Kamis, 05 Mei 2011

Wartawan dan Wartawan-wartawanan

Ramlo R Hutabarat


Belantara pers kita, tumbuh subur seiring era refomormasi. SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) tak lagi dibutuhkan. Departemen Penerangan pun dikubur dalam-dalam oleh Gusdur.Pemerintah melahirkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999. tentang Pers. Dan sebagai seorang yang sudah menjadi waerawan sejak sekolah di STM dulu, saya menyambut kebijakan ini dengan gegap gempita. Hore … ! Hore … ! Merdeka !

Tapi konsekwensinya, siapa saja pun boleh mendirikan perusahaan pers. Buatkan aktenya di notaris hari ini, besok korannya bisa diterbitkan. Yang penting koran itu diterbitkan oleh suatu lembaga yang berbadan hukum seperti yang diisyaratkan oleh Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tadi. Dan konsekwensinya lagi, siapa saja pun bisa dan boleh jadi wartawan. Biar tukang solder yang keliling kampung mencari kuali atau panci yang bocor, biar tukang sol sepatu yang sering mangkal di kaki lima, atau biar pun tukang rumput, tukang jual es campur atau tukang foto yang banyak di Kebun Bunga Siantar sana.

Di Medan saja, sejak zaman reformasi, ada 300-an perusahaan pers yang didirikan orang. Tapi hampr 300-an pula yang mati. Ada pula perusahaan pers itu yang mati dalam kandungan. Artinya, mati sebelum korannya pernah terbit sama sekali.Ada pula perusahaan pers yang mati tapi tak pernah dikuburkan. Akibatnya, korannya pun sesekali terbit pula. Tapanuli Pos misalnya, milik kawan saya Edison Lumbanbatu na marjambang i.

Di Siantar tempo hari, ada Sinalsal Simalungun yang dikomandoi kawan saya Jan Wiserdo Saragih. Ekh, Cuma beberapa kali terbit dan mati mendadak bagai mendapat serangan jantung. Lantas ada Koran Siantar yang meski pun dicukongi kawan saya Marim Purba penguasa Kota Pematangsiantar waktu itu, tapi setelah beberapa kali terbit menyusul masuk kubur seeperti Sinalsal Simalungun. Padahal, hampir semua personalnya berpendikan S2 seperti kawan saya Ervina Simanjuntak, istri kawan saya almarhum Tumpal Sihite.

Masih di Siantar, ada Rakyat Siantar yang tokenya Jhonson Sibarani dan Pemrednya kawan saya Jalatua Hasugian (sekarang dia guru pada SMA Negeri 3 Siantar) Cuma beberapa bulan bagai barjalan dalam lumpur mendadak tumpur dan dikubur. Dicoba juga bergerak-gerak lagi dengan nama lain (Pena Rakyat) dengan merekrut Tigor Munthe, Bulus Sianipar dan Fandho Girsang, tapi akhirnya pangsan. Saat pangsan inilah saya sempat diminta Jhonson Sibarani intuk meengendalikan Pena Rakyat itu. Mana saya mau. Perusahaan yang sehat saja belum tentu bisa tetap sehat di tangan saya.

Lantas ada Suara Indonesia Baru (SIB) yang dikelola kawan saya Osborn Siahaan BA (saya harus tulis BA-nya, karena dia suka deengan gelar itu) yang sekarang staf Pemkab Humbang Hasundutan di Doloksanggul. Tewas. Ada Sumatera Timur yang dikomandoi wartawan sekaliber kawan saya Bantors Sihombing (sekarang Redaktur Tribun Medan), tewas juga. Termasuk Trans Media yang juga gawangnya dijaga Bantors, tewas. Pun, termasuk koran yang didirikan John Hugo Silalahi sebegitu dia tak menjadi Bupati Simalungun lagi, juga mati konyol hingga nama koran itu pun sekarang sudah saya lupakan.

Dengan alasan dan pencermatan yang begitulah maka ketika saya diminta RE Siahaan yang waktu itu Walikota Siantar untuk memimpin Siantar Pos saya tolak mentah-mentah.Saya paham sekali, mendirikan perusahaan pers itu gampangnya bukan main. Segampang membalikkan telapak tangan. Yang sulit adalah mengelolanya sebagai layaknya sebuah perusahaan. Tidak seperti mengelola lapo tuak atau keresek rokok di persimpangan jalan. Tapi, kawan saya Christian Silitonga aktifis bukan jurnalis kemudian nekad. Tawaran RE diterimanya dan Siantar Pos pun diluncurkan dengan busung dada. Apa yang ada ? Cuma beberapa bulan perusahaan itu jalan megap-megap, lantas kollaps dan tewas.

Belajar Sepanjang Masa

Yang saya lihat, Cuma Suara Simalungun saja yang mampu bertahan hidup di tengah derasnya persaingan usaha penerbitan pers. Itu pun, kehidupannya masih tetap megap-megap baung, seperti yang diakui pengelolanya Hentung Toni Purba. Kawan saya Azrin Marydha yang orang Melayu menyebutnya, bagai kerakap tumbuh di batu. Mati segan hidup tak mau. Dan karena itu, saya harus angkat topi pada Hentung yang kawan bahkan sahabat saya itu.

Sebagai mantan Asisten saya di Simalungun Pos, Hentung Toni Purba yang sekarang memimpin Suara Simalungun, saya kenal sekali. Potret seorang Hentung adalah pekerja keras dan pembelajar yang tak punya batas. Hentung adalah tipe seorang yang tak pernah puas dengan hasil yang sudah dicapai. Ada secuil mottonya sebagai wartawan yang saya kenal : Belajar terus dan Terus Belajar. Selain – dan ini yang paling penting : Bekerja Penuh Idealisme. Percaya diri, dan tidak pernah merasa hebat. Awak ini apalah, seperti prinsip guru saya almarhum Nazar Effendy Erde.

Dulu, waktu saya dipercaya almarhum Baringin Purba untuk memimpin Simalungun Pos yang didirikannya, saya kesulitan untuk mencari staf yang akan membantu saya mengelola surat kabar itu. Sampai akhirnya, saya mempercayai Hentung Toni Purba, Hardono Purba (sekarang guru SMP Negeri Negeri Dolok di Silou Kahean), Henrika Sitanggang, Mahadi Sitanggang (sekarang Wartawan Sindo di Samosir), Bambang Sitanggang (sekarang Wartawan SIB di Simalungun) yang waktu itu masih belum pernah menjadi wartawan. Malah, Mahadi Sitanggang ketika itu masih kuliah di STIE Mars dan Hardono di FKIP HKBP Nommensen. Oh ya, ada juga Rindu Marpaung (sekarang guru pada SMK 3 Pematangsiantar), Henky Sibarani, dan banyak lagi yang saya tidak inga

Potret semua staf saya itu adalah : Pekerja keras penuh semangat, teguh dan kokoh pada pendirian, serta tidak pernah mengatakan tidak bisa. Hentung dan Hardono misalnya, entah kapan dan dalam situasi bagaimana pun tak pernah mau menolak permintaan saya. Ada saja waktu yang rumit bagi saya untuk tidak sempat menulis Editorial, tapi Hentung atau Hardono tidak pernah mengatakan tidak bisa menggantikan saya untuk membuat Editorial itu. Saya Cuma beri petunjuk sedikit lewat telepon tentang topik yang digarap. Dan Hentung atau Hardono akan sukses melaksanakannya.

Yang paling saya kagumi dari mereka semua adalah, ketika saya marah mereka akan tetap ramah. Tak seorang pun di antaranya yang mau membantah. Saya sekarang jadi malu pada diri sendiri , ketika menn\gingat Mahadi yang pernah saya bentak dengan kalimat-kalimat kasar. Dia Cuma diam menunduk, padahal darah mudanya wajar kala itu sudah mendidih. Dan saya, memang beruntung punya staf seperti Hentung. Dengan segera suasana yang sempat beku pun dicairkannya.

“Bang Ramlo, bagaimana pun adalah orang Tapanuli. Karakter Taapanuli-nya segera nampak kalau dia marah. Tapi jangan salah, dia juga memiliki hati seorang Simalungun. Lembut dan penuh tenggang rasa”, kata Hentung. Dan semua pun berlalu, dan kami kemudian larut dalam pekerjaan kami masing-masing.

Ketika kawan-kawan saya itu bekerja sebagai wartawan, dalam penampilan kesehariannya pun mereka tampil seadanya saja. Sopan dan hormat kepada siapa-siapa, termasuk santun dalam berbicara dan tidak sok tahu apalagi semua tahu. Agus Manullang yang STh saja pun yang sempat bekerja untuk Suara Simalungun, tidak muncul sebagai sth (sok tahu) Pendeta yang sekarang menjadi Anggota KPU Humbang Hasundutan itu, malah terkesan suka yahu (sth)

Satu hal yang paling mereka lakoni sebagai wartawan adalah, mereka tak pernah berpikir menjadi wartawan agar mendapatkan uang denegan gampang. Uang itu perlu dan harus ada. Kencing saja di tampat-tempat parkoncingan harus membayar. Memproduksi berita pun, tak bisa pakai sepatu. Harus pakai uang. Mana bisa pakai sepatu dari Siantar ke Medan misalnya untuk meliput berita. Kernek Intra pasti menurunkan kita di tengah perjalanan sambil memaki-maki kita. Siapa kau rupanya makanya tak memebayar ongkos, katanya dengan logat Bataknya yang totok dan medhok.

Tapi, meski uang perlu dan harus ada, jangan bekerja sebagai wartawan kalau mengharapkan uang. Menjadi wartawan, menjadi wartawanlah. Titik. Jangan ada prinsip kalau menjadi wartawan lantas akan mendapatkan uang apalagi dalam jumlah banyak. Kalau mau mendapatkan uang dalam jumlah banyak, lebih baik urungkan niat menjadi wartawan. Jadi pengusaha saja, atau jadi politisi. Atau, jadi pengusaha yang politiisi dan jadi politisi yamg pengusaha seperti Bendahara Umum Partai Demokrat.

Wartawan, harus terus menerus haus. Haus pada ilmu dan pengetahuan yang berkembang dan terus berkembang seiring dengan perjalanan masa. Supaya segalanya bisa diikuti, membaca dan mendengar mesti wajib dilakukan kapan saja dan dimana saja. Janagan malah, menyaksikan siaran teve saja enggan. Lebih cenderung berminat di lapo tuak atau ngalor-ngidul tak karuan. Kalau begitu, NII pun dia nggak ngertos, apalagi tentang banyaknya mahasiswa di Jawa sekarang yang direkrut menjadi anggota NII. Tentang dugaan suap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga ? Jangan wartawan malah bungkam.

Wartawan juga jangan sok pintar apalagi menggurui. Hebatnya, sebenarnya Cuma merasa sok pintar sajanya. Tidak pintar merasa. Sudah berang misalnya seorang pejabat karena dimintai uangnya, tapi karena sang wartawan tidak pintar merasa terus saja dimintai uangnya. Bikkin malu, kata Maha Guru saya almarhum GM Panggabean. Pantang kalau wartawan meminta uang kepada siapa saja, meski siapa saja tidak dilarang memberi uang atau apa saja kepada wartawan. Sebagai seorang yang sudah karatan malah ;umuton dalam bidang jurnalistik sayta mau katakan kalau ada orang memberi uang kepada wartawa, terima saja. Rop-rop botol seperti kata Ito saya Florida Hutabarat yang menikah dengan marga Aritonang dan sekarang bermukim di Bandar Lampung.

Makanya, kalau jadi wartawan ya jadi wartawanlah. Jangan jadi wartawan yang seperti dikatakan sepupu saya Tambun Hutabarat, wartawan batok. Maksudnya, wartawan yang selalu mendatangi polantas ketika razai dan seraya meminta uang polisi itu. Janagan pula jadi wartawan CNN (Cuma Nanya Nanya), wartawan gadunganm wartawan bodrek atau istilah apa saja lainnya yang memalukan. Malu kita, sebab wartawan harus punya kemaluan.

Jangan jadi wartawan-wartawanan. Jadilah wartawan. Wartawan !
------------------------------------------------------------------------------------
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
------------------------------------------------------------------------------------

1 komentar:

  1. Proud to be a journalist..
    Not easy to be a journalist..



    Barita News Lumbanbatu, son's of Alm. Edison Lumbanbatu,STh

    BalasHapus