Sabtu, 14 Mei 2011

Kesimalungunanku (Cuplikan dari Bukuku : Orang Pinggiran yang Selalu di Tengah)

Ramlo R Hutabarat


Aku dipindahtugaskan sebagai Wartawan SIB dari Tarutung ke Pematangsiantar, 1986. Entah bagaimana, dalam waktu yang relatif singkat aku kenal dan dekat dengan almarhum D Kenan Purba SH, Ir J Gusia Purba yang waktu itu Kepala Dinas PU Simalungun, juga dengan Drs Jomen Purba yang waktu itu Camat Parapat. Tidak hanya kenal dan dekat, tapi hubungan kami akrab dan mesra sekali. Aku pun dengan cepat sekali merasa tidak sebagai orang asing (lagi) di Bumi Simalungun. Aku diperlakukan sebagai “orang dalam”

Aku pun tak mengerti mengapa akhirnya aku pun dekat dan mesra sekali dengan komunitas Simalungun. Aku berkarib dengan banyak orang etnis Simalungun, dan keseharianku nyaris tersita bersma mereka, tidak dengan orang-orang yang berasal dari Silindung misalnya. Karena itulah barangkali, aku suka dan mulai tertarik dengan hal-hal yang bernuansa Simalungun. Aku jadi ragu : Apakah aku mencintai Simalungun ?

Pada Harungguan Bolon Partuha Maujana Simalungun 1987 di Gedung Universitas Simalungun di Jalan Sisingamangaraja, aku hadir dan tetap setia mengikuti rangkaian acara demi acara. Aku masih ingat sekali saat Prof Henry Guntur Tarigan Guru Besar pada Universitas Padjadjaran Bandung menyampaikan ceramah ilmiahnya dengan topik Bahasa Simalungun. Judul ceramahnya waktu itu : Bahasa dan Kepribadian Simalungun.

Aku tertarik sekali dengan ceramah sang profesor yang sekarang sudah almarhum itu. Antara lain dia mengatakan, setiap insan Simalungun harus memiliki kesadaran akan bahasa, budaya dari masyarakat Simalungun. Dalam kata sadar, katanya, terkandung makna insaf, tahu, rasa/ pikir. Menyadari bermakna menginsyafi, mengetahui, merasai/ memikirkan. Kesadaran berarti keinsyafan, keadaan tahu, menegerti dan merasakan serta memikirkan.

Sadar berbahasa, berbudaya dan bermasyarakat Simalungun menurut almarhum lagi, mengandung pengertian menginsyafi, mengetahui, merasakan, memikirkan bahasa, budaya dan masyarakat Simalungun.

Setiap insan Simalungun harus memiliki kebanggan terhadap bahasa, budaya dan masyarakat Simalungun. Dalam kata bangga katanya lagi, terkandung makna besar hati, merasa gagah. Bangga berbahasa, budaya dan bermasyarakat Simalungun berarti berbesar hati, merasa gagah karena bahasa, budaya dan masyarakat Simalungun mempunyai keunggulan, keunikan dan ciri-ciri yang khas. Setiap insan Simalungun berkewajiban membina, mengemnbangkan, melestarikan, membela, bahasa, budaya dan masyarakat Simalungun.

Dalam kata wajib katanya, terkandung makna harus. Kewajiban berarti sesuatu yang wajib diamalkan (dilakukan), keharusan. Kata membina berarti membangn, membaharui. Kata mengembangkan berarti membuka, menumbuhkan, membentangkan, emluaskan menjadi besar, luas, merata. Kata melestarikan bermakna menjadikan abadi, tetap tidak beryvbah. Menjadikan kekal, tidak berubah seperti sedia kala. Kata membela mengandung arti merawat, memelihara, menjaga baik-baik, melepaskan dari bahaya, menolong, mempertahankan.

Dengan demikian kata Henry Guntur, wajib membina, mengembangkan, melestarikan dan membela bahasa, budaya dan masyarakat Simalungun mengandung makna : Harus membangun, memekarkan, mengabdikan, memelihara serta mempertahankan bahasa, budaya dan masyarakat Simalungun.

Pada Harungguan Bolon Partuha Maujana Simalungun 1999 di GOR Pematangsiantar, aku jug hadir dengan aktif. Begiru juga pada Harungguan PMS 2005 di Balei Bolon GKPS di Jalan Pdt J Wismar Saragih. Pada Harungguan Bolon ini, aku melihat ada perubahan yang cukup berarti pada masyarakat Simalungun. Mereka tidak lagi terkesan pasif, pasrah dan nrimo seperti kesanku sebelum ini. Etnis Simalungun pada Harungguan Bolon ini sudah mulai agresif dan mau mengatakan salah kalau memang salah. Juga, mau menegatakan benar kalau memang benar.

Itu aku lihat dalam persidangan demi persidangan yang umumnya berlangsung a lot bahkan sesekali tegang mendebarkan. Peserta sidang umumnya cukup kritis untuk menanggapi berbagai hal yang terjadi dalam persidangan. Pimpinan Sidang malah dibuat kadang kelabakan memimpin persidangan, hingga jadwal Harungguan Bolon ini molor untuk beberapa jam. Aku melihat ini sebagai suatu tanda-tanda atau fenomena bahwa ke depan etnis Simalungun akan semakin cemerlang, cerdas dan pasti akan lebih maju lagi.

Begitu juga pada event-event lainnya. Aku selalu menyempatkan diri untuk hadir. Aku tetap mengikuti seluruh rangkaian acara demi acara dengan tekun, serius dan cermat. Pada sayembara penulisan yang diselenggarakan GKPS pada jubeleumnya 1994, aku ikut sebagai salah seorang peserta. Judul tulisanku waktu itu : Khotbah Pendeta Agust Theis di Bukit Simarjarunjung. Tapi, tidak terpilih sebagai salah satu karya yang dimenangkan. Aku sengaja menuliskan sekarang dengan kata dimenangkan. Bukan pemenang.

Pada Jubeleum GKPS 2004 di Pamatang Raya dan Pamatangsiantar, aku hadir juga. Seluruh rangkaian acara aku ikuti dengan serius yang entah mengapa aku pun tak tahu. Aku merasa bangga dan senang bila dapat menghadiri segala macam event Simalungun. Aku merasa bagian dari Simalungun. Dan yang lebih dalam, sebenarnya ingin kukatakan bahwa aku merasa sebagai orang Simalungun.

Tapi kawan-kawanku orang Simalungunj, tidak pernah merasa bahwa aku orang Simalungun. Aku (tetap) dianggap sebagai orang Toba. Suatu anggapan yang kupikir keliru sekali. Aku bukan orang Toba. Aku orang yang berasal dari Silindung pada suatu lemebah di Tarautung sana , dan sekarang (ssudah menjadi) orang Simalungun.

Kenapa aku (sudah menjadi) orang Simalungun, sebab aku tinggal di bumi Simalungun. Tanah yang kupijak adalah tanah Simalungun. Langit yang kujunjung pun adalah langit Simalungun. Lebih dari itu, udara yang kuhirup setiap saat setiap sekon adalah udara Simalungun. Dan, air yang kuteguk lebih setengah dari hidupku adalah air Simalungun

Ketika hari-hari berlalu dan aku pun semakin lama tinggal dan menetap di Bumi Simalungun, rasa cintaku makin kental dan menebal pada daerah ini. Putra-putriku tumbuh dan berkembang di Tanah Simalungun, meski pun sekarang mereka menetap di tampat-tempat yang berbeda. Apalagi ketika saat ini mereka sedang menuju pada sukses yang diharapkan, kusadari semua itu berasal dari Simalungun.

Terserahlah bagaimana pendapat siapa-siapa. Yang pasti, sekarang aku merasa adalah seorang Simalungun meski pun aku marga Hutabarat dan marga Hutabarat sejati. Kalau pun sekiranya suatu masa aku harus mati, aku mau mati dan dikuburkan di Bumi Simalungun. Bukan di Huta Bagasan Kelurahan Partali Toruan, Tarutung. Itu Cuma daerah asal leluhurku saja. Bapakku saja lahir di Dairi dan selama mengikuti pendidikan di SGA, dia tinggal di Siantar.Tanah Simalungun.

Maka, kalau ada terjadi perang antara orang Toba dengan orang Simalungun, aku akan berada dan berpihak pada orang Simalungun. Harta yang kumiliki hanya ada di Simalungun. Tanahku, rumahku, kebunku. Manalah aku rela hartaku menjadi luluh lantak karena dikuasai orang lain, semenetara aku tidak punya harta apa pun di Tapanuli. Sejengkal tanah pun tidak. Apalagi kata orang dimana hartamu disanalah hati dan piliranmu.

Itulah antara lain alasanku mengapa akhirnya aku bekerja di Surat Kabar Simalungun Pos yang didirikan Baringin Purba SH MAP, 1998. Surat Kabar Harian Mimbar Umum tempatku bekerja kutinggalkan dengan damai dan sejuk. Aku pamit baik-baik kepada Sabirin Thamrin, Pemimpin Redaksi Mimbar Umum untuk bekerja di Surat Kabar Simalungun Pos.

“Kapan-kapan kalau kau ingin balik dan menyesal disana, kau bisa balik lagi kesini. Kami akan senang menerimamu kembali”, kata Pak Sabirin sambil memeluk
Pundakku. Sayangnya aku tak pernah menyesal bekerja di Simalungun Pos. Makanya aku pun tak pernah kembali (lagi) ke Mimbar Umum. Meski pun harus kukatakan, selama bekerja di Mimbar Umum aku merasa sejuk dan nikmat. Kutinggalkan pun Mimbar Umum, karena aku terlalu mencintai Simalungun dan berniat membayar hutang-hutangku yang teramat banyak pada daerah ini.

Tapi aku pun sebenarnya harus jujur. Aku sering malu begitu aku merasa sebagai orang Simalungun. Pikirku, kalau aku merasa orang Simalungun, aku seharusnya tahu dan mengerti Bahasa Simalungun termasuk Budaya Simalungun. Orang Simalungun agaknya harus ditandai dengan bahasa dan budayanya. Tidak hanya sekadar “ahap” Simalungun. Sebab “ahap” menurutku merupakan sesuatu yang abstrak dan tak berwujud.

Mengapa aku sampai sekarang tidak atau belum fasih berbahasa Simalungun, kupikir karena kawan-kawanku orang-orang Simalungun itu sendiri. Saat aku bersama mereka dimana dan kapam saja, kami selalu menggunakan Bahasa Indonesia. Anehnya, kalau dalam suatu pertemuan ada sepuluh orang Simalungun dan seorang non Simalungun, bahasa pengantar yang digunakan biasanya adalah Bahasa Indonesia bahkan bisa jadi Bahasa Toba. Aku tidak mau menegatakan kawan-kawanku orang Simalungun malu menggunakan Bahasa Simalungun. Aku hanya melihat ini sebagai cerminan betapa kawan-kawanku itu sangat terbuka untuk menerima orang lain di “rumahnya” Orang Simalungun menurutku memang, sangat terbuka dan well come kepada kaum pendatang.

Karena aku dekat dan kerap kali berada dalam komunitas Simalungun, aku kenal sekali dengan mereka. Bayangkanlah, tak sekali pun Pesta Rondang Bittang kuabaikan, bahkan ketika Rakernas Partuha Maujana Simalungun di Hotel Polonia pun aku datang atas undangan salah seorang fungsionarisnya, Marsiaman Saragih. Begitu juga kalau ada Mubes Himapsi dan entah apalagi.

Karena aku seorang yang suka terus terang, maka dengan terus terang pun kukatakan bahwa menurutku orang Simalungun masih sulit sekali untuk maju. Penyebabnya ya mereka sendiri. Mereka, kupikir, harus merubah sikapnya yang kurang baik sejak mulai sekarang. Ya, sekarang, bukan besok apalagi lusa.

Orang Simalungun menurut penilaianku sangat rapuh. Mereka gampang untuk dipecah belah bahkan tidak dipecah belah pun terbecah belah sendiri. Hal ini menurutku merupakan sebuah warisan masa lalu yang sesungguhnya sudah berlalu. Orang Simalungun suka sekali mengingat masa lalu apalagi kalau masa lalu itu menyisakan sesuatu yang pahit. Padahal , hidup yang sesungguhnya adalah hari ini.
Padahal lagi, meminjam isitilah orde baru, persatuan dan kesatuan itu penting sekali.
Paguyuban Partuha Maujana Simalungun saja ada dua. Yang satu Partuha Maujana Simalungun disingkat PMS yang sekarang dipimpin Dr Darwan M Purba sebagai Ketua Umum Presidium. Yang satu lagi Partuha Maujana Simalungun Indonesia disingkat PARMASI yang dipimpin Jaiman Saragih. Kepengurussan KNPSI (Komite Nasional Pemuda Simalungun Indonesia ) pun ada dua. Yang satu dipimpim Drs Jan Wiserdo Saragih dan yang satu lagi dipimpin oleh Darwin Saragih SE. Waktu Harungguan Bolon PMS 2005 misalnya, tidak semua komponen yang ada dijadikan atau diajak untuk menjadi peserta. Padahal sebagai organisasi besar kumpulan kaum cerdik pandai dan bijaksana, PMS menurutku harus merangkul segenap komponen dan elemen yang ada.

Kupikir, LPMSI, LEPSIDASI, PARDASI, Radio MORA Simalungun, Simalungun Pos, Suara Simalungun layak dan pantas untuk dijadikan peserta minimal ikut diundang. Bukan Cuma PAHARSI, HISARSI, HIMAPSI< IKEIS dan yang lainnya saja.

Orang Simalungun juga, sangat sulit untuk membesarkan sesamanya. Yang acap ada justru mereka saling mengecilkan, menganggap orang lain kecil. Si Anu tidak apa-apa dan juga tidak siapa-siapa. Misalnya, beberapa kali Dr Darwan M Purba datang ke Simalungun, nyaris tak ada sambutan yang layak dan pantas. Padahal, dia itu kan Ketua Presidium PMS. Wajar dan pantas misalnya jika dibuatkan spanduk di jalan-jalan protokol Siantar : Selamat Datang Dr Darwn M Purba, Ketua Umum Predidium Partuha Maujana Simalungun.

Padahal, Dr Darwan itu kan orang besar. Tinggalnya saja di Jakarta sana di Jalan Cendana. Mana ada orang biasa bisa tinggal di kawasan itu apalagi dulu ketika zaman orde baru. Jasarlim Sinaga yang orang Raya tapi jaya di Jakarta itu pun orang besar yang tak tanggung. Entah berapa ribu manusia yang dipekerjakannya di berbagai perusahaannya. Parlindungan Purba pun yang anggota DPD sekarang adalah orang besar. Kalau kelak dia mau maju jadi Gubernur Sumatera Utara, peluang untuknya sangat besar apalagi menurutku dari beberapa anggota DPD asal Sumut sekarang, Parlindunganlah yang paling. Pokoknya yang lebih paling.

Sikap yang enggan membesarkan kawan, kupikir menjadikan banyak orang besar Simalungun yang kurang popular dan sulit untuk menjadi besar. Di masa lalu, cukup terbilang orang Simalungun yang besar. Sebut misal almarhum Radjamin Purba, Tuan Moesa Purba, Haji Alif Saragih, Pdt J Wismar Saragih termasuk seorang marga Purba yang saya lupa namanya tapu pernah menjadi Walikota Medan, Bupati Tapanuli Utara bahkan pernah pula menjadi Gubernur Muda di Sumatera Utara.

Rondahaim Saragih dan Sang Na Waluh Damanik, bahkan layak dan pantas untuk menjadi Pahlawan Nasional. Sayangnya, untuk membaca siapa kedua orang ini dan bagaimana pun sampai sekarang generasi muda masih sulit mendapatkannya.
Setahuku, belum terbilang buku atau publikasi yang dapat dijadikan referensi terutama bagi generasi muda untuk memahami atau mencari tahu siapa Rondahaim atau Sang Na Waluh.

Pdt J Wismar Saragih, menurutku perlu dicatat khusus dalam sejarah Simalungun. Bukan hanya karena dialah pendeta pertama yang berasal dari Simalungun, tapi sesungguhnya almarhumlah pembawa terang yang sebenarnya pada Simalungun . Jangankan masih sulit sekali sampai sekarang mencari buku yang menulis tentang pendeta ini, makamnya saja di Pamatang Raya kulihat tak terurus oleh siapa-siapa. Termasuk, Dr Djasamen Saragih, sebagai dokter pertama yang berasal dari etnis Simalungun. Juga, almarhum DR Janner Sinaga yang pernah menjadi Direktur Jenderal di Departemen Penerangan di zaman Orde Baru.

Kuyakini, tak ada orang besar jika tidak dibesarkan oleh orang lain, terutama sesamanya. Nehru juga kupercata tak akan besar jika orang India tidak menjadikannya orang besar. Begitu juga George Washington yang pernah menjadi Presiden AS dan namanya diabadikan untuk suatu ibukota sebuah negara adi daya. HOS Cokroaminoto, H Agus Salim, termasuk Soekarno juga kuyakini tak pernah menjadi orang besar kalau tak kita besarkan. Makanya aku pun bingung mengapa orang Simalungun tidak membesarkan nama seorang H Syahmidun Saragih, Ketua DPRD Simalungun. Padahal, dia sebenarnya adalah seorang politisi nasional yang tinggal di daerah. Jangan lupa, dia pernah menjadi Ketua ketuanya DPRD seluruh Indonesia , alumni Tarpadnas termasuk Lemhanas. Padahal, di zaman orde baru sulit sekali untuk bisa lolos mengikuti Lemhanas, misalnya.

Akhirnya aku pun mengingat DR GM Panggabean. Di Sumatera Utara ini, siapa sih yang tak lagi kenal nama ini ? Dia populer dan populer sekali sebagai tokoh Sumatera Utara, tokoh pers, tokoh pengusaha dan segala macam gelar ketokohan lainnya. Sangkin besar dan hebatnya nama DR GM Panggabean semua Kepala Daerah di Sumatera Utara ini apalagi Kepala-kepala Dinas bangga sekali jika bisa bertemu dengan DR GM Panggabean. Apalagi kalau sempat berkenalan. Tak kecuali Pangdam, Kapoldasu, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi, juga Dantamal Belawan. Kalau aku, ya biasalah, sebab aku pernah menjadi stafnya beberapa tahun.

DR GM Panggabean itu kupikir bisa besar namanya berawal karena dia dibesarkan pertma sekali oleh orang-orang di sekittarnya. Semua karyawan Harian SIB yang dipimpin GM Panggabean menyebutnya dengan panggilan Ketua. Maka, GM Panggabean pun muncul dengan wibawa dan kharisma seorang Ketua. Sikap, perbuatan, pendirian bahkan keputusannya pun akhirnya berbobot sebagai ketua. Dan “hakatuaonnya” pun belakangan bertumbuh, berkembang bahkan berurat berakar.

Pemkab Tapanuli Utara, kupikir ikut berperan membesarkan nama DR GM Panggabean, termasuk Pemmpropsu. Pada saat dilangsungkannya event-event tertentu, DR GM Panggabean selalu ikut diundang serta diharapkan untuk hadir. Diberikan tempat duduk sejajar dengan pejabat-pejabat teras lainnya, baik tingkat pusat apalagi tingkat daerah. Bahkan sekali-sekali diminta untuk meneyampaikan pidato sambutan, bimbingan atau sejenisnya. Orang ramai pun menyaksikan peristiwa itu, sementara Harian SIB pun menyiarkannya besar-besar.

Kubandingkan dengan orang Simalungun, sepertinya mereka enggan bahkan pantang untuk membesarkan sesamanya. Ketika memperingati Hari Ulang Tahun Kota Pematangsianatar atau Hari Jadi Kabupaten Sdimalungun misalnya, tidak pernah diundang orang-orang yang layak dan pantas untuk dibesarkan. Juga, kalau ada perhelatan lainnya termasuk pada pelaksanmaan Pesta Rondang Bittang. Pendiri SKM Simalungun Pos Baringin Purba SH MAP, belum pernah diundang.

Kupikir, dalam perhelatan-perhelatan tertentu orang-orang semacam DR Darwan Purba, DR Samedi Purba, Marsiaman Saragih, Darman Saragih, Japorman Saragih, Jan Toguh Damanik dan banyak lagi perlu untuk diundang. Jangan karena tinggal di Siantar misalnya, DR Sarmedi Purba dipandang sebelah mata. Coba selisik dan cermati dengan jujur dan obyektif. Betapa sesungguhnya DR Sarmedi dapat digolongkan sebagai tokoh yang layak dan pantas. Di tangannya misalnya, Siantar bisa populer antara lain berkat nama harum RS Vita Insani.

Keenganan orang Simalungun untuk membesarkan sesamanya menjadikan sekarang sulit mencari orang Simalungun yang terbilang orang besar. Makanya pun, ketika kita punya rencana-rencana besar semuanya tinggal rencana yang tak pernah menjadi keneyataan. Contohnya, ketika kita berkeinginan untuk memekarkan Kabupaten Simalungun menjadi dua daerah otonomi sampai sekarang tidak terwujud. Padahal, Tapanuli Utara saja sekarang sudah menjadi empat daerah otomomi baru. Lihat, betapa kita sudah amat tertinggal dari Tapanuli Utara dulu. Di Tapanuli Utara dulu, sekarang sudah ada empat Bupati, empat Ketua DPRD, empat Sekda dan lain-lain dan lain-lain. Orang yang menjadi PNS di sana ? Sekarangt sudah jauh lebih banyak dari seleuruh jumlah PNS yang ada di Kabupaten Simalungun.

Ahai. Aku cinta Simalungun. Aku merasa (ssudah) menjadi orang Simalungun. Aku pun rindu bila orang Simalungun menerimaku sebagai orang Simalungun. Orang Simalungun yang berasal dari Silindung, suatu lembah nan indah di Tapanuli Utara sana . Kerinduan yang sampai sekarang masih terbungkus dalam hatiku. Tersimpam dalam relung hatiku yang paling dalam.

Beberapa tahun lalu ketika Bram putra keduaku direncanakan mengikuti Jambore Nasional Pramuka di Cibubur, dia mempelajari Tortor Sombah untuk dipagelarkan disana. Ketika kutanya, Bram mengatakan di Cibubur kelak mereka akan diminta untuk memberikan atraksi kesenian dari daerahnya masing-masing.

“Bah, kenapa bukan Tumba, Nak ?”, kataku ingin mengetahui alasannya.

Bram dengan wajah tenang dan kalem menjawab :

“Daerahku Simalungun, Pak. Kami diminta untuk menampilkan kesenian daerah kami masing-masing. Tarian daerahku antara lain Tortor Tombah. Bukan Tumba. Tumba kan milik orang Silindung”, kata Bram tetap dengan wajah tenang dan kalem.

Putraku Bram benar. Dia memang anak yang cerdas. Kupeluk dia dalam keharuan. Kudekap dia penuh kebanggaan. Meski sampai sekarang aku belum diakui sebagai orang Simalungun.

“Benar, Nak. Kita orang Simalungun. Kita orang Simalungun”, teriakku keras-keras. Dan dadaku terasa longgar ketika mengucapkan kata itu. Tenggorokanku terasa lapang.
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar