Selasa, 31 Mei 2011

Mana Lebih Baik : Hulman atau JR ?

Oleh : Ramlo R Hutabarat


Dalam suatu diskusi kecil di Siantar kemarin pagi, salah seorang peserta bertanya kepada saya “”Mana lebih baik. Hulman Sitorus atau JR Saragih ?” Saya pun merasa tidak perlu berpikir panjang untuk menjawabnya :”Tidak ada. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang baik”, kata saya jelas dan tegas. Dan suasana diskusi kami pun pagi itu menjadi riuh rendah.

Jawaban saya, sebenarnyalah asal-asalan saja saya kemukakan. Ini didasarkan pertanyaan salah seorang peserta yang saya anggap juga asal-asalan. Karena pertanyaannya asal-asalan, maka jawabannya pun tentu asala-asalan. Kenapa asal-asalan, sebab saya yakin seperti saya, dia pun sesungguhnya tidak paham sekali mana yang baik dan mana pula yang buruk. Sebab memang, sekarang ini tak jelas lagi perbedaan mana yang baik dan mana pula yang buruk. Kalau dulu, waktu saya remaja, antara yang baik dan yang buruk masih ada bedanya. Meski pun cuma bayang-bayang. Dan bayang-bayang itu tipis sekali. Setipis kulit ari.

Di kampung kami misalnya, ada anggota DPRD. Seperti umumnya anggota DPRD lainnya, sudah jelas dia korup. Di lembaga terhormat itu, bersama kawan-kawannya sudah barang tentu mereka hanya memikirkan bagaimana caranya untuk mendapatkan uang. Sejak dilantik menjadi anggota dewan terhormat, mereka sering sekali melakukan hal-hal yang tidak terhormat. Studi banding atau entah istilah apa pun kerap kali dilakukan yang menyita uang rakyat berjibun-jibun.

Tapi anggota DPRD tadi, sungguh teramat rajin beribadah ke rumah ibadahnya. Ya, beribadah ke rumah ibadah. Di rumahnya, dia tak pernah beribadah. Apalagi di tempat lain. Di rumah ibadahnya pun, dia rajin dan setia memberikan sumbangan. Boleh jadi uang kontan yang berjibun-jibun, boleh jadi pula dalam bentuk natura/ material. Semua temannya satu jemaat mengatakan anggota DPRD tadi baik. Dia dikenal sebagai orang yang baik. Ketika suatu masa dia ditangkap dan dipenjarakan karena divonnis bersalah setelah melakukan korupsi berjemaah, orang-orang kampung saya masih tetap mengatakan dia orang baik.

Masih di kampung saya, ada warga yang seharian kerjanya jual sate. Anaknya lima orang. Semua sekolah. Istrinya parengge-rengge di pasar pagi. Rengge-renggenya pun hanya daun singkong, genjer, kunyit, lengkuas dan kadang serai mau pun jagung muda. Dan sebagai tukang jual sate, kawan saya satu kampung itu memang seharian lebih banyak berkipas-kipas. Pulang ke rumahnya menjelang dini hari ketika orang lain sudah nyenyak dengan seribu mimpi di peraduan. Tiba di rumah pun, masih harus menghitung berapa belas ribu rupiah pendapatannya sejak sore hingga menjelang dini hari.

Dalam kondisi yang demikian, pasangan keluarga itu nyaris tidak pernah beribadah ke rumah ibadahnya. Konon pula memberi sumbangan meski dalam bentuk apapun. Waktu STM (Serikat Tolong Manolong) di kampung kami mengadakan perayaan (?) natal, hanya keluarga ini yang tidak memberikan sumbangan sepeser pun. Kenapa tak pernah beribadah ke rrumah ibadahnya, sebab tiap hari mereka harus melakukan aktivitasnya supaya bisa makan anak beranak. Hari ini bekerja untuk makan hari ini. Kalau hari ini tidak bekerja tentu tidak akan bisa makan hari ini. Dan orang kampung kami tak ada yang menyebut keleuarga ini sebagai orang baik.

“Roama pangalaho ni. Marminggu pe ndang hea. So hea muse manumbang manang aha pe na masa di hutanta on”, kata orang-orang kampung saya.

Dari kedua ilustrasi itulah memang, akhirnya saya menyimpulkan bahwa saya menjadi tidak tahu lagi mana yang baik dan mana yang buruk. Ada perampok, penipu, korup tapi rajin membantu orang lain dikatakan baik. Ada orang yang setia pada pekerjaannya tapi hidup ngos-ngosan Senin – Kemis, disebut buruk. Ke rumah ibadahnya pun paling-paling waktu anaknya tardidi atau pada saat natal.

Lantas, Hulman Sitorus dan JR Saragih itu pemimpin. Keduanya disebut pemimpin karena keduanya sekarang menjadi kepala daerah. Hulman Walikota Pamatangsiantar dan JR Bupati Simalungun. Keduanya, menjadi pemimpin setelah dipilih rakyat secara langsung dalam suatu pemilukada. Menurut orang-orang di kampung saya, memilih pemimpin secara langsung adalah suatu sistem yang sangat demokratis. Di zaman orde baru, memilih pemimpin secara langsung hanya ada dalam mimpi. Jadi kita harus tidur dulu baru bisa mendapatkan pemimpin yang dipilih secara langsung. Kalau tak tidur, bagaimana bisa mimpi.

Sepanjang yang saya cermati, karena Hulman dan JR dipilih rakyat secara langsung tadilah maka keduanya (menjadi) tidak ada yang baik. Bagaimana keduanya bisa baik, sebab rakyat yang memilihnya juga tidak baik. Dalam pikiran saya, dari rakyat yang tidak baik mana mungkin lahir pemimpin yang baik. Biji yang baik pasti tidak akan mendatangkan buah yang baik. Pasti itu. Tak perlu dipikirkan.

Dulu, sudah lama sekali, ketika manusia belum mengenal pemilu mereka memilih pemimpinnya sering sekali dilakukan dengan cara kekerasan bahkan pertumpahan darah. Bunuh membunuh. Siapa yang paling kuat, dialah yang menjadi pemimpin. Sering sekali pula, rejim yang berkuasa ditumbangkan dengan cara kekerasan pula, meski pun ketika berkuasa dia akan dilengserkan dengan cara yang sama. Menyusul peradaban manusia yang semakin maju, para pemikir besar politik pun mencari upaya agar memilih pemimpin jauh dari kekarasan. Sistem memilih pemimpin yang dipikirkan para pemikir besar politik itulah sekarang yang kita kenal dengan nama pemilu sebagai bagian dari demokrasi.

Tapi saya pikir, demokrasi yang kita terapkan dan maknai sekarang ini, sebenarnya belum masanya untuk kita terapkan. Demokrasi yang sesungguhnya tidak laku pada masyarakat marjinal seperti kondisi yang ada pada masyarakat kita sekarang pada umumnya. Artinya, demokrasi tidak laku pada orang-orang miskin dan bodoh. Hak demokrasi yang dimilikinya, sudah barang tentu akan dijadikan sebagai suatu barang dagangan. Hak demokrasi yang dimiliki orang per orang, diperjualbelikan dengan angka-angka teretentu.

Kita, sebenarnya harus jujur dan terbuka pada diri sendiri. Semua kita tahu bahkan mengalami. Dalam setiap pemilu apakah itu pemilu presiden, pemilu legislatif, pemilukada bahkan pada pemilihan kepala desa apalagi, selalu kita manfaatkan untuk mendapatkan sesuatu yang sifatnya material. Kita tidak pernah memikirkan apa dan bagaimana seorang calon pemimpin yang akan kita pilih. Tapi sesungguhnya, kita justru berpikir apa yang kita bisa dapatkan dari seorang yang akan kita pilih. Kita dapatkan saat itu juga. Tidak besok apalagi lusa. Makanya, ada istilah yang populer :”Cair do ?”

Di Siantar misalnya. Waktu pemilukada lalu ada dua orang yang saya pikir sangat pantas dan layak untuk dipilih menjadi pemimpin. Saya mau menyebut kedua nama itu : Mahrum Sipayung atau Herowin Sinaga. Alasan saya jelas. Yang pasti kedua nama itu merupakan sosok yang sudah sarat pengalaman di bidang pemerintahan dan segala macam. Tapi, orang Siantar lebih memilih Hulman yang memberikan voucher atau janji voucher. Peduli apa pada sosok yang dinilai wajar dan pantas kalau tokh tidak memberikan apa pun pada pemilukada ?

Fakta inilah yang saya sebutkan bahwa sesungguhnya masyarakat kita sekarang sebenarnya sudah dalam kondisi sakit yang kronis. Ibaratnya sudah merupakan kanker yang menggurita di sekujur tubuh. Tak seorang pun lagi dokter yang bisa menyembuhkannya. Sudah layak untuk alfatiha.

Dari situasi yang seperti itulah akhirnya muncul pemimpin, yang lucu dan anehnya diharapkan oleh rakyat pula agar memimpin dengan baik dan benar. Manalah logis itu. Saya pun, kalau kelak menjadi Walikota Pamatangsianatar atau Bupati Simalungun tapi harus membayar suara, manalah mungkin saya akan menjadi pemimpin yang baik. Wajar dan pantas sajalah kalau saya tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat yang saya pimpin. Saya tentu, akan memikirkan kepentingan saya terlebih dahulu. Sementara, kepentingan saya sendiri pun tidak memiliki batas dan ukuran. Dan, seperti yang Anda tahu – Pembaca – manusia tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya selama dia tidak membuat ukuran dan batas yang jelas.

Okelah. Sebenarnya saya tidak suka berandai-andai apalagi marangan-angan. Nanti bisa mirip seperti angan-angan ni parcendol. Namun, sekarang apalagi karena di luar hujan deras mengguyur, saya akan beranda-andai saja.

Andainya saya Walikota Pamatangsianatar atau Bupati Simalungun, tahun pertama saya akan menyelesaikan segala hutang piutang terhadap, para TS saya ketika proses pemilukada. Tahun kedua, selain sisa-sisa penyelesaian hutang-piutang, saya pun akan netralisir segala sesuatu untuk pemantapan upada saya di tahun berikutnya. Konsolidasi, istilah kerennya. Tahun ketiga dan keempat, saya baru berupaya mengembalikan uang yang sudah saya keluarkan sebelumnya. Artinya hanya dua tahun dan berapalah itu. Sementara, pada tahun kelima saya sudah harus mengupayakan (lagi) jembatan untuk bisa menduduki jabatan pada periode kedua.

Lantas, kapan saya peduli dan memikirkan rakyat ? Manalah saya sempat, dan saya akan yakinkan diri saya bahwa saya tak peduli pada rakyat. Saya harus mantapkan tekad, tak urusan saya dengan rakyat. Saya hanya akan mengeksploitasi rakyat untuk kepentingan diri saya sendiri.

Upaya yang saya lakukan dalam rangka itu semua adalah antara lain dengan meminta semua SKPD agar menyetor sekian persen dari belanja tidak langsung unit kerjanya masing-masing ke nomor rekening saya. Selanjutnya, saya akan rajin mengganti-ganti PNS yang menduduki jabatan struktural sehingga mereka umumnya tetap jantungan dan wanti-wanti terhadap saya. Apakah akibat saya suka mengganti-ganti staf saya mereka akan tidak nyaman untuk bekerja, bukan urusan saya. Apakah karena hobby saya yang aneh itu kreasi dan inovasi staf saya akan jatuh dan lebay, juga bukan urusan saya.

Anda pun – Pembaca – harus bisa maklum. Kalau untuk menjadi Walikota Pamatangsiantar atau Bupati Simalungun saya sudah keluarkan uang sebesar Rp 60 miliar, berapa miliar tiap tahun selama lima tahun saya harus kembalikan uang saya itu ? Rp 12 miliarkan ? Lalu kalau dalam satu tahun saya harus kembalikan uang saya Rp 12 miliar, artinya kan saya harus dapatkan tiap bulan Rp 1 miliar ? Kalau tiap bulan saya harus kembalikan Rp 1 miliar, berapa rupiah pula saya harus mendapatkan uang tiap hari ? Wah, kalau sudah begini, Andalah – Pembaca – yang menghitungnya. Dulu waktu SD, saya tidak pernah belajar matematika. Waktu itu belum ada pelajaran matematika. Yang ada waktu itu, di kampung saya ada sepupu saya yang mate matungkap.

Makanyalah, memang, menjawab kawan saya peserta diskusi kemarin saya katakan dengan cepat tanpa pikir panjang, tak ada di antara JR dan Hulman yang baik. Penyebabnya jelas, rakyat pemilihnya pun tidak baik. Sementara dari rakyat yang tidak baik tak mungkin lahir pemimpin yang baik. Saya pun kalau menjadi Bupati Simalungun atau Walikota Pamatangsianatar, tidak akan bisa menjadi baik. Kecuali memang, kalau rakyat memilih saya tapi tidak harus saya bayar. Itu pun, masih tetap barangkali juga. Barangkali saya bisa menjadi baik.
____________________________________________________________________
Ramlo R Hutabarat HP : 0813 6170 6993
Email : ramlo.hutabarat@yahoo.com
____________________________________________________________________________________

Tidak ada komentar:

Posting Komentar