Senin, 16 Mei 2011

Mulai Membaca dan Menulis

Ramlo R Hutabarat


Bapakku pembaca. Pembaca sejati. Bukunya pun banyak sekali. Disusunnya rapi di rak buku yang dibuatnya sendiri. Ditempelkannya ke dinding serta dibuatkannya bernomor berseri-seri. Di antara buku-bukunya yang sampai sekarang masih kuingat antara lain Sekelumit Nyanyian Sunda yang kalau aku tak salah ingat karangan Ayip Rosidi. Lalu ada pula yang berjudul Bukan Pasar Malam, juga kalau aku tak salah ingat karangan Aoch Kartamihardja. Juga, Sarinah dan Di Bawah Bendera Revolusi karangan Ir Soekarno.

Bapakku orang sibuk. Sibuk sekali. Mengajar pagi, siangnya pulang sekejab untuk makan dan pergi lagi. Ketika senja hampir diusir malam, Bapakku pulang dan segera menjulurkan kaki .Bernyanyi trilili-lili, dengan wajah berseri-seri.Mamakku pun segera menghidangkan secangkir kopi yang segera dicicipi . Kadang, Mamakku menyuguhi Bapakku singkong atau pisang dari kebun sendiri. Bapakku juga suka mengajari kami bernyanyi. Lagu yang diajarkannya antara lain Burung Kutilang, Kupu-kupu yang Lucu, juga Tanah Pusaka. Sebuah lagu Ambon yang sendu mendayu diajarkan Bapakku kepada kami judulnya Mana Kala Beta Saki. Bapakku, juga pintar memetik senar gitar. Termasuk, main kecapi.

Selain itu, aktivitas Bapakku di rumah hanya membaca. Membaca dan terus membaca sampai aku tertidur. Aku tak pernah tahu pukul berapa Bapakku selesai membaca. Yang aku tahu, ketika paginya aku terjaga dari tidurku, Bapakku sudah ada di sampingku. Kalau aku bangkit dari tidurku, Bapakku pun ikut bangkit dan membaca sebelum berangkat paginya kerja.

Terkadang, di tengah membaca, Bapakku menyampaikan sesuatu kepada Mamakku. Waktu itu, umurku barangkali sekira 4 atau 5 tahun. Aku menyimak apa yang disampaikan Bapakku kepada Mamakku. Aku tertarik pada apa saja yang dikatakan Bapakku kepada Mamakku. Aku berpikir waktu itu, kalau membaca kita bisa banyak tahu. Karenanya, aku suka bisa membaca. Padahal, belakangan aku tahu, semakin banyak membaca semakin banyak pula yang kita tidak tahu.

Karenanya pula, aku berupaya keras untuk bisa membaca. Bapakku mengajarku membaca setelah kudesak agar aku diajarinya. Kakakku Gusta pun ikut mengajarku membaca. Dalam tempo yang sangat singkat akhirnya aku dapat membaca. Kalau aku tak salah ingat, dalam hitungan hari saja aku sudah lancar membaca. Lancar sekali.

Lantas waktuku banyak habis di rumah melulu untuk membaca. Membaca apa saja. Termasuk membaca Alkitab yang juga sering dibaca Bapakku. Makanya, waktu aku belum sekolah aku sudah banyak tahu cerita-cerita dalam Alkitab. Aku mampu dengan lancar sekali menceritakan kepada orang lain cerita tentang Daud melawan Goliat. Yusuf yang dijual saudara-saudaranya tapi belakangan menjadi Perdana Menteri di Mesir. Dan tentu, cerita tentang Yesus mulai dari kelahiranNya di kota kecil Bethlehem sampai kematianNya di kayu salib di Bukit Golghata.

Menyusul saat SD, aku mulai mengenal dunia luar. Aku membaca komik. Komil silat waktu itu umumnya, yang diterbitkan berseri-seri. Ada seri Gundala, Si Pitung, Si Kabayan, dan banyak lagi yang sekarang aku sudah lupa.Aku sangat kecanduan membaca waktu itu. Komik mania namanya barangkali. Selain sekolah, kerjaku hanya memebaca melulu. Mamakku pun membiarkan aku membaca melulu. Nyaris tak pernah aku bermain dengan anak-anak sebayaku. Aku di rumah dan di rumah terus. Membaca terus dan terus membaca. Sekarang, kalau kukilas balik kondisi itu, aku jadi bingung sendiri. Tapi semua itu sudah berlalu.

Waktu kelas VI SD di Pekanbaru, aku pernah dimarahi Pak Malik, guruku.Boleh jadi, sekarang guruku itu sudah mati. Pak Malik tengah mengajar di depan kelas aku malah mengabaikannya. Mataku tertuju pada buku komik di hadapanku, dan pikiranku tentu hanya pada apa yang kubaca itu. Tiba-tiba Pak Malik menghampiriku, dan meraih buku yang tengah kubaca. Tapi marahnya Pak Malik cepat reda. Barangkali, karena aku adalah muridnya yang paling cerdas. Dengan lemah lembut dikatakannya agar aku membaca komik itu di saat-saat jam istirahat.

Waktu di Kuala Simpang kelas I SMP, bahan bacaanku sedikit sekali. Bahkan hampir tidak ada. Apalagi waktu di Langsa. Aku tak punya waktu untuk mencari komik atau buku di tempat-tempat penyewaannya. Penyebabnya, aku diantar jeput ke dan dari sekolah dengan mobil milik PTPN I. Waktu itu Direktur Utamanya Pak Suhadi yang kupikir sekarang sudah mati.

Ketika aku bersekolah di SMP Negeri Kuala Simpang, kami tinggal di Simpang Kanan, sebuah afdeling PTPN I di kawasan Sungai Liput. Rumah kami berada di seberang sungai besar dan lebar yang waktu itu belum didirikan jembatan. Posisi rumah kami di ketinggian yang berbukit. Besar dan lapang, peninggalan tuan kebon orang Belanda. Di sisi bagian bawahnya mengalir Sungai Simpang Kanan yang kadang banjir bandang dan airnya melimpah kemana-mana. Setiap pergi dan pulang sekolah, aku harus menyeberangi sungai itu dengan menggunakan sampan yang kukayuh sendiri. Kadang aku menyeberang dengan rakit, yang di daerah out disebut orag sebagai getek. Orang Taluk Kuantan, Riau, menyebutnya pelayangan.

Situasi semua itu menjadikan ruang gerakku amat terbatas. Mau kemana aku ngapain ? Kemana dan bagaimana pula aku bisa mendapatkan bahan bacaan ? Aku acap termangu, terpelongo, sampai aku mendapatkan semacam inspirasi. Mengapa tak kutulis saja apa-apa untuk kubaca sendiri. Tokh aku tahu, semua yang pernah kubaca adalah hasil tulisan siapa-siapa untuk dibaca siapa-siapa pula.

Sejak saat itu aku pun mulai menulis tentang apa-apa yang kulihat, kualami, dan yang kurasakan. Karena waktu itu kertas belum sebanyak sekarang dan kalau pun ada harganya masih mahal, apa saja yang kutulis di buku tulis pelajaranku.Pernah guruku menemukan tulisanku di buku tulis pelajaran aljabar, dia langsung marah dan minta agar buku tulis tidak dicampur aduk. Tak bagus dicampur aduk katanya sambil merobek bagian kertas yang kutulis dan membawanya ke kantor dewan guru.;

Tapi besoknya aku dipanggil guru Bahasa Indonesia yang sekarang namanya aku sudah lupa. Tubuhku gemetar ketika memasuki ruangannya di kantor dewan guru. Napasku sesak dan jantungku bergejolak. Tapi saat aku sudah berhadapan dengannya, wajahnya ramah dan sejuk dan dia pun segera menyuruhku duduk. Kuremas-remas jemariku. Keringat bercucuran di tubuhku. Keringat dingin.

Bersama beberapa guru lainnya, guruku tadi memberiku enam buku tulis yang tebal-tebal. Isi 100 lembar yang katanya diberikan Pak Maulana kepala sekolah kami. Pak Maulana senang katanya, karena ada murid di sekolah itu yang pintar menulis. Buku itu dititipkan untukku karena hari itu Pak Maulana ada urusan di kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebelum aku beranjak dari ruangan guru itu, aku sempat mendengar percakapan di antara mereka. Dadaku terasa longgar apalagi aku mendapatkan buku sampai enam buah masing-masing berisi 100 lembar. Aku tersanjung, karena ada guru yang bilang waktu itu, suatu masa aku pasti menjadi penulis tenar. Terus terang, sejak kecil memang aku suka disanjung dan dipuja. Aku bangga.

Sambil menuju kelasku, aku cermati lagi apa yang kutulis di buku aljabar tadi. Ada tentang Sungai Simpang Kanan di seberang rumah kami yang kerap banjir, ada tentang buruh-buruh perkebunan di sekitar tempat tinggalku yang umumnya hidup miskin dan papa. Juga ada tulisan tentang kawanku Pardi yang pintar sekali melukis, tentang pabrik kelapa sawit di Sungai Liput milik PT Sofindo. Juga tentang tentara yang sering kulihat latihan perang di Asrama Sungai Liput.

Ketika aku bersekolah di SMP PTPN I Kebun Lampahan, bahan bacaanku semakin sulit dan langka kudapatkan. Tapi aku tak terlalu kecewa lagi, sebab aku sudah terbiasa menulis sendiri untuk kubaca sendiri. Aneh memang, tapi itulah faktanya. Aku menulis supaya ada kubaca, dan itu kulakukan juga sampai sekarang. Aku berprinsip, aku suka menulis dan kalau dibaca orang atau tidak dibaca itu bukan urusanku. Aku menulis karena aku senang menulis. Mau dibaca orang lain terserah orang lain itu. Yang soal,

aku harus menulis agar aku senang

Lampahan, Kecamatan Timang Gajah merupakan suatu kawasan yang indah memukau. Daerah beriklim dingin di Dataran Tinggi Gayo, di kaki Gunung Burni Telong yang menjulang tinggi ke angkasa. Tanahnya subur dan anak negerinya rajin mengolahnya. Sesekali kala pagi menjelang dan mentari bersinar cemerlang, tubuh Burni Telong diselimuti kabut hingga hilang dari pandangan. Setiap pagi bagaimana pun dinginnya, buruh-buruh perkebunan harus beranjak dari tidurnya untuk menderes batang pinus dan mengambil getahnya. Getah pinus diolah dan diproses di pabrik untuk dijadikan damar dan terpentin.

Meski negeri leluhur orang Gayo, tapi kota kecil ini lebih didominasi oleh orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa itu semula adalah buruh-buruh perkebunan PTPN I yang sudah lama mengusahakan tanaman pinus, tebu dan kopi. Makanya PTPN I waktu itu disebut sebagai PTP Antan (Aneka Tanaman). PTPN I pernah kollaps tapi akhirnya ditalangi PTP II Tanjung Morawa dan PTPN IV (waktu itu) Bah Jambi. PTPN I pun merubah tanamannya menjadi kelapa sawit di banyak tempat dan sejak itu PTN I bisa bangkit dari keterpurukannya.

Orang-orang Jawa yang sudah pensiun dari PTPN I, umumnya tidak pulang ke tanah leluhurnya. Mereka enggan untuk kembali, dan memilih tinggal di Lampahan dan sekitarnya dan beranak cucu di sana. Orang Gayo pun, mirip dengan orang Simalungun yang selalu well come kepada pendatang. Mereka menerima orang-orang Jawa sebagai saudara sendiri, bahkan banyak di antaranya yang kawin mawin. Mereka hidup berdampingan dengan akrab dan mesra, bersahabat.

Seperti umumnya orang Jawa, mereka rajin, tekun dan setia melakukan pekerjaannya. Mereka pun mengolah dan menggarap lahan-lahan di pinggiran areal PTPN I, serta menanaminya dengan aneka komoditas. Mereka juga umumnya pasrah, nrimo, jujur, patuh. Meski pun, mereka tetap membawa budayanya dari Jawa sana. Pemukiman orang-orang Jawa disana, hampir semua tertata rapi dan asri.Beda sekali tentu, dengan pemukiman orang-orang Tapanuli dimana saja.

Aku sering sekali menyambangi mereka kemana-mana. Menyelusuri kebun-kebun kopi, dan tebu. Juga kebun pokat serta segala macam holtikultura. Menembus hutan pinus yang rimbun dan tertanam tak beraturan. Menepis embun dan menghindari onak duri yang kadang menghadang menghalang. Aku suka menyaksikan mereka mengolah tebu secara tradisional untuk dijadikan gula. Aku menyimak bagaimana mereka memproses biji kopi hingga layak jual.

Semua yang kulihat dan kucermati, kutulis di buku tulis pelajaranku. Kutulis kapan saja dan dimana saja. Bisa di sekolah di ruang kelas ketika pelajaran sedang berlangsung, bisa di rumah bahkan bisa di tanah lapang di depan sekolahku di kawasan Pondok Bawah. Semua berlangsung biasa-biasa saja, tak ada yang istimewa. Boleh jadi guruku menerangkan di depan kelas dengan gairah membara, sementara aku pun menulis di meja kelasku juga dengan gairah yang membara. Kutulis, kubaca. Kutulis, dan kubaca. Semua akhirnya jadi terbiasa. Tak ada yang istimewa.

Ada juga aku tulis tentang seorang kawan sekolahku, adik kelasku yang namanya Helmiati. Dia putri Gayo tulen, anak seorang manta Asisten PTPN I yang sudah pensiun. Aku lukis kecantikannya dalam bentuk tulisan. Tentang rambutnyaa yang terurai panjang. Tentang senyumnya yang menawan, tentang matanya yang sayu merayu. Juga tentang suaranya yang merdu dan tutur bahasanya yang lembut dan langkahnya yang indah gemulai.

Waktu Ida Wartati kakak Helmiati yang kawan kelasku membaca tulisanku tentang adiknya itu, dia segera menanyakanku :

“Ram, kau suka pada Helmi ?”

Aku diam. Ida Wartati memahami arti diamku. Besoknya Ida Wartati mengatur aagar kami bisa pulang bareng dari sekolah. Ida dan Mico Kasah adiknya di depan (Mico Kasah sekarang bkerja di TVRI Pusat Jakarta) dan aku bersama Helmiati di belakang. Tak ada sepatah kata pun yang kulontarkan pada saat itu pada Helmiati. Dara Gayo itu pun begitu. Aku diam. Helmiati diam. Tak ada sepatah kata pun yang kami katakan. Diam memang kadang lebih berarti.

Beberapa hari berselang pun, Ida Wartati menganjurkanku agar menulis surat untuk adiknya, Helmiati. “Katakan dalam suratmu kau cinta dia, Ram”, kata Ida.

Ketika Guru Agama kami mengajar di depan kelas, surat untuk Helmiati pun kutulis dengan lancar. Kukatakan lewat surat kepadanya bahwa dia cantik menarik. Karena itu aku katakan , aku cinta dia. Sederhana sekali. Surat cinta pertama yang pernah kutulis. Helmiati cantik, aku suka. Dan aku memang suka (melihat) perempuan cantik. Apalagi pintar dan cerdas, pandai pula menari dan menyanyi.

Tapi sampai beberapa hari berlalu, aku tidak mendapat balasan suratku dari Helmiati. Dadaku sesak. Napasku bergejolak, hingga tanah yang kupijak bagai retak-retak. Penuh kecewa kudatangi Ida Wartati ketika istirahat pertama. Kutumpahkan rasa kesal dan sesal di dada, dan Ida segera memanggil Emma teman karib Helmiati. Ida mengintograsi Emma.

“Helmi suka koq sama kau Ram. Cuma dia tak berani membalas suratmu karena dia tak mampu menulis seperti indahnya bahasamu”, kata Emma mantap dan pasti. Aku dan Ida Wartati saling berpandangan. Penuh arti. Sarat makana.

Seingatku, sejak saat itu aku semakin rajin lagi menulis. Apalagi setelah tiap hari aku ke sekolah bareng dengan Helmiati, aku semakin rajin pula menulis. Pergi dan pulang sekolah kami selalu bersama, tapi kami lebih banayak berdiam diri saja. Dia cuma mengatakan sesuatu yang penting saja, seperti aku bersikap sama kepada dia. Pernah malah waktu libur panjang kami berdua ke Takengon untuk menyakksikan pacuan kuda, tapi sejak pergi hingga pulang kami lebih banyak berdiam diri. Sesekali jika Helmiati mengagumi penunggang kuda karena mampu memacu kudanya berlari kencang, dia hanya memandangku penuh arti. Dan aku pun, berupaya mengagumi penunggang kuda yang dikagumi Helmiati tadi.

Tapi suatu masa, Ibu Latifah Guru Keskel kami menemukan timbunan buku tulisku yang berisi segala macam tulisan. Ada cerpen, puisi, pantun bahkan reportase.Ibu Guruku yang berkerudung dan terkesan alim inilah yang pertama mengirimkan tulisan-tulisanku ke surat kabar Mimbar Swadaya dan surat kabar Seulawah yang terbit di Banda Aceh. Juga, tulisanku dikirimnya ke surat kabar Pos Utara yang terbit di Medan, setelah dimintanya kutulis lagi dengan baik dan rapi. Tak terbilang bagaimana bangganya aku, ketika Ibu Latifah mengumumkan pada saat upacara bendera bahwa seorang murid SMP PTPN I Kebun Lampahan telah menulis di surat kabar.

Waktu mengucapkan itu, kawan-kawanku bertepuk tangan dan ada yang berteriak bagai histeris. Ada lagi yang berteriak-teriak : Hidup Helmiati … ! Hidup Helmiati …!Kuarahkan pandangan padanya. Dia tersipu dan segera berlari memasuki kelasnya. Kuikuti dia ke kelasnya. Dia menangis kulihat. Air matanya meleleh dan menetes dari bola matanya yang bening dan jernih. Sampai sekarang aku tidak tahu kenapa Helmiati menangis. Aku tidak tahu apakah karena dia malu atau sebaliknya, dia bangga karena tulisanku disiarkan di surat kabar.

Setelah itu aku pun semakin rajin dan tekun menulis. Ada satu cerita bersambung yang kutulis di bawah judul Kabut di Perkebunan Kini Sudah Lenyap.Cerita yang kuangkat dari kisah cinta kawanku yang putri staf perkebunan dengan kawanku yang lain yang hanya putra seorang karyawan rendahan. Aku pun banyak menerima surat dari banyak orang, termasuk dari banyak remaja putri yang ada di Aceh. Pernah Helmiati merobek salah satu surat yang kuterima, yang kupikir karena dia dibakar rasa cemburu. Padahal, sungguh aku sayang Helmiati.

Aku harus mengakui. Yang menjadidkan aku semakin rajin menulis dan menulis waktu itu, sesungguhnya adalah Helmiati. Dia selalu mendorongku agar tetap menulis, dan memberi apresiasi pada setiap tulisanku. Dia bahkan acap mengajakku entah kemana-mana, yang menurutnya agar aku mendapatkan bahan untuk menulis.

Sekarang, aku sudah tua. Tapi aku masih selalu merindukan Helmiati. Aneh !

7 komentar:

  1. Entah kenapa aku iseng buka google tentang Lampahan, eh Jumpa kawanku ini Ramlo Hutabarat (tulisan tahun 2011). Aku jelas tahu cerita yang ditulis Ramlo. Apa kabar friend? aku di Jakarta (sudah 25 tahun). Pasti kita sudah tidak jumpa sekitar 38-40 tahun ya.

    BalasHapus
  2. Tulisan yang mengesankan......akankah Ramlo bisa ketemu Helmiati?...Kami tunggu cerita selanjutnya bang Ram.......

    BalasHapus
  3. Sepertinya Ramlo tidak pernah ketemu Helimiati, ha ha ha. Aku pun kenal semua yang ditulis Bang Ramlo ini. Dulu Ramlo Kelas III, aku kelas I, tapi kami sering main sama. Maklum, aku pernah sekelas sama Ida (Roida), sepupunya Ramlo, anak Om Sihombing, sahabat Almarhum Bapakku yang sama-sama bekerja di PNP I Lampahan.

    BalasHapus
  4. Aku juga kenal dengan Ibu Latifah, guru KesKel (PKK) dan Kesenian yang juga isteri dari Bapak Teruna, guru sejarah dan Civics (Pendidikan Kewargaan Negara). Juga Emma dan Ida. Where are you all?

    BalasHapus
  5. Ceritanya menarik dan mengalir seperti melihat sendiri Helmiati di depan mata.

    BalasHapus
  6. Berkesan bgt baca tulisannya pak.. sekarang semua sudah berbeda dengan lampahan.. kebetulan bapak taruna jaya itu tetangga saya. Dan ibu itu sudah Almh..

    BalasHapus
  7. Berkesan bgt baca tulisannya pak.. sekarang semua sudah berbeda dengan lampahan.. kebetulan bapak taruna jaya itu tetangga saya. Dan ibu itu sudah Almh..

    BalasHapus