Sabtu, 14 Mei 2011

Siapa Aku, Dari Mana dan Mau Kemana (Cuplikan Bukuku : Orang Pinggiran yang Selalu di Tengah)

Ramlo R Hutabarat


Namaku Ramlo Raskolnikov Tjakrawala. Aku orang Batak. Karena aku orang Batak, aku menggunakan marga Bapakku di belakang namaku. Bukan marga Mamakku seperti tradisi pada orang Minangkabau. Maka namaku lengkap menjadi Ramlo Raskolnikov Tjakrawala Hutabarat, seperti yang tertulis pada Surat Baptisku yang diperbuat oleh Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) Waktu aku masihsekolah di SD dulu, namaku kutulis Ramlo saja. Sempat juga kutulis Ramlo R Tjak, barangkali sampai kelas I atau kelas II SMP.

Dulu – sudah lama – ketika aku mula-mula menulis di surat kabar, 1973, namaku kutulis Ramlo Raskolnikov. Tapi ketika aku mulai menulis di Harian SIB (Sinar Indonesia Baru), 1975, aku pakai nama Ramlo R Hutabarat. Aku senang pada namaku itu. Aku bangga diberi Bapakku nama Ramlo Raskolnikov Tjakrawala Hutabarat. Kalau aku dilahirkan kembali dan ditanya mau diberi nama apa, aku jawab aku suka nama Ramlo Raskolnikov Tjakrawala Hutabarat

Aku tak paham mengapa orang Batak menggunakan marga Bapaknya di belakang namanya. Bukan marga Mamaknya, apalagi bukan marga tetangganya. Kalau aku bebas untuk memilih, sebenarnya aku lebih suka memakai marga Mamakku – Sihombing – di belakang namaku. Alasanku, kupikir darah Sihombing lebih banyak mengalir di tubutku bila dibanding dengan darah Hutabarat. Lagi pula, waktu Mamakku melahirkan aku, darahnya tertumpah demi aku. Bertaburan. Berceceran. Darah Bapakku ? Mana ada tertumpah waktu aku dilahirkan Mamakku. Meski pun, tentu, embrioku berasal dari Bapakku, Hasahatan Mula Toba Hutabarat.

Tapi seperti yang sudah kusebutkan barusan, aku orang Batak. Dan sebagai orang Batak aku tak mau melanggar adat. Pantang, kata Mamakku. Adat bagi orang Batak adalah suatu tradisi yang berlaku secara turun temurun. Lebih dari itu, adat bagi orang Batak adalah segalanya, sejak lahir sampai mati. Tak perlu dipertanyakan kenapa begitu, tidak begini. “Adat do mulana, adat do nang ujungna. Hangoluan dohot hamatean” Maknanya kuterjemahkan : Orang Batak harus beradat serta taat dan patuh pada adatnya sejak lahir sampai mati. Dan aku orang Batak. Makanya marga Bappakku yang kupakai di belakang namaku.

Aku dilahirkan Mamakku – St Porman Pinta Tua Sihombing – pada 9 Juli 1957 di Ponntianak. Dari Pontianak, kami m pindah ke Sintang, suatu daerah pedalaman Kalimantan Barat di Hulu Sungai Kapuas. Tapi ketika Bapakku mendapat tugas belajar ke FKIP Universitas Indonesia, aku ikut pindah ke Jakarta. Kemudian aku bersekolah di SD Negeri 1 Rantauprapat, Labuhan Batu, di samping Makam Pahlawan, SD Methodist Rantauprapat juga di samping Makam Pahlawan, tapi aku justru tamat dari SD Negeri 28 Pekanbaru yang waktu itu berlokasi di sekitar belakang Bank Indonesia Pekanbaru sekarang.

SMP mula-mula aku jalani di SMP Negeri Kuala Simpang, sekarang Aceh Tamiang, waktu itu masih Kabupaten Aceh Timur. Lantas karena kami pindah ke Langsa, aku pun pindah sekolah juga ke kota itu di SMP Negeri 1 Langsa yang berhadap-hadapan dengan Mapolres Aceh Timur. Ketika kami pindah lagi ke Lampahan, Aceh Tengah, aku sekolah di SMP PTPN I Takengon Kebun Lampahan Kecamatan Timang Gajah. Lampahan berada di kaki Gunung Burni Telong yang menjulang perkasa ke angkasa. Sementara, STM Jurusan Mesin Umum kuselesaikan di STM – HKI Tarutung, negeri asal leluhurku.

Kalau dicermati perjalanan hidupku yang mondar – mandir kesana-kemari itu, aku sulit sekali menjawab pertaanyaan orang lain dimana aku dibesarkan. Makanya supaya tidak terlalu panjang dan bertele-tele, kujawab saja singkat : Aku dibesarkan di Indonesia. Negeri yang amat kucinta. Dengan sepenuh jiwa raga. Suatu negeri yang tak akan kulupa. Indonesia, ya Indonesia Raya.

Tapi leluhurku berasal dari Hutabagasan Kelurahan Partali Toruan, Tarutung. Sebelumnya, berdasarkan penuturan tetua-tetua kampung asal leluhurku itu, mereka tinggal di Pagar Sinondi, juga masih masuk wilayah Kecamatan Tarutung. Sekaramg, Pagar Sinondi yang pada saat mula-mula zaman kemerdekaan berbentuk Kenegerian, secara administratif pemerintahan terdiri dari tiga desa. Masing-masing Jambur Nauli, Sitampurung dan Sihujur.

Sampai sekarang, kawasan itu masih (tetap) terpencil dan terisolir. Hampir seribuan kepala keluuarga pemukimnya, dengan 6 SD sekarang ada disana. Tapi, Pemkab Tapanuli Utara masih mengabaikan anak negeri disini. Belum ada didirikan SMP, hingga anak usia SMP pun harus berjalan kaki ke Huta Raja di Kecamatan Sipoholon yang jaraknya dari Pagar Sinondi antara 5 sampai 8 kilometer.

Pagar Sinondi memang berada di pedalaman, di sisi kiri ruas jalan Siborongborong – Tarutung. Posisinya dijepit oleh Kecamatan Sipoholon dan Kecamatan Siborongborong serta Kecamatan Tarutung. Lahan pertanian cukup luas dan potensial di kawasan ini. Tanaman kopi dapat tumbuh dengan baik, yang memberikan hasil lumayan untuk membutuhi keperluan hidup anak negerinya. Jagung juga kalau diusahakan disini, pasti bisa meningkatkan pendapatan anak negeri. Selain, tentu, beberapa jenis komoditas lainnya.

Tapi seperti biasa, Pemkab Tapanuli Utara masih kurang memperhatikan anak negerinya. Seperti di daerah-daerah pedalaman lainnya, orang-orang Pemkab masih mengabaikannya. Mereka lebih berpaling pada anak negeri yang berada di kawasan-kawasan pinggiran jalan raya. Orang-orang pedalaman, paling-paling hanya dilirik saat-saat menjelang pemilu atau pemilukada. Lewat itu, kembali diabaikan.

Betul, sesekali ada juga proyek pembangunan yang diarahkan ke Pagar Sinondi. Tapi, seperti biasa, proyek pembangunan itu justru dieksploitasi oknum-oknum tertentu untuk memperkaya diri sendiri. Contohnya, proyek perluasan tanaman kopi yang ada di Desa Sihujur yang dibiayai dari dana APBN Tahun Anggaran 2009. Di atas kertas, disana disebutkan telah ditanami kopi seluas 50 hektar. Padahal haram mampus, kalau diteliti sebenarnya, paling-paling yang ada Cuma sekira 30 hektar saja.

Sebelum ke Pagar Sinondi, leluhurku berada di Onan Runggu, sekarang Kecamatan Sipahutar. Syahdan, Si Raja Hutabarat memiliki tiga putera masing-masing Si Raja Hapoltahan, Si Raja Sosunggulon dan Pohan. Pohan, ketika masih kanan-kanak konon dibawa Ibundanya yang Boru Simanjuntak Pohan ke kampung Tulangnya di Onan Runggu. Disana dia menikah hingga memiliki tiga putra. Yang pertama Si Raja Natumandi, yang kedua Guru Hinobaan, dan putra ketiga tak jelas namanya kerena waktu muda “jalang” ke kawasan Hullang di pedalaman Tapanuli Tengah sana dan konon hingga sekarang belum pernah pulang. Sementara, Guru Hinobaan memiliki tiga putra masing-masing Guru Hasahatan, Raja Sibiung dan Juara Monang. Sementara, aku merupakan titisan Raja Sibiung dari garis keturunan Partali Toruan “pinompar ni” Ompu Raja na Uli pada tinggak ke 18 dari Si Raja Hutabarat. Sementara, Si Raja Hutabarat adalah putra pertama Guru Mangaloksa.

Guru Mangaloksa sendiri, menurut Sejarah Batak, merupakan perantau di Silindung yang berasal dari Sigaol. Sigaol merupakan suatu kampung di Tepian Danau Toba,yang kalau tak salah sekarang berada di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir.Aku tak tahu, mengapa setelah di Silindung, Guru Mangaloksa tidak menggunakan marganya (lagi), Hasibuan. Yang aku tahu, Guru Mangaloksa merupakan seorang yang perkasa. Namanya saja Guru Mangaloksa. Guru bagi orang Batak pengertiannya adalah Raja ni Raja, Datu ni Datu, Tuan ni Tuan. Tak banyak orang Batak keturunan Guru. Di antara yang tak banyak itu salah seorang di antaranya adalah aku. Ada orang Batak keturunan Raja, misalnya Raja Sonak Malela. Ada orang Batak keturunan Datu misalnya Datu Bira. Ada pula orang Batak keturunan Tuan misalnya Tuan Sihubil atau Tuan Somanimbil. Sedang aku merupakan seorang keturunan Guru. Guru Mangaloksa.

Berdasarkan Tarombo Batak, Guru Mangaloksa merupakan salah seorang putra Si Raja Hasibuan. Sementara, Si Raja Hasibuan adalah salah seorang putra Si Raja Sobu yang memperistri Bosu Sibasopaet. Sibasopaet, berasal dari kata Mojopahit, jadi Boru Sibasopaet adalah putrinya Mojopahit. Basopaet – Mojopahit, mirip memang pengucapannya. Tapi kalau pendapatku ini tak benar, kupikir tak penting sekali. Terus terang harus aku katakan, aku tidak pernah melakukan penelitian untuk itu. Dam memang, apalagi, aku bukan peneliti (sejarah)

Alkisah, Patih Gajahmada selaku Perdana Menteri Kerajaan Mojopahit suatu masa bersumpah untuk mempersatukan seluruh Nusantara dalam Kerajaan Mojopahit. Sumpah Gajahmada, dicatat sejarah sebagai Sumpah Palapa. Menyatukan Nusantara, tidak dilakukan Mojopahit dengan dan dalam bentuk kekerasan (perang, menaklukkan), tapi dengan suatu bentuk diplomasi yang sampai sekarang agaknya masih perlu kita lakukan di republik ini.

Antara lain, cara yang ditempuh adalah dengan mengawinkan putri-putri Mojopahit dengan pendekar-pendekar, panglima-panglima atau raja-raja di berbagai belahan daerah Nusantara. Dengan terjadinya perkawinan ini, diharapkan sekaligus terjalin hubungan kekeluargaan yang akrab dan mesra. Kupikir, karena perkawinan ini juga ada hubungan Jawa dengan Simalungun secara budaya. “Gotong”, misalnya, merupakan salah satu pertanda adanya hubungan Simalungun dengan Mojopahit.

Karena istri Raja Sobu adalah putri Mojopahit berdasarkan versiku, maka secara logika aku pun tentu punya hubungan darah dengan Mojopahit. Secara adat Batak, aku adalah Bere ni Mojopahit. Kalau aku tentara kian, aku percaya akan dipercaya oleh penguasa yang orang Jawa sebagai panglima. Makanya, ketika almarhum Jenderal Maraden Panggabean dipercaya Soeharto jadi Panglima ABRI/ Menhamkam / Pangab, aku tak heran. Jenderal Panggabean sama seperti aku, setidaknya sama-sama Bere ni Mojopahit. Wajar seorang Bere mengawal Tulangnya.

Waktu Guru Mangaloksa merantau ke Silindung (bukan Tarutung), dia menetap di Lobu Silindung di kawasan Hutabarat Hapoltahan sekarang. Waktu itu sudah ada membuka kampung disana marga Pasaribu, mulai dari kawasan Aek Ristop sampai ke kawasan Pansur Napitu sekarang. Di kawasan kota Tarutung sekarang, sudah ada membuka kampung marga Simamora, Matondang, Manik dan marga-marga tertentu. Tapi belakangan, marga Pasaribu beranjak ke arah Barus di Tepian Samudera Indonesia yang keturunannya antara lain Bomer Pasaribu yang pernah menjadi petinggi Partai Golkar dan menjadi salah seorang anggota kabinet.

Marga Manik, surut ke arah pedalaman ke Aek Nasia sekitarnya. Marga Matondang, bertahan di kawasan Simaung-maung sekarang. Marga Simamora dan kelompoknya (Purba, Manalu) masih tetap bertahan di kawasan Panan Lombu, Pardangguran, kawasan Kantor Pos dan RSU sekarang, sampai ke Siualu Ompu. Umumnya, mereka adalah pedagang pengumpul hasil bumi antara saudagar dari Humbang, Toba dan Samosir ke saudagar yang datang dari Barus dan Sibolga. Sementara, putra Guru Mangalokas (Hutabarat, Panggabean, Hutagalung dan Hutatoruan) umumnya hidup dari hasil hutan, pertanian dan kerajinan.

Tapi belakangan ketika zaman berputar, putra-putra Guru Mangaloksa terlebih dahulu berhasil merebut hati Belanda dan Jerman. Kekristenan langsung mereka terima, sama seperti mereka menerima pemerintahan Belanda. Mereka pun mendapat dan mengenal pendidikan terlebih dahulu dari penduduk (asli) Tarutung tadi (Simamora dan Matondang) Mereka juga akhirnya diberi ragam kemudahan, termasuk untuk mengikuti pendidikan sekaligus diberi kepercayaan sebagai pembantu pemerintah Belanda untuk tingkat desa dan kenegerian.

Maka biasalah. Kelak kawasan kota Tarutung yang semula kampung Simamora dan Matondang itu, diduduki oleh putra-putra Guru Mangaloksa, terutama dari garis keturunan Hutatoruan. Makanya sampai sekarang beberapa kelurahan di Tarutung bernama Kelurahan Hutatoruan. Dan sampai sekarang pun, di muka bumi ini orang menyebut Tarutung adalah kampungnya Si Opat Pisoran. Peristiwa ini merupakan sesuatu yang biasa dalam kehidupan masyarakat Batak, sampai sekarang. Apalagi, orang Batak mengenal kalimat : Ijuk di para-para, hotang di parlabian. Na bisuk nampuna hata, na oto tu panggadisan,

Tapi, semua yang kupaparkan di atas hanya paparan dan ceritaku semata. Namanya saja cerita.Apalagi, aku orang Batak. Dan orang Batak umumnya pintar dan lihai bercerita. Yang tidak ada pun bisa dijadikan ada. Yang pasti, aku bukan siapa-siapa dan tidak apa-apa. Aku bukan akademisi apalagi pakar dan akhli. Aku cuma pencerita sebatas pelipur lara. Makanya, kupikir tak penting sekali untuk dipertentangkan kebenaran apa yang kuungkap di atas tadi. Kita anggap saja yang tadi itu tak penting. Kenapa rupanya ?

Yang penting kurasa adalah, biar leluhur dulu berasal dari Sigaol di tepian pantai Danau Toba, Bapakku justru lahir di Tanah Dairi, Sidikalang. Lalu aku pun dilahirkan di bumi orang Dayak besar di Tanah Melayu sampai ke Negeri Lancang Kuning dan Tanah Rencong. Dan sekarang, sudah puluhan tahun aku tinggal dan bermukim di Bumi Habonaran do Bona, Simalungun. Aku Orang Simalungun !

Bapakku lahir di Tanah Pakpak, Dairi, ketika Ompung Suhutku Herman Hutabarat bertugas sebagai Asisten Demang di Dairilanden waktu masa penjajahan pemerintah Belanda. Tapi masa kanak-kanak Bapakku dilaluinya sampai habis di Saamosir, tepatnya di Lontung Nagodang Kecamatan Simanindo sekarang. Di zaman pemerintahan Belanda, ada Kenegerian Lontung yang meliputi Desa Pardomuan, Parbalokan, Huta Ginjang, Tanjungan dan satu desa lagi yang aku lupa namanya.

Pada masa permulaan kemerdekaan, entah mengapa Kenegerian Lontung tidak dijadikan sebagai satu kecamatan. Padahal waktu itu ada ketentuan, semua kenegerian dijadikan kecamatan. Tapi malah, Kenegerian Lontung digabung dalam Kecamatan Simanindo, sampai almarhum Drs Gustaf Sinaga menjadi Bupati Tapanuli Utara. Di tengah masa jabatannya, Gustaf membentuk bekas Kenegerian Lontung menjadi Perwakilan Kecamatan Hutaginjang, bersama-sama dengan pembentukan Perwakilan Kecamatan Ronggur ni Huta. Entah mengapa, di zaman Lundu Panjaitan SH menjadi Bupati Tapanuli Utara, Perwakilan Kecamatan Hutaginjang pun dihapus. Makanya, aku mau sarankan kepada Pemkab Samosir sekarang, supaya kemebali membentuk bekas Kenegerian Lontung dulu menjadi sebeuah kecamatan. Tapi namanya jangan Kecamatan Hutaginjang, tapi justru Kecamatan Lontung. Sebab, berdasarkan sejarah namanya pun dulu bukan Kenegerian Hutaginjang, tapi Kenegerian Lontung.

Bapakku tinggal di Lontung waktu kanak-kanak karena Ompung Suhutku acapkali dipindahtugaskan oleh pemerintah Belanda ke berbagai daerah di Tapanuli. Pernah di Pangururan, Balige, Teluk Dalam, Tetehosi, sampai ke Gunung Sitoli di Pulau Nias sana. Sebelumnya, Ompungku pernah bertuas di Balige dan Tarutung, juga sebagai Asisten Demang. Dia menjadi Demang ketika di Gunung Sitoli.

Supaya jangan repot-repot pindah sana pindah sini barangkali, Bapakku dan beberapa saudaranya tinggal bersama Ompung Bao mereka di Lontung, yang waktu itu menjadi Kepala Kenegerian Lontung. Orang Lontung menyebutnya Nagari Lottung. Ayahanda Nagari Lottung ini pun adalah seorang Raja Ihutan Lontung. Jadi, ada darah biru mengalir di tubuh mereka. Oh ya, marganya adalah Situmorang yang cucunya (Tulangnya Bapakku) salah seorang adalah Komisaris Besar Polisi GK Situmorang yang lama menjadi Kapolres Sibolga/ Tapanuli Tengah dan terakhir pensiun sebagai Kadispen Poldasu.

Biar sejak di sekolah menengah Bapakku tinggal di Siantar dan pernah bertugas entah dimana-mana, Bapakku tetap seorang Batak yang totok dan medhok. Bahasa Indonesia-nya marpasir-pasir dan kolokan. Padahal, Bapakku memiliki pergaulan dan lingkungan yang elit karena dia mengajar Bahasa Inggris di banyak daerah kepada para Muspida di tempatnya pernah bertugas. Bapakku jago. Jago sekali. Untuk menggambarkan antara lain kejagoannya aku mau katakan bahwa aku sudah pernah dirangkul almarhum Presiden RI, Soekarno. Waktu itu aku bersama Kakakku Gusta dan Florida dibawa Bapakku ke Istana Negara entah untuk urusan apa. Menapaki tangga, kami disambut Soekarno dan aku dirangkulnya.

“ Siapa namamu, Nak ?”, tanya Soekarno.

“Wamwo waskofnikof cacawawa”, kataku garang dan lantang. Tapi begitu pun, Bapakku tetap medok dan totok. Bataknya kental sekali.

Berbeda sekali dengan Mamakku yang dilahirkan dan dibesarkan di Rantauprapat, penghasil ikan terubuk dan getah serta sawit itu. Mamakku, sungguh tak salah kalau disebut sebagai : Kapak pembelah kayu, Batak jadi Melayu. Foto-foto Mamakku waktu remaja dulu menunjukkan seolah dia putri Melayu. Gaya, lagak dan caranya sampai sekarang masih (tetap) kemelayu-melayuan. Senyumnya Mamakku adalah senyuman Melayu.Dan Mamakku, cantik sekali, karena itulah Bapakku mempersuntingnya serta memberi Bapakku 7 putra-putri (tapi seorang di antaranya, putri bernama Sinta, meninggal di Sintang)

Mamakku seperti Bapakku, kebetulan berasal dari keluarga yang beruntung. Bapak Mamakku – Ompung Baoku – menjadi Pegawai Kantor Jawatan Telepon dan Telegraph sejak zaman penjajahan Belanda di Lubuhan Bilik, Marbau dan terakhir di Rantauprapat. Orang-orang Batak yang sudah lama sekali tinggal di Labuhan Batu, biasanya mengenal Ompung Baoku, Manuel Sihombing. Dia salah seorang pendiri Gereja Methodisr Indonesia Rantauprapat dan digelar sebagai Sihombing Naburju. Ompung Baoku yang berasal dari Desa Sibuntuon Pasar Baru Lintong ni Huta itu, ketika remaja merantau ke Deli dan belakangan terdampar di Medan.

Sempat menjadi pencuci piring di sebuah restoran milik orang Cina di Medan, nasib baik mempertemukannya dengan seorang marga Sihombing yang waktu itu bekerja sebagai sefh kereta api. Karena naluri Ompungku yang tinggi untuk sekolah, Sihombing tadi pun menyekolahkannya ke sekolah rendah. Ya, namanya saja zaman itu masih begitu, nasib Ompung baik akhirnya dia bisa bekerja di Jawatan Telepon dan Telegraph.

Aku tak sempat mengenal sosok Ompung Baoku yang laki-laki. Dia meninggal ketika kami masih menetap di Jakarta. Sementara jarak Jakarta – Rantauprapat waktu itu jauh sekali dan Bapakku pun tidak memiliki cukup uang untuk datang ke Rantauprapat waktu Ompungku meninggal. Tapi Ompung Baoku yang perempuan, aku kenal sekali. Dia teramat menyayangiku, dan seingatku tak pernah dia memarahiku. Sayangnya, waktu beliau meninggal, aku juga tidak dapat datang melayatnya. Waktu itu aku masih SD dan tinggal di Pekanbaru. Pada masa itu, belum ada jalan raya lintas Timur Sumatera. Pekanbaru – Rantauprapat harus ditempuh selama 3 hari empat malam melewati ruas jalan Trans Sumatera di lintas Barat. Lewat Bukit Tinggi, Kota Nopan sampai Tarutung, dan harus transit pula di Siantar. Dari sana lewat Perdagangan, Lima Puluh – Kisaran terus ke Aek Kanopan baru tiba di Rantauprapat.

Tapi aku ikut secara aktif “mangongkal holi” Ompung Baoku, pertengahan 2005 lalu. Aku secara langsung turun dan masuk ke liang lahatnya di Pekuburan Kristen Bakaran Batu, Rantauprapat, arah ke Sigambal. Aku mengumpulkan tubuh Ompungku yang sudah menyatu dan bersatu dengan tanah Labuhan Batu. Tubuh Ompungku yang sudah menyatu dengan tanah dan menjadi tanah itu kami bawa ke tanah leluhurnya di Sibuntuon, Pasar Baru, Humbang Hasundutan. Dan waktu menuliskan kalimat-kalimat ini dadaku bergetar.

Aku punya Tulang sampai enam orang. Tulang Toho yang juga populer sebagai Tulang Aceh karena lama bertugas di Aceh, Tulang Ungkap yang kami sebut sebagai Tulang Emma karena putrinya sulungnya bernama Emma, dan Tulang Agus tapi lebih sering kami sebut sebagai Tulang Bali karena menetap di Bali dan menikah dengan Nantulangku Boru Bali yang kelak ditabalkan sebagai Boru Sianturi.

Lalu Tulang Domu yang tetap kami sebut Tulang Domu, meski putri sulungnya bernama Hilda dan tinggal di Jakarta (tidak kusebut Tulang Jakarta), Tulang Tahi yang tetap kami sebut sebagai Tulang Tahi meski putra sulungnya bernama Octa, dan Tulang Kecil yang tidak pernah kami sebut Tulang Andre meski pun putra sulungnya bernama Andre. Pokoknya Tulang Kecil, karena Tulang kami inilaj anak bontotnya Ompung Bao kami.

Aku beruntung, karena sampai sekarang hubunganku dengan putra-putri semua Tulangku berlangsung akrab, dekat dan mesra sekali. Bahkan, hubungan antara mereka dengan putra-putriku, Artinya, hubunganku dengan cucu-cucu Tulangku masih akrab, dekat dan mesra, dan hubungan putra-putri Tulangku dengan cucu-cucu Namboru mereka juga akrab, dekat dan mesra. Sesuatu yang kupikir sekarang ini sudah langka dalam kekerabatan orang Batak.

Laeku Darwin yang sekarang di Batam – putra Tulang Aceh – sesekali masih menelepon aku dan bertanya ini itu. “Sehatnya Namboru, Lae ?”, itu pertanyaannya biasanya yang pertama sebelum kami berbincang ria cerita-cerita lewat telepon. Si Mami (sebenarnya namanya Helmiati) – putri bontot Tulang Aceh yang menetap di Singapura, juga sesekali menelponku. Pertanyaan pertamanya sama dengan pertanyaan pertama Laeku Darwin. Tapi Paribanku ini selalu mengakhiri kalimatnya : Tolong kirimkan nomor rekening Abang. Aku mau kirimkan uang untuk Namboru beli susu dan suplemen makanannya. Aku jadi malu, sebab sampai sekarang aku belum pernah berbuat serupa kepada semua Namboruku.

Paribanku Emma – putri sulung Tulang Ungkap – yang sekarang menetap di ujung Sulawesi dan menikah dengan marga Hasibuan, nyaris dua kali sehari mengesmsku. Ada-ada saja isi smsnya yang membuatku tertawa sendiri bahkan pernah terkencing-kencing. Tak heran kalau di antara semua Paribanku, putri Tulangku, si Emma inilah yang tiap hari kuingat. Kuingat karena smsnya.

Laeku Kimpo yang sebenarnya bernama Cornelis, putra kedua Tulang Emma, sangat penuh perhatian kepadaku, juga kepada semua putra-putriku. Dialah menurutku potret Tulang Emma yang sesungguhnya. Peduli , berbelas kasih dan penuh perhatian., tulus dan ikhlas. Sering kalau ke Tarutung ke rumah mertuanya, Kimpo singgah di rumahku dan segera minta dibuatkan kopi. Istriku segera membuatnya dengan gembira, karena bagi kami kedatangan Kimpo adalah kehormatan. Dan Kimpo pun menyempatkan diri untuk memperbincangkan apa-apa.

Putra-putri Tulangku yang lain, Obed, Jenner, Roida, Norma, Benneth, Dikcson, Ernist, Hengky, Leo, selalu saling say hello denganku lewat internet. Sesekali jumpa entah dimana-mana, kami saling melepas kerinduan dengan bercerita tentang apa saja. Tentang masa lalu umumnya, yang sekarang menjadi lucu.

Tapi ada satu hal yang tak akan kulupakan seumur hidupku. Keempat putra-putriku, bisa masuk menjadi mahasiswa di USU karena usai SMA langsung belajar di Bimbingan Belajar Medica yang milik Reinhard Silalahi, suami Mami, Paribanku. Termasuk putra-putri Kakakku dan putra – putri Adik-adikku. Semua mereka mengikuti bimbingan di Medica, dan semua bisa masuk perguruan tinggi yang diidamkan. Belajar pun gratis pula, padahal pendidikan itu mahal.

Ompung Suhutku, juga orang yang beruntung. Pada masa remajanya, dia menjalani pendidikan di Jakarta yang waktu itu namanya masih Batavia. Itu dulu. Sudah lama sekali. Ketika jarak Tarutung – Jakarta masih sama dengan jarak Tarutung – langit sekarang ini.Hubungan Tarutung – Jakarta waktu itu belum seperti sekarang, tentu belum bisa saling smsan.

Dia bisa mengikuti pendidikan di Jakarta karena ayahandanya merupakan pegawai pemerintah Belanda. Ompungnya Ompungku pun adalah seorang Raja Ihutan, sebuah jabatan pemberian pemerintah Belanda. Sebuah jabatan yang penuh kharisma dan wibawa. Biasalah. Zaman dulu mana ada sembarang orang boleh dan bisa bersekolah. Yang bisa bersekolah bukan sembarang orang dan bukan pula orang sembarang. Tapi juga, orang dulu tidak sembarang sekolah di sekolah sembarang.

Sekarang ini, aku memang tak perlu malu kalau ternyata aku adaalah seorang keturunan Raja Ihutan. Lagi pula, itu adalah fakta yang tak bisa kukubur dalam-dalam. Dalam sejarah, Raja Ihutan disebut-sebut diangkat oleh pemerintah Belanda karena justru mau menjadi kaki tangannya. Apa boleh buat, de fakto dan de jure aku adalah seorang titisan Raja Ihutan.

Seperti orang lain, aku kan tidak bisa memilih harus dilahirkan dari keturunan siapa-siapa. Sekiranya boleh memilih, aku akan pilih agar dilahirkan sebagai titisan Charles Wesly, pengarang nyanyian-nyanyian rohani kelahiran Inggris. Tentu, sebagai titisannya, aku kan pasti punya bakat untuk menciptakan lagu-lagu rohani yang akan dinyanyikan manusia di seluruh muka bumi, sepanjang masa. Sepanjang mayapada ini masih ada.

Faktanya aku dilahirkan oleh seorang Boru Sihombing yang berasal dari Lintong ni Huta yang berbapakkan seorang Hutabarat yang berasal dari Tarutung. Apa boleh buat, semuanya harus kuterima dengan ucapan syukur pada Yang Maha Kuasa, Pencipta Langit dan Bumi beserta isinya.
Makanya, lihat sajalah aku sebagai si Ramlo R Hutabarat. Kupikir, sebenarnya tak penting sekali siapa aku dan dari mana aku serta mau kemana aku.Semua masa lalu, kata orang hanya kenangan, besok adalah harapan sedang hidup yang sesungguhnya adalah hari ini.

Aku hanya ingin hidup berarti. Berarti bagi diri sendiri terlebih berarti bagi orang lain. Aku hanya ingin menunjukkan pada manusia di muka bumi ini kelak, bahwa aku pernah hidup di tengah-tengah peradaban dunia. Meminjam ucapan Khairil Anwar, aku mau hidup berarti (meskipun) setelah itu mati.

4 komentar:

  1. Mohon diralat, Boru Sibasopaet bukan diperistri oleh Raja Sobu, tetapi diperistri oleh Ayahnya yaitu Tuan Sorbadibanua.

    Mauliate

    BalasHapus
  2. sayapun taunya boru sibasopaet adalah inong dari toga sumba juga bang ramlo. katanya istri tuan sorbadibanua/nai suanon ada dua. istri pertama boru pasaribu yang melahirkan sibagotnipohan, sipaet tua, silahisabungan, siraja oloan dan raja hutalima. istri kedua boru sibasopaet yang melahirkan toga sumba, raja sobu dan naipospos. Dari tarombo itu kami pomparan toga sumba maranggi tu pomparan raja sobu. ALAI hudok abang tu abang ramlo, ala au pomparan ni silaban sitio sian parratusan. nungnga takkas iboto abang i SABOLTOK i. molo bapakku karejo di tarutung do namasahi nang pe hami anakkonna dohot uma tinggal di doloksanggul. hea do sega kipas ni mobil di jolo ni HKBP Partali tarutung. jadi masuk ma au tu sada lapo nadisi, hubereng sada ina ina na manjaga lapo i, pintor hudok : inang tua ijo aek sattimba, panas masin ni motorhu. Longang inang i, ai ise do on, ninna rohana. marga silaban do au inang tua, nikku. oooooo.... pintor ninna do huhut mambuat aek i. Alai disukkun inang tua i do daba, hamu tahe silaban sitio do manang siponjot..???? he.he.he.... au ma pomparan siampudan ni inongta boru pasaribu i, ima tuan sappulu, nikku. agee...mangan ma jo ho amangg....pintor ninna inangtua i.
    SINUAN BULU SIBAEN NA LAS
    BINAHEN PARTUTURAN SIBAHEN NA HORAS.

    Asa songon na adong matching na tu judul tulisan na binaen ni abang Ramlo on. Ahu godang do manjaha jaha taringot tu adat dohot paradatan ni hita batak on dan segala kompleksitas na, gabe niantusan hata na mandok SOLUP NI NANIDAPOT DO PARSUHATHONONTON. Alai adong sahalak namalo mandok : "Tidak penting bagi saya darimana saya berasal, tidak penting bagi saya bagaimana saya tercipta. Yang penting bagi saya adalah KEPUTUSAN APA YANG SAYA AMBIL, DAN BAGAIMANA SAYA MENGAKHIRINYA"
    ala abang ramlo di simalungun dohonon ma
    HORAS BANTA HAGANUPAN, HABONARON DO BONA

    BalasHapus
  3. Ahu haluan manullang par aek rangat hutabarat tinggal di aekkanopan labuhan batu utara. Omak ku Reme hutabarat ditanda tulang Ramlo doi. Hurang tangkas do huboto tarombo ni oma. Tolong majo tulang patorang tu au. Horas

    BalasHapus
  4. Saya juga pingin tau asal usulku, saya hutabarat partali nomor 17, tinggal di desa hudopa nauli kec. Kolang Tapanuli tengah, di desa kami juga dulu ada nama desa Dolok Nagodang, tapi desanya sudah tidak ada karena sdh ditinggal oleh penduduknya yg mayoritas Hutabarat Partali. Oppung kami namanya oppu. Mangasa, yang konon dulu katanya oppung kami masuk dulu ke daerah Hurlang Tapanuli tengah lewat hutan daerah adiankoting

    BalasHapus