumnya sudah mengenal aku. Ketika Josmar menegatakan aku barusan saja pergi dari kantor itu, kontan preman itu cicing dengan maksud mencari aku ke tempat yang aku pun tak tahu .

Lagi pula, ada pepatah yang mengatakan : Kalau takut dilamun ombak, jangan berumah di tepi pantai. Di tepi pantai ? Kalau menjadi wartawan menurutku, bikin rumah tidak saja di tepi pantai. Malah di tengah lautan. Ombak terus datang menghempang kapan saja dan dari arah mana saja. Kiri, kanan, muka dan belakang. Setiap detik setiap sekon. Makanya aku yakin sekali arwah Udin Yokya yang mati dibunuh oknum tertentu tempo hari tidak pernah meneyesal meskipun akhir hidupnya di tangan pembunuh.

Aku tak akan pernah meneyesal kalau suatu masa akan mengalami hal-hal yang tidak enak karena kewartawanannku. Aku juga tidak akan pernah takut untuk menulis apa saja sepanjang yang kutulis adalah sesuatu fakta, kebenaran. Bukan fitnah, sensasi atau berita burung. Aku juga yakin sekali, istriku beserta putra-putriku tidak pernah menyesal kalau aku diperlakukan tidak adil oleh orang lain hanaya karena aku menlaksanakan tugas dan kewajiban profesiku.

Seseorang (aku tak etis menyebut namanya disini karena dia sudah almarhum) beberapa tahun lalu pernah datang kerumahku. Dia bilang kepada istriku agar aku mengghentikan pemberitaan yang terus menerus mengkritisi pejabat tertinggi di Simalungun waktu itu (pejabat itu juga sudah meninggal dan karena itu aku tidak mau menyebut namanya) Bagai mengancam, dia bilang bahwa harga nyawa manusia sekarang ini hanya beberapa juta rupiah saja. Banyak penganggur yang mau dan bisa diminta untuk menghabisi nyawa orang lain, katanya sambil berlalu dari rumahku.

Menanggapinya, istriku tenang sekali dan kalem-kalem saja. Istriku hanya tersenyum dan senyumnya tetap ceria hingga istriku yang cantik semakin cantik pula karena senyum cerianya itu.

“Suamiku wartawan. Wartawan memang kerjanya begitu. Suamiku wartawan”, kata istriku sambil ketawa ketiwi.

Yah, begitulah. Apa mau dikata. Sampai sekarang aku masih begini-begini saja. Tidak begitu-begitu. Aku begini ya beginilah. Kalau kamu begitu, ya begitulah. Aku begini engkau begitu, sama saja kata almarhum Broery.

Yang pasti memang, aku cuma mau menjadi aku. Tidak menjadi orang lain. Aku akan tetap tidak kemana-mana, meski pun aku haruss berada dimana-mana. Kata kawanku, biarkan saja dia menjadi dia, tidak menjadi kita apalagi menjadi aku. Sebab jika aku menjadi orang lain, aku tidak lagi menjadi aku. (Bersambung)
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
_______________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar