Minggu, 15 Mei 2011

Kiat Memerangi Kemiskinan (Studi Kasus Kabupaten Humbang Hasundutan)

Ramlo R Hutabarat


Anak negeri Kabupaten Humbang Hasundutan, secara umum masih hidup dengan berselimutkan kemiskinan. Saya tidak menyebutnya belum sejahtera atau masih terbelakang. Kata miskin tentunya lebih tegas dan lebih jelas. Tak perlu diterjemahkan lagi ini itu. Kalau disebut miskin, secara umum orang banyak segera tahu apa dan bagaimana maksudnya. Saya memang tak membiasakan diri untuk berkata manis-manis, kalau yang manais itu hanya di bibir. Misalnya, saya tak suka menyebut terjadi kasus kurang gizi, kalau yang dimaksud adalah busung lapar. Saya juga tak suka mengatakan harga BBM disesuaikan, kalau maksudnya harga BBM dinaikkan. Kalau hancur berantakan, jangan disebut retak-retak kecil.

Kemiskinan anak negeri Kabupaten Humbang Hasundutan, gampang disaksikan dengan mata telanjang di sekujur tubuh buminya. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang normatif dan standart saja masih teramat banyak di antara mereka yang Senin – Kamis. Disi adong, disi habis. Mau membiayai pendidikan putra-putrinya, ngutang. Mau memulai mengolah usaha pertaniannya, ngutang, Bahkan, kalau mendadak sakit dan harus ke dokter, ngutang. Oalah. Untuk membiayai upacara penguburan orang tuanya pun mesti ngutang dulu.

Tidak boleh diingkari, produksi berbagai ragam komoditas di daerah ini tambah tahun tambah pula angkanya. Terutama misalnya, tanaman holtikultura. Tomat, sayuran sampai cabai dan kentang, boleh jadi produksinya melimpah ruah. Tapi karena harga jualnya lebih kerap melorot tajam hingga ke titik nadir, semua tidak menghasilkan uang yang cukup. Apalagi jika dibandingkan dengan ongkos produksi yang terus menerus meninggi. Alhasil, meski pun anak negeri setiap hari setiap saat membanting tulang, semua tak mampu untuk memenuhi kebutuhan.

Pemerintah Kabupaten Humbang Hasundutan, justru punya hobby aneh. Uang anak negeri di APBD, tiap tahun digunakan untuk banyak hal yang tidak berkaitan langsung dengan peningkatan pendapatan rakyat. Untuk segala macam pesta-pestalah, misalnya untuk biaya peringatan Hari Jadi Kabupaten Humbang Hasundutan, untuk biaya Pesta Tahun Baru, termasuk untuk biaya Pesta Danau Toba. Belum lagi untuk biaya kegiatan PKK yang dinilai terlalu banyak jika dibanding dengan yang dihasilkannya. Sementara, dalam pandangan saya PKK itu hanya sekadar Perempuan Kurang Kerjaan.

Missi pemerintahan Mddin Sihombing Bupati Humbang Hasundutan yang sekarang, cukup manis untuk didengar. Point ketiga bunyinya : Meningkatkan ekonomi kerakyatan berbasis pertanian. Tapi sepanjang yang saya cermati lewat Buku APBD Kabupaten Humbang Hasundutan dari tahun ke tahun, point tadi tidak diimbangi dengan sasaran yang jelas dan nyata Tahun Anggaran 2006 misalnya, dari Rp 255.010.671.227 Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, hanya Rp 7.307.324.026 (2, 87 persen) yang diperuntukkan bagi Dinas Pertanian. Padahal, hampir 90 persen anak negeri kabupaten itu hidup dari sektor pertanian. Sementara sektor pertanian memiliki kontribusi terbesar (61 persen) PDRB daerah itu.

Pemkab Humbang Hasundutan, agaknya gemar sekali membelanjakan uang anak negerinya untuk bidang pekerjaan umum. Tahun Anggaran 2006 misalnya, ada Rp 68.552.791.740 yang dikucurkan untuk sektor ini (26, 88 persen dari APBD) Di banyak lokasi memang, ragam infrastrukur yang dibangun. Meski pun, banyak di antaranya yang tidak bisa dinikmati anak negeri. Pembukaan ruas jalan dari kawasan Hutaraja ke Aek Silang di Kecamatan Doloksanggul misalnya, mengkuras dana bermiliar-miliar rupiah. Tapi sampai sekarang tak pernah juga digunakan sebagai lintasan umum. Semua kendaraan termasuk truk-truk pengangkut balok-balok untuk PT TPL di Porsea, masih (tetap) melintas membelah jantung kota Doloksanggul Akibatnya gampang ditebak. Ruas jalan yang sudah dibuka tadi awalnya ditumbuhi rumput, selanjutnya pada ilalang dan selanjutnya malah bisa tertutup (lagi)


Sampai sekarang saya lihat, sektor pertanian yang menjadi andalan anak negeri (tanaman pangan, holtikultura, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan) masih terlalu diabaikan bahkan terkesan dianaktirikan. Padahal, sektor ini sangat strategis untuk dikembangkan. Apalagi sebenarnya, Kabupaten Humbang Hasundutan masih memiliki lahan yang luas sekali untuk diolah. Lahan-lahan tadi tersebar dan menyebar di semua kecamatan yang ada. Mulai dari Kecamatan Baktiraja sampai ke Kecamatan Parlilitan. Mulai dari Kecamatan Sijamapolang hingga ke Kecamatan Pollung yang berbatasan dengan Kabupaten Samosir. Tapi apa mau dikata, anak negeri masih saja miskin tak karu-karuan.

Pemkab Humbang Hasundutan agaknya lebih cenderung hobby menggunakan uang anak negerinya untuk berbagai belanja pegawai sampai kesannya wah dan hura-hura. Membangun gedung-gedung kantor pemerintah dengan megah dan mentereng, Pemkab gemar sekali supaya merasa beteng. Dilengkapi pula dengan ragam fasilitas mobilier yang mahal dan mewah. Belum lagi pengadaan kendaraan dinas pejabat buatan tahun tinggi. Kondisi yang begini mau tidak mau membawa konsekwensi tingginya biaya pemeliharaan dan biaya perawatan.

Dalam soal fasilitas untuk staf Pemkab, Humbang Hasundutan saya lihat number one dibanding Tapanuli Utara, Toba Samosir dan Samosir. Pemkab Humbang Hasundutan malah menurut saya, terkesan boros dan royal. Agaknya, Pemkab berupaya keras dan terus menerus mensejahterakan stafnya. Bukan malah mensejahterakan anak negerinya.

Setahun setelah Kabupaten Humbang Hasundutan dibentuk sebagai suatu daerah otonomi baru (2004), jumlah penduduk miskin disini ada 12.711 kepala keleuarga atau 20, 11 persen dari jumlah penduduk yang ada. Tapi pada 2005, justru penduduk miskin bertambah menjadi 15.715 kepala keleuarga atau 63, 09 persen dari jumlah penduduk. Meski pun – memang – (berdasarkan data BPS), pada 2006 jumlah penduduk miskin menciut menjadi 56, 26 persen.

Ukuran kemiskinan antara lain dapat dilihat dari Indeks Pembangunan Manausia (IPM) Ini dicerminkan oleh Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf dan Kemampuan Daya Beli Masyarakat. Untuk takaran Sumatera Utara, IPM Kabupaten Humbang Hasundutan berada atau menduduki posisi ke 21 dari 26 kabupaten/ kota yang ada di daerah ini. Kalau dibanding dengan 3 kabupaten lainnya eks Tapanuli Utara dulu, IPM Kabupaten Humbang Hasundutan malah menduduki posisi pencorot. Tahun 2007 misalnya, Kabupaten Toba Samosir 75, 34, Kabupaten Samosir 73,08, Kabupaten Tapanuli Utara 72, 96, sementara Kabupaten Humbang Hasundutan hanya 70, 88.

Menurut kawan saya Ebenezer Lumbangaol yang putra asli Humbang Hasundutan, tinggi rendahnya IPM dipengaruhi oleh 4 hal. Masing-masing produktivitas mendapatkan dan menciptakan lapangan pekerjaan, pemerataan terhadap akses sumber daya ekonomi, kesinambungan dan pembaharuan sumber daya dan pemberdayaan masyarakat. Di luar itu, masih memang kata Ebenezer sebagai syarat tambahan, masing-masing kebebasan politik, ekonomi dan sosial, kesempatan menjadi kreatif dan produktif, serta kesempatan menikmati kehidupan yang sesuai dengan harkat rohani dan jasmani.

Kata Ebenezer lagi, pembangunan ekonomi merupakan syarat utama pemebangunan manusia. Karena didalamnya terjamin peningkatan produktivitas dan peningkatan pendapatan melalui penciptaan lapangan kerja. Jadi, semakin baik pembangunan ekonomi, semakin tinggi pula IPM.

Pembangunan ekonomi Kabupaten Humbang Hasundutan, dapat dilihat dari besaran Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) Untuk 2006 misalnya, Kabupaten Humbang Hasundutan memiliki PDRB sebesar Rp 1, 5 triliun yang jika meniadakan faktor inflasi maka besarnya adalah Rp 800 miliar. Jumlah ini sama dengan 0, 96 persen dari PDRB Sumatera Utara. Suatu pencapaian yang tidak seimbang dengan luas Kabupaten Humbang Hasundutan yang mencapai 3, 25 persen dari luas Propinsi Sumatera Utara.

PDRB sebesar itu disumbangkan oleh tiga sektor yakni pertanian 61 persen, perdagangan 14 persen dan jasa 13 persen. Bernada menekan, Ebenezer menegatakan, angka-angka ini menunjukkan bahwa penggerak utama ekonomi kabupaten ini adalah sektor pertaanian. Karena itulah dia beranggapan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Humbang Hasundutan terletak pada sejauh mana sektor pertanian digerakkan.

Masih menurut Ebenezer Lumbangaol, jika dilihat dari kelompok sektor, maka kontributor terbesar PDRB Kabupaten Humbang Hasundutan adalah sektor primer (62 persen), sekunder (18 persen) dan tersier (20 persen) Sektor primer adalah produksi yang diperoleh secara langsung (kemenyan, tomat, andaliman, kopi, dan sebagainya) Sektor sekunder adalah proses pengolahan bahan baku primer (balsem kemenyan, saos cabai, saos tomat, bubuk andaliman, bubuk kopi, dan sebagainya) Sementara sektor tersier adalah jasa-jasa perdagangan (toke kemenyan, tengkulak cabai, tengkulak tomat, tengkulak kopi dan sebagainya)

Dominasi sektor primer yang hanya menghasilkan bahan baku menunjukkan bahwa struktur ekonomi Kabupaten Humbang Hasundutan belum dapat digolongkan sebagai ekonomi produktif, katanya. Karena, katanya lagi, struktur ekonomi yang tidak memberi nilai tambah.

Karena bertumpu pada kegiatan produksi itu pula, tidak mengherankan jika pertumbuhan ekonomi Kabupaten Humbang Hasundutan tidak tergolong tinggi. Untuk 2006, laju pertumbuhan ekonomi daerah itu adalah 5, 77 persen meski pun menurut versi Pemkab Kabupaten Humbang Hasundutan 6, 32 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata Sumatera Utara yang mencapai 6, 18 persen. Apalagi kalau mau dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi nasional.

Kesimpulannya adalah, anak negeri Kabupaten Humbang Hasundutan masih miskin, dan tugas kita adalah memerangi kemiskinan sampai ke akar-akarnya. Kemiskinan memang harus diberantas, diberangus, sebab kemiskinan merupakan musuh kita yang utama. Gubernur Sumatera Utara non aktif Syamsul Arifin sendiri yang sekarang di penjara bilang : Rakyat tidak boleh miskin. Tidak boleh !

Lantas apa yang bisa dilakukan agar rakyat bisa sejahtera artinya tidak miskin(lagi) seperti anak negeri di Kabupaten Humbang Hasundutan ?

Kawan saya Ebenezer Lumbangaol tadi mengatakan : Yang utama sekali adalah kreativitas dan produkivitas. Semakin kreatif dan produktif sebuah masyarakat, semakin sejahtera pula mereka, katanya berteori.

Menurut Ebenezer, kreativitas dan produktivitas muncul dari sebuah paradigma ide teologis tentang kreasi dan produksi. Bagi orang Kristen, kata Ebenezer, ide teologis ini adalah dasar rasionalisasi dan modernisasi. Manusia adalah co-creator, rekan sekerja Allah yang diberi mandat memelihara seluruh ciptaan (kreativitas) dan menghasilkan (produktivitas) apa yang diperlukan untuk kesejahteraan hidupnya bersama manusia di sekelilingnya. Orang Kristen, terpanggil untuk mengusahakan kesejahteraan.

Paradigma ide teologis selanjutnya membentuk karakter dan etos kerja. Dua hal ini menurut Ebenezer merupakan syarat rasionalisasi usaha-usaha ekonomi yang produktif dan kreatif pula. Modernisasi yang dimulai di Eropah dan mencapai puncak di Amerika tidak akan menjadi keniscayaan seandainya mereka tidak memiliki rasionalisasi atas ideologi, karakter dan etos kerja Alkitabiah mengenai penciptaan dan pemeliharaan. Kajian sosiolog Max Weber mengenai etika Protestanisme dan semangat kapitalisme, jelas menunjukkan kaitan erat antara iman dengan etos kerja yang menjadi dasar terbentuknya kapitalisme moderen di Eropah dan Amerika.

“Jadi membangun sebuah masyarakat yang sejahtera, harus dibarengi dengan pembentukan karakter dan etos kerja yang mendukungnya”, kata Ebenezer.

Kalau begitu, saya pikir Pemkab Humbang Hasundutan tak perlu uring-uringan lagi (kedepan) Teori yang diajukan kawan saya Ebenezer Lumbangaol gampang dan praktis untuk diwujudnyatakan dalam bentuk sikap dan tindakan. Anak negeri kabupaten itu harus dibebaskan dari kemiskinan yang melilit kehidupannya seperti selama ini. Mereka tidak boleh (lagi) miskin dan hanya mampu meratapi kemiskinannya. Pemimpin, menurut saya, harus mensejahterakan rakyat yang dipimpinnya. Bukan malah mensejahterakan diri dari rakyat yang dipimpinnya !
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
__________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar