Senin, 30 Mei 2011

Tender Jabatan di Pemko Pematangsiantar

Oleh : Ramlo R Hutabarat

Ada berita menarik di surat kabar Metro Siantar hari ini. Seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) di Pemko Pematangsiantar, PS, meminta sejumlah uang kepada seorang PNS lainnya, VS. Uang itu, kata PS akan digunakan sebagai biaya mengurus VS untuk menduduki jabatan Eselon II di lingkungan Pemko Pematangsiantar. Dan VS pun memberikannya meski tidak sesuai dengan nominal yang diminta PS. Sisanya kata VS, akan diberikan setelah kelak dia dilantik.

Tunggu punya tunggu, sampai hari ini VS tak pernah dilantik menjadi pejabat Eselon II. Akibatnya memang, gampang ditebak. VS meminta PS agar mengembalikan uangnya. Tapi PS menjawab enteng, dia tidak pernah menerima sejumlah uang dari VS. Artinya, PS tidak mengakui bahwa dia pernah menerima sejumlah uang dari VS.

Lantas seorang yang mengaku Siantar Man yang sekarang bermukim di Jakarta, DR Capt Anton Sihombing memberi komentar. Dia bilang, Kepala Daerah di Kota Pematangsiantar dan Kabupaten Simalungun diharapkan tidak menempatkan seorang pejabat karena uang. Penempatan pejabat menurut Anton, harus sesuai dengan latar belakang, kemampuan, profesionalisme manajemen bawahan, dan mampu menjalankan visi dan misi bupati atau walikota.

Masih menurut Anton, dengan penempatan pejabat yang sesuai dengan latar belakang ilmu dan pengalamannya, niscaya jalannya program pembangunan akan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh kepala daerah. Jika sebaliknya, kata dia, maka program pembangunan akan berjalan di tempat dan kurang bermanfaat kepada masyarakat.

Anton masih meneruskan, pimpinan daerah diharapkan tidak memilih bawahannya sebagai pejabat SKPD oleh karena uang. Tapi sesuai dengan kemampuannya dan profesionalismenya. “Saya saangat kecewa dengan adanya informasi terseebut. Kalau benar, sudah sangat keterlaluan. Saya malu mendengarnya, apalagi yang meminta uang adalah oejabat Eselon II. Hal ini jelas akan mengacaukan visi dan misi pimpinan daerah, katanya lagi.

Kemudian, Janter Sirait yang anggota DPRD Sumatera Utara pun ikut nimbrung. Dia juga katanya mendengar informasi bahwa ada seorang yang dekat dengan pimpinan daerah yang meminta uang kepada calon pejabat yang menginginkan jabatan di Pemko Pematangsiantar. Dia sangat menyayangkan kalau masih ada kewajiban dari seorang calon pejabat untuk memeberikan sejumlah uang untuk mendapatkan jabatan. Kalau demikian adanya, maka akan memepengaruhi pelayanan kepada masyarakat.

“Jika seorang pejabat ditempatkan karena kedekatan atau uang dan bukan profesionalisme, akan memperngaruhi kinerjanya. Setidaknya akan berupaya mengembalikan uangnya setelah duduk”, kata Janter.

Normal, Wajar dan Pantas

Dalam pandangan saya sebagai wartawan, sesungguhnya peristiwa itu bukanlah suatu berita. Setidaknya bukan berita yang menarik. Sama halnya nilai berita itu kalau anjing menggigit orang. Tapi kalau peristiwanya adalah anjing milik Hulman Sitorus yang sekarang Walikota Pamatangsianatar menggigit Marulitua Hutapea yang sekarang Ketua DPRD Kota Pamatangsiantar, barulah saya anggap berita yang menarik dan unik. Artinya, menurut saya, kalau ada PNS yang didudukkan menjadi pejabat tapi tidak dengan memberikan uang, barulah berita.

Masalahnya, sejak beberapa tahun terakhir sudah tidak menjadi rahasia lagi setiap PNS yang menduduki jabatan harus dengan memberikan sejumlah uang. Jabatan itu sekarang ini, memang merupakan barang dagangan. Jadi ada jual beli. Transaksi, kata orang-orang pintar. Persis seperti di Onan Porsea sana, ada yang menjual karenanya ada yang membeli. Ada yang membeli karena ada yang menjual. Untuk menjadi kepala sekolah saja seorang guru harus membayar. Atau, masih adakah yang Anda tahu sekarang ini – Pembaca – seorang PNS bisa menduduki jabatan kalau tidak karena membayar ? Inilah alasan saya mengapa saya menyebut bahwa berita itu sesungguhnya bukanlah berita yang menarik.

Pendapat seorang Siantar Man yang bernama DR Capt Anton Sihombing tadi pun, saya pikir bukanlah pendapat yang populer. Barangkali Anton memang tidak memahami apa yang terjadi sekarang ini di pemerintahan. Dan karena itu, dia berpendapat seperti itu. Saya bisa pahami pendapat Anton itu sebab agaknya memang dia awam dalam soal yang seperti ini. Jadi tak apalah. Saya bisa pahami.

Tapi pendapat Janter Sirait, saya tidak bisa pahami kenapa dia bilang begitu. Soalnya, Janter itu kan sekarang anggota DPRD Sumatera Utara. Sebelumnya malah, dia dua periode menjadi anggota DPRD Simalungun. Saya kenal bahkan kenal sekali dengan Janter. Dia itu merupakan salah seorang politisi kawakan, cerdas dan pintar. Dia punya pengalaman yang sarat soal pemerintahan, dan dia juga paham sekali apa dan bagaimana negeri ini sekarang. Jadi menurut saya, tak pantas Janter berpendapat seperti yang sudah dikatakannya di atas. Pendapat Janter itu tak bisa saya pahami.

Menurut saya, setiap kepala daerah wajar, pantas dan normal bila menjual jabatan atau kedudukan yang ada di lingkungan pemerintahannya. Itu disebabkan, sesungguhnya tidak ada seorang pun di republik ini yang bisa menjadi kepala daerah jika tidak membeli kedudukannya sebagai kepala daerah tadi . Lantas ketika untuk menjadi kepala daerah dia harus membeli, apakah tidak normal, wajar dan pantas jika setelah menjadi kepala daerah dia pun menjual jabatan yang ada di lingkungannya ?

Dengan sistem pemilihan kepala daerah yang kita anut sekarang sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, jual beli jabatan itu menjadi trend yang populer dilakukan orang. Hal ini disebabkan tidak seorang pun yang bisa menjadi kepala daearah jika tidak dengan cara membeli. Seorang ketua partai saja yang berambisi agar diajukan partainya untuk menjadi bakal calon kepala daerah, harus membayar partainya yang bersangkutan. Konon pula kalau bukan anggota partai politik tertentu. Rakyat kita saja pun, sungguh, mana ada yang mau memilih seseorang calon kepala daerah kalau tidak dibayar oleh seseorang calon. Artinya, dalam pemilukada saja sudah terjadi jual beli suara. Pemilih suara menjual suaranya, dan calon kepala daerah membeli suara pemilih..

Dalam situasi yang demikianlah akhirnya saya menilai, sesungguhnya begitu pemilukada usai justru hubungan yang dipilih dengan yang memilih sudah selesai. Artinya, setiap kepala daerah sudah tidak punya hubungan lagi dengan rakyat yang dipimpinnya. Dia boleh melakukan apa saja sekehendak hatinya, meski pun harus menyakiti rakyat atau siapa saja. Makanya, jual beli jabatan pun menjadi pantas, normal dan wajar meski pun sesungguhnya termasuk suatu perbuatan illegal.

Negara Hukum

Jual beli jabatan, sebenarnya merupakan sesuatu yang illegal meski pun saya katakan tadi wajar, pantas dan normal. Kenapa saya sebut illegal, sebab tidak sesuai dengan aturan. Padahal, setiap kepala daerah harus taat dan patut pada aturan yang berlaku, senang atau tidak senang, suka atau tidak suka.

Dalam mengangkat PNS untuk menduduki jabatan, saya pikir tak perlu dikatakan harus beginilah, begitulah. Semua sudah ada aturannya, dan untuk itulah kepala daerah harus mematuhi dan mentaatinya. Saya, sungguh tidak punya pengalaman dalam pemerintahan apalagi saya juga tidak memiliki latar belakang ilmu pemerintahan seperti Bupati Simalungun JR Saragih. Dengan dasar itulah sesungguhnya saya mau katakan, untuk mengangkat PNS agar menduduki jabatan idealnya kepala daerah menggunakan aturan yang ada.

Aturannya, jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan PNS dalam Jabatan Struktural. Saya tidak tahu apakah sampai sekarang peraturan pemerintah tadi masih tetap diberlakukan atau tidak. Apalagi, zaman sekarang ini segala macam peraturan pemerintah gampang sekali untuk dirubah. Sekarang begini bulan depan sudah begitu.

Bukan untuk menggurui, saya ingin paparkan bahwa ada enam kriteria persyaratan bagi seseorang untuk diangkat dalam jabatan struktural. Masing-masing adalah, berstatus Pegawai Negeri Sipil, serendah-rendahnya menduduki peringkat satu tingkat di bawah jenjang pangkat yang ditentukan, memiliki kualitas dan tingkat pendidikan yang ditentukan, semua unsur penilaian prestasi kerja sekurang-kurangnya bernilai baik dalam dua tahun terakhir, memiliki kompetensi jabatan yang diperlukan, dan sehat jasmani dan rohani.

Saya pikir, itulah landasan yang harus digunakan oleh seorang Kepala Daerah dalam mengangkat PNS dalam jabatan struktural, meski pun tentu, masih ada lagi landasan-landasan lain yang bersifat teknis. Semuanya ada aturannya dan dalam semua aturan yang ada itu tak satu pun yang mencantumkan harus dibeli atau membayar atau menggunakan ayau memakai uang.

Masalahnya sekarang, seperti judul berita Metro Siantar “Jabatan Jangan Ditenderkan”, saya pikir sekarang ini sesungguhnya memang tidak bisa dihindarkan (lagi) Kita tidak bisa mengelak dari realitas yang terjadi. Dan karena itu, setiap PNS yang ingin mendapatkan jabatan saya pikir silahkan membelinya. Lantas kalau setelah menduduki jabatannya dia pun berupaya mengembalilkan uangnya, saya pikir itu pun sesuatu yang normal, wajar dan pantas pula.

Lha, kalau begitu bagaimana ? Bah, bagaimana rupanya ? Urusan apa rupanya kalau begini begitu dan segala macam kalau sudah duduk pada suatu jabatan ?

Makanyalah, saya pikir. Ke depan kita tak perlu harus dibayar jika memilih seseorang untuk menjadi kepala daerah. Karena suara kita tidak harus dibeli maka pembeli pun tidak akan pernah ada. Dan ketika pembeli suara tidak ada, saya pikir jual beli jabatan pun tidak akan terjadi lagi.

Amboi, tapi saya harus jujur juga. Dalam masyarakat marjinal seperti kondisi kita secara umum sekarang ini, manalah ada demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi masyarakat marjinal adalah demokrasi jual beli. Apalah yang mau kita katakan ya ?
_____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993 Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
______________________________________________________________________--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar