Kamis, 19 Mei 2011

Melanglang Sebagai Jurnalis (Cuplikan Bukuku : Orang Pinggiran yang Selalu di Tengah)

Ramlo R Hutabarat


Aku bangga dan senang sekali menjadi jurnalis. Sebagai jurnalis, aku punya kesempatan untuk bepergian kemana-mana, berkenalan dengan siapa-siapa, bahkan berbuat apa-apa. Aku pernah ke kawasan Sionom Hudon di pedalaman Kabupaten Humbang Hasundutan, yang berbatasan dengan Kabupaten Pakpak Bharat, pernah pula ke Sihulambu di Tapanuli Selatan melintasi Ramba Siala di Kecamatan Garoga Tapanuli Utara. Aku pernah ke Ibukota Jakarta Raya, Bandung, Semarang hingga ke Surabaya. Boleh jadi pada suatu malam aku ngomong-ngomong dengan lonte di lokalisasi pelacuran, tapi siangnya aku ngobrol ngalor ngidul dengan seorang pimpinan sinode suatu Gereja.

Waktu di Pekanbaru dulu, 1980, sebenarnya namanya saja aku tinggal di kota minyak itu. Aku tak kerasan seperti banyak kawanku, yang ongkang-ongkang di Balai Kota atau Gebernuran entah ngapain saja. Karena aku suka menulis terutama reportase, aku cenderung suka ke berbagai daerah di wilayah Propinsi Riau. Hari-hari berlalu seiring lembaran-lembaran kalender yang disobek, aku melanglang antara lain ke Bangkinang (Kabupaten Kampar), Tembilahan, Rengat, Tanjung Pinang, juga ke Pulau Kijang. Bahkan, aku juga menyambangi Lirik, Taluk Kuantan, dan entah apa-apa lagi kecamatan atau desa di bumi Lancang Kuning itu.

Pada era 1980-an, jarak tempuh Pekanbaru – Rengat harus dilalui selama satu malam penuh dengan bus umum. Berangkat sore dari Terminal di Jalan Arengka Pekanbaru, dan tiba besok paginya antara pukul 05.00 – 06.00 WIB di Rengat. Suatu perjalanan panjang yang melelahkan dan membosankan, membelah malam yang gelap dan pekat. Gelap yang menyimpan beribu kerahasiaan. Kerahasiaan yang diliputi dan berselimutkan misteri. Misteri yang sulit untuk dikuak.

Perjalanan panjang dan melelahkan antara Pekanbaru – Rengat waktu itu, dikarenakan belum dibangunnya jembatan di beberapa sungai besar yang ada di daerah itu. Kalau aku tak salah, ada lima sungai. Kendaraan sekaligus penumpang, harus diseberangkan dengan getek yang orang orang disana menyebutnya pelayangan. Barangkali, karena bagai melayang di atas air, disebut jadi pelayangan Kalau air sungai sedang pasang, getek tak bisa diseberangkan karena tak ada pendaratannya di tepian. Tapi kalau air sungai pun tengah surut, getek juga tak bisa diseberangkan karena bisa kandas dan tersangkut di dasar sungai. Oalah..

Pernah waktu aku menuju Rengat, sungai di Pasar Ringgit banjir bandang. Kami menunggu air surut di tepian sungai, pada gelapnya malam yang sunyi mencekam. Tapi yang datang, banjir bandang makin menerjang menghadang. Ketika penumpang lainnya terlelap di dalam bus yang kami tumpangi, aku turun dan memasuki warung kecil di pinggir sungai. Pelayannya seorang dara Melayu pedalaman yang menurutku cantik menarik. Dia menyuguhiku teh manis dengan senyumnya yang khas dan berkesan. Pada pandangan pertama saja, aku sudah mengatakan dalam hatiku bahwa dara itu cantik. Pada pandangan kedua, aku tidak meragukannya lagi bahwa dia memang cantik. Dan aku suka (melihat) perempuan cantik.

Ketika hingga sore besoknya air tak juga surut, aku masih saja berada di warung tadi. Waktu yang lowong kumanfaatkan untuk membaca dan menulis. Juga, tentu menerawang entah kemana saja, apalagi kalau hanya menerawang tak pernah dilarang. Aku menerawang pada perusahaanku tempatku bekerja. Juga menerawang pada tanah leluhurku di Tapanuli Utara, juga menerawang pada dara Malayu pelayan warung itu yang cantik jelita.

Tengah menerawang, pelayan warung itu mendekatiku, menghampiriku, dan duduk di sampingku. Dia menatapku dalam dan tajam. Dipandanginya begitu, aku bagai terpaku di tempat dudukku. Pandangan dan tatapannya terasa dalam sekali sampai bagai menucuk jantungku. Aju jadi serba salah.

“Air tak surut-surut”, katanya dengan dialek Melayu yang kental. Aku diam saja, merasa kalimat itu tidak ditujukannya padaku. Dilemparkannya pandangannya ke arah air di lantai warungnya yang melimpah. Angin nakal menyibakkan roknya yang lebar. Jantungku pun berdebar. Dadaku bergetar.

“Lapar ?”. katanya tiba-tiba dan secara tiba-tiba pula aku marasa lapar. Aku menggangguk dan segera disiapkannya penganan untukku. Kepala mayung lebih sebesar kelapa disuguhkannya untukku. Digulai dengan lemak santan, dan aku pun melahapnya dengan nikmat.

“Ayahku sekarang di Medan”, katanya sambil mencoba merapikan cara duduknya dan semakin mendekat ke arahku. Aku memandangnya dalam-dalam.

“Di Medan ?”

“Ya. Beberapa tahun lalu ayahku merantau ke Medan dan tak pernah pulang. Kabarnya dia sudah kawin lagi disana. Aku ingin menjenguknya kesana”, katanya seperti tak mengalamatkan kepada siapa-siapa. Aku diam saja. Aku tak paham waktu itu, mengapa ada seorang ayah, seorang suami yang kawin lagi.

Ketika sampai besoknya air tak juga surut , aku diajaknya mengambil buah rambe ke kebunnya. Kami menggunakan sampan kecil dan aku mengkayuhnya menyusur perkampungan yang sunyi dan sepi. Aku memang tergolong mahir mengkayuh sampan karena waktu di Sungai Liput dulu aku kerap mengkayuh sampan untuk menyeberangi Sungai Simpang Kanan. Kami pun ngobrol entah tentang apa saja. Dan entah siapa pula yang memulai, kami bicara tentang cinta yang kata orang buta. Tak mengenal suku, latar belakang dan agama. Sesekali, aku harus menghindarkan sampan dari terjangan kayu-kayu balok yang dihanyutkan air.

Di kebun rambenya, aku memetik buahnya. Kupetik pelan dan perlahan, dan dia memasukkanya ke mulutnya yang mungil. Dilumatnya buah rambe itu di bibirnya juga dengan pelan dan perlahan. Wajahnya berbinar menikmati buah itu, dan dadaku bergetar sementara jantungku pun berdebar. Aku memetik buah rambe setelah memanjat pohonnya di atas, dan dia menampungnya di bawah. Sunyi. Sunyi sekali. Sepi. Dan sunyi serta sepi sering membuat kita lupa pada segala. Lupa pada diri sendiri. Aku lupa aku. Dia pun lupa dia. Kami lupa kami.

Lantas pada suatu waktu pun, aku pernah berkunjung ke kawasan di sekitar Taluk Kuantan. Sekarang aku tak ingat lagi apa nama daerah itu, tapi merupakan daerah baru perluasan kebun PTP V. Aku kesana karena harus menagih uang koran SIB yang sudah tertunggak beberapa bulan. Aku tak tahu sebelumnya, kalau setelah sore tak ada lagi kendaraan umum dari sana ke Taluk Kuantan.

Aku harus memilih jalan kaki ke Taluk Kuantan sore itu juga yang jaraknya sekira 12 kilometer karena tak ada pilihan lain. Aku susuri jalan khas perkebunan yang khas tidak beraspal dan senja pun mulai diusir malam. Sesekali ketika gelap telah menyelimuti perjalananku, aku harus nyalakan korek api agar lumpur yang menghempang perjalananku dapat kuhindari. Tapi apa itu ?

Refleks aku berhenti dan memasang mata serta telinga. Jantungku berdebar keras. Seekor raja hutan melompati sisi ruas jalan dari sebelah kiriku ke sebelah kananku. Tubuhku gemetaran bahkan menggigil. Tapi perjalanan aku lanjutkan dengan bernyanyi-nyanyi kecil. “… Sepanjang jalan Tuhan pimpin, itu cukup bagiku. RakhmatMu kutak sangsikan karena Engkau sertaku …”

Di tengah perjalanan aku temukan orang banyak berkumpul. Ternyata disana ada layar tancap untuk karyawan perusahaan perkebunan, yang katanya dilakukan sekali sebulan. Aku ikut nimbrung nonton dan pulangnya bersama awak yang memutar film itu ke Taluk Kuantan. Karena di tempat duduk bagian depan truk itu tak muat lagi, aku pun menumpang truk tadi di bagian belakang bercampur bersama beberapa ekor kerbau. Ketika hujan berderai dan kerbau-kerbau itu pun berak, kotorannya membersit ke wajahku. Kuhapus wajahku yang penuh kotoran kerbau dengan air hujan yang mengguyur seluruh tubuhku. Di penginapan darurat Taluk Kuantan, kubuka seluruh pakaianku yang berselemak taik kerbau. Kucuci, dan malam itu aku tidur dengan bugil. Bertelanjang ria.
Di Rengat, aku punya seorang kawan marga Sitompul. Dia wartawan SIB yang barangkali paling cerdas di Riau waktu itu. Sebelumnya, dia mahasiswa di Jakarta, tapi karena terlibat Malari dia melarikan diri ke Rengat dan menikah dengan Boru Gultom dari Pahae. Sekarang aku lupa namanya, karena sudah lama sekali kami tak pernah (lagi) berkomunikasi.

Pernah dia menunggak uang koran banyak sekali. Lantas aku mendatanginya ke Rengat untuk menagih uang korannya. Sialnya, ketika aku baru tiba di Reengat, kata istrinya dia baru saja berangkat ke Pulau Kijang. Aku menunggunya beberapa hari, dan selama beberapa hari di Rengat pun sementara aku menginap di penginapan murahan uangku habis sama sekali.

Ketika Sitompul yang satu ini tak juga pulang-pulang dari Pulau Kijang, aku pun jadi tak makan. Lapar dan lapar sekali, hingga membuatku pada malam harinya mengendap-endap ke dapur pemilik penginapan untuk mencari apa yang bisa dimakan. Udang halus yang ada, udang halus mentah itu pun kulahap. Ada terlihatku kelapa yang sudah dibelah, kelapa tadi kulahap. Udang halus mentah campur kelapa, enak dan nikmat kalau teengah lapar. Tak percaya, sudah kucoba.

Gobloknya, ketika besoknya aku mengkomfirmasi informasi yang kudapat kepada Kepada Kepala Bagaian Pembangunan Setdakab Indragiri Hilir tentang dugaan korupsi pengadaan pertapakan kantor bupati, aku disuguhi segepol uang yang jumlahnya tak aku tahu berapa. Dasar goblok, dungu dan bodoh, aku menolak peemberian si pejabat sampai dia menelepon seseorang.

Beberapa saat kemudian, seseorang berpakaian jaksa datang dan segera kubaca nama yang yang tertera di dada sebelah kirinya. Dari nama itu aku tahu pasti dia orang Batak, apalagi marganya sama dengan margaku. Dia memberi tahu aku bahwa dia Kepala Seksi Intelijen pada Kejaksaan Negeri Rengat. Segera aku diajaknya ke kantornya yang jaraknya dengan Kantor Bupati Indragiri Hilir waktu itu cuma sepengusapan rokok putih.

“Cuma dua kutub. Basah dan kering. Dan karena kau marga Hutabarat, aku katakan supaya kau pilih basah”, katanya garang setibanya aku di kantornya.

Kami berdialog keras-keras di ruangan kantornya yang tergolong mewah. Dia marah. Aku juga marah. Dia bilang bahwa dia marga Hutabarat yang gampang marah, aku bilang kami sama-sama marga Hutabarat. Jadi satu pabrik. Tak beda. Kau keras sekali, katanya semakin marah, aku pun semakin marah karena menurutku kami sama-sama marga Hutabarat. Kalau dia pemarah, apa aku tak boleh juga pemarah.

Aku bertahan, wartawan harus berani dan mampu menguak misteri korupsi seperti yang kuduga dilakukan Kepala Bagian Pembangunan tadi. Kalau dugaan tindakan korupsi yang dilakukan okmum tadi tidak diberitakan, itu artinya tindak pidana korupsi akan tumbuh subur dan semakin marajalela, kataku.

Dia marah sekali Malam itu aku dimintanyatidur di rumahnya, dengan alasan ingin berbincang-bincang tntang kampung halaman kami di Tarutung . Aku menurut dan aku diperkenalkannya kepada istrinya yang cantik. Kalau aku tak salah ingat, itrinya Boru Siburian.

Menjelang tengah malam, pintu rumahnya diketuk pelan dan perlahan serta berirama. Sekejab bagai berkelabat, jaksa itu masuk kekamarnya dan keluar dengan sepucuk pistol yang digenggamnya di tangan. Daun pintu dikuakkaannya sedikit dan menjulurkan pistol tadi kepada orang yang meengetuk pintu itu. Aku terpelongo. Seperti tak yakin apa yang barusan kusaksikan denegan mata kepala sendiri.

“Kalau tidak begitu, mana bisa aku hidup layak. Lihat itu. Sana. Ini”, kaatanya sambil menunjuk barang-barang miliknya di ruangan depan rumahnya. Aku terpelongo sekali lagi. Betul, ada bertengger sebuah pesawat teve berwarna disana, yang waktu itu masih merupakan barang mewah dan mahal. Ai rumah panggungnya pun, dilapis ambal yang sanking tebalnya kupikir lebih tepat kalau kusebut permadani. Segala macam barang dan peralatan, memang tergolong wah dan mewah memang di rumhanya, yang ada ada hanya dalam mimpi masyarakat biasa.

Sampai dini hari jaksa itu nyeroocos kepadaku, yang katanya menasehati agar aku bisa menjadi orang. Dia bilang, di tanah leluhur kami, di kampung kami umumnya sepupu kami hidup dengan miskin dan penuh keterbatasan. Maka ketika kita punya peluang dan kesempatan, manfaatkanlah itu dengan baik. Sebab, menurut dia, kemiskinan itu menyakitkan. . Orang miskin tak bisa melakukan-apa-apa. Jangan miskin, sebab kalau kita miskin tak akan ada kawan apalagi sahabat, katanya nyerocos kayak burung betet.

Dasar begok juga bandal, aku tentang ucapan dan pendapat – pendapat jaksa yang menurut tarombo harus kupanggil dengan sebutan amang tua itu. Aku bicara kepadanya, tidak sebagai seorang anak pada seorang bapak yang menjadi tradisi Batak. Aku sadari itu tidak sesuai tradisi Batak, meski pun aku orang Batak. Aku percaya pada kalimat yang menyebut : Ompunta ijolo martungkot siala gundi. Napinungka ni na parjolo, siihuthon ni naumpudi. Tapi aku juga percaya pada kalimat yang menyebut : Mumpat talutuk sega gadu-gadu. Salpu uhum na buruk, ro uhum na imbaru.

Maka dengan garang aku katakan kepada amangtuaku itu, bahwa hidup miskin memang tidak baik dan juga tidak bagus. Manusia kataku, harus kaya bahkan harus makmur dalam hidupnya. Manusia harus bekerja keras agar terhindar dari kemiskinan dan kemelaratan. Aju setuju kataku, dan karena itu ketika peluang ada, manausia harus memanfaatkannya dengan baik dan benar. Kukatakan dengan tegas dan garang pada jaksa itu, manusia harus mencari uang, mencari harta sampai sebanyak-banyaknya. Tapi, jangan lakukan itu melalui kejahatan. Menjadi kaya boleh menjadi harapan dan idaman, tapi jangan lakukan lewat kejahatan, kataku garang.

“Akh. Ndang tarpodaan ho hape. Modom ma hita”, katanya dengan wajah kusut dan kusam. Padahal, aku senang sekali mampu mengucapkan kata-lata itu secara laangsung kepadanya, yang secara adat Batak tak boleh kutentang.

Suatu masa, aku pernah membeli vespa tua dan butut daro seorang Minang yang tak kukenal, Vespa Konggo pembuatan tahun 1960 warna biru. Besoknya langsung kupacu ke Bangkinang, untuk mengunjungi kebun pembibitan buah-buahan. Aku berangkat dari Pekanbaru pagi-pagi sekali, dengan perasaan bangga karena baru kemarinnya membeli vespa butut yang sudah digigit usia itu.

Beberapa kilometer menjelang tiba di kebun pembibitan buah-buahan tadi, aku berhenti karena terdesak ingin kencing. Kiri kanan jalan sepi, dan pepohonan liar tumbuh satu-satu tak beraturan. Bergidik juga tengkukku ketika haarus berhenti disitu, tapi apa mau dikata nafsuku untuk kencing tak terbendung.

Waktu aku mau berangkat lagi, mesin vespa celaka itu tak mau bergerak meski pun kuengkol berulang-ulang. Kuengkol berulang-ulang, dan berulang-ulang pula ngadat tak karu-karuan. Aku periksa busi, bagus. Karbulator, bagus. Bahkan platinanya pun kuperiksa, juga bagus. Aku paham bahkan mahir memang dalam soal mesin vespa, sebab mulai mengenal kendaraan roda dua bermesin aku menggunakan vespa. Vespa tua pula. (waktu bekerja di Kantor Pusat GMI di Jalan Hang Tuah Medan, aku pun diberi kendaraan dinas vespa tua)

Ketika tubuhku sudah bersimbah peluh apalagi matahari sudah mulai menyengat, seseorang bertelaanjang dada datang entah dari arah mana. Tiba-tiba saja dia kulihat ada di sampingku. Tak sempat dia kutanya siapa dan dari mana koq tiba-tiba ada disampingku, dia mengengkol vespaku ringan dan enteng. Dan mesinnya pun bergetar. Bergetar dengan suara yang datar tak kurang suatu apa pun.

“Disini tempat keramat. Tak boleh orang kencing memang”, katanya singkat sekali dan segera pergi dan hilang si celah-celah pepohonan. Sekejab aku terpelongo. Setengah kejab berikutnya darahku berdesir. Seperempat kejab berikutnya lagi bulu kudukku berdiri. Aku cicing lari sahirang arah Bangkinan.

Selama di Riau, aku pun banayak melihat orang Batak dengan segala macam bunga rampainya. Banyak orang Batak yang masih muda-muda merantau ke Riau dari Tapanuli, waktu itu.Mereka bermaksud mendapatkan pekerjaan disana walau Cuma tamatan SMA plus tidak punya keterampilan apa saja. Diberangkatkan orang tua serta sanak saudara dari Tapanuli, dengan doa dan pengharapan. Juga diberangkatkan dengan cinta dan air mata. Hidup di Tapanuli dirasa bagai di neraka, sedang Riau dianggap sebagai sorga.

Tapi faktanya, Riau tidak seperti yang dibayangkan. Sama dengan di belahan lain di muka bumi ini, tanpa ilmu tanpa pengetahuan tanpa keterampilan mau jadi apa ? Kehidupan, sungguh teramat kompetitif. Siapa cerdas dan mampu bekerja keras saja belum tentu berhasil. Resep yang paling jitu aku kira, harus mampu bekerja keras dan berhemat. Itu pun, tentu dengan modal ilmu dan pengetahuan. Juga keterampilan. Dan untuk semua itu hanaya jalan jalan, lewat dan melalui pendidikan. Makanya, aku sebenarnya tidak sependapat dengan janji-janji politisi soal pendidikan gratis. Cuma satu jalan mencapai sukses, lewat pendidikan. Koq gratis pula ?

.Pemuda-pemuda Batak yang datang dari Tapanuli ke Riau dengan modal cuma ijazah SMA dan minus keterampilan itu, akhirnya harus menjadi pekerja kasar.
Ada yang masuk hutan bekerja pada perusahaan-perusahaan HPH (Hak Pengusaha Hutan) yang sememang banyak di Riau sampai ke Jambi sana. Di tengah belantara yang tak ada lagi di peta, nereka bekerja keras dan kasar serta bersahabat dengan maut. Boleh jadi pepohonan ditebang dan menimpa tubuh si pemuda Batak Cuma kabar saja yang sampai ke Tapanuli beberapa bulan kemudian yang menyebut sia sudah alfatiha. Boleh jadi pula, pada suatu malam yang pekat tubuh si pemuda Batak hilang setelah raja hutan mampir di base camp (perkemahan) Segala macam binatang mau tak mau senang tak senang harus disahabati. Mulai dari ular, kalajengking, lipan selebar papan sampai binatang buas. Jangan tanya bagaimana kalau menderita suatu penyakit di belantara. Hari-hari saja tak ddiketahui lagi, yang mana Senin yang mana pula Selasa apalagi Minggu. Golap. Ada juga yang nekad bercampur frustrasi, akhirnya masuk hutan di kawasan Taluk Kuantan untuk mencari getah jelatang. Boleh jadi naas menimpa, getah jelatang mengenai tubuh. Aku pernah menjumpai seorang pemuda Batak di Taluk Kuantan yang kena getah kelatang. Tubuhnya malala dikerubuti lalat dan aku cuma bisa memberinya sedikit uang untuk berobat.

Di belantara, sesungguhnya pemuda-pemuda Batak itu diberi gaji dalam jumlah yang cukup besar. Tapi dasar kurang ilmu minus pengetahuan mereka umumnya gandrung main judi dan mencandui minuman keras. Aku kaget setengah hidup ketika menegetahui ada yang menenggak minuman keras bagai minum air putih saja. Dan toke biasanya, dengan gembira memberikan mereka segala macam jenis minuman keras bahkan diberi modal untuk main judi di tengah hutan denegan catatan semua diperhitungkan ketika gajian.

Sesekali pemuda-pemuda Batak itu mendapat cuti dan keluar dari hutan. Sudah tentu, mereka memebawa uang yang cukup banyak yang boleh jadi termasuk gajinya untuk beberapa bulan ke depan. Kembali pada dasarnya mereka tidak memiliki ilmu apalagi pengetahuan, di Pekanbaru pun mereka hidup beberapa bulan dengan over acting. Segala seolah gampang apalagi bertemu dengan kawan sekampung atau anak boru. Pakaian pundibeli di pusat-pusat perbelanjaan yang sudah tentu haraganya melangit. Mentraktir siapa saja mangalllangi apalagi minum minuman keras kapan dan dimana saja. Mereka mencoba agar terkesan tampil perlente dengan pakaian yang mahal dan mewah, padahal tetap saja gaya Humbangnya masih saja kentara. Kerja akeras di belantara menyabung nyawa, tapi ketika uang didapat dihambur-hamburkan seolah tak berharga,

Tapi banyak juga kulihat pemuda Batak di Pekanbaru yang pintar, cerdas dan cerdik. Biar tak memiliki pendidikan memadai bahkan SMP pun tak tamat, tapi mampu berkompetisi dengan orang lain yang berpendidikan lumayan. Kerja keras dan berhemat antara lain resepnya. Tekun, ulet, cermat dan berdisiplin. Taat dan cekatan, dan kadang kalau diperlukan haarus pajago-jagohon.Dan tentunya, doa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Di Pekanbaru waktu itu, ada seorang putra Batak bernama Jack Marbun yang menjadi wartawan. Barangkali, waktu di kampungnya di Humbang Hasundutan dulu, namanya Ojak, berasal dari kata Marojahan. Sosoknya pendek kurus nyaris semekot. Ada yang bilang, sebelum jadi wartawan dia adalah anggota CPM yang dipecat karena disersi dari kesatuannya. Aku tak tahu persis soal kebenaran cerita ini, apalagi aku tak percaya ada anggota CPM yang semekot.

Kelak, Jack menjadi Kepala Perwakilan Harian Angkatan Bersenjata yang waktu itu terbit di Medan, milik Kowilhan I (Komando Wilayah Pertahanan) Dia pekerja keras, pekerja ulung dan penuh percaya diri. Sering pajago-jagohon, karena kata dia awalnya adalah pajago-jagohon kemudian baru bisa jago. Bagaimana bisa jago katanya kepadaku suatu hari, kalau pajago-jagohon saja tak pernah. Dan dengan modal semua tadi, Harian Angkatan Bersenjata pun pernah memiliki tiras terbesar di Propinsi Riau.

Status Jack sebagai Kepala Perwakilan Harian Angkatan Bersenjata, dimanfaatkannya dengan baik sekali. Dia pun mendapatkan borongan banyak proyek pemerintah baik yang lewat tender mapun Penghunjukan Langsung. Proyej dari PTP V pun yang barus membuka arealnya di Riau banyak yang dikerjakan Jack. Waktu itu aku ingat, ada Drs BV Harianja, salah seorang ADM PTP V yang menjadi sahabat Jack. Melalui Harianja, Jack mendapatkan borongan itu.

Jack pun jadi kaya raya. Kaya raya. Awalnya dia hanya mengontrak rumah sederhana di Jalan Melati Sukajadi, tapi belakangan memiliki rumah sendiri yang mewah dan wah. Beberapa saudara sepupunya dari Humbang Hasubdutan dibawanya ke Pekanbaru, termasuk beberapa kawan sekampungnya. Semua mereka dipekerjakan Jack di perusahaan kontraktornya, tapi kalau proyek tidak ada dipekerjakannya di Haarian Angkatan Bersenjata. Semua mengaku wartawan, biar tak punya pendidikan apa-apa.. “Kenapa rupanya. Kita yang ngatur”. Katanya ketika kutanya bagaimana orang yang tak berpendidikan dijadikan wartawan. Siapa saja bisa menjadi wartawan menurut Jack, yang penting dia bisa marganjang ni dila dan sesekali mangogapi. Aku senyum, Jack juga senyum. Yang pasti, Jack belakangan terpilih menjadi Bendahara PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Riau. Mana bisa orang yang tidak kaya menjadi bendahara sebuah organisasi. Bendahara Serikat Tolong Menolong (STM) saja harus orang kaya. Termasuk bendahara lumpulan marga.

Lantas ada lagi kawanku bernama Oberlin Marbun. Kalau aku tak salah, SMP saja dia tak ppernah selesai di kampung asal leluhurnya juga di Humbang Hasundutan. Dia datang dari kampungnya hanya deengan tekad mau jadi orang kaya. Sepaanjang hari, dia naik motor Honda CB butut kelililing Pekanbaru menjual koran Sinar Peembangunan (sekarang Medan Pos) milik Ibrahim Sinik. Aku dekat dan akrab dengannya karena kami kerap ongkang-ongkang di kios milik Omriky Lumbangaol di Jalan Arengka sambil menunggu pesawat Garuda yang datang dari Medan membawa koran. Ada juga disana Saut Sinaga tapi di Pekanbaru dikenal orang sebagai DR Lupina Sinaga. Sinaga yang satu ini termasuk orang yang sangat jago karena pernah menjadi Sekretarsis DPW Pemuda Pancasila yang waktu itu dipimpin Djufri Hasan Basri yang pengusaha hutan. Oh ya, pernah jugaa beberapa bulan Bangun Tobing datang kesana, waktu dia sporing dari Siantar. Pareman Tarutung ini waktu itu menikam seseorang di Terminal Sukadame Siantar, lalu di DPO-kan polisi dan minggat ke Pekanbaru.

Oberlin kukenal sebagai orang yang gigih, tekun dan perkasa. Kalau memang jalan uang, kemana pun dia mau pergi biar ke lobang buaya. Lobang hantu saja didatanginya kalau memang disitu ada uang. Aku mengenal Oberlin sebagai rajanya raja ogap sekaligus rajanya raja olah. Makanya nama lengkap Oberlin menurut versikuku adalah Oberlin Marbun RO, RO.

“Hei Cina ! Aku kapala di Pekanbaru ini. Mana bagianku”, katanya jelas dan tegas kepada seorang pengusaha HPH suatu hari ketika aku diajaknya ke kantor pengusaha hutan itu. Dasar penakut, waktu itu aku gemetaran. Betapa tidak.Waktu itu kami berada di markas atau kantor pengusaha HPH itu yang sebenarnya menurutku bagai markas mafia saja. Bisa masuk kedalam pun kami, setelah melewati banayak lorong yang berliku-liku dan gelap. Di beberapa sudut sebelum kami bisa berttemu dengan Cina tadi, ada pengawal-pengawal yang berpenampilan seram dan angker. Kalau saja waktu itu kami digonikan dan dibuang ke Sungai Siak, tentu saja ceritaku ini tak akan pernah kutulis.

Sekarang, Oberlin sudah menjadi seorang multi jutawan kalau tak bisa kusebut multi miliuner. Sudah lama sekali aku tak bertemu dengannya, tapi aku tetap mendenegar kabarnya dari beberpa kawanku yang sekarang masih (tetap) di Pekanbaru. Oberlin sekarang memiliki perusahaan pers yang diberinya nama Horas Plus. Ada beberapa perusahaan pers kudeengar miliknya, yang seperti perusahaan pers milik orang Batak lainnya hanya bagai kerakap tumbuh di batu saja. Sesekali sampai sekarang, aku menelepon Oberlin sekadar say hello. Lewat telepon kudengar nada suaranya sudah berwibawa dan penuh kharisma. Aku belum pernah (lagi) bertemu dengannya, tapi dari suaranya yang bernada bariton itu aku mendapat kesan dia memang sudah kaya sekali. Meski pun, Bahasa Indonesia-nya masih marpasir-pasir, dan karena itu aku lebih suka berkomunikasi dengannya menggunakan Bahasa Indonesia.

Waktu di Pekanbaru sebenarnya, aku pernah jatuh cinta. Jatuh cinta pada seorang Boru Simamora yang namanya Elfride (aku tak ngerti kenapa namanya tidak Elfrida saja) Dia orang Matapao karena orang tuanya tinggal di Serdang Bedagai itu (waktu itu masih Deli Serdang) Elfride tinggal di Pekanbaru karena dia bekerja di sana sebagai PNS di salah satu instansi pemerintah. Sekarang tentunya dia sudah menikah. Menikah dengan seorang laki-laki yang aku tak tahu siapa secara pasti. Yang pasti kutahu, laki-laki suami Elfride sekarang bukan aku.

Sesungguhnya, aku suka pada Elfride. Cuma, sampai saat itu aku tidak tahu bagaimana caranya bercinta. Datang ke rumahnya bercengkerama, sudah jelas aku tak punya waktu. Nyaris setiap hari aku sibuk sekali dan menikmati semua pekerjaan dan tanggung jawab perusahaan yang ditimpakan ke pundakku. Aku enjoy sekali bekerja memang waktu itu, sebab selain menangani bidang keredaksian aku juga menangani pemasaran sekaligus ketatausahaan dan penagihan. Juga, pendistribusian. Aku senang sekali dengan segala macam pekerjaan itu dan itulah barangkali sebabnya mengapa aku tak pernah sempat menyambangi Elfride le rumahnya.

Beberapa kawanku kerap menyampaikan pesan Elfride, agar aku datang ke rumahnya. Tapi kalau malam tiba aku harus memilih, ke rumah Elfride atau menulis. Aku pilih yang terakhir, sebab kalau menulis aku akan dapat tidur dengan nyenyak. Sedang kupikir, kalau aku ke rumah Elfride, ngapain pula aku dan apa pula yang kami percakapkan. Anehnya, beberapa kali Elfride datang ke rumahku, beberapa kali pula aku cueki. Padahal, seperti yang sudah kukatakan tadi, aku suka Elfride.

Beberapa waktu kemudian, Elfride tak pernah lagi nitip salam kepadaku lewat siapa saja. Juga, tidak lewat Itoku Verny atau Nerva – Boruni Amangudaku yang tinggal di Jalan Durian. Sampai suatu malam Minggu aku tiba-tiba nongol ke rumah Elfride. Aku datang mendadak dan tiba-tiba, menegendap-endap pula mendekati teras rumahnya yang samar samar didterangi lampu pijar, persis teroris yang ingin meledakkan bom dengan cara bunuh diri.

Dari jarak tak lebih sepuluh meter, aku melihat Elfride tengah duduk berdampingan dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu pun kukenal pula, seorag marga Panjaitan yang bekerja di Kantor PUPN (Panitia Utang Piutang Negara) Beberapa jenak aku perhatikan dengan seksama. Beberapa jenak pula keduanya tidak lagi duduk berdampingan. Tapi sudah bertindihan akhirnya berdempetan.Dengan jelas sekali aku dengar suara Elfride merintih. Aku tak bisa membedakan mana rintihan karena kesakitan mana pula rintihan karena kenikmatan. Aku segera berlari mengendap dari samping rumahnya. Berlari melewati beberapa pot bunga yang satu-satu bertumbangan karena kutabrak. Dua ekor anjing Elfride menyalak dengan garangnya menegejarku. Kemejaku robek tak jelas kutahu kena kawat tiang jemuran atau kena paku di tiang jemuran.

Beberapa waktu kemudian menjelang tahun baru, aku diajak Elfride mudik ke kampungnya ke Matapao. Aku membeli dua tiket bus Makmur jurusan Medan, lengkap dengan segala macam keperluan yang dibutuhkan dalam perjalanan. Dia berwajah cerah ketika kami berangkat pada senja yang temaram. Bus bergerak melaju lewat lintas Barat melalui Bukit Tinggi. Malam pun beranjak dengan damainya.

Ketika bus terus melaju, aku diam saja bagai batang pisang di tempat dudukku di sebelah Elfride. Aku diam saja kecuali menjawab sepatah kata kalau Elfride bertanya soal tetek bengek. Wajahku waktu itu pasti ceria. Berbeda dengan wajah Elfride yang kusut mengusut mirip kulit jeruk purut.

Menjelang Payakumbuh, badan bus yang kami tompangi terseok-seok di permukaan jalan beraspal yang penuh lobang. Mesinnya pun, kadang mengerang. Aku berpegang pada bahu kursi, dan Elfride berusaha berpegang pada pundakku. Wajahnya memelas memandangku.

“Pening aku Ram”, katanya pelan hampir tak terdengar. Aku pura-pura tak mendengar.Menurut keyakinanku, Elfride hanya sekadar pura-pura, dan aku tak suka pada siapa pun yang pura-pura. Makan daging kura-kura saja aku tak suka. Selintas kupandang wajahnya, yang terlintas justru pemandangan tempo hari ketika dia saling berdampingan, berdempetan bahkan bertindihan dengan kawanku marga Panjaitan.

“Sakit perutku, Ram”, katanya kemudian berlagak manja. Aku suka perempuan manja memang, tapi tak ssuka pada perempuan yang pura-pura manja.

“Ram !”, katanya da memandangku.

“Apa ?”, kataku dan mengarahkan pandangan ke arah luar. Bus masih saja menembus malam dan pepohonan kulihat seolaj kejar kejaran. Permukaan jalan beraspal memang sudah dalam kondisi baik. Hening. Sepi. Sesekali kulihat rumah penduduk yang dditerangi lampu teplok. Pikirku, sudah barang tentu penghuni rumah-rumah itu sudah nyenyak di peraduannya.

“Ram !”, katanya lagi.

“Ya”, kataku tapi mataku masih mengarah keluar.

“Perutku sakit”

“Oh ya”

“Masuk angin mungkin Ram”, katanya dan sekejab kucuri pandang juga ke arah wajahnya. Aku kuatir dia benar-benar sakit perut.

Di Lubuk Sikaping bus kami berhenti. Penumpang turun untuk makan dan minum. Berak, kencing atau apa saja. Aku pun turun, dan refleks seperti kerbau dicucuk hidungnya Elfride pun turun mengikutiku. Dia memegang bahuku ketika menuruni tangga bus yang memang agak tinggi. Aku hampir muntah barangkali karena barusan jalan berkelok-kelok. Usai makan, dia beli balsem Afitson dan segera memberikannya padaku sebegitu bus melaju lagi menembus malam.

“Tolong oleskan di perutku”, katanya masih tetap pura-pura manja.

Aku diam saja tak bereaksi apa pun. Mataku kututup seo;ah aku sudah tertidur lelap. Sekejab berikutnya, jendela bus dibukanya. Angin berhembus kencang hingga menimbulkan dingin mencekam. Dicampakkannya balsem itu keluar dengan wajah kesal tapi garang dan sadis. Aku tertawa ngakak. Tapi tawa ngakakku Cuma dalam hati. Waktu itu kan aku tengah pura-pura tidur.

Di Simpang Matapao lewat Tebingtinggi, bus Makmur berhenti.

“Matapao …! Matakao …!”, teriak kerneknya berkelakar.

Elfride menatapku.

Aku menatapnya.

Kami saling menatap. Tatap tatapan.

` “Kita disini”, katanya sambil bergegas, tapi aku tetap menghenyakkan pantatku di jok bus. Dia memandangku dalam-dalam dan tajam.

“Kita disini Ram. Kota sudah sampai”, katanaya lagi masih tetap memandangku dengan dalam dan tajam.

“Ya. Kau disini. Kau sudah sampai. Aku belum”, kataku dengan datar dan enteng. Terasa longgar sekali dadaku setelah mengucapkan kalimat itu. Aku katakan pada Elfride, aku masih harus menerukan perjalanan sampai ke Medan. Aku ingin bertahun baru dengan Mamakku di Medan, kataku lagi masih dengan enteng, tenang dan kalem. Tak ada beban apa pun, tak ada beban sedikit pun ketika akata-kata itu meluncur dari mulutku. Dia menangis. Air matanya menetes perlahan. Dan aku menerawang lagi pada peristiwa beberapa waktu lalu ketika kulihat dia berdampingan, berdempetan dan akhirnya bertindihan dengan maarga Panjaitan.

“Tarik …. !”, kernek bus Makmur berteriak keras sebegitu Elfride menuuruni tangga bus. Sendiri menenteng dua tas besar. Supir pun menginjak gas dengan keras. Bus meluncur mulus di atas aspal mulus yang baru selesai dikerjakan PT Kuk Dong dari Korea.

“Ai boasa gabe sundat hamu managalua Lae ?”, tanya seorang penumpang di sebelahku. Aku diam saja pura-pura tak mendengar celotehnya. (Bersambung)
Ramlo R Hutabarat
HP : 0813 6170 6993
____________________________________________________________________



`

2 komentar: